Jumat, 28 Desember 2012

Pendidikan Integratif dan Pendidikan Inklusif



 Pendahuluan
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. 

 Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.
 
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa anak benar-benar memperoleh pendidikan. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan pendidikaninklusif.
1.  Pengertian Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980)
Global View of Disability: Mithu Alur and Michael Bach (Inclusive Education  for children With Disability 2005:11)
·         550 million disabled people (6,5 billion of human population
·         80 % live in develoving countries
·         33% are children
·         80% Live in rural area
·         Labeled the “poorest of the poor
·         55% of the disabled children live in poverty
·         In some countries, 90 % disabled children won’t survive beyond age 20
·         WHO estimates 98% of disabled people in developing countries are totally neglected (no free medical care or social security)
Menurut CAPP Mithu Alur and Michael Bach (Inclusive Education  for children With Disability 2005:59)

  •  Inclusive education means every child learning together in his/her neibourhood school All children are welcomed in the school and all children learn together in the regular classroom.
  • Afford “open access”to students with disabilities
  • Uses Identifiable school, classroom and instructional practice that promote inclusion and make real involment and acceptance probable.
  • Ensure that student with disabilities take part in all aspect of the social life of the school
  • Inclusive education is for every child

Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.

Pendidikan Segregasi, Pendidikan integratif dan Pendidikan Inklusif
a. Pendidikan segregasi Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
b.  Pendidikan terpadu/integratif
Pendidikan terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.
Sistem pendidikan integratif
Penyelenggaraan program pendidikan terpadu bermula dengan keluarnya surat keputusan Mendikbud No.002/U/1986 tanggal 4 Januari 1986 tentang program pendidikan terpadu bagi anak cacat. Keputusan itu disusul dengan surat edaran Dirjen Dikdasmen No.6718/C/I/89 tanggal 15 Juli 1989 tentang perluasan kesempatan belajar bagi anak berkelainan di sekolah umum. Kemudian SK Mendikbud No.0491/U/1992 mempertegas tentang pendidikan bagi anak berkelainan yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal di jalur pendidikan sekolah. Melalui program pendidikan terpadu ini para peserta didik dimungkinkan untuk saling menyesuaikan diri, saling belajar tentang sikap, perilaku dan ketrampilan, saling berimitasi dan mengidentifikasi, menghilangkan sifat menyendiri, menimbulkan sikap saling percaya, meningkatkan motivasi untuk belajar dan meningkatkan harkat serta harga diri. Selain surat keputusan yang telah diuraikan di atas, juga ada surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas rata-rata.  Pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia terselenggara dengan sistem:
1). Belajar di kelas biasa dengan guru kelas. Sekarang ini banyak siswa tuna netra yang mendapatkan program pelayanan pendidikan terpadu secara penuh, dimana siswa  belajar di kelas biasa dan ditangani sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi.
2). Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.
Siswa tuna netra belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidang ketunanetraan.
3).  Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung Guru kunjung biasanya menangani siswa tuna netra yang belajar pada beberapa sekolah. Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada guru kelas atau guru bidang studi.
4). Belajar di sekolah umum dengan kelas khususSiswa tuna netra belajar di sekolah umum tetapi belajar di kelas yang khusus (terpisah dengan siswa normal lainnya).
5). Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan.
Siswa tuna netra bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar dalam satu gedung sekolah yang sama.

          Hambatan pelaksanaan pendidikan integratif
Di beberapa daerah di Indonesia, banyak sekolah umum yang tidak mau menerima siswa berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah tersebut dengan alasan tidak adanya surat keputusan dari pemerintah yang menyatakan bahwa sekolah tersebut harus menerima siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Sesuai surat keputusan Kepala Kanwil Depdiknas Propinsi DKI Jakarta No.31/101.B2/LL/1999 tanggal 23 April 1999 ditunjuklah beberapa sekolah umum di DKI Jakarta menjadi sekolah terpadu. Pada kenyataannya, banyak Kepala Sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah terpadu merasa keberatan dengan penunjukan tersebut. Alasannya sekolah mereka tidak akan mendapatkan nilai plus dengan kehadiran siswa yang berkebutuhan khusus di sekolah mereka. Kepala sekolah juga merasa bahwa dengan penunjukan tersebut akan menurunkan nilai kinerja sekolah, sementara nilai kinerja sekolah tersebut yang diperoleh melalui nilai akademis siswa merupakan dasar bagi penilaian akreditasi sekolah yang akan dilaksanakan mulai tahun ajaran 2002/2003 di seluruh sekolah negeri di Jakarta.
Penunjukan sekolah umum menjadi sekolah terpadu juga tidak disertai dengan sosialisasi anak berkebutuhan khusus kepada kepala sekolah beserta staff dan gurunya. Selain itu prasarana dan sarana penunjang pelayanan pendidikan terpadu juga tidak disediakan oleh pemerintah.Penunjukan sekolah terpadu di Jakarta hanya ditujukan untuk SLTP dan SMU. Sedangkan untuk jenjang sekolah dasar belum ada penunjukan untuk sekolah terpadu. Masih banyak anggapan di benak guru-guru di sekolah umum yang menyatakan bahwa mengajar anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah sesuatu yang remeh. Sehingga mereka akan merasa menjadi rendah apabila sekolah dimana tempat mereka mengajar dijadikan sekolah terpadu.Surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas rata-rata menjadi kendala pula bagi pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia. Sebab dengan surat keputusan tersebut pihak sekolah umum dapat menolak siswa berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata, dengan demikian pelaksanaan pendidikan terpadu menjadi sangat terbatas hanya bagi siswa yang sangat pandai saja.
                      
c. Pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
3. Implikasi manajerial pendidikan inklusif Sekolah reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:
a. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
b.  Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan   kurikulum  dan pembelajaran yang bersifat individual.
c.   Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
d.  Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya  lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
e.  Guru memahami multiple intelligence
f.  Guru memahami perbedaan kebutuhan dalam mengembangkan kurikulum
g.  Mampu merubah aturan main antara guru dengan siswa
h.  Guru memiliki strategi dan model serta metode mengajar yang bervariasi.
i. Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan.


Pro dan kontra pendidikan inklusif
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah satu upaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.Pro Pendidikan Inklusifa. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.b. Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.
1. Pro Pendidikan Inklusif.
a. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
b. Biaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.
c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.
2. Kontra Pendidikan Inklusif.
a. Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
b.Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
c. Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah reguler.
d. Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas
e. Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.5. Pendidikan Inklusif yang Moderat.
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.
a.       Model moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.
b. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti : bentuk kelas reguler penuh, bentuk kelas reguler dengan cluster, bentuk kelas reguler dengan ’pull out’, bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’, bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian. bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari kebijakan nasional.
(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya.
(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas.
(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka.
(5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi.
(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta
(7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.
(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus mencakup semua anak usia sekolah.
(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat,propinsi, dan lokal) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif.
      Berikut ini ada beberapa analisa untuk mengatasi masalah tersebut di atas agar pendidikan inklusif bisa terlaksana, pada level community, maupun pada level individual dan family.

Kriteria Calon Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
1. Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inlusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua)
2. Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah
3. Tersedia guru khusus/PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain)
4. Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar
5. Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan
6. Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak
7. Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusi
8. Sekolah tersebut telah terakreditasi

Rekomendasi  
      Rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan:
(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari kebijakannasional.
(2)  Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya.
(3)    Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas.
(4)  Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka.
(5)  Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi.
(6)   Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta.
(7)  Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.
(8)  Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus mencakup semua anak usia sekolah
(9)   Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat, provinsi, dan lokal) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif.

Kesimpulan
1). Landasan yuridis, empirik, dan falsafah pendidikan integratif dan pendidikan inklusif sudah jelas tetapi banyak faktor yang harus diperhatikan demi terlaksananya pendidikan ini secara berkesinambungan
 2). Pro dan Kontra di masyarakat tentang pelaksanaan pendidikan integratif dan inklusif perlu di cari solusi nyata sehingga tujuan pendidikan nasional dapat dicapai.
3)  Belum ada sinergi yang baik antara pemerintah, seluruh lembaga pendidikan serta masyarakat dalam upaya mewujudkan pendidikan integratif dan pendidikan inklusif tersebut
 
DAFTAR  PUSTAKA
Ashman,A.& Elkins,J.(194). Educating Children With Special Needs. New York:Prentice Hall.
Basuki Wibawa, Ivan Hanafi, Rusilanti(editor)  Bunga Rampai Kajian Pendidikan Nasional,
Cetakan I, Juli,2008 penerbit UNJ.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, (2006) Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Depdiknas Jakarta (Draf Naskah tidak diterbitkan)
Johnsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten (2003) Pendidikan Kebutuhan Khusus; Sebuah Pengantar, Bandung : Unipub
Kauffman and Mara Sapon-Shevin.Educational Leadership.52 (4) 7-11 Stainback,W.& Sianback,S.(1990). Support Networks for Inclusive Schooling:Independent Integrated Education.Baltimore: Paul H.Brooks.
Mithu Alur and Michael Bach,2005. Inclusive Education for children with disability CAPP. Education World Books, WQ Judge Press, Mumbai India: 2005
PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasioanal Pendidikan
Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UNESCO (1994). The Salamanca Statement and Framework For Action on Special Needs Education. PARIS:Author.Warnock,H.M.(1978). Special Educational Needs:Report of The committee of Enquiry in the Education of Handicapped Young People. London: Her Majesty’s, Stationary Office

ADA APA DENGAN PENDIDIKAN KITA?



Meninjau sejumlah masalah yang ada ditubuh kependidikan kita, ada hal yang penting yang ingin penulis kemukakan, sekedar sumbang pemikiran. Sudah tepatkan arah pendidikan kita ini? Jawaban akan terdengar klise, jelas belum memuaskan, untuk menghindari jawaban tepat dan tidak tepat. 

Ukurannya sederhana saja, tidak perlu melihat Human Development Indeks (HDI), PERC, dan lain-lain, tapi betapa miskinnya kepercayaan diri bangsa ini dalam menghadapi kehidupan. Pola fikir instant, kapitalis, kriminalitas, menjadi bukti kegagalan pendidikan. Ketika kecil sebagian dari kita sering diingatkan oleh orang tua tercinta, “Nak sekolah yang bener, biar kehidupanmu lebih baik dari Ayah dan Ibu, kau harus masuk SMP favorit, SMA favorit, lalu masuk ITB, lalu bekerja dikantoran. Baru Ayah dan Ibu tenang, bisa istirahat”.
Ungkapan diatas tentu tidak salah meskipun kurang saleh juga. Namun hal tersebut tercetus karena yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia, dalam dunia nyata, seperti itu. Sistem pendidikan kita memang terpola demikian, manusia potensial Indonesia hanya menjadi objek dari suatu aplikasi sistem dengan satu tujuan akhir yaitu bekerja. Model proses pendidikan hampir sama dengan proses produksi barang yang terkait faktor input, proses, dan output. Walaupun sekarang coba diperbaiki dengan apa yang disebut kependidikan Berbasis Kompetensi, namun itu tidak disikapi dengan penyiapan SDM dan masih terkesan alih tanggung jawab terutama dalam masalah pembiayaan pendidikan.

Anak-anak usia pendidikan saat ini terbebani bahwa dengan sekolahlah nantinya dia bisa bekerja. Orang tua-pun saat ini masih memegang erat-erat prinsip ini. Kalau perlu, dibela sampai lembar kertas rupiah terakhir agar anaknya bisa terus sekolah hingga perguruan tinggi. Bila orang tua berkecukupan secara ekonomi, tentu tidak masalah. Namun jika menyangkut kaum tidak mampu, cilaka dua belas, sudahlah dia membela mati-matian, kalau perlu berhutang, ternyata setelah penantian 16 tahun (SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, PT 4 tahun), anaknya menganggur juga, bahkan tidak mampu minimal seperti orang tuanya dalam hal ekonomi.

Hal tersebut diatas baru menyangkut ekonomi. Bagaimana dengan aspek moral dan kebudayaan bangsa yang katanya akar dari pendidikan nasional? Jauh lebih parah dari aspek ekonomi. Mereka tidak terdidik dan terbiasa dengan sikap sabar, tawakal, solidaritas positif, tapi terdidik dengan bagaimana dapat uang banyak segera tanpa kerja keras.
Membangun pendidikan di tanah air, utamanya untuk mengembangkan mutu Sumber Daya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Berbagai upaya telah dilakukan, kebijakan dan program-program pendidikan telah ditetapkan, berbagai penyelenggaraan pendidikan telah dilaksanakan, dan langkah-langkah strategi pendidikan juga telah ditempuh, bahkan perangkat hukum bidang pendidikan-pun sudah banyak diterbitkan. Akan tetapi bagaimana hasilnya? Rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan akibat dari rendahnya kualitas sistem pendidikan.

Persoalan-persoalan pendidikan ditanah air, seperti tingginya angka putus sekolah, jumlah penduduk buta huruf yang masih tinggi, tantangan mutu pendidikan dalam menghadapi globalisasi, rendahnya peringkat HDI Indonesia, dan kesenjangan mutu pendidikan antar daerah, bahkan penanganan pendidikan terhadap korban bencana dan akibat konflik sosial di berbagai daerah yang belum tuntas, merupakan sebagian indikator-indikator yang kita ketahui dan masih banyak lagi persoalan lain dalam dunia pendidikan kita. Semuanya, tentu saja, merupakan pekerjaan raksasa yang memerlukan penanganan serius apabila kita ingin menjadi sebuah bangsa yang sejajar dengan negara-negara maju lainnya. edikitnya terdapat 4 faktor utama yang masih mengganjal yang harus kita cermati mengenai dunia pendidika kita; faktor konsep dan sistem, SDM pendidikan, aplikasi/implementasi, dan peran orang tua/wali.

A.   Konsep dan Sistem

Konsep pendidikan nasional yang menyangkut visi, misi, tujuan pendidikan, sangat baik. Yang terlupakan dalam knsep pendidikan kita adalah penekanan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan karakter positif dan integritas dari seseorang. Meminjam istilah seorang kawan, pendidikan bukanlah sekedar memberikan untuk tidak mengatakan menjejali- peserta didik dengan pengetahuan. Namun bagaimana peserta didik bersikap berpengetahuan. Pendidikan bukan sekedar mengajar peserta didik tentang berbagai hal matematika, sains, budi pekerti, namun bagaimana peserta didik bersifat mathematician, saintifician, dan moralis. Sistem pendidikan kita masih menyeragamkan potensi peserta didik. Meskipun telah diupayakan ada pendidikan umum dan ada pendidikan kejuruan, terlihat belum all out. Hanya sekedar formalitas. Kalaulah kita tengok, peserta didik pendidikan kejuruan, rata-rata dari kalangan menengah kebawah, selain ingin segera bekerja, juga tidak ada biaya ke PT. Orang tua kalangan atas emoh menyekolahkan anak ke sini, walaupun potensi aanak ada pada psikomotor. Tiada lain karena belum diposisikan sungguh-sungguh proses pendidikan berbasis potensi. Upaya deteksi dini potensi-pun tidak menjadi concern. Padahal inilah salah satu yang menyebabkan manusia Indonesia baru memanfaatkan 20% saja dari kapasitas otaknya.

Hal lain yang cukup krusial adalah sistem penilaian pendidikan. Sistem yang dikembangkan lebih kepada penguasaan hafalan pengetahuan. Penilaian tidak lagi menjadi alat Bantu evaluasi, tapi menjadi goal dan ini berbahaya karena banyak membuat peerta didik demotivasi, seolah-olah nilai yang buruk menjadi bencana bagi masa depan. Perlu dikembangkan sistem penilaian komprehensif, yang menilai perkembangan proses pendidikan seseorang secara menyeluruh.

Sistem pendidikan-pun masih mengabaikan unsur interaksi sosial dan spiritual. Isi konsep dan sistem pendidikan bagaikan jasad tanpa roh, bagaikan akan memproduksi barang. Tidak ada sentuhan rasa antara peserta didik dengan SDM pendidik. Hampir tidak ada siswa yang dengan konsisten mendo'akan kebaikan gurunya, atau guru mendo'akan murid-muridnya agar menjadi manusia berguna.

B.   SDM Kependidikan

Operator lapangan yang berinteraksi langsung dalam proses pendidikan haruslah memahami dunia pendidikan. SDM ini meliputi guru sebagai ujung tombak dan manajemen pendidikan. Sayangnya dua hal ini-pun masih carut marut.
Menurut pakar pendidikan, selayaknya setiap calon guru yang menilai fit and proper test, mencakup tiga aspek; kepribadian, kemampuan manajemen kelas, dan penguasaan materi. Bagaimanapun mereka memiliki peran cukup penting dalam pembentukan generasi unggul. Setidaknya 60-70% keberhasilan proses pendidikan terletak di pundak guru. Guru harus menjadi SDM strategis bangsa ini. Anak-anak bangsa akan berkompetisi secara ketat bagi profesi ini. Diperlukan satuan tugas khusus yang menangani profesi guru dengan segala pengembangannya. Guru dituntut mampu mengaplikasikan konsep, filosofis, dan sistem pendidikan dalam tataran pendidikan. Sekolah harus dikelola direktur dan manajer yang handal, melebihi direktur dan mamajer perusahaan, lha wong yang akan dirubah manusia, sedangkan di perusahaan dengan denda mati dan ukurannya ekonomi.

C.   Aplikasi/Implementasi

Implementasi konsep dan sistem merupakan salah satu kelemahan bangsa secara keseluruhan. Dunia pendidikan-pun tak terkecuali. Filosofis pendidikan yang kita tengok dalam dokumen Depdiknas, luar biasa indahnya, namun kalau kita tengok sekolah-sekolah, jangankan diluar Bandung, di Bandung sendiri sulit kita melihat sekolah dengan filosofis dan konsep pendidikan yang kuat. Tentunya jangan dilihat sekolah-sekolah swasta terpadu, karena bagaimanapun mereka telah memiliki konsep sendiri.

Sosialisasi dari konsep filosofis pendidikan masih dilaksanakan secara birokratis dan tanpa semangat kependidikan. Kependidikan Berbasis Kompetensi diyakini pembuat kebijakan mampu memperkuat aplikasi pendidikan di sekolah-sekolah. Namun kita harus mencermati SDM-SDM kependidikan kita, mampukan mengangkat kualitas sekolah tanpa skill up kemampuan?

D.   Peran orang tua

Orang tua tidak bisa lepas tanggung jawab dengan menyerahkan anaknya kepada pihak sekolah, lalu sekolah dituntut menentukan masa depan anaknya. Orang tua-pun perlu memahami konsep, filosofis, dan sistem pendidikan, agar sebagai orang yang terlibat intensif dengan peserta didik, mampu menunjang keberhasilan proses. Hal ini dapat diwujudkan bila terdapat sinergis dengan pihak sekolah. Bisa jadi, kejadian yang sering terjadi, pihak orang tua menyalahkan sekolah, akan menjadi sebaliknya. Kedua belah pihak berada sejajar dan menjadi mitra demi pencapaian hasil yang optimal.

Setelah seluruh pembenahan dilakukan, ada hal penting yang cukup signifikan yang harus dilakukan; BERDOA dengan khusyu dan konsisten. Bangsa kita memang terbiasa dengan berdoa, namun karena kesalahan proses pendidikanlah hal tersebut menjadi basa-basi ibadah dan hanya terbatas pada seremonial saja.

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *