Minggu, 19 September 2010

Pendidikan Perempuan Kurangi Kematian Anak

PENINGKATAN pendidikan formal untuk perempuan usia subur membantu jutaan anak bertahan hidup setiap tahunnya. Menurut penelitian terbaru, antara tahun 1970 sampai 2009, rata-rata waktu yang dihabiskan perempuan berusia di atas 25 tahun untuk mengenyam pendidikan formal naik hingga dua kali lipat.

Di negara berkembang, pendidikan perempuan bahkan naik hingga tiga kali lipat. Dalam periode yang sama, tingkat kematian balita turun dari 16 juta menjadi 7,8 juta per tahun. Menurut para peneliti, angka itu berkurang jauh 51% karena pendidikan perempuan.

"Penelitian ini menunjukkan, dengan memfokuskan pada pendidikan, kita juga bisa meningkatkan perbaikan kesehatan," tulis peneliti, Emmanuela Gakidou dari Institute for Health Metrics and Evaluation di University of Washington, dalam siaran persnya.

Hasil analisis data berbagai negara menunjukkan waktu yang dihabiskan seorang pria berusia di atas 25 tahun untuk bersekolah naik dari 4,7 tahun menjadi 8,3 tahun. Adapun untuk perempuan, naik dari 3,5 tahun menjadi 7,1 tahun. Di negara berkembang, perempuan usia subur (15-44 tahun), lama waktu bersekolah naik dari 2,2 tahun menjadi 7,2 tahun.

Penelitian itu dipublikasikan di edisi spesial The Lancet minggu ini. (*/HealthDay News/Yahoo/X-4)).

Sumber : http://www.mediaindonesia.com

Mahasiswa Indonesia Raih Gelar Summa Cum Laude di Maroko

Arip Rahman, mahasiswa Indonesia berhasil meraih gelar doktor dengan predikat Summa Cum Laude usai mempertahankan disertasinya berjudul “Syeikh Ahmad Deedat dan Upayanya Dalam Perdebatan Agama” dalam sidang yang berlangsung selama tiga jam di Auditorium Ahmed Hijji Fak. Adab dan Ilmu Humaniora , Universitas Mohamed V, Rabat, Maroko.
Arip yang juga bekerja sebagai lokal staf KBRI Rabat, Maroko mempertahankan disertasinya di hadapan empat tim penguji yang terdiri dari Ketua Prof. Dr. Mohamed Amin Al Ismaily, Promotor Prof. Dr. Jamal Al Sa’edy dan dua anggota Prof. Dr. Ahmad Al Boukily dan Prof. Dr. Ahmad Al Zeyadi, ujar Sekretaris III / Pelaksana Fungsi Pensosbud, Rahmat Azhari dalam keterangananya kepada koresponden Antara London, Sabtu.
Rahmat Azhari mengatakan dalam acara sidang tersebut hadir Dubes RI untuk Kerajaan Maroko Tosari Widjaja beserta ibu Mahsusoh Ujiati , keluarga besar KBRI Rabat dan civitas akademika Universitas Mohamed V Rabat serta mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan Maroko.
Dalam disertasi setebal 400-an halaman yang ditulis dalam bahasa Arab, penulis mengemukakan pentingnya mendalami persoalan dialog dan perdebatan agama. Pemilihan Syeikh Ahmad Deedat sebagai tokoh yang dikaji dalam disertasi ini, menurut penulis, adalah karena perjuangan Syeikh dalam dialog antar agama khususnya antara Islam-Kristen layak mendapat apresiasi dan patut diteladani.
Sejak kemunculannya, Islam mempunyai karakteristik sebagai agama dakwah dan dialog yang mempunyai fitrah untuk dapat menembus batas negara, suku, bangsa dan bahasa. Dengan bekal basis teologi yang cukup dalam memahami Islam sebagai agama tauhid dan dakwah diharapkan umat Islam dapat menyampaikan pesan Islam yang Rahmatan lil `Alamin kepada pemeluk agama lainnya.
Disebutkan Syeikh yang mendalami persoalan-persoalan keagamaan dan banyak membaca literatur serta kitab suci agama lain secara otodidak. Oleh karenanya metode yang digunakan mempunyai karakteristik berbeda dari tokoh dialog agama lainnya yaitu cenderung lebih bebas, banyak menggunakan gaya bahasa cerita dan narasi namun tetap memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah dalam berdialog.
Perjuangan dakwahnya ditujukan untuk melawan gerakan kristenisasi yang sangat gencar dilakukan oleh para misionaris Kristen di kawasan Afrika.

Syeikh Ahmad Deedat lahir di India tahun 1918 dan kemudian menetap di Afrika Selatan sejak umur 9 tahun hingga wafat pada 2005. Beliau adalah pendiri Islamic Propagation Centre International (IPCI) dan mendapat penghargaan King Faisal Award tahun 1986 atas dedikasinya selama 50 tahun berdakwah dan berdialog dengan umat agama lain.

Ketika Dosen Harus Berperan

Mahasiswa adalah icon-icon perubahan zaman yang sangat berperan dalam menentukan perubahan itu sendiri. Dengan segala kelebihan yang mereka miliki, baik secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan kontribusi yang nyata di negeri ini. Mereka adalah aset masa depan yang sangat berharga. Bahkan bisa dikatakan sebagai investasi jangka panjang yang tak ternilai harganya.Tidak semua mahasiswa bisa dikatakan demikian. Hanya mereka yang secara terpilihlah yang bisa meyandang predikat itu. 

Saya katakan demikian karena memang kenyataannya seperti itu. Ada beribu mahasiswa di negeri ini. Dari ujung barat kepulauan Indonesia hingga ujung timur. Dari Perguruan Tinggi yang ada di Aceh hingga yang ada di Papua sana. Apakah semuanya bisa diandalkan untuk merubah kondisi negeri yang semrawut ini menjadi negeri yang aman, damai, nan sentosa? Yang jelas jangan hanya tersenyum simpul menyaksikan fenomena ini. Ada banyak hal yang bisa kita kaji dari sini.

Salah satunya, kondisi kampus. Ini berperan banyak dalam pembentukan pola pikir mahasiswa. Kondisi pengajar, staf dan karyawan, fasilitas kampus yang ada, dan tata aturan yang berlaku di kampus tersebut akan mendorong  bagaimana mahasiswa akan bertidak mensikapi fenomena masyarakat yang terjadi saat itu. Contoh saja, mahasiswa yang menapaki bangku kuliah pada kampus yang sudah maju, memiliki akreditasi yang tinggi, para pengajar yang profesional dan aktif memberikan motivasi pada didikannya, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang memadai dan saling berkompetensi, juga fasilitas lain yang benar-benar mendukung keberlangsungan segala aktifitas di kampus  tentunya akan mempermudah mahasiswa dalam berpikir kritis karena disamping sudah berakar dari keinginan diri juga mendapat semacam amunisi dari lingkungan pendidikannya. Berbeda sekali dengan mahasiswa yang menapaki bangku kuliah pada kampus yang memiliki akreditasi rendah, staf pengajar yang biasa-biasa saja, UKM yang hanya memiliki struktur kepengurusan namun nihil akan kegiatan nyata, juga fasilitas yang tidak memadai, maka mahasiswa tersebut akan sangat kurang peduli dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Bisa jadi ia tidak sadar bahwa negerinya kini tengah dilanda berbagai bencana, kondisi ekonomi yang mengecam rakyat, juga fenomena-fenomena lain yang sejatinya menjadi tugas dan kewajibannya untuk merubah kondisi tersebut. Memang, semuanya akan tergantung pada diri masing-masing. Tetapi sungguh ini akan memberikan pengaruh yang besar bagi mahasiswa.

Saya pikir, motivasi dari para dosen lah yang sangat berperan di lingkungan kampus. Mereka yang secara langsung maupun tidak langsung  bisa memberikan sumbangsih mereka dalam mengembangkan idealisme yang tertanam. Kalaupun idealisme itu belum tertanam, maka bisa menjadi suatu kemungkinan yang besar bahwa merekalah yang akan menanamkannya. Saya sebenarnya sangat mendambakan para dosen yang selalu mau memberikan motivasi pada mahasiswa untuk terus maju, meningkatkan kualitas diri, dan serta merta memberikan kontribusi nyata di negeri ini. Minimal mereka bisa meluangkan beberapa menit mereka sebelum atau sesudah mengajar untuk memberikan motivasi itu. Akan lebih baik jika saat mereka melakukan transfer ilmu kepada para mahasiswa, semua pengaplikasiannya merujuk pada sebuah relita bahwa saat ini bangsa kita Indonesia membutuhkan para pemimpin yang benar-benar bisa memimpin bangsa ini, bukan membutuhkan para pemimpi. Para pemimpi disini maksud saya adalah seorang yang larut pada keinginan- keinginan semata tanpa sebuah kerja nyata, juga sebuah mimpi yang nantinya hanya memberikan kepuasan diri semata, meninggikan egoisme pribadi tanpa memikirkan bagaimana nasib seluruh masyarakat di negeri ini.

Saya rasa ini tidak sulit bagi dosen. Setidaknya, disamping kewajiban mereka sebagai staf pengajar telah selesai akan ada poin tersendiri layaknya sebuah bonus sebagai ladang amal untuk membantu membangun bangsa ini. Ketika input-input motivasi yang rutin diberikan itu, bisa dikatakan sebagai fase awal yang kontinyu. Tapi mungkin agaknya saya harus kecewa. Jangankan memberikan motivasi, kadang saya menemui dosen yang seolah tidak sepenuhnya memberikan mata kuliah. Pembahasannya terlalu mepet dan sebatas berlalu-lala berputar kesana-kemari. Mungkin beberapa dosen bertujuan mengajarkan mahasiswa agar mereka berkembang mencari segala yang kurang dijelaskannya. Tapi bukan itu maksud saya. Saya justru sangat mendukung jika mereka berlaku demikian. Yang saya sayangkan kadang tidak ada komunukasi yang inten mengenai cara yang mereka lakukan padahal dalam komunikasi tersebutlah ada celah-celah yang bisa dimasuki untuk menumbuhkan semangat mahasiswa dalam mengarungi perjalanan perkuliahannya yang akan memberi dampak yang besar. Kemudian mungkin yang menjadi kendala yang lain, para dosen sering korupsi waktu. Sering mereka keenakan melihat mayoritas mahasiswa yang kegirangan saat perkuliahan dituntaskan lebih awal. Dan, itu berarti mereka tidak memperhatikan minoritas mahasiswa yang ada?

Mungkin itulah yang masih perlu kita bangun bersama. Sebuah niatan yang suci menuju sisi moralitas yang handal. Ketika mahasiswa dengan segala idealismenya untuk menghantarkan negeri ini menuju kesejahteraan yang hakiki namun terbentur dengan realita segi moralitas yang kian merosot, maka tidak menutup kemungkinan idealisme yang terbangun itu akan sedikit  demi sedikit melemah, merosot, berhamburan seperti buih di lautan yang tida berguna. Tentunya jika mahasiswa tidak mengimbanginya dengan aktifitas lain yang mampu mnguatkannya idealismenya itu.

Bagi saya, dosen bisa dijadikan sebagai cerminan. Ketika saya melakukan sesuatu yang menurut saya benar, kemudian saya melihat dosen saya juga berlaku demikian, maka hal tersebut biasanya akan semakin memperkuat intuisi yang ada di jiwa saya. Saya akan lebih meningkatkan apa yang saya lakukan karena seolah mendapatkan "teman" dalam jengkal langkah ini. Ketika ada sesuatu yang saya lakukan namun di saat yang bersamaan saya menyaksikan sebuah pemandangan yang bertolak belakang dengan apa yang saya lakukan, dan itu dilakukan oleh dosen saya maka akan mengajak otak saya untuk berpikir ulang apakah yang saya lakukan itu sudah betul atau belum. Jika memang terbukti saya benar, maka saya akan bertahan dan jika terbukti saya salah maka saya akan berusaha memperbaiki hal tersebut. Itu hanya contoh kecil dari saya, dan saya percaya banyak mahasiswa yang menganggap dosen sebagai sebuah cerminan. Itulah salah satu alasan mengapa penting sekali peran dosen dalam membangun idealisme mahasiswa.

Ada sebuah kondisi yang memaksa diri mahasiswa tidak berkembang. Mahasiswa ditutut untuk stagnan dengan situasi yang terjadi. Selain kondisi kampus, juga kaitannya dengan aktifitas lain yang digeluti mahasiswa di luar jam pekuliahan. Apa yang mereka lakukan saat waktu luang, bagaimana mereka memanfaatkannya agar waktu yang ada tidak berpredikat sebagai sebuah kesia-siaan. Mungkin, untuk mereka yang sudah terbiasa bekerja di luar jam kuliah itu sudah menjadi agenda rutin yang tak bisa diganggu. Namun bagi mareka yang hanya terobsesi pada kuliah? Saya rasa ini juga terjadi banyak perbedaan. Sekarang kita bandingkan mahasiswa yang aktif, baik di kampus maupun di luar kampus, dengan mahasiswa yang "study oriented". Mahasiswa yang memiliki aktifitas lain selain kuliah, akan mendapatkan pelajaran tambahan berupa softskill yang secara langsung mereka aplikasikan dan tidak mereka dapatkan pada bangku kuliah. Kita tahu sendiri bukan, bahwa tidak ada materi-materi lain yang diajarkan selain materi kuliah yang kadang sebagian besar mahasiswa menganggapnya sebagai hal yang amat membosankan. Di sinilah perannya. Bukan sekedar pengisi waktu luang saja, akan tetapi lebih menuju kepada peningkatan kualitas diri menggapai sebuah cita-cita dan arahan hidup yang jelas. Kita tengok mereka yang hanya diam. Berangakt kuliah, pulang ke tempat kos atau ke rumah mereka, atau mungkin berbelok arah dulu sebelum pulang untuk nongkrong di mall-mall atau di kafe-kafe. Mereka seolah-olah tidak merasakan perjuangan hidup yang nyata. Sungguh hedonis!

Berbahagialah mahasiswa yang sangat mengerti urgensi waktu dalam kehidupan ini. Ia tahu betul apa yang bisa ia lakukan untuk memberi manfaat kapada masyarakat. Dan kembali lagi saya ingin menegaskan bahwa peran dosenpun dalam hal ini amatlah diperlukan.

Kepada para dosen, saya sangat berharap beliau-beliau itu bisa memberikan kontribusi dalam membangun idealisme  mahasiswa, agar investasi-investasi masa depan itu tidak punah dari kemiskinan berpikir, agar perkembangan di negeri ini benar-benar dinamis, bukan sebuah kestatisan yang dipelihara berlama-lama, dan yang tak kalah penting yaitu mereka sekaligus bisa menjadi teladan bagi mahasiswa yang mereka ajar.

Wahai pak dosen, bu dosen, dengarkanlah suara hati dari seorang mahasiswa yang ingin maju ini. Percayalah! Seandainya kalian bersedia berperan, maka tidak ada lagi kesia-siaan. Sekali lagi, meski semuanya akan kembali kepada diri mahasiswa, peran kalian sungguh amat diperlukan. Selamat berjuang! 

Sumber :
Isnaeni Dwikurniawati

Rendah, Budaya Menulis Dosen di Indonesia

Budaya menulis sebenarnya bukan dominasi penulis saiapapun bahkan orang yang tidak sekolahpun memiliki kemampuan untuk itu. Tapi dosen adalah makhluk yang punya kapasitas untuk mengembangkan semua pemikirannya melalui tulisan selain mentransfer ilmunya pada mahasiswa.
Budaya menulis kalangan dosen di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan dosen di luar negeri. Dari 1.200 dosen yang ada di Institut Teknologi Bandung (ITB), hanya sekitar 400 orang atau 30% yang mempunyai kemampuan menulis. Hal itu diungkapkan Kepala ITB Press, Prof. Ir. Amrinsyah Nasution, M.S.C.E., Ph.D. dalam seminar pembukaan “Academic Book Fair” di Aula Barat ITB, Jln. Ganesha Bandung, Selasa (6/1).
Dikatakan Amrinsyah, salah satu kelemahan budaya menulis kalangan dosen di Indonesia, yakni para dosen Indonesia kurang memiliki kemampuan dalam menuangkan buah pikiran melalui sarana pendidikan. “Hingga saat ini, budaya itu masih melekat di kalangan dosen kita,” ujarnya.
Hambatan lain yang menyebabkan kalangan dosen enggan menulis, tambahnya, karena tidak punya banyak waktu dan imbalan menulis yang masih relatif kecil. Karena itu, lanjutnya, pihaknya akan meminta kepada pemerintah untuk menyediakan dana bagi para penulis dari kalangan dosen. “Padahal, kalangan dosen dengan kemampuan dan dasar keilmuan yang dimiliki bisa menulis buku berkualitas bagi masyarakat maupun siswa dan mahasiswa,” ujarnya.
Amrinsyah menyayangkan, kegiatan atau kebiasaan menulis tidak menjadi bagian kegiatan dosen di perguruan tinggi. Sementara di luar negeri, katanya, kegiatan menulis sudah menjadi bagian dosen dalam kegiatannya sehari-hari. “Kebanyakan buku ajar atau buku teks untuk para mahasiswa merupakan karya tulis para dosen,” katanya.
Oleh karena itu, ungkap Amrinsyah, para dosen di Indonesia tidak bisa atau tidak mampu menulis. “Padahal banyak yang bisa ditulis untuk menunjang kariernya ketika menjadi dosen,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jabar, Anwaruddin, kepada wartawan meminta pemerintah untuk meninjau kembali keputusan membeli hak ciptapenerbitan buku pelajaran. Menurutnya, apa yang telah dilakukan pemerintah itu telah merugikan kalangan penerbit. “Kami sudah meminta kepada pemerintah berkali-kali agar keputusan itu ditinjau kembali. Namun, hingga kini belum mendapat tanggapan,” ujarnya.
Selain itu, sekalipun sudah menjadi kebijakan, Anwaruddin meminta kepada pemerintah untuk melakukan kompromi dengan kalangan penerbit. Pasalnya, tambahnya, para penerbit selain mencari keuntungan, juga mempunyai tanggung jawab terhadap isi buku untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. “Namun, apa yang dilakukan pemerintah bukannya melindungi para penerbit yang telah turut serta mencerdaskan bangsa, tetapi malah menindas dengan kebijakannya, ” paparnya.
Dampak dari kebijakan pemerintah itu, ujarnya, banyak penerbit yang mengalihkan penerbitannya pada buku agama. Diprediksi pada tahun 2009, prospek buku agama akan jauh lebih berkembang dari buku-buku lainnya. “Mereka (penerbit) banyak banting setir ke buku agama, namun ada pula yang mulai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dari 180 penerbit di Jabar, baru satu penerbit melakukan PHK terhadap 500 karyawannya Januari ini,” ungkap Anwarddin. (B.81)** (9 Januari 2009)
Sumber tulisan:
http://aa-dosen.blogspot.com/

Tahun 2012 semua dosen yang belum S-2 akan dihabisi

Saat rapat dosen terdengar tahun 2012 semua dosen yang belum S-2 akan dihabisi. Kata-kata yang keras sempat mendapat kritikan keras juga dari rekan kerja lainnya. Artinya tak seorangpun dosen yang masih pendidikan S-1 lagi setelah tahun 2014. 

Tapi itulah keniscayaan dengan berasumsi guru SD saja harus sarjana (S-1). Berdasarkan Undang-Undang No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, sejak 2006 sekitar 1,75 juta guru yang belum memperoleh S1/D4 harus meraih derajat tersebut dalam waktu sepuluh tahun. Kemudian, kata Mendiknas, sekitar 150.000 dosen yang belum S2 atau S3 harus meraihnya dalam waktu sepuluh tahun.

Tapi masalahnya lain, bukan masalah kuliah S-2 itu sulit tapi pendidikan pasca sarjana ini terasa berat bagi dosen swasta yang non-PNS tanpa ada beasiswa, oleh karena   perhatian khusus dari pemerintah terhadap dosen swasta ini masih minim bahkan kopertis mensyaratkan harus dosen tetap, tetapi betapa sulitnya untuk "Dosen Tetap" atau celoteh rekan-rekan sejawat "Masih tetap dosen" sudah lumayan. Bahkan masih banyak institusi pendidikan tinggi yang belum berani mengangkat sebagai dsoen tetap walau pengabdian puluhan tahun, boro-boro sertifikasi, boro-boro penelitian, upah minimum saja masih kalah dengan SDIT.

Ada beberapa faktor mengapa kemudian masih ada dosen yang berpendidikan S1 antara lain ada dosen yang sudah lanjut usianya yang kalaupun kuliah kembali sebentar lagi akan pensiun. Ada juga dosen  prodi–prodi yang sangat jarang staff pengajarnya yang berpendidikan hingga S2, dan ketiga ada beberapa dosen yang malas kembali untuk kuliah karena belum ada biaya. 

Peluang beasiswa.
Ada beberapa info beasiswa tahun 2011 bagi dosen persiapkan diri anda untuk pengembangan potensi dan diri anda. Karena tahun depan ada banyak peluang untuk mendapatkan beasiswa dari pemerintah… asyiiik kan.

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) pada tahun 2011 menyiapkan dana sebesar Rp2 triliun yang dialokasikan untuk beasiswa dosen jenjang S3 dalam dan luar negeri.

Kemdiknas berharap dengan uang triliunan itu, maka akan ada5.000 dosen yang menempuh pendidikan S3 melalui beasiswa dalam danluar negeri, ujar Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendiknas JokoSantoso, usai menandatangani nota kesepahaman dengan Korean International Cooperation Agency (Koica) tentang kerjasama penanganan limbah industri pengolahan kelapa sawit dan produksi bio energy dan bio fertilizer di Gedung Kemdiknas Jakarta, Selasa(31/8).

Menurut Joko, pada 2010 ini sudah ada sekitar 4.000 dosen yangdisekolahkan. Dengan rincian 2.500 belajar di perguruan tinggidalam negeri dan 1.500 dosen menempuh pendidikan di luar negeri.Kami akan meningkatkan beasiswa dosen ke luar negeri pada tahundepan, ujarnya.

Selain itu pemberian beasiswa S3 bagi para dosen, kementerianjuga akan memberikan dana untuk membuat penelitian senilai Rp 400 miliar lebih.

Walaupun jumlah penerima beasiswa ke luar negeri sedang digenjot, ada kendala bahasa dimana banyak calon yang tidak menguasai Bahasa Inggris. Padahal, ini adalah syarat mutlak, sebab calon penerima beasiswa harus melalui tes kualifikasi akademik.

Terkait negara penempatan, Joko mengatakan akan dipilih yang sudah lebih maju dari pada Indonesia, seperti Australia danSingapura. Kemdiknas sudah menjalin kerjasama dengan lembaga dan perguruan tinggi, sehingga para calon penerima beasiswa tinggal datang saja ke Kemdiknas jika sudah ada lampu hijau dari universitas yang dipilih sang calon. (Berbagai sumber)


"Sertifikat Pendidik Mutlak bagi Guru"

Undang-Undang (UU) No14/2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan, guru adalah seorang yang profesional, karena itu, untuk menjadi guru yang andal tentunya ada tolok ukurnya. Sertifikat pendidik merupakan syarat mutlak bagi guru agar bisa memperoleh hak-haknya, seperti tunjangan fungsional, tunjangan profesi dan kemaslahatan lainnya. 

KEPALA  Pusat Informasi dan Humas Depdiknas Bambang Wasito Adi menegaskan hal itu menjawab Pembaruan di Jakarta, Senin (12/2) pagi. Menurutnya, salah satu penilaian profesionalitas guru adalah adalah uji sertifikasi dan profesi. “Ini sudah konsekuensi dari UU itu. Karenanya, guru memang harus memiliki profesionalitas,” katanya.

Bambang mengakui, banyak guru yang belum memenuhi kriteria pengajaran yang baik. “Karena itu, dalam UU Guru dan Dosen, untuk meningkatkan profesionalitasnya, guru diberikan waktu 10 tahun. Setelah masa itu, kewajiban negara adalah memenuhi hak-hak guru,” katanya. Disinggung banyak guru yang kemungkinan besar tidak bisa mengikuti uji sertifikasi lantaran berbagai faktor. 

Misalnya, faktor usia, geografis, ekonomi dan sosial, dia mengatakan bahwa pemerintah hanya menjalankan apa yang sesuai dengan amanat dari UU No.14/2005 itu, sehingga, jika dalam jangka waktu 10 tahun, guru belum bisa meningkatkan profesionalitasnya, ya terpaksa tidak memperoleh tunjangan fungsional, dan hak-hak lainnya,” katanya.

Ditambahkan, bagi guru yang sudah meraih gelar sarjana, yang bersangkutan tinggal mengikuti uji sertifikasi untuk mendapatkan sertifikat pendidik, sementara untuk guru yang belum sarjana, harus melanjutkan pendidikannya. Dalam UU disebutkan, syarat untuk mengikuti sertifikasi adalah seorang guru harus memiliki kualifikasi akademik, yakni sarjana.
 
Sumber : Suara Pembaharuan

"Epilog Ayah dengan Putrinya"

Mentari baru saja terbenam ketika kami menutup silaturahmi di apartemen seorang sahabat. Silaturahmi yang berbentuk pengajian berbonus acara makan-makan alias 'proyek perbaikan gizi mahasiswa' memang kebutuhan yang tak terhindarkan bagi warga Delft.
Sejalan dengan waktu, satu persatu rekan yang tempat tinggalnya jauh mulai berpamitan. Sementara, saya dan beberapa teman masih enggan beranjak dari tempat duduk. Kami terkesima mengamati seorang bapak, salah seorang sahabat kami, yang sedang mengasuh putrinya yang masih kanak-kanak. Bapak itu tengah bermain dan bercanda dengan buah hati kesayangannya.

Sang putri terlihat begitu asyik dan teramat menikmati guyonan dan bulir-bulir kebijaksanaan yang keluar dari lisan ayahandanya. Sedangkan sang ayah pun kelihatan sangat memaknai perannya saat itu. Sesekali sang putri kecil mendelik tajam ke arah ayahnya, pertanda tak setuju. Terkadang wajahnya memberenggut manja, menunjukkan sewotnya saat sang ayah melarangnya. Namun sesaat kemudian rona bahagia kembali terpancar di wajah riangnya.

Hubungan ayah dengan anak perempuannya memang khas. Apabila pada anak laki-laki dibebankan berjuta harapan, kebanggaan serta idealisme. Maka hubungan ayah dan puterinya lebih mengarah pada keakraban sentimentil-psikologis yang sangat ekslusif dan sulit dideskripsikan. Begitu unik namun halus hingga sering luput dari pengamatan.

Hubungan kasih sayang yang sepertinya hanya dipahami oleh sang ayah dan putrinya itu sendiri. Ayah dan anak perempuannya seolah memiliki bahasa dan dunia tersendiri bagi arena cinta mereka. Bahkan ada pendapat yang latah mengatakan, "seorang ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya".

Tarikan kasih sayang yang begitu kuat ditemukan pada hubungan antara Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam dan Fatimah Az-Zahra ra putrinya. Rasulullah menyimpan cinta yang mendalam kepada salah seorang wanita terbaik sepanjang masa ini.

Jika Fatimah datang menemui Nabi, Ayahnya itu menyambutnya, dan menciumnya, lalu didudukkannya di tempat ia duduk.

Kedekatan Ayah dan putrinya ini membuat Rasul sangat memahami Fatimah. Kegembiraan Fatimah adalah kegembiraan Rasulullah. Demikian pula sebaliknya, kesedihan dan kerisauan Fatimah adalah kesedihan bagi Rasul. Pembelaan Rasul menjadi haknya. "Fatimah merupakan belahan diriku. Siapa yang menyakitinya, berarti menyakitiku" (HR. Muslim).

Dalam hadist yang serupa, "Fatimah adalah bagian dari diriku; apa yang meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya, akan menyakiti hatiku juga"

.Bahkan, melihat keakraban Rasulullah dengan Fatimah, Aisyah ra pun acapkali dibuat cemburu.

Fatimah diriwayatkan mewarisi banyak kemuliaan ayahnya. Sebagaimana suaminya Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhahu, Fatimah tumbuh dalam didikan Rasulullah. Disitulah transfer kemuliaan dan keshalihan dari laki-laki terbaik kepada perempuan utama itu berlangsung.

Rasul juga sangat memuji keshalihan dan keutamaan puterinya itu, "Seutama-utama wanita ahli surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiyah binti Muzahim" (HR. Ahmad).

Secara historis, kedekatan Ayah dan putrinya ini sudah sepatutnya karena Fatimah tumbuh dewasa dalam kasih sayang dan didikan ayahnya. Ibunya, Khadijah ra meninggal dunia ketika Fatimah masih kanak-kanak. Kedekatan hubungan ayah dan anak ini seperti tak dapat dipisahkan dunia. Tak lama setelah Rasul wafat, Fatimah adalah kerabatnya yang pertama menyusul meninggal dunia.

Selain kemuliaan dan kemiripan fisik, Fatimah juga dikisahkan memiliki kebersahajaan hidup yang menjadi identitas Rasul. Pengabdian Fatimah kepada ayahnya pun luar biasa hingga Rasul menggelarinya Ummu Abiha; ibu dari ayahnya. Ungkapan sayang, pembelaan dan bangga Rasul memang pantas menjadi milik putrinya itu. (Muraza)

Ayah, Ibu, jangan murtadkan anakmu !!

"Aku ingin anakku nantinya bisa jadi penyanyi terkenal," ujar seorang ibu muda dalam suatu obrolan di sebuah acara perpisahan anak-anak kelas III SMP di gedung cukup mewah di bilangan Jakarta. Kebetulan saat itu sedang ditampilkan acara hiburan yang diisi oleh sumbangan alunan suara merdu anaknya. "Kalo' aku sih, anakku ingin aku masukkan ke sekolah modelling biar bisa jadi peragawati terkenal," timpal ibu lainnya tak kalah sengit. Walhasil obrolan ibu-ibu yang ikut mengiring anak-anak mereka pada acara perpisahan sekolah, tak jauh dari seputar obsesi para ibu kalangan elit itu terhadap anak-anak mereka.

Obsesi orangtua terhadap anak, memang tak dilarang dalam Islam. Selama obsesi itu merupakan wujud kasih sayang orangtua terhadap anak-anak mereka. Agar anak-anak mereka menjadi orang yang berhasil dalam karir, mandiri (baik secara materi maupun sikap mental), mendapat pendamping hidup yang baik, terpandang di masyarakatnya, serta tetap berbakti pada orangtua. Bagaimana soal berbakti kepada Tuhan? Ini juga hal yang sering tak dilupakan sebagai bagian obsesi para ortu terhadap anak-anak mereka. Biasanya satu paket, agar anak berbakti kepada orangtua dan agamanya.

Namun sayangnya unsur terakhir ini, kerap cuma sebagai embel-embel formalitas dari bangunan obsesi para ortu yang diangankan pada anak-anak mereka. Tindak lanjut dari obsesi terakhir ini, sayangnya macet cuma sampai pada tataran angan-angan. Dalam bentuk implementasi, bak "jauh panggang dari api" alias berbanding terbalik.

Ilustrasi di awal tulisan ini, mungkin bisa jadi contoh. Bagaimana tergiurnya seorang ibu pada predikat sukses duniawi yang kelak bisa disandang anak, tanpa mempedulikan apakah itu selaras dengan harapan Tuhan? Padahal hakikatnya, kita bukanlah the real owner dari anak-anak yang kita miliki. Kita hanya ditugasi Allah 'Azza wa Jalla, Pemilik Sesungguhnya Seluruh Anak-Anak Manusia, cuma sebagai fasilitator yang harus bisa mengantarkan anak-anak kita kembali kepada Pemiliknya dalam keadaan orisinal (asli) sebagaimana dulu dia dilahirkan. Dalam bahasa imannya, anak itu lahir dalam keadaan fitrah (suci), karena itu ia harus kita kembalikan pada Pemiliknya juga dalam kondisi fitrah.

Al Qur'an menegaskan hal itu. "Dan (ingatlah) ketika Robb-mu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas jiwa-jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab; "Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan; "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lupa terhadap kesaksian ini." (Surat Al A'raf 172).

Setiap anak Adam yang terdiri dari beragam warna, beragam bahasa, beragam kultur, dan akhirnya berhimpun dalam berbagai suku bangsa di dunia itu, hakikatnya lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid kepada Allah 'Azza wa Jalla). Ini merupakan warisan Robbani sekaligus modal dasar yang paling kokoh yang akan menentukan eksistensi kemanusiaan setiap insan. Bagaimana nilai-nilai keyakinan yang diajarkan anak, miliu tempatnya hidup, serta sistem pembinaan karakter yang diterapkan terhadap dirinya, kelak yang akan menentukan akan menjadi seperti apa anak di kemudian hari. Apakah anak tetap dalam fitrahnya, atau apakah bahkan ia kelak menjadi penentang fitrah yang dimilikinya?

Karena itu Nabi mulia saw menegaskan, "Setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitah. Maka orangtuanyalah yang kemudian berperan dalam merubah fitrahnya, apakah ia kelak menjadi Yahudi, menjadi Majusi, atau menjadi Nasrani." (hadits shahih).

Hadits di atas tidak menyebutkan, si anak bisa berubah menjadi Islam. Karena Islam (fitrah) itu sesungguhnya telah menyatu (inherent) dalam diri setiap anak yang lahir. Maka tugas para orangtua yang diamanati anak-anak yang fitrah itu oleh Allah swt, sesungguhnya adalah tetap mengasuh mereka dalam sistem dan pola yang fitrah. Dengan kata lain, anak-anak itu sebetulnya telah disediakan oleh Penciptanya suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka. Sehingga hanya dengan sistem itu anak-anak dijamin tak akan berubah fitrahnya hingga ia menghadap Tuhannya. Kita -para orangtua- yang seharusnya berperan mengarahkan, menempatkan, dan menjaga si anak agar tetap berada pada koridor sistem fitrah itu, yang tak lain adalah dienul Islam.

Hanya sistem (dien) Islam yang bisa mengakomadasi, menumbuhkan, mengembangkan, serta mengokohkan potensi fitrah setiap manusia. Karena Islam adalah agama yang diciptakan oleh Pencipta sekaligus Pemilik manusia itu sendiri. Perintah itu dengan gamblang dituangkan dalam firmanNya yang agung; "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia manusia tidak mengetahuinya." (Ar Ruum : 30) .

Lantaran itulah para orangtua berperan mengenalkan, menggiring, dan menempatkan anak-anak agar dia hidup dalam habitat sistem fitrah itu (dienul Islam) secara permanen. Anak tak boleh sedikitpun disusupkan nilai-nilai asing pada aspek manapun, yang dapat merusak potensi fitrahnya. Sebaliknya orangtua berkewajiban menempa kepribadian anak berdasarkan petunjuk sistem fitrah itu, agar potensi fitrah anak menjadi sesuatu yang dominan muncul ke permukaan kepribadiannya. Sebab hanya manusia yang memiliki kepribadian fitrah yang akan bisa memelihara eksistensi kehormatan dirinya.

Tentu saja keliru asumsi yang mengatakan, mengajarkan Islam pada anak, cuma urusan sholat, puasa, dan bersedekah. Namun dia tidak mendidiknya agar anak berpakaian sopan dan menutup aurat (bagi anak-anak perempuan). Dia tidak menciptakan atmosfer Islami di dalam rumah tangganya. Atau bahkan dia membiarkan anak-anaknya bebas mengikuti trend budaya Barat, baik dari segi pergaulan, selera hiburan, selera berpakaian, dan lain sebagainya. Atau juga dia membebaskan anaknya memilih jalan hidup yang bertentangan dengan Islam.

Akan lebih keliru lagi misalnya, jika ada orangtua menginginkan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang sholeh dan sholihat, tapi menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah Kristen misalnya. Atau anak-anak kita biarkan bergaul dalam lingkungan komunitas atheistik/materialistik yang menganut paham pergaulan bebas. Komunitas yang menganggap semua agama sama, semua agama baik, surga tidak bisa diklaim hanya sebagai milik orang-orang Islam belaka. Jelas ini tidak kondusif bagi perkembangan fitrah anak. Bahkan sangat membahayakan fitrahnya.

Jika kita tidak asuh anak-anak kita dalam asuhan sistem dan nilai-nilai yang Islami, jangan salahkan jika mereka kelak di kemudian hari menjadi orang-orang nyeleneh. Orang-orang yang tidak tau malu mempertontonkan aurat, Orang-orang yang menjadi pemuja ideologi Barat. Orang-orang yang sesungguhnya telah menjadi murtad (keluar dari Islam), na'udzubillah min dzalik.

Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mau mendengar suara fitrah anak-anak kita. Agar kita tidak memaksakan kehendak dan obsesi kita yang barangkali justru akan memurtadkan mereka. Coba dengar baik-baik suara fitrah mereka: "Ayah, ibu, jangan murtadkan anakmu!" Wallahu a'lam. (sulthoni)

Bu, suaramu adalah cinta

Hanya ingin..kunyanyikan
senandung dari hatiku untuk Mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku, untuk Mama


Kemarin, bertemu ibu lagi. Duh senangnya bisa memandang wajah syahdu itu. Alangkah bahagia tak terkira menuntaskan kerinduan menikmati binar matanya. Ia merengkuh saya, hangat dan erat. Salam yang saya sampaikan ketika membuka pintu, tak berjawab. Ibu hanya mengangguk dengan senyuman mengembang karena senang.


“Ibu, apa kabar???” kalimat pertama yang selalu saya singgahkan kepadanya setiap kali pulang. Ibu tak juga bersuara, ia malah sibuk meneliti tas saya, adakah bacaan yang saya bawa untuknya. Majalah tarbawi baru, segera saja beralih ke tangannya. Sejenak ia ke mushola, mengambil kacamata dari atas Al-qur’an yang tengah terbuka. Ia kembali ke samping saya dan kemudian tenggelam dalam samudera aksara. Setengah termenung, saya memandangnya. Dih Ibu, emang enak dicuekin.


Saya faham, mengapa Ibu menjadi pendiam dan tak banyak bersuara. Rupanya batuk yang diderita selama beberapa hari ini, merampas suaranya untuk bertutur. Saya sampai tak tega mendengar parau tak terdengarnya ketika ia meminta saya menjadi imam shalat maghrib dan isya. Seraknya yang parah terdengar seperti desis aneh, mungkin Ibu juga tak suka mendengarnya. Makanya ia memilih memberi kode menangkupkan kedua tangan dan menempelkannya di pipi kiri sebagai isyarat hendak menjumpai peraduan.


Akhirnya dua hari bersamanya, saya tak dapat mengobrol dengannya, kecuali satu arah. Ibu sungguh-sungguh diam.


Selalu ada yang berubah ketika pulang dan menjumpainya. Ibu tak sebugar dulu, tentu saja karena ia dilahap renta usia. Tangannya sekarang gemetar untuk saat-saat tertentu. Tubuhnya kian kerontang karena nafsu makan yang seringkali menurun. Lingkaran-lingkaran putih itu terlihat jelas di manik kedua matanya yang katanya sulit terpejam ketika malam menjelang. Belum lagi kerut merut yang mengukir wajah ayunya. Jika berjalan, langkahnya tak seperkasa dulu, hingga saya harus berlari-lari mensejajarinya. Dan sekarang, saya mendapatinya tanpa suara. Rabbi.. Engkau sebaik-baik pemberi kesehatan.


Suara Ibu bagus. Ia bercerita, ketika saya sudah mampu berbicara, ia paling suka mengajari saya menyanyi. Ia mengajak saya bergembira dengan menyanyi. Ia menyemangati saya juga lewat alunan suara merdunya. Waktu duduk di bangku SD kelas satu, saya terkena liver hingga sebulan tidak masuk kelas, rapor saya jeblok. Di teras depan rumah, ketika melihat saya bersedih, suaranya begitu dekat di telinga. Ia merengkuh saya dan bernyanyi:

 
Jangan putus asa
Itulah semboyan kita
Maju terus maju
Jangan goncang atau bimbang
Kukuhkan hatimu, capailah niatmu
Kerahkan semua tenaga
Jangan goncang atau bimbang

Saya tidak akan pernah lupa senandung-senandung itu, berharap bisa meneruskannya untuk anak-anak saya kelak. Ada lagu yang paling saya suka :

Jika aku sudah besar nanti
Ku pergi dengan ibu
Ibu boleh pilih sendiri, kemana yang dituju
Jika Ibu pilih Jogya, Bandung dan Semarang
Aku yang beli karcisnya
Karcis kapal terbang


Tak sengaja pada waktu berkumpul setelah lebaran idul fitri kemarin, saya mengajak teteh-teteh dan Ibu ‘konser’ bersama. Hampir bersepuluh kami menyanyi, mendendangkan sebuah lagu yang menjadi favorit kami sewaktu masih kecil dulu. Denting dawai gitar yang saya petik menambah kesan ‘indah’ itu :

 
Di matamu mama ada bintang
Gemerlapan bila ku pandang
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar tak pernah pudar
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar terang


Entah mengapa, Ibu tak ikut menyanyi. Ia malah sibuk memperhatikan kami satu persatu dan berkata hampir tak terdengar “Ehm, jangan bikin Ibu sedih atuh”.

Ah Ibu, rindu kudengar senandung cinta itu lagi. Suaramu adalah cinta, karena setiap tuturmu selalu saja bermakna. Seingat saya, ia tidak pernah marah dengan kata-kata yang kasar terhadap anak-anaknya, sejengkel apapun perasaanya. Suaranya paling terdengar tajam. Suatu saat Ibu memperingatkan kakak saya yang telah memarahi anaknya tanpa ampun. “Geulis, kata-kata seorang ibu adalah bertuah, berhati-hatilah. Ucapan seorang ibu adalah doa, jadi ucapkanlah yang baik-baik”.


Ah, Ibu, sungguh tidak nyaman ketika suaramu tak terdengar memenuhi udara, meski sosokmu begitu dekat. Bu, saya tak bisa menikmati dengan sempurna keindahan kebersamaan kemarin, meski tak berkurang eratnya rengkuhanmu, meski engkau masih melabuhkan tanganmu untuk membangunkan diri yang ditelan lelap. Sungguh, saya merasa sendiri kemarin meski kehadiranmu nyata, karena mungkin sapamu terbatas, kata-kata bijak itu tak lagi ada dan kau tak lagi bercerita tentang apapun.


Ah, bu, setelah sembuh, saya pasti mendengar lagi suara itu, sapamu, tuturmu, kata-kata bijakmu bahkan mungkin senandung cinta ketika kita ‘konser’ bersama.


Ah, bu segalanya tentangmu adalah cinta, meski itu hanya suara.

Dan saya tak bisa membayangkan, jika suara mu menghilang untuk seterusnya, karena sebuah takdir yang pasti kedatangannya.


Allahu Rabbii, anugerahkan untuk ummi kesehatan yang barakah.

Anak, Sarana Dakwah Efektif

Pagi itu seusai mandi dan sarapan, kuajak anakku jalan-jalan dengan mengenakan pakaian muslim. Lucu, ceria dan menggemaskan. Kelihatannya anakku semakin cantik dengan jilbab mungilnya yang berwarna pink itu. Begitu bertemu dengan tetanggaku, kontan mereka bilang, "aduuuh lucunya" sambil mendekat dan mencubit pipi anakku yang ranum. Anakkupun tersenyum malu-malu dan kemudian berlindung dibalik jilbabku.

Suatu ketika seorang ibu bertanya, kenapa sih masih kecil kok dipakai-in jilbab? Apa nggak kasihan? Nanti kepanasan lho. Malah ada lagi yang menambahkan, mengurangi kebebasan anak-anak dan menghilangkan masa kanak-kanaknya (ekstrim banget ya?).

Sambil tersenyum aku menjawab, "Saya mencoba untuk membiasakan dia berbusana seperti yang diperintahkan agama bu, kalau dia kepanasan ya boleh dilepas dulu dan nanti dipakai lagi, toh dia belum mendapat kewajiban untuk menutup aurat, yang penting latihannya itu. Masa kanak-kanaknya juga insya Allah tidak akan hilang karena pakai jilbab, toh model dan motifnya saya sesuaikan dengan kondisi anak".

Pada kesempatan lainpun ada ibu yang bertanya tentang masalah wajibnya jilbab bagi muslimah, sayapun dapat menjelaskannya dengan leluasa, karena beliu sangat ingin tahu. Beberapa waktu kemudian, karena hidayah Allah, beberapa ibu tetanggaku mulai pakai jilbab. Dia bilang kepadaku, "anak kecil saja pakai jilbab, kok saya yang sudah dewasa dan banyak dosa nggak pakai, kan malu". Alhamdulillaahi Robbil’aalamiin.

Anakkupun yang masih balita, dengan kepolosannya sering berkata "iiih malu ya mi, pakai baju lekbong (baju tanpa lengan) auratnya kelihatan", didepan ibu-ibu yang memakai baju tersebut. Atau ketika di angkot ada seorang gadis yang sibuk menutupi pahanya dengan menarik-narik roknya yang pendek, anakku bertanya "Umi, teteh itu kok narik-narik rok sih, malu ya pahanya kelihatan?"

Ketika anakku bermain bersama teman sebayanya yang diberi pakaian serba ketat, model yang sedang trendi saat ini, diapun bilang kepada teman mainnya yang lebih besar darinya. "Mbak, aku malu tu melihat kamu, bajumu ketat gitu, kan permpuan itu harus menutup aurat."

Hal lain juga pernah terjadi, ketika anakku melihat orang makan dengan tangan kiri, spontan dia mengatakan "eh, makannya pakai tangan kanan, jangan pakai tangan kiri, nanti nggak barokah makanannya", tidak peduli yang makan pakai tangan kiri itu siapa.

Pada bulan Ramadhan, anakku yang masih belum baligh ditanya tetanggaku, puasa nggak mbak? Puasa. Sampai jam berapa? Ya sampai maghrib. Tetanggaku yang sudah seminggu nggak puasa karena sakit yang tidak terlalu beratpun akhirnya puasa karena merasa malu.

Dari kejadian di atas, ada pelajaran yang sangat berharga, "Anak-anak ternyata merupakan sarana dakwah yang cukup efektif", karena:

1. Anak-anak sangat mudah dibentuk, karena mereka masih bersih dan suci. Mereka akan mengikuti apa yang kita contohkan tanpa melakukan seleksi.

2. Anak-anak dengan kepolosannya, akan mengatakan apa saja yang dia lihat, tanpa berfikir akan menyakiti perasaan orang lain, sehingga anak kecil cenderung lebih berani menyampaikan sesuatu dari pada orang dewasa.

3. Teguran yang disampaikan oleh anak-anak akan lebih menancap kedalam hati dan membuat orang dewasa merasa malu, ketika melihat anak kecil lebih taat beragama.

Dengan demikian, mendidik anak dengan didikan yang baik, melatih anak untuk melakukan perintah agama sejak dini, akan mempermudah amanah da’wah yang kita emban.

Mari jadikan anak-anak kita da’i-da’i kecil, penyambung lidah kita, sayap da’wah kita, dan asset masa depan kita di yaumil akhir. Wallahu a’lam bishshowwab.

Apa yang salah pada anak-anak itu?


Mereka lahir sebagai Muslim, dibesarkan dengan pendidikan Islam, melewati masa kecilnya dengan hafalan ayat-ayat suci Al-Qur'an serta do'a-do'a shalat, dan mengisi masa belianya dengan mengaji di masjid-masjid, madrasah maupun pesantren. Mereka hafal beberapa hadist Nabi maupun bait-bait Barzanji. Tetapi ketika menginjak masa remaja, tak ada kebanggaan di dadanya untuk berkata, "Isyhadu bi anna mulimun! Saksikanlah bahwa aku seorang Muslim."

Apa yang salah pada ana-anak itu?

Mereka telah belajar tentang halan dan haram. Mereka juga belajar tentang makruh dan sunnah. Bahkan puasa-puasa sunnah mereka lakukan demi memperoleh ranking pertama di sekolah, atau untuk memperoleh beasiswa yang tak seberapa jumlahnya, atau bahkan sekedar untuk bisa mengerjakan ujian esok hari. Demi hal-hal yang sepele dan remeh-temeh mereka hadapi dengan puasa sunnah, qiyamul-lail dan dzikir-dzikir panjang. Tetapi ketika mereka mulai menginjak dewasa, apa pun dilakukan untuk memperoleh seperiuk nasi, termasuk dengan menjual agama. Atas nama kemerdekaan berpikir, mereka menadahkan tangan kepada lembaga-lembaga donor dengan proposal untuk mengubah ruh agama.

Apa yang salah pada anak-anak itu?

Ketika kecil mereka dibesarkan dengan tangis orangtua agar kelak menjadi orang yang berguna. Ketika mulai beranjak besar, airmata itu masih belum berhenti mengalir karena banyaknya biaya sekolah yang harus dipikir orangtua. Tetapi ketika mereka telah benar-benar besar, orangtua terkadang masih harus menangis karena anak-anak itu telah melupakan agamanya atau bahkan menodainya. Ada yang bahagia melihat betapa "hebat" anaknya, tetapi diam-diam menabung beratnya pertanggungjawaban di akhirat. Nau'dzubillahi min dzalik.

Teringatlah saya dengan firman Allah, "Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anaku hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar." [Al-Anfaal:28]

Sebagai cobaan, anak-anak bisa membawa kita lebih dekat kepada Allah ta'ala. Amal kita dan anak-anak kita saling disusulkan, sehingga bisa bersama-sama di syurga, kelak setelah kiamat tiba. Tetapi kalau kita salah menata mereka, anak-anak itu bisa menjadi musuh orangtua; di dunia, di akhirat atau bahkan dunia dan sekaligus akhirat . Dan diantara penyebab kehancuran itu adalah niat kita yang salah tatkala mendidik mereka, atau pendidikan yang keliru saat mereka kita besarkan, atau kedua-duanya; niat dan perlakuan sama buruknya.

Kadang ada orangtua yang kurang bisa mendidik anaknya, tetapi karena niatnya yang jernih dan pengharapannya yang kuat, Allah memberi pertolongan. Anak-anak itu menjadi perhiasan orangtuanya, di dunia dan akhirat. Anak-anak itu membawa kebaikan yang besar, penuh dengan barakah, pada hari ia dilahirkan, dimatikan dan dibangkitakan kembali.

Tetapi....

Anak-anak itu bisa menjadi musuh orangtuanya. Kehadirannya menjadi sebab lahirnya keburukan, kerusakan dan kehancuran. Mereka penyebab orang-orang berpaling dari agamanya. Mereka membuat orang-orang yang beriman mengalami keraguan, dan orang-orang yang masih lemah keyakinannya semakin jauh dari Tuhannya. Mereka menjadi sebab kerusakan bukan karena tidak berpengetahuan. Bahkan boleh jadi mereka sangat luas pengetahuannya. Tetapi tidak ada iman dan muraqabah di hati mereka, kecuali sangat tipis. Wallahu A'lam bishawab.

Teringat saya pada firman Allah Yang Maha Suci, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan/fitnah (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar." [At-Taghaabun: 14-15]

Ada perintah di sini. Perintah untuk berhati-hati terhadap mereka. Selebihnya, ada pelajaran yang patut kita renungkan dari peristiwa-peristiwa yang telah berlalu atau pun yang masih terpampang di hadapan kita.

Sesungguhnya tidak ada kebetulan di dunia. Ada hukum-hukum sejarah yang mengikatnya. Kitalah yang harus menemukan prinsip-prinsip itu.

Apa yang salah pada anak-anak itu?

Ada satu hal. Mereka mendapat pembelajaran 'ibadah, sehingga banyak surat-surat pendek yang dihafal saat usianya belum melewati lima tahun. Tetapi pembelajaran itu hanya untuk otaknya. Tidak untuk jiwa. Padahal pangkal perubahan adalah pada jiwa. Bukan otak yang cerdas. Orang yang tahu, tidak dengan sedirinya bertindak sesuai dengan pengetahuannya.

Seorang dokter spesialis penyakit dalam bisa meninggal karena terlalu banyak merokok. Sebabnya, bahaya rokok hanya tersimpan di otak. Tidak menggerakan jiwa. Karena begitu kecilnya pengaruh pengetahuan di otak bagi perubahan sikap dan perilaku, maka perusahaan (rokok: EHz) tidak pernah khawatir mencantumkan peringatan pemerintah tentang bahaya merokok disetiap kemasannya.

Sebaliknya, kalau hati sudah tersentuh dan jiwa sudah tergerakan, pengetahuan tentang resiko tak akan membuat kaki berhenti melangkah. Mereka yang pergi berjihad bukan tidak tahu kalau jiwa bisa melayang. Tetapi ketika keyakinan sudah kokoh, tak ada lagi yang perlu ditakutkan dengan kematian.

Ya, letaknya pada jiwa. Tetapi alangkah sering kita lupa pada jiwa. Letaknya pada iman. Tetapi alangkah sering kita mengabaikan. Letaknya pada 'aqidah yang menghidupkan hati. Tetapi alangkah sering kita hanya mengurusi otaknya. Padahal otak saja tidak cukup.

Diam-diam saya teringat dengan sebuah hadis riwayat Imam Ahmad. Ada contoh yang rasanya amat perlu kita renungkan hari ini, ketika anak-anak kita yang dulu sibuk menghafal matan Alfiyah, sekarang telah merusak agama atas nama ijtihad dan tajdid. Atau bahkan telah secara nyata menentang agama. Sekurang-kurangnya meragukan kesucian agama.

Ada contoh yang patut kita renungkan. Ketika Ibnu Abbas masih amat kecil, Rasulullah saw. mengajarkan beberapa kalimat yang membekas dalam jiwa. Kata Rasulullah, "Jagalah (hak) Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Peliharalah (hak) Allah, niscaya kamu akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Kenalilah Dia di saat kau bahagia, niscaya Dia akan mengenalimu di saat kau susah."

"Apabila kau meminta, mintalah kepada Allah. Sesungguhnya pena telah mongering, mencatat apa yang ada. Seandainya seluruh makhluk bermaksud menolongmu dengan sesuatu yang tidak ditetapkan leh Allah untukmu, niscaya mereka tidak akan sanggup melakukannya. Dan jika (manusia) bermaksud mencelakakanmu dengan sesuatu yang tidak ditetapkan Allah bahwa sesuatu itu akan mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan sanggup melakukannya." [HR. Ahmad]

Adnan Hasan Shalih Baharits menerangkan, nasihat Rasulullah saw. ini membangkitkan muraqabah pada diri anak semenjak dini. Anak memiliki kesadaran bahwa setiap langkahnya senantiasa mendapatkan pengawasan Allah. Ini merangsang anak untuk memiliki kendali perilaku yang berasal dari dalam dirinya (internal locus of control). Ia sekaligus membangkitkan komitmen dan tanggung-jawab, sehingga pikiran dan tindakan anak lebih terarah. Pada gilirannya, ini akan memperkuat dan mensucikan maksud dan tujuan sosialnya sehingga ia akan mudah berkorban.

Saya teringat dengan John W Santrock. Pakar psikologi perkembangan yang terkenal dengan bukunya berjudul Adolescence (2001) ini menunjukan bahwa kebingungan indentitas hanyalah mitos. Ada remaja-remaja yang tidak perlu sibuk mencari jati-diri. Mereka telah mengenali dirinya, tujuan hidupnya dan makna hidupnya karena sedari kecil telah memiliki keyakinan, komitmen hidup serta persepsi tentang tanggungjawab (perceived responsibility) yang kuat. Inilah yang membuat hidp mereka lebih terarah, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh sebayanya.

Sepanjang sejarah, agama ini telah melahirkan manusia-manusia besar yang di usia amat belia telah menghasilkan catatan sejarah yang mengesankan. Imam Syafi'i telah didengar kata-katanya sebagai fatwa yang otoritatif ketika usia baru 16 tahun. Imam Ahmad bin Hanbal telah sibuk mempelajari ilmu hadis tatkala umurnya baru menginjak 15 tahun. Dan Usamah bin Zaid - seorang sahabat Nabi saw. - telah mendapat kepercayaan sebagai panglima perang, juga ketika usianya baru berkisar 16 tahun.

Barangkali ada benarnya kesimpulan Jean Jaques Rousseau. Kata Rousseau. "L'homme qui medite est un animal deprave'." Manusia yang hanya berpikir saja adalah binatang yang bercacat.

Menurut Rousseau, semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya dan mengesampingkan panggilan hati nuraninya.

Artinya, hebatnya pengetahuan agama tanpa iman yang kokoh, justru bisa menjadi sebab rusaknya agama. Bal'am bin Baurah contohnya.

Semoga ada yang bisa kita renungkan. Semoga Allah menolong kita...

Sumber: Hidayatullah: 03/XVI/Jumadil Awal 1424H, dengan Judul "Lupa Pada Jiwa"

Jumat, 17 September 2010

Mengapa harus meneliti?

Menilik dari kegiatan itu sendiri yang bertemakan penelitian, maka penelitian dalam artian yang sebenarnya adalah suatu hal yang sangat penting, terutama dengan status kita sebagai dosen. Dengan kata lain, penelitian merupakan salah satu sendi atau ruh dalam suatu institusi bernama perguruan tinggi. Dapat kita bayangkan jika tubuh tanpa ruh, maka dengan sendirinya tubuh kita akan mati.

Penelitian, dari kata dasar teliti dan meneliti sebagai kata kerjanya, diartikan sebagai proses penelitian yang dilandasi oleh pemikiran ilmiah (didasari konsep ilmiah, teori, ataupun paradigma ilmiah) untuk menemukan kebenaran ilmiah (menemukan konsep maupun teori baru) (Prof. DR. Daniel Saputra). Atau mungkin lebih sederhananya, penelitian merupakan kerangka kerja yang digunakan untuk menemukan, mencari dan mengeksplorasi suatu fenomena secara ilmiah. Namun, yang pasti bahwa obejek penelitian apapun itu adalah menarik dan memang pantas untuk diteliti.

Setiap orang bisa saja meneliti. Namun tidak semua orang mampu meneliti dengan baik dan benar (valid and reliable). Bahkan, bagi seseorang yang telah memiliki pengalaman penelitian yang banyak masih sering mengalami kesalahan. Bisa dibayangkan bagi kita yang masih kurang atau bahkan tidak memiliki pengalaman penelitian sama sekali. Tentunya kesalahan-kesalahan dalam membuat kerangka berpikir ilmiah untuk ditorehkan dalam penelitian merupakan hal yang wajar.

Penelitian bukan sekedar menuliskan kalimat positif tentang apa yang menjadi masalah dan menarik untuk diteliti. Kemudian membuat kerangka teoritik yang banyak dan menjabarkannya dalam suatu metode tertentu. Namun lebih penting dari suatu penelitian adalah bagaimana kita mampu merangkai penelitian dalam suatu logika yang berkesinambungan, mulai dari perencanaan, pembahasan topik, penguasaan masalah hingga ketepatan dalam menentukan metode apa yang digunakan. Ini merupakan langkah awal untuk kemudian menjadikan penelitian kita nantinya mampu dipertanggungjawabkan dan bermanfaat.

Problematika besar yang dihadapi peneliti-peneliti muda kita saat ini adalah kesulitan dalam mengkerangkai logika penelitian dengan benar. Seringkali permasalahan yang diteliti, dikaji dengan teori dan metodologi yang tidak tepat. Belum lagi mengenai penguasaannya terhadap masalah yang hendak diteliti. Sehingga, yang timbul kemudian adalah kecenderungan untuk membuat rencana penelitian seadanya.

Kecenderungan ini ditambah lagi dengan dengan kurangnya ketertarikan pada bidang penelitian maka, praktis penelitian tidak menjadi prioritas. Padahal, bagi seorang akademisi, penelitian adalah fardhu áin (kewajiban yang harus dilakukan). Tanpa pernah melakukan penelitian, bukan hanya jenjang akademiknya yang tidak akan bergerak naik, namun dalam keadaan yang buruk, kompetensinya dalam dunia akademik bisa diragukan kompetensinya. Jika demikian, apakah seorang dosen layak dikatakan seorang dosen jika suatu fenomena yang menarik tidak membuatnya tertarik untuk mengkaji lebih lanjut.


Penelitian Sebagai Momentum Refleksi

Coba bayangkan anda sedang berdiri di depan cermin, maka anda akan melihat bayangan anda apa adanya. Penelitian sebetulnya merupakan sebuah momentum untuk mengetahui seberapa besarkah kompetensi kita dalam suatu displin ilmu tertentu dan seberapa besar penguasaaan kita pada ilmu tersebut. Dengan melakukan penelitian, maka kita akan tahu dimana letak kelebihan dan kekurangan kita.

Seorang peneliti yang sedang meneliti berarti dirinya sedang merefleksikan dan mengekspresikan keingintahuannya terhadap sesuatu. Timbul kepuasaan ketika seorang peneliti dapat menyelesaikan penelitiannya dengan baik. Terlebih penelitiannya tersebut dapat langsung bermanfaat bagi orang banyak. Selain itu, ketika sedang meneliti, berarti seorang peneliti sedang merefleksikan hasratnya dan segenap pengetahuan yang dimilikinya agar masalah yang ditelitinya dapat dterpecahkan.

Karena itu, seorang peneliti yang baik, cara berpikirnya selalu skeptis" artinya selalu menanyakan dan memikirkan bukti ilmiah yang ada, analitis" selalu berpikir runut dan sistematis serta terstruktur, dan kritis. Ketika ada fenomena dan menunjukkan terdapat permasalahan yang mesti dicari pemecahannya, maka seorang peneliti dituntut untuk mengembangkan logika berpikirnya secara holistik dan ilmiah.

Ketentuan lain yang mesti dimiliki oleh seorang peneliti adalah fokusnya terhadap pemecahan masalah. Artinya, seorang peneliti betul-betul menguasai apa yang menjadi permasalahan dan apa yang perlu untuk dilakukan guna mencari pemecahannya (kompeten). Selain itu, sifat yang perlu dimiliki oleh seorang peneliti adalah kejujurannya dalam mengungkapkan fakta-fakta yang ada dan dalam mengkaji masalah yang sedang ditelitinya.

Lebih jauh, seorang peneliti juga harus objektif dalam melaksanakan penelitian. Suatu kebenaran yang dicari dari sebuah penelitian akan didapat dari seberapa objektifkah kita dalam melakukan penelitian. Berpikir terbuka terhadap segala kemungkinan yang muncul dalam penelitian merupakan ketentuan lain yang mesti ada dalam diri peneliti. Dengan demikian, peneliti nantinya mampu menelaah dan memberikan penyelesaian jawaban terbaik.

Seorang peneliti juga adalah seorang pembelajar. Artinya, dirinya tidak hanya puas dengan pengetahuan yang dimiliki sehingga tidak ada keinginan untuk menambah dan meningkatkan pengetahuan. Dinamika penelitian selalu berkembang. Karena itu, seorang peneliti harus selalu belajar dan belajar agar pengetahuan dan komptensinya tetap terjaga.
 
SUMBER: UBB

Kamis, 09 September 2010

Beginilah Akal Bulus Malaysia "Merayu" Dosen-Dosen Terbaik Kita

Keharusan menginduk pada dosen Malaysia membuat peneliti Indonesia hanya menjadi orang nomor dua atau peneliti pendamping.
-- Leonardo Gunawan

Dengan berbagai cara yang dilakukannya, Malaysia terus mengincar para dosen dan peneliti Indonesia yang menguasai ilmu-ilmu dasar dan rekayasa untuk mau bekerja di Malaysia. Selain menawari dosen-dosen di program studi di perguruan tinggi Indonesia untuk mengajar dan meneliti di Malaysia, model tawaran lain yang kerap digunakan Malaysia untuk mendapatkan dosen-dosen Indonesia adalah dengan dengan menawarkan kerja sama riset.

Keharusan menginduk pada dosen Malaysia membuat peneliti Indonesia hanya menjadi orang nomor dua atau peneliti pendamping.
-- Leonardo Gunawan

Kepala Pusat Diseminasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Syahril mengatakan, Malaysia sangat aktif dalam menawarkan kerja sama riset dalam multidisiplin ilmu. Para peneliti Batan juga banyak yang menjadi pembimbing mahasiswa atau dosen Malaysia yang ingin memperdalam seputar nuklir.

”Malaysia memang menyiapkan basis kapasitas iptek dosen dan mahasiswanya cukup tinggi. Indonesia memang lebih dulu membangun infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia iptek, tetapi kini terbatas dananya,” katanya.

Karena itulah, dosen-dosen ilmu-ilmu dasar dan rekayasa banyak diminati, seperti Matematika, Fisika, Kimia, Teknik Nuklir, Aeronautika dan Astronautika, Teknik Mesin, dan Teknik Material. Dengan ilmu-ilmu itu, Syahril yakin Malaysia memiliki rencana yang jelas untuk mengembangkan industri strategis mereka.

Malaysia saat ini sudah berencana mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada tahun 2021. Mereka banyak belajar dari ahli-ahli nuklir Indonesia walaupun tidak pernah menyebutkan secara pasti bahwa tujuan mereka belajar ke Batan untuk mendirikan PLTN.

Menurut Leonardo yang menolak tawaran bekerja ke Malaysia, gaji dan fasilitas yang diberikan Malaysia memang lebih baik dibandingkan dengan di Indonesia. Namun, dalam apresiasi keilmuan, para peneliti dan dosen Indonesia harus menginduk pada dosen Malaysia. Kondisi tersebut membuat peneliti Indonesia hanya bisa menjadi ”orang nomor dua” atau peneliti pendamping.

”Kalau di Indonesia, peneliti bisa bebas walau harus berebut dana penelitian yang peluangnya terbatas. Menjadi dosen dan peneliti di Indonesia dituntut memiliki kemampuan survival tinggi,” katanya.Kini, peluang untuk bekerja dan meneliti di Indonesia juga sudah terbuka. Lulusan Aeronautika tidak semata-mata bekerja di PT Dirgantara Indonesia, tetapi banyak juga yang bekerja di sejumlah maskapai penerbangan.

Walaupun dengan gaji dan fasilitas memadai, Hakim yang pernah bekerja meneliti di Jepang menilai bahwa apa yang diberikan Malaysia tidak terlalu istimewa. Negara-negara lain, seperti Jepang, juga memberikan gaji dan fasilitas yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan Malaysia.

Sumber : Kompas.com


Prof Firmanzah PhD, Dekan FE UI, Guru Besar UI termuda

Prof Firmanzah,SE,MM, PhD, agaknya beliau sangat layak dijadikan contoh bagi kita semua. Di usianya yang masih belia (beliau lahir 7 Juli 1976), beliau kini menjadi Dekan FE UI dan kini menjadi Guru Besar UI termuda sepanjang sejarah berdirinya UI hingga kini.

Meski terbilang muda, pria ini sudah mendulang banyak pujian dari kalangan intelektual atas prestasinya. Ia adalah Prof Firmanzah PhD, dekan termuda yang baru saja dikukuhkan sebagai guru besar termuda UI.

Pada pengukuhannya sebagai guru besar tetap dalam bidang ilmu manajemen strategis, Rabu (18/8) kemarin, di Balai Sidang Universitas Indonesia, Kampus UI-Depok, Firmanzah menyampaikan pidato berjudul ‘Coordination-Capability dan Daya Saing Nasional: Peran Boundary-Spanner dalam Perspektif Struktural-Interaksionisme.’

Dalam pidatonya, Ia menekankan pentingnya penataan hubungan kelembagaan, baik di lembaga tingkat nasional, daerah, maupun industri. Menurut Firmanzah, pekerjaan ini merupakan tugas kolektif dari setiap elemen bangsa Indonesia. Karena pengalaman sejumlah negara seperti Finlandia, Singapura, China, Jepang, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa pembangunan daya saing nasional selalu dimulai dari perbaikan dan intesifikasi koordinasi kelembagaan.

“Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang berperan sebagai boundary-spanner untuk berinteraksi dengan yang lain dalam membangun keterkaitan, komunikasi, dan kerja sama kelembagaan. Hanya dengan ini, daya saing Indonesia dapat ditingkatkan melalui penggabungan semua sumber daya dan keunggulan nasional,” kata pria kelahiran 7 Juli 1976 tersebut.

Firmanzah adalah Dekan FEUI sejak 2009 dan merupakan dekan termuda dalam sejarah UI. Saat lulus SMA, Ia memilih Fakultas Ekonomi UI dan lulus dalam waktu 3,5 tahun. Ia pun sempat menjajal dunia asuransi sebagai analis pasar, sebelum memutuskan kembali ke bangku kuliah, setahun kemudian. Pria yang akrab dipanggil Fiz tersebut mengambil program S-2 di bidang yang sama dan menyelesaikannya dalam tempo dua tahun.

Melanjutkan studi di Universitas Lille di Prancis, merupakan momen titik balik Fiz mengenal dunia yang lebih luas. Ia mendalami bidang strategi organisasi dan manajemen atas beasiswa dari universtas tersebut. “Ketika mendapatkan beasiswa ke Prancis, itu merupakan perjalanan pertama saya ke luar negeri dan kali pertama pula naik pesawat,” kenangnya.

Fiz juga sekaligus menjalani studinya pada tingkat doktoral dalam bidang manajemen internasional dan strategis di Universitas Pau and Pays De l’Adour, dan selesai pada 2005. Karena lulus tercepat di angkatannya, Fiz lantas mendapatkan beasiswa program doktoral dalam bidang manajemen strategis internasional dari University of Pau et Pays de l” Adour dan meraih PhD pada 2005.

Ia pun sempat mengajar setahun di almamaternya, sebelum dipanggil pulang oleh dekan FE UI saat itu, Prof Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro untuk mengajar di UI. “Padahal, tiga hari sebelumnya, saya baru saja mendapat tawaran menjadi dosen tetap dengan gaji tinggi dan fasilitas lengkap,” ujarnya.

Fiz menilai, menetap di Prancis akan menjadikannya dosen terbang di berbagai negara di dunia, antara lain Maroko dan Inggris. Fasilitas perpustakaan yang lengkap merupakan surga baginya.

Mendapati bahwa kehidupan di Prancis akan terlalu mudah baginya, Ia pun memilih kembali ke Indonesia. “Ada banyak hal yang bisa dilakukan di sini dan itu akan lebih berarti, karena hidup ternyata tidak hanya mencari kenyamanan,” ujar suami Ratna Indraswari ini sambil tersenyum.

Tiga tahun berikutnya, yakni ketika berusia 32 tahun, Fiz terpilih sebagai Dekan ke-14 FE UI periode 2009-2013 yang tercatat sebagai dekan termuda dalam sejarah UI. Pria pelahap buku-buku filsafat yang mengidolakan filsuf dari Jerman, Schopenhauer itu, mengalahkan sejumlah kandidat kuat, seperti Prof Sidharta Utama PhD CFA dan Arindra A Zainal Ph.D.

Bahkan sebelum masuk tiga besar kandidat, ia harus bersaing dengan calon yang jam terbangnya sudah tinggi, seperti Dr Nining Soesilo (kakak kandung mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati), Dr Chaerul Djakman dan Dr Syaiful Choeryanto.

Firmanzah menghabiskan masa kecil hingga SMA di Surabaya. Ibunya, Kusweni, adalah seorang buta huruf yang bercerai ketika usianya dua tahun. Namun, Fiz kecil yang saat itu bercita-cita menjadi astronot, tidak lantas minder.

Anak ke-8 dari 9 bersaudara ini justru mempelajari semangat juang tinggi dari sang ibu. Selain intisari hidup terkait dengan kesetiaan, persahabatan dan kasih sayang.

Hal inilah yang membuat pengagum teori Tsun Zu ini memiliki falsafah hidup, bahwa rasa kemanusiaan adalah naluri yang paling kuat untuk memenangkan pertarungan dalam hidup. Baginya, pertarungan itu bisa terjadi di mana saja, dan yang membedakan antara yang menang dan yang kalah adalah strategi.

Dalam mendidik anak-anaknya, ibunya pun tak menerapkan manajemen belajar yang ketat dan disiplin. Ia diajarkan untuk lebih management by output, bukan management by process.

“Ibu bilang, mau belajar kayak apa, terserah. Yang penting, nilainya bagus,” ujarnya. Itulah yang membuatnya bisa membaca buku di sela-sela main gundu. Sedari belia pun, Fiz mengaku sudah mengetahui visinya, yakni menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. [mdr]

Sumber: Inilah.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *