Jumat, 28 Februari 2014

SUATU OPINI MENGENAI REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Oleh :
Muhammad Yacub*)
Abstrak: Ada berbagai masalah dalam dunia pendidikan kita yang belum teratasi. Beberapa masalah tersebut antara lain kinerja yang tidak pas dengan tujuan umum pendidikan nasional, produk pendidikan yang belum siap pakai atau tidak sesuai dengan ketersediaan lapangan kerja, rangking pendidikan kita di mata dunia yang setara dengan negara-negara miskin atau baru merdeka, dll. Dalam situasi seperti itu telah bergulir pula gelombang reformasi yang menghendaki adanya perubahan. Dalam rangka memasuki tahapan reformasi dan realisasi undang-undang otonomi daerah maka dalam patron pendidikan kita mesti dapat menumbuhsuburkan secara serempak potensi-potensi IQ, EQ, CQ, dan SQ. Dalam patron itu juga mesti terbuhul adanya kemandirian/ kewirausahaan yang didukung oleh kemampuan bersinergi dengan lingkungan fisik dan non-fisik yang ada. Dengan kata lain, dalam menyongsong berbagai kecenderungan yang aktual tidak ada alternatif lain selain perlu penataan kembali terhadap dunia pendidikan mulai dari filsafat/tujuan pendidikan sampai ke pemerintahan dan manajemen pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan substansi pengajaran secara nasional, regional dan lokal.
Kata kunci: permasalahan pendidikan, reformasi pendidikan, desentralisasi, potensi manusia, metode pembelajaran.
_____________
*) Prof. Dr.H.Muhammad Yacub, M.Ed adalah staf pengajar Universitas Negeri Medan (UNIMED), program Pasca Sarjana USU dan IAIN-SU di Medan.

1. Pendahuluan
Atas bantuan Pemda Sumatera Utara pada Minggu pertama November 1999, penulis (atas nama pengurus ISPI-SU) mengikuti seminar pendidikan nasional yang membahas bagaimana upaya merumuskan paradigma baru dalam sistem pendidikan nasional di tanah air tercinta ini dalam kaitannya dengan UU No. 22 tahun 1999 di Yogyakarta. Seminar itu sebagai upaya serius agar kecenderungan-kecenderungan yang negatif dan mencemaskan pada akhir-akhir ini terutama perilaku sebagian dari anak-anak bangsa ini tidak terus-menerus kebablasan. Telah banyak dibahas tentang segala sesuatu yang perlu diwujudkan dalam masyarakat, agar generasi muda kita kelak menjadi insan yang berbudi luhur, demokratis, kreatif dan cakap melalui wahana pendidikan yang dikembangkan. Dalam dunia pendidikan yang bersifat otoriter akan sulit sekali atau tidak akan terdapat adanya sifat kemandirian (otonom), demokratis, pro-aktif/kreatif. Apakah paradigma pendidikan kita yang lalu dan sekarang ini tidak relevan lagi sehingga terwujud insan-insan yang dalam perilakunya tidak seperti yang kita harapkan? Masalah di atas telah dibahas dalam seminar pendidikan nasional di Yogyakarta.
Dari sejumlah tokoh pendidikan yang hadir dalam seminar pendidikan nasional 1999 yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan Primagama, PGRI dan ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) wilayah Yogyakarta pada tanggal 8-10 November 1999 telah dibahas bagaimana kita harus melakukan rekonstruksi dalam sistem pendidikan nasional di negeri ini, terutama dalam kaitannya dengan otonomi/ desentralisasi pendidikan yang mesti terwujud dalam abad ke-21 yang segera kita masuki. Dengan kata lain, telah terjadi reformasi pemerintahan dari sistem yang lebih banyak menggunakan pendekatan kekuasaan ke dalam pemerintahan yang lebih demokratis, lepas dari keterbelengguan dan telah diperkenankan tumbuhnya kebersamaan (egalitarian) dalam masyarakat. Dengan demikian adanya reformasi dalam sistem pendidikan nasional tidak boleh tidak mesti dilakukan.
2. Teori-teori Tampilnya Tokoh-tokoh Terkenal
Ada sejumlah teori tentang munculnya orang-orang cemerlang dan sukses di dunia ini. Mereka yang tergolong sukses karena berbagai faktor pembinaan sebelum mereka dewasa, antara lain melalui proses pendidikan yang pernah digelutinya dan pengalaman yang bermakna/kondusif dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tantangan. Ada juga orang-orang tertentu yang menjadi hebat karena suatu keahlian/ketrampilan yang dimilikinya dan semua itu terhimpun dalam kepribadiannya yang agung tanpa melalui proses pendidikan tapi melalui bimbingan gaib dari Allah SWT. Mereka yang seperti itu adalah para nabi dan rasul yang diutus Allah. Ada juga orang-orang yang menjadi ahli hanya dengan melalui proses pemagangan/pengalaman yang panjang, mereka ditempa dalam dunia kerja yang menjalankan teori dan praktik langsung dengan berbagai karir yang ada dalam masyarakatnya. Namun demikian, fakta membuktikan bahwa mereka yang menjadi sukses dalam kehidupannya adalah orang-orang yang menempa dirinya melalui pendidikan dan pengalaman yang panjang. Dengan kata lain proses pendidikan yang baik dan benar dan dilengkapi pengalaman yang kondusif adalah sangat penting dan strategis dalam mencapai sukses dalam kehidupan siapa saja di dunia dan akhirat.
Di antara sekian banyak para pemimpin yang sukses, mungkin saja dapat ditinjau dari teori-teori leadership/manajemen yang diterapkan dalam kiprahnya. Ada tiga teori yang kesohor dalam kemunculan para pemimpin di dunia ini, yaitu teori genetik (keturunan), sosial dan lingkungan. Orang-orang seperti Pangeran Charles, Hamengku Buwono X, Gus Dur, Megawati tampil sebagai tokoh terkenal karena leluhurnya memang dari kalangan aristokrat dan tokoh yang terkenal. Tampilnya Pangeran Charles dan Hamengku Buwono X secara genetik, karena leluhurnya dari kalangan kaum aristrokat ditambah lagi dengan adanya proses pendidikan/pengalaman yang dialaminya (teori genetik). Gorbachev, George Bush, Yasser Arafat mencuat kepermukaan dan tampil mengagumkan bukan karena leluhur mereka, tetapi karena keadaan sosial dan lingkungan telah menempa diri dengan baik, ada peluang yang membuat diri orang itu muncul kepermukaan (teori sosial). Dalam masa yang sedang labil dan keadaan tidak menentu tidak jarang terjadi muncul pemimpin yang dominan pada mereka bukan dari kalangan aristokrat tapi dari rakyat biasa seperti Napoleon, Hitler, Suharto yang pada gilirannya mereka mencapai puncak kekuasaan yang tidak pernah diduganya (teori lingkungan) Ada juga orang-orang yang sukses sebagai ilmuan, pioner dalam bidang iptek dan sosial, ekonomi, dan politik seperti Iqbal, Tagore, dan Habibie. Mereka berasal dari kalangan elit dalam masyarakatnya, kemudian menempa diri secara optimal melalui pendidikan dan pengalaman yang panjang ( teori genetik dan lingkungan ). Kebanyakan dari mereka menjadi berhasil atau tampil menjadi pemimpin atau tokoh dalam bidangnya masing-masing setelah melalui proses pembinaan/pendidikan/latihan yang panjang dan berliku-liku .
Dari deretan nama-nama di atas dapat kita lihat dalam biografinya bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang menempa diri secara serius pada masa mudanya. Telah banyak turunan raja yang gagal menjadi tokoh penerus tahta orang tua/leluhurnya, karena tidak menempa diri atau lalai, sehingga mereka tumbang dari singgasananya. Sudah pasti bahwa orang-orang terkenal seperti di atas, bukanlah terdiri orang-orang yang selalu santai, malas dan semacamnya ketika mereka masa muda dulu, tetapi mereka yang pernah menempa diri dengan belajar yang baik, disiplin, ulet, tahan uji, etos kerjanya tinggi, lalu berjuang dengan gigih dalam mencapai cita-cita yang agung dan mulia di dunia nyata baik secara lokal, regional, nasional dan internasional.
3. Pentingnya pendidikan dan pengalaman
Semua kita atau siapa saja memahami bahwa orang tua dan generasi penerusnya selalu merindukan bagaimana mendapatkan hidup bahagia dan cemerlang untuk dirinya dan sesamanya. Tak heran jika lembaga-lembaga pendidikan kebanjiran para penuntut ilmu (siswa dan mahasiswa). Telah tumbuh dan berkembang perguruan-perguruan, mulai taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi negeri/swasta (PTN/PTS) di seluruh tanah air. Setiap tahun terdapat jutaan orang muda membanjiri PTN/PTS. Telah menjadi berita rutin tentang wisuda lulusan perguruan, mulai dari TK sampai lulusan PTN/PTS. Belakangan ini di antara lulusan PTN dan PTS itu ada yang mencapai tingkat Magister (S2), Doktor (S3) dan studi lanjut setelah Doktor (post doctorat). Kalau ada S4, S5 dan S,S, selanjutnya mungkin akan dikejar terus oleh para pecinta ilmu.
Pada akhir-akhir ini telah terjadi gejala baru di tengah-tengah masyarakat ilmuwan, yaitu sangat besar jumlah pencari kerja atau penganggur baik dari kalangan yang tidak/kurang terdidik sampai lulusan perguruan tinggi. Kebanyakan dari para penganggur terdidik itu lulusan fakultas dari ilmu-ilmu sosial bahkan dari lulusan ilmu-ilmu eksakta, diantaranya lulusan dari fakultas pertanian, teknik, dan kedokteran. Banyaknya pengangguran dari kalangan putus sekolah, lulusan SD-SLA, fakultas-fakultas sosial/keguruan, sudah menjadi berita biasa. Realita di atas merupakan salah satu faktor yang membuat orang muda kehilangan semangat dan motivasi dalam menempa diri, dengan cetusan hati sebagai berikut : "buat apa capek-capek belajar dengan serius, pada akhirnya hanya untuk menambah kuantitas pengangguran intelektual saja".
Cetusan hati di atas, sepintas lalu memang ada benarnya pada masa tertentu, tetapi tidak selamanya akan selalu benar dalam masa yang lain. Mengapa begitu? Sebagai penganut ajaran agama yang baik, kita mesti yakin bahwa: "Akulah (kata Tuhan) yang mengatur perbekalan hidup (rezeki) setiap insan di muka bumi ini". Dengan jaminan Tuhan tersebut kita jangan hanya menunggu saja, namun kita harus berusaha keras bagaimana mendapatkan peluang kerja atau menciptakan kerja baru untuk dirinya dan jika mungkin menciptakan kerja untuk orang lain. Dalam bagian lain Allah berfirman dalam Al Qur’an : "Allah tidak berubah nasib suatu kaum apabila mereka tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri". Hal itu berarti, bahwa walaupun gelar sarjana, atau keahlian tertentu telah kita miliki, namun kita mesti berusaha mendapatkan pekerjaan yang cocok, jika belum diperoleh maka jangan jemu apa lagi putus asa, terus berusaha dengan cara: (1) supaya sebanyak mungkin orang lain mengetahui kebolehan/keahlian yang kita miliki, (2) membina diri agar menjadi insan yang berkualitas sehingga mereka dapat menciptakan pekerjaan untuk diri sendiri dan jika mungkin untuk orang lain. Penulis pernah mendorong orang-orang muda seperti apa yang dituliskan di atas ini dan fakta menunjukkan bahwa dengan penuh kegigihan orang-orang muda mengikuti terapi tersebut, pada gilirannya mereka menemukan pekerjaan yang dapat menolong kehidupannya. Dengan kata lain, kita mesti optimis, kreatif dan rajin berkomunikasi dengan siapa saja yang pada gilirannya akan dapat membantu atau membuka jalan yang pada gilirannya seseorang mendapatkan pekerjaan atau karier yang menjadi lahan memperoleh rezeki di muka bumi ini.
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (tempat penulis pernah menimba ilmu khususnya dalam bidang pendidikan non formal atau Pendidikan Luar Sekolah atau PLS) pada tahun 1978-1080 yang lalu sangat banyak ditumbuhkembangkan Community College atau semacam Pendidikan Politeknik yang ada di sejumlah propinsi di Indonesia seperti yang kita kenal sekarang ini. Para lulusan Community College di Amerika Serikat pada umumnya dapat langsung bekerja ke perusahaan yang telah menjalin kerja sama dengan college tersebut. Boleh jadi ada sejumlah lembaga mengirimkan orang-orangnya ke lembaga pendidikan/pelatihan itu. Walaupun demikian kendati telah lulus dari lembaga yang seperti di atas, tidak merupakan jaminan bahwa lulusan tersebut 100 persen siap kerja. Mereka itu masih perlu dilatih atau menyesuaikan diri lagi dalam perusahaan yang merekrutnya, mengikuti latihan khusus dalam waktu yang relatif singkat.
Persyaratan utama dalam menempa diri, terutama dalam belajar di perguruan tinggi, tidak hanya tergantung pada faktor dana dan intelegensia saja, masih banyak faktor-faktor lain yang turut berperan. Tidak sedikit mereka yang mempunyai dana yang melimpah ruah dan tidak didukung oleh kadar intelegensia dan lain-lain yang baik mereka gagal dalam mencapai sukses, pada akhir studinya. Kegagalan itu terjadi karena orang-orang itu lebih banyak menggunakan waktunya untuk kegiatan di luar objek studinya atau ia terperosok pada kelompok orang-orang yang salah arah antara lain: kelompok penggemar minuman/makanan yang berbahaya/narkoba dan semacamnya. Ada pula yang gagal karena terlibat dalam berbagai kejahatan yang makin merebak di mana saja. Dan memang tanpa adanya dan intelegensia dll yang memadai dapat dikatakan lebih baik tak usah belajar ke perguruan tinggi karena biaya untuk studi lanjut yang bermutu, memang cukup mahal, di samping faktor-faktor lain yang akan diulas pada giliran selanjutnya.
Dalam situasi yang serba sulit akhir-akhir ini terutama sangat lemahnya kehidupan ekonomi bangsa kita, usaha-usaha dari semua pihak sangat diharapkan. Dari pihak pemerintah terutama dalam Kabinet yang sekarang ini tampak jelas bagaimana upaya mengatasi kesulitan ekonomi terutama pengadaan bahan-bahan keperluan pokok menjadi tumpuan utama. Berbagai proyek pembangunan fisik yang baru akan dimulai dapat ditunda dan dananya dialihkan kepada pembinaan sektor-sektor yang dipandang sangat urgen antara lain peningkatan sektor pangan, industri, perdagangan di dalam dan luar negeri serta sektor yang berkaitan dengan pembinaan sumber daya manusia pada umumnya, dalam pembinaan kewirausahaan pada khususnya.
 4. Berbagai Potensi Non-fisik yang Mesti Dikembangkan dalam Proses Pendidikan
Dalam bagian akan diuraikan secara singkat dan populer tentang potensi non-fisik antara lain mengenai: kecerdasan emosional dan lain-lain yang mesti ada dalam kegiatan-kegiatan wirausaha yang pada masa akhir-akhir ini sedang ditumbuh-kembangkan oleh berbagai pihak.
4.1 Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient)
Kecerdasar emosional terjemahan dari emotional quotion (EQ). Menurut Laurence E Syapiro (1997) EQ adalah himpunan dari berbagai fungsi jiwa yang melibatkan kemampuan memantau itensitas perasaan/emosi, baik pada diri sendiri maupun pada diri orang lain, memiliki keyakinan tentang dirinya (percaya diri) dan penuh dengan antusias, pandai memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi sehingga dapat membimbing pikiran dan tidakannya. Seseorang yang tinggi kualitas EQ-nya dalam kinerjanya tampak adanya keuletan dan kekenyalan, selalu dapat menahan diri dalam mengalami frustasi/stres atau himpitan keadaan dalam rangka mencapai atau memperjuangkan sesuatu yang menjadi cita-cita yang ingin dicapainya.
Walaupun masih ada sebagian ahli belum sepakat apakah EQ ini dapat diukur atau tidak, orang-orang yang di dalam dirinya terdapat potensi ini, dalam kepribadiannya terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Empati.
  2. Mampu mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah menyesuaikan diri berjuang dan survive dalam situasi yang bagaimana termasuk dalam keadaan rawan.
  3. Disukai oleh apa dan siapa saja yang ada di sekitarnya.
  4. Memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah.
  5. Tekun dalam menangani tugas-tugas yang diembannya.
  6. setia kawan dengan mitranya
Siapa yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) pada umumnya dalam menggeluti usahanya selalu gigih, ulet, konsisten (ajeg) dan tahan uji/andal dalam menghadapi situasi yang paling pahit dan berat.
4.2 Kreativitas (creativity quotient)
Istilah ini berasal dari kata creativity, creatie berarti ciptaan, creativity berarti penciptaan. Adanya kreativitas yang tinggi dalam kepribadian berarti terdapat kecenderungan untuk menciptakan sesuatu yang dipandang baru dan bermanfaat dalam kehidupan. Orang yang kreatif sering juga dianggap sebagai orang yang inovatif, selalu berminat untuk menemukan yang baru dan original (keaslian), tidak hanya meniru/mengekor terhadap sesuatu yang telah dikerjakan orang lain. Dalam diri orang yang kreatif dalam kinerjanya selalu tampak:
  1. Mampu mengendalikan emosi.
  2. Memiliki empati.
  3. Luwes dalam berpikir/bertindak, berminat dalam kegiatan kreatif.
  4. Berwawasan ke depan dan percaya kepada gagasan sendiri.
(Dedi Suriadi, 1994)
Dalam belajar, bekerja, dan dunia bisnis adanya kreativitas sangat diperlukan dalam rangka menghadapi kejenuhan/kebosanan dan persaingan yang ketat.
  1. Kecerdasan Ruhaniah (Spiritual Quotient atau SQ)
SQ adalah suatu kemampuan untuk memahamai dan menggali motif terdalam dari kehidupan ini. Dengan kemampuan ini seseorang dapat mengenal Tuhan, meyakininya dan mencintainya. Seseorang tidak dapat mencintai Tuhan secara benar sebelum ia mencintai sesama manusia secara tulus. SQ yang tinggi kadarnya sangat berkaitan dengan EQ dan CQ (Gatra, No,43 th IV. 9 Sept. 2000: 46)
  1. Etos Kerja (EK)
Istilah etos salah satu artinya adalah semangat, etos kerja artinya semangat bekerja. Siapa yang etos kerjanya tinggi selalu bergairah/bersemangat dalam menjalani kegiatan kerja yang telah diputuskan menjadi bagian dari kehidupannya. Mereka seolah-olah tidak mengenal lelah dan putus asa dalam menggeluti tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam jiwanya telah terpatri motto "Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin" yang berasal dari salah satu ajaran agama Islam yang cukup hebat tapi kurang terlihat dalam kepribadian sebagian dari orang-orang Islam masa kini; padahal motto ini telah diluncurkan pada abad ke-7 yang lalu. Motto itu adalah bagian dari motivasi kerja berdasarkan ajaran Islam: "Siapa saja pada hari ini amalnya lebih baik dari kemarin maka tergolong orang beruntung, siapa yang amalnya sama saja dengan kemarin, tergolong orang yang merugi dan apabila amalnya lebih rendah dari kemarin maka ia tergolong orang celaka".
Betapapun berat dan sulitnya kegiatan kerja yang menjadi tanggung jawabnya, ia selalu menggeluti tugasnya itu dengan rasa ikhlas dan lapang dada; ia senantiasa merasa senang dan tenang dalam menjalankan tugasnya. Dengan penuh kesadaran, tugas yang diembannya itu adalah salah satu ibadah bahkan setara dengan ibadah wajib menurut ajaran agama Islam. Apabila bekerja telah diyakini sebagai ibadah dan hal itu dila-kukannya secara rutin, dengan penuh kesadaran dan kecintaan maka apabila orang itu tidak melakukannya karena berbagai sebab maka ia merasakan ada sesuatu yang hilang atau tidak lengkap dalam dirinya. Siapa saja yang telah melakukan ibadah kepada Tuhan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya dan ibadah itu telah meresap dalam jiwanya dan menjadi bagian yang menetap dalam dirinya (kebiasaan) maka apabila kegiatan itu tidak dilakukannya, ia merasa gelisah. Siapa saja yang etos kerjanya tinggi pada umumnya akan merasa seperti itu apabila ia dalam keadaan menganggur atau suatu tugas yang tidak didikerjakan dengan tuntas. Dalam menumbuhkembangkan kegiatan belajar, bekerja, wirausaha dll sifat-sifat mental yang dipaparkan di atas harus ada. Dari sejumlah tokoh yang dipandang sukses dalam berbagai bidang, khususnya dalam dunia wirausaha memang terbukti memiliki sifat-sifat mental seperti telah dipaparkan di atas.
  1. Meningkatkan penumbuhan usaha-usaha Wiraswasta
Program-program untuk membantu kelompok masyarakat yang tergolong dalam usaha kecil ke bawah dan menengah (usaha wiraswasta) terutama dalam rangka program-program yang ada dalam Jaringan Pengaman Sosial (JPS) yang telah diluncurkan dengan alasan sebagai berikut.
  1. Pertumbuhan jumlah pegawai negeri dengan zero growth, dengan demikian kesempatan untuk menjadi pegawai negeri makin kecil peluangnya.
  2. Banyaknya usaha-usaha swasta yang besar dan menengah yang terlikuidasi akibat krisis moneter yang mengakibatkan krisis lainnya.
  3. Belum tumbuh dengan subur usaha-usaha wirausaha yang dilandasi oleh semangat dan etos kerja yang didalamnya terdapat kecerdasan emosional, kreativitas dan spiritual yang tinggi.
Dari orang-orang yang sukses dalam dunia bisnis yang pernah penulis lontarkan dalam sejumlah tulisan yang pernah dimuat di media massa, antara lain Marsimin Purba, Sujak Widodo, Ray Crock dapat kita cermati bahwa dalam kepribadian mereka terdapat potensi-potensi yang telah diuraikan di atas. Menurut pengamatan penulis bahwa dalam kepribadian orang-orang seperti M. Purba, Sujak, Lim Sui Long, dan R Crock terdapat adanya IQ, EQ, CQ, dan RQ. S Widodo dan M. Purba (wiraswastawan dari wilayah Sumatera Utara dan Batam-Riau ) ternyata memang memiliki sifat-sifat tekun dan ulet/gigih dalam menumbuhkembangkan usaha yang dikelolanya dalam bidang yang digelutinya. Mereka memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan berbagai pihak terutama dengan Departemen Koperasi dan Bank; dengan bantuan pembiayaan dari Bank maka usaha mereka makin bertambah maju dan sukses. Dengan adanya potensi-potensi seperti telah diuraikan di atas salah seorang dari 10 orang terkaya kaliber dunia yaitu Ray Crock pada gilirannya menjadi lebih kaya-raya jika dibandingkan dari pada pembina dan pengembang awal (pioner) dari Restoran Mc Donald yaitu Mc Donald bersaudara. (C.A.Poisant, 1993)
Dengan memperhatikan uraian di atas kita dapat merasakan bahwa produk pendidikan yang terjadi pada masa lalu di negeri ini baru terfokus pada kuantitas lulusan belum menyentuh dari sisi kualitas pendidikan, berorientasi pada aspek kognitif (NEM/IP yang tinggi) dan kemampuan psikomotor yang kurang optimal dan belum banyak menyentuh aspek non fisikal terutama dari sisi pengembangan EQ, CQ dan, SQ secara optimal.
7. Otonomi Pemerintahan Daerah dan reformasi pendidikan
7.1 Pengertian Otonomi, UU No. 22 tahun 1999 dan Otonomi Pemerintahan Daerah
Otonomi artinya memutuskan suatu keputusan/kebijakan secara mandiri; otonomi erat kaitanya dengan desentralisasi. Otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah tentu dalam kalangan insan-insan yang berkualitas. Dalam pemerintahan Presiden Habibie yang berusia 500 hari itu telah lahir Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah walaupun belum begitu sempurna namun dapat merupakan acuan untuk melangkah lebih maju dapat mengadakan terobosan ke arah terwujudnya cita-cita nasional yang belum juga menjadi kenyataan.
Dalam UU No. 22 1999 itu yang merupakan titik balik terhadap UU No. 5 tahun 1974, telah ditegaskan adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam pasal 7 UU No 22 tahun 1999 kewenangan daerah akan cukup luas, namun dalam bidang keamanan, hubungan politik luar negeri, agama, peradilan dan moneter/fiskal masih merupakan kewenangan pemerintah pusat. Dengan realisasi desentralisasi kewenangan dalam bidang keuangan hanya terfokus dalam pembangunan secara makro dalam globalisasi, ada kesepakatan tentang pembagian budget untuk pusat dan daerah sehingga kewenangan daerah dalam menggunakan keuangan yang menjadi porsinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi yang memang relevan untuk daerahnya.
7.2 Rekonstruksi/Reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional
Dalam seminar yang telah dikemukakan di atas telah dibahas hal-hal sebagai berikut.
Pertama, dari berbagai kelemahan yang kita jumpai dalam dunia pendidikan dalam zaman orde lama dan orde baru sudah pasti mesti dirumuskan paradigma baru dalam menuju milenium ke tiga mendatang. Telah terungkap berbagai bentuk dan jenis lembaga pendidikan yang telah tumbuh dan berkembang di tanah air tercinta ini, baik yang tumbuh dari sosio budaya masyarakat yang ada di bumi Nusantara ini maupun yang berdasarkan pengaruh dari luar nusantara misalnya dari Asia Selatan, Timur Tengah dan Barat. Keberadaan berbagai bentuk lembaga pendidikan Islam terutama paradigma pendidikan yang dikembangkan dalam pondok pesantren dipandang sebagai salah satu bentuk pendidikan yang membina sikap mandiri dan waspada terhadap berbagai pengaruh dari luar. Pada awalnya pondok pesantren didirikan dengan semangat kemandirian dan berbagai sistem (termasuk dalam substansi pendidikan) yang ditumbuhkembangkan di dalamnya begitu otonom, walaupun adanya semacam hak veto dan hegemoni memang ada di tangan kiayi atau para pendiri pesantren.
Kedua, dalam GBHN 1999 telah dirumuskan misi pendidikan nasional kita sebagai berikut. Mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia.( Soedjiarto, 1999 ). Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut:
  1. Perluasan dan pemerataan pendidikan.
  2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan.
  3. Melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum.
  4. Memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas.
  5. Dalam realisasi pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen.
  6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa (Soedjiarto, 1999).
Ketiga, dalam hal upaya menuju otonomi pendidikan kita mesti memperhatikan adanya empat pilar yang direkomendasi oleh UNESCO yaitu: 1) learning to know, 2) learning to do, 3) learning to live together, dan 4) learning to be (mengembangkan kepribadian dan kemampuan untuk bertindak dengan otonomi yang lebih besar disertai oleh penilaian dan tanggung jawab pribadi). Dalam hal otonomisasi pendidikan di Indonesia sesuai dengan semangat reformasi telah ditetapkan/diberlakukan UU No. 22 tahun 1999 pasal 11 ayat 2 bahwa bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah tingkat II. Kemudian dalam pasal 8 ayat 1 diacu bahwa penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan masyarakat di dalamnya sebagai realisasi desentralisasi yang tidak boleh tidak memiliki konsekwensi logis berupa penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Dengan demikian, otonomi pendidikan akan berupa sistem desentralistik dalam manajemen pendidikan harus dapat mengarahkan pada berbagai kebijakan dalam proses pendidikan antara lain dalam proses belajar-mengajar sebagai alat mencapai tujuan yaitu mendorong terwujudnya partisipasi, peningkatan kualitas layanan melalui pemberdayaan lembaga pendididkan (sekolah) dan pendidik/guru dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam konteks sosial budayanya sendiri. Dengan demikian, penerapan sistem desentralistik manajemen Pendidikan Dasar dan seterusnya dapat mengacu PP No. 65 tahun 1951 dan UU No. 22 tahun 1999. Dengan demikian maka DPR daerah (Dati I dan II) perlu memikirkan kembali agar berbagai kebijakan di masing-masing daerah sesuai dengan jiwa reformasi yang kondusif dan kebutuhan daerahnya di masing-masing. Dengan demikian, peserta didik harus dikembangkan secara proporsional dari berbagai segi (IQ, EQ, CQ dan RQnya) dan jasmaninya sesuai dengan bakat dan minatnya dan dalam konteks: sosio-budaya daerah yang mengacu pada kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang mesti dipegang teguh dalam upaya menjaga kesatuan/keutuhan nasional. Dalam upaya itu jangan dilupakan bahwa bangsa apa saja mesti berintegrasi dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini.
Dari sedemikian banyak masukan dalam hal otonomisasi dalam pendidikan menuju milenium ketiga dari seminar terungkap sebagai berikut.
  1. Perlu adanya filosofi pendidikan Indonesia yang menggambarkan paradigma yang relevan dengan jiwa reformasi yang di dalamnya telah tumbuh sistem demokratisasi dan kebebasan yang beradab/beraklak dan sedang kita kembangkan sekarang ini dalam berbagai bentuk dan sudah tentu dalam aspek Politik Pendidikan dan Kebudayaan sehingga dapat mewujudkan Manusia Indonesia Baru yang berkepribadian kuat.
  2. Pendidikan Nasional hendaknya memiliki misi agar tercipta partisipasi masyarakat secara menyeluruh sehingga secara mayoritas seluruh komponen bangsa yang ada dalam masyarakat menjadi terdidik. Pada sisi lain tidak hanya terfokus pada penyiapan tenaga kerja, tapi lebih jauh dari itu harus memperkuat kemampuan dasar peserta didik sehingga memungkinkan baginya untuk berkembang lebih jauh sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan global.
  3. Pengembangan sekolah perlu menggunakan pendekatan community based education, terutama menerapkan prinsip otonomi, acountability dan quality assurance sehingga dapat mengakomodasi sosio-ekonomi/budaya lokal namun tetap mengacu pada sosio budaya nasional. (Suyanto, 1999). Dengan demikian, lembaga pendidikan yang ada mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat/orang tua di sekitarnya dan pemerintah setempat, namun tetap dalam koridor sistem pendidikan nasional.
  4. Substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan kreativitas (IQ, EQ, CQ, dan RQ) dalam totalitas yang seimbang dan serasi. Pendidikan menengah dan tinggi hendaknya diarahkan pada membuka kemungkinan pengembangan individu/kepribadian secara vertikal dan horisontal. Pengembangan secara vertikal mengacu pada struktur keilmuan dan pengembangan horisontal, mengacu pada keterkaitan antarbidang keilmuan.
  5. Dalam realisasi pendidikan dalam konteks lokal adanya badan-badan pembantu dalam dunia pendidikan antara lain Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) ditingkatkan perannya menjadi Dewan Sekolah yang di dalamnya harus ada unsur-unsur Pemerintah Daerah, perwakilan guru-guru dan sudah tentu ada pula di dalamnya tokoh-tokoh masyarakat dan para orang tua peserta didik. BP3 berperan memberi masukan tidak hanya dari sisi bantuan material dan kesejahteraan guru, tetapi juga masukan dalam berbagai aspek termasuk dalam pembinaan misi, visi dan substansi (kurikulum lokal dll) pendidikan yang sesuai dengan keperluan daerah masing-masing.
  6. Dalam pembelajaran pada tingkat apa saja mesti dapat mengaktualisasi enam unsur kapasitas belajar yaitu: (i) kepercayaan (confidence), (ii) keingintahuan (curioucity), (iii) sadar tujuan (intensionality), (iv) kendali diri (self control), (v) kemampuan bergaul secara harmonis /saling pengertian (relatedness), dan (vi) mampu bekerja sama (work together) dengan pihak mana saja.
8. Penutup
Dengan kata lain, rahasia bagaimana kita dapat mencapai keberhasilan dalam proses pendidikan yang pada gilirannya dapat mencapai sukses kehidupan ini dalam garis besarnya adalah sebagai berikut.
  1. Kita harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang optimal sehingga menjadi profesional dalam satu atau dua atau lebih dari dalam kehidupan yang nyata baik yang bersifat fisikal atau non fisikal.
  2. Berusaha agar orang lain atau jika mungkin satu/beberapa perusahaan mengenal dan mengetahui tentang keahlian yang kita miliki sehingga mereka mungkin menggunakan (memesan) keahlian yang kita miliki untuk mereka manfaatkan.
  3. Dalam menggeluti pekerjaan apa saja tunjukkan hasil kerja (prestasi) yang prima/optimal dan dengan penuh tanggung jawab (accountability) serta jauhkan diri dari segala sesuatu yang arogan.
  4. Adanya kemampuan untuk berinteraksi dengan baik dan harmonis (human relation) dengan sesamanya dan dengan atasan/bawahannya serta bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
  5. Sangat perlu adanya kejujuran, disiplin, keuletan, kesabaran dalam berbagai aspek dalam kehidupan dalam ruang/tempat kerja dan di luarnya termasuk dalam keluarganya.
  6. Sadarilah bahwa bekerja adalah termasuk salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT di samping berbagai jenis ibadah lainnya terutama ibadah ubudiyah kepadaNya.
Dengan berbagai usaha di atas timbul tanda tanya: dapatkah berbagai upaya itu mencapai tujuan yang diharapkan? Faktor-faktor apa saja yang mesti ditingkatkan sehingga tumbuh dan berkembang sehingga berbagai usaha baru dapat terwujud? Dalam menjawab pertanyaan di atas, penulis yakin bahwa para pembaca dapat menemukan sendiri jawabannya setelah melalui penyelidikan dan pengalaman yang cukup panjang.
Sekedar demikian saja pemaparan kami tentang reformasi pendidikan yang dapat kami simak dalam tulisan ini. Mudah-mudahan saja isi tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua.



Pustaka Acuan
Madya, Sumarsih, 1999, "Menuju Otonomi Pendidikan", MAKALAH, Primagama-ISPI-PGRI, Yogyakarta.
Muhammad, Henry & Bakri, Kholis Bachtiar, 2000. " Sikap damai itu cerdas ", GATRA, No. 43/thn VI/9 September.
Meester, De L, 1999, "Menuju Otonomi Pendidikan", MAKALAH, Primagama-ISPI-PGRI, Yogyakarta.
Poisant, Charles Albert, 1993, RAHASIA KEBERHASILAN JUTAWAN TERKEMUKA DI DUNIA, Pustaka Tangga, Jakarta.
Supriadi, Dedi, 1994, KREATIPTAS, KEBUDAYAAN & PERKEMBANGAN IPTEK, Alfabeta, Bandung.
Syapiro, Laurence E, 1997, MENGAJARKAN EMOTIONAL INTELIGENCE PADA ANAK, Gramedia, Jakarta.
Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara bangsa Indonesia", MAKALAH, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.
Suyanto, 1999, "Paradigma Baru Sistem Pendidikan Nasional Abad ke-21", MAKALAH, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.
Yacub, Muhammad, 1999, ORANG TUA BIJAKSANA DAN INSAN-INSAN YANG SUKSES, Yay- Madera, Medan.
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu_opini_mengenai_reformasi_s.htm
 

Paradigma Baru Reformasi Pendidikan

Oleh Drs. H. Deding Ishak Ibnu Sudja, S.H., M.M.

Ketidakberhasilan tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan penting yang hendaknya menjadi pemikiran bersama seluruh komponen masyarakat. Pertanyaan tersebut antara lain, berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan agar cita-cita masyarakat madani yang demokratis dapat dicapai? Apakah akan sama halnya dengan waktu yang dibutuhkan untuk transisi revolusi Prancis selama 50 tahun? Jika sedekian lama, berapa banyak lagi social costs dalam berbagai bentuknya yang menyengsarakan rakyat jelata yang akan dikorbankan selama masa transisi tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang kemungkinan akselarasi pembangunan masyarakat. Barangkali sejumlah pakar berpendapat bahwa akselerasi tersebut sudah dilakukan melalui perubahan-perubahan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, hankam dan pendidikan. Setiap bidang ini memiliki program-program akselerasi perubahan sosial yang relevan agar cita-cita masyarakat madani yang demokratis tercapai. Akan tetapi seperti sudah ditegaskan di atas, keberhasilan reformasi dalam bidang-bidang tersebut hingga usianya yang kelima tahun masih belum memenuhi harapan. Jika demikian, apa yang salah atau apa yang diabadikan?

Kelemahan reformasi
Program-program reformasi Indonesia barangkali paradigmanya masih berlandaskan pada asumsi-asumsi pembangunan yang dianut di masa Orde Baru, yaitu asumsi-asumsi pembangunan yang mengabaikan manusia sebagai subjek dan objek pembangunan. Misalnya, di awal reformasi dan juga hingga kini, masih banyak orang beranggapan bahwa jika perundang-undangan politik dan hukum kita sudah direformasi maka masyarakat kita akan segera berubah sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam perundang-undangan tersebut.

Faktanya ternyata tidak demikian. Pada tingkat implementasinya di lapangan banyak hambatan yang menghadang. Mengapa? Di tingkat implementasi perundang-undangan tersebut menghadapi manusia-manusia yang belum berubah. Memang, perundang-undangan tersebut diyakini dalam jangka waktu tertentu jika pelaksanaannya konsisten akan mengubah manusia-manusia Indonesia; tetapi masalahnya dalam pelaksanaannya reformasi itu melibatkan manusia-manusia yang belum mengerti reformasi dan tidak ingin mengerti reformasi karena akan merugikan dirinya jika reformasi dilakukan secara total dan konsisten.
Demikianlah, keberhasilan reformasi seperti ditunjukkan di atas telah dihadang oleh masalah manusia yang merupakan subjek dan objek reformasi. Ironisnya program reformasi kita tampaknya tidak memiliki isu yang kuat dan fundamental untuk mengatasi masalah manusia dalam reformasi ini. Isu yang menyangkut manusia ini sering diungkapkan dalam bentuk kritik-kritik budayawan kita terhadap pembangunan pada masa Orde Baru yang mengabaikan manusia, namun sekarang tetap terlupakan.

Mengapa manusia terabaikan dalam program-program reformasi Indonesia selama lima lebih tahun ini? Hal ini terjadi karena program-program reformasi lebih tertuju pada pembentukan struktur dan kelembagaan sosial yang baru, namun mengabaikan pembangunan manusia yang akan beroperasi dalam struktur dan kelembagaan sosial yang baru tersebut. Indikasinya, spiritualitas reformasi kurang atau tidak menjadi wacana dalam program-program tersebut, karena itu tidak terimplementasi dalam struktur dan institusi yang baru yang dicita-citakan tersebut.

Spiritualitas adalah bagian penting dari pembangunan manusia dan masyarakat. Perubahan manusia dan masyarakat yang sesungguhnya terjadi apabila spiritualitasnya turut berubah. Inilah yang menjadi urusan utama dan pertama pendidikan. Ironisnya reformasi pendidikan yang diluncurkan oleh Departeman Pendidikan dan dinas-dinas pendidikan kita pun sama polanya dengan reformasi dalam bidang-bidang pembangunan lain seperti bidang hukum dan politik. Reformasi yang demikian ini lebih bertumpu pada mekanisme-mekanisme, dan prosedur-prosedur baru, dan cenderung tanpa pemahaman dan penghayatan yang reformasional. Hampir semua program reformasi yang ada sekarang ini lebih berbicara tentang prosedur baru atau mekanisme baru, tanpa spiritualitas baru.

Spiritualitas adalah bagian kunci dari budaya, yang paling sulit berubah. Karena itu, suatu program reformasi dalam bidang apa pun harus pula berisi desain bagi perubahan budaya spiritual. Budaya belumlah menjadi budaya jika hanya berisi prosedur atau mekanisme baru. Budaya bukanlah seperti mesin yang tanpa penghayatan. Budaya sebagai operating system harus menyertakan spiritualitas. Budaya bukan sebuah lingkungan teknologis yang sistem operasinya sepenuhnya bersifat mekanistis.

Reformasi pendidikan
Sehubungan dengan penghambat utama reformasi ialah manusia, dan juga karena subjek dan objek reformasi adalah manusia, maka dibutuhkan paradigma reformasi yang langsung menangani masalah manusia ini. Paradigma ini penulis sebut paradigma reformasi pendidikan, sejalan dengan usulan Pestalozzi, tokoh sejarah pendidikan Eropa dan penyantun sejumlah panti yatim piatu, pada abad ke-18 di Swiss yang ketika itu mengalami reformasi dari monarki menjadi republik sebagai dampak revolusi Prancis.

Pestalozzi berpendapat bahwa reformasi masyarakatnya tidak akan berhasil jika hanya bertumpu pada reformasi politik, hukum, dan ekonomi; dan mengabadikan reformasi pendidikan. Tetapi apa yang dimaksud dengan reformasi pendidikan itu?

Pendidikan secara universal berarti upaya pengubahan manusia menjadi lebih cerdas, yang dalam konsep filsafat pendidikan Indonesia dinyatakan bahwa pendidikan ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kecerdasan di sini jangan ditafsirkan sebagai kecerdasan kognitif atau intelektual belaka, tapi kecerdasan manusia yang seutuhnya, kecerdasan total manusia dalam berbagai bidang kehidupannya. Berdasarkan hal ini kita dapat berkata mengenai kehidupan ekonomi bangsa yang cerdas, kehidupan religius bangsa yang cerdas, kehidupan politik bangsa yang cerdas, dan seterusnya. Kehidupan bangsa yang cerdas ini esensinya adalah manusia-manusia individual, personal yang cerdas.

Paradigma reformasi pendidikan berurusan langsung dengan manusia sebagai subjek dan objek reformasi. Masalahnya ialah bilamana suatu reformasi itu dikatakan langsung berurusan dengan manusianya? Sesuai dengan filsafat pendidikan Indonesia yang bertujuan membangun kecerdasan manusia yang seutuhnya, dan filsafat besar lainnya, maka dapat dikatakan bahwa suatu reformasi dikatakan berurusan secara langsung dengan manusia ialah ketika reformasi ditujukan untuk spiritualitas manusia.

Spiritualitas adalah unsur fundamental manusia. Spiritualitas reformasi, antara lain ialah gagasan-gagasan reformasi, sudah terkandung dalam kebijakan-kebijakan reformasi yang dihasilkan oleh pemerintahan reformasi kita; namun spiritualitas reformasi ini lebih bekerja pada tataran struktural dan institusional masyarakat dan kurang pada tatarannya yang individual, hingga daya dorongnya lemah atau lamban bagi perubahan manusia. Unsur spiritualitas ialah lebih merupakan unsur manusia sebagai makhluk individual, personal, dan subjektif daripada manusia sebagai makhluk sosial. Demikianlah latar belakang mengapa diperlukannya paradigma reformasi pendidikan ini.

Pendidikan dalam paradigma reformasi yang baru ini diartikan secara luas atau kultural dalam pengertiannya yang luas. Pendidikan dalam arti luas ialah seluruh proses kehidupan yang mengembangkan budaya masyarakat manusia, yang meningkatkan martabat manusia atau mempercerdas kehidupan bangsa; sebaliknya proses pembusukan budaya, martabat dan kecerdasan manusia tidaklah dapat disebut pendidikan, tetapi adalah demagogi. Jadi, jika banyak dari warga bangsa ini adalah koruptor, bangsa ini adalah demagog korupsi, seperti Hitler yang demagog rasialisme.

Pendidikan adalah seluruh proses kehidupan, dan proses kehidupan yang terencana terletak di tangan negara. Dari segi ini negara berperan sebagai the great educator, sebuah istilah yang dipinjam dari Gramsci. Atau dari perspektif budaya, pendidikan adalah proses perubahan budaya.

Sehubungan dengan hal di atas, agar reformasi lebih berhasil, maka paradigma reformasi hendaknya berlandaskan pada paradigma baru ini. Paradigma baru ini lebih bertumpu pada spiritualitas manusia yang hidup dalam bentuk keyakinan, cita-cita dan jiwa setiap individu. Paradigma reformasi yang baru ini barangkali lebih dicontohkan oleh lembaga pendidikan yang berbasis "manajemen qalbu" (Daarut Tauhiid) atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang mengutamakan akhlak, watak atau budi pekerti. Spiritualitas yang lebih merupakan faktor pendorong yang pokok pada suatu perubahan sosial, di samping faktor-faktor lainnya.

Masalahnya spiritualitas ini diabaikan. Orang-orang menganggap bahwa iptek dan ekonomilah yang telah menjadi faktor pokok perubahan sosial. Mereka lupa bahwa kemajuan iptek dan ekonomi di Barat didorong oleh semangat aufklarung atau pencerahan yang humanistis rasional-sekuler dan semangat Protestan (kapitalisme), di samping oleh faktor-faktor lainnya.

”The great educator”
Penciptaan pendidik agung (the great educator) bersifat penting karena tingkat perkembangan masyarakat kita dari suatu segi membutuhkannya. Bukti begitu jelas bahwa partisipasi masyarakat kita dalam pembangunan dan penegakan cita-cita reformasi begitu lemah. Daya partisipasi mereka masih rendah. Dalam dunia pendidikan sudah menjadi asumsi bahwa ketika pendidikan menghadapi peserta didik yang belum dewasa si pendidik harus meningkatkan peranannya. Sebaliknya, ketika menghadapi peseta didik yang sudah dewasa peranannya mengurang, lebih sebagai fasilitator.

Peranan yang hendaknya turut dimainkan ketika menyelenggarakan suatu program reformasi sekurang-kurangnya ada dua hal, yaitu sebagai figur teladan dalam cita-cita reformasi dan dinamisator interaksi yang pedagogis (mendidik). Inilah figur pedagog sepanjang zaman. Siapa mereka itu untuk Indonesia saat ini? Hemat penulis, mereka itu hendaknya para aparat pemerintahan mulai dari presiden hingga ke lapisan birokrasi yang berikutnya dan elite sosial lainnya.*** 
Penulis anggota DPR RI, kandidat doktor Unpad Bandung.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *