Jumat, 31 Oktober 2014

BUKU DOSEN : "ISBN untuk Buku Perkuliahan Mandiri"

INGIN  membuat ISBN sebagai legalitas sebuah buku ternyata bisa secara mandiri atau melalui penerbit, selain untuk bisa digunakan untuk prosiding seminar. 

Kalau bisa sendiri kenapa tidak mencoba sendiri membuat konsep buku dimulai untuk kalangan sendiri sebagai bahan perkuliahan sambil mengoreksi apa kekurangan dari buku yang kita buat, minta pendapat dari rekan kita yang memahami dunia editing buku kita. langkah selanjutnya kita lengkapi dengan ISBN. 

Caranya, datang langsung ke Perpustakaan Nasional Jl. Salemba Raya 28A Jakarta 10430 dan masuk ke lantai 2. Tepat di depan pintu lantai dua terletak kantor pengurusan ISBN. Kita tinggal meminta formulir dan mengisinya sesuai dengan buku yang akan diterbitkan. Selain itu, kita perlu menyodorkan foto copy halaman depan buku yang berisi back title (judul, nama penulis, nama penerbit, cetakan ke berapa), pengantar penulis/penerbit, pendahuluan bab buku, dsb. Setelah itu cukup tunggu sebentar dan kita akan diminta untuk membayar uang administrasi 25 ribu rupiah/judul buku yang diajukan.

Adapun alamat lengkap Perpustakaan Nasional adalah di Jl. Salemba Raya 28A Jakarta 10430 Kotak Pos 3624 Jakarta 10002 Telp. 021-3922669, 3922749, 3922855, 3923116, 3923867, sedangkan situsnya di www.pnri.go.id.

Untuk mendapatkan ISBN atau barcode ISBN, syaratnya ialah:
1. Surat permohonan dari penerbit kepada Perpustakaan Nasional
2. Foto copy cover depan
3. Foto copy sinopsi buku
4. Foco copy kata pengantar buku
5. Foto copy Daftar Isi
6. Foto copy bagian yang keterangan terbitan, penerbitnya siapa, dimana, tahun berapa, cetakan ke berapa, biasanya setelah pada hal.ii buku.

Sedangkan ISSN diperoleh dari LIPI. ISSN ini perlu biasanya bagi dosen untuk mengumpulkan cum. Cum ini berguna untuk bobot bagi naik jabatan. Syaratnya mirip-mirip juga dengan ISBN. Bagi dosen yang mau nulis di jurnal kami yang sudah ada ISSN-nya, silakan. Tapi agar Anda lebih paham, silakan hubungi kami saja di: ekonomika.jurnal@yahoo.co.id atau ummacom.press@gmail.com

 Lokasi diluar jakarta.
 “Bagaimana caranya mengurus ISBN bagi mereka yg berada di luar Jakarta..???” semoga ini dpt sedikit membantu. untuk teman-teman di luar Jakarta bisa mengirim berkas-berkas di atas lewat faksimili. Tapi karena mengurusnya jarak jauh, maka Anda terlebih dahulu harus mentransfer biaya pengurusan ISBN ke:
Bank Mandiri Cabang Cut Meutia Jakarta
No. GIRO 123 000 453 970 8
a.n. Tim ISBN/KDT Perpusnas RI

Lalu bukti transfer tersebut di-fax bersama-sama dengan berkas-berkas lainnya ke nomor 021-3927919 atau 021-70902017. Kenapa tidak berbagi untuk mencoba menulis buku, dunia dosen selain penelitian jelas hanya menulis.Semoga bermanfaat. (Dari berbagai sumber )

Dikti di bawah Kemristek: Apakah para Rektor tidak pernah menjadi dosen biasa?

[sumber; www.thesleuthjournal.com]
[sumber; www.thesleuthjournal.com]
Oleh: Gurukecil*
Rekomendasi Forum Rektor Indonesia (FRI) agar perguruan tinggi ditempatkan dalam yurisdiksi Kementerian Riset dan Teknologi telah mengagetkan Daoed Joesoef. Menurut Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne dan Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru itu, rekomendasi itu mengejutkan karena menunjukaan bahwa ternyata “akhirnya ketahuan mengapa pendidikan tinggi di perguruan tinggi (PT) kacau selama ini. Ternyata PT dikelola menurut kesalahpahaman tentang misi pendidikan keilmuan dari PT.” Menurutnya pula, “PT memang menangani riset, tetapi tujuan esensialnya bukanlah menghasilkan sesuatu yang ‘siap pakai’ di bidang kehidupan apa pun, melainkan membuat manusia berspirit ilmiah karena spirit inilah yang menggerakkan manusia untuk terus berusaha menyempurnakan pengorganisasian pengetahuan kita begitu rupa hingga menguasai semakin banyak potensi tersembunyi dalam alam dan pergaulan (interaksi) human”. Saya termasuk yang sama terkejutnya, dengan beberapa alasan yang kurang lebih sama, tetapi juga dengan alasan yang berbeda.
Menanggapi Daoed Joesoef, salah seorang narasumber dalam FRI di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, 30-31 Januari 2014 —yang merekomendasi pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek (Kemdikti Ristek)—, Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak alasan kuat yang mendasari rekomendasi FRI tersebut. Di antaranya, Kemdikbud yang menangani pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menjadi terlalu besar sehingga bebannya terlalu berat dan tidak fokus. Selain itu, Kemdikbud cenderung menjadikan PT hanya sebagai unit pelaksana teknis. Juga, PT —khususnya PT negeri— memiliki sumber daya manusia relatif lebih banyak dan berkualitas tidak hanya untuk pengajaran, tetapi juga untuk penelitian. Menurut Azyumardi Azra, sejumlah PT papan atas Indonesia menghasilkan lebih banyak penelitian inovatif yang dikutip secara internasional dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh lembaga khusus ristek seperti LIPI dan BPPT. Masih menurut Azyumardi Azra, gagasan itu menemukan momentum ketika forum tersebut dipimpin Laode M. Kamaluddin, Rektor Unissula, Semarang (2013), yang melalui bukunya Re-orientasi (Strategi) Pendidikan Nasional Indonesia (2015-2020) yang disosialisasikan di FRI di UNS Surakarta, menggagas ‘pemekaran’ Kemdikbud menjadi Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Kemdikti Ristek).
Saya mencoba memahami pandangan Daoed Joesoef dan Azyumardi Azra di atas berdasarkan pengalaman saya menyelesaikan pendidikan pasca-sarjana di PT luar tanah air dan kemudian membandingkannya pengalaman saya bekerja sebagai dosen di PT negeri di Indonesia selama hampir 30 tahun. Saya mencoba mencerna pandangan Daoed Joesoef menjadi lebih sederhana. Tujuan esensial pendidikan —dasar, menengah, dan tinggi— sesungguhnya adalah mencerdaskan bangsa. Riset hanyalah produk, bukan tujuan. Bangsa yang cerdas dengan sendirinya akan menghasilkan riset yang hebat. Untuk mencerdaskan bangsa, pendidikan seharusnya memanusiakan manusia, menjadikan manusia berbudaya, bukan sekedar menjadikan manusia sebagai sumberdaya. Pendidikan seharusnya mampu menghasilkan manusia yang bisa mengubah pasar, bukan manusia yang sekedar tunduk pada dan sekedar bersedia melayani pasar. Dan karena itu, pendidikan perlu diseiringkan dengan kebudayaan. Pada saat yang sama, saya juga mencoba memahami kegalauan Azyumardi Azra atas kinerja Kemdikbud selama ini. Saya sepakat dalam beberapa hal dengan Azyumardi Azra. Tetapi berdasarkan pengalaman selama ini sebagai dosen biasa, saya berpandangan bahwa kinerja PT negeri ini tidak akan berubah, sepanjang pengelolaan PT tetap dilakukan dengan gaya seperti sekarang.
Kritik pedas Azyumardi Azra bahwa Kemdikbud telah campur tangan terlalu jauh terhadap pengelolaan PT, khusunya PT Negeri, sehingga PT seakan-akan menjadi hanya semacam unit pelaksana teknis (UPT) patut menjadi perhatian para petinggi Kemdikbud. Campur tangan menteri dalam pemilihan rektor dan dalam ‘penyeragaman’ program studi dan kurikulumnya, baru sekedar dua contoh. Masih banyak contoh lain, bahkan yang sampai ke hal-hal tidak masuk akal seperti perijinan tugas/ijin belajar, linearitas bidang ilmu, pandangan ilmu sebagai sebatang pohon yang hanya bisa bercabang tanpa ada cabang yang saling bertemu, merupakan contoh-contoh lain. Alhasil, PT beroperasi seakan-akan sebagai sebuah UPT dan rektor menjadi sekedar kepala UPT yang hanya bisa ‘merekomendasikan’ kebijakan, yang berarti tidak ikut dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan. Namanya sebuah rekomendasi, belum tentu juga akan didengar, alih-alih diakomodasi ke dalam kebijakan. Dan rekomendasi FRI agar PT keluar dari Kemdikbud seakan-akan menjadi sebuah bentuk ‘frustasi’ akibat dari tidak pernah dilibatkan itu.
Tapi saya sepakat dengan pokok pikiran bahwa PT seharusnya dikelola sebagai ‘rumah belajar’, sebagaimana disampaikan oleh Budi Widianarko, Rektor Unika Soegijapranata. Menurut Widianarko, PT adalah lembaga yang sarat dengan muatan pendidikan dan pengajaran. Sebagaimana lebih lanjut diungkapkannya, “Ungkapan ‘universitas magistrorum et scholarium’ (universitas sebagai komunitas guru dan murid) secara gamblang menunjukkan itu, merujuk kepada bentuk awalnya, ketika pada abad pertengahan universitas dilahirkan dan kemudian dikelola oleh kumpulan guru atau dosen”. Widianarko mengutip George Dennis O’Brien, penulis buku All the Essential Half-Truths about Higher Education (1998), untuk mengingatkan bahwa “universitas sebagai rumah belajar jangan sampai dilupakan hanya demi menjawab tantangan perubahan zaman”. Mungkin yang dimaksud dalam hal ini adalah tantangan bahwa produk penelitian Indonesia masih dikalahkan sangat jauh oleh universitas-universitas di negeri tetangga. Tapi persoalan utamanya sebenarnya bukanlah itu, melainkan adalah, sebagaimana ditekankan oleh O’Brien dalam bukunya, “The neglected topic in university assessments is not teaching; it is learning –with or without a (faculty) teacher”. Tugas utama PT bukanlah mengajar, melainkan belajar. Dan dari itu, PT seharusnya menjadi rumah belajar.
Dalam pengertian belajar itu termasuk bukan hanya mahasiswa belajar dari dosennya, melainkan juga dosennya belajar dengan cara berdiskusi dan meneliti, dan juga belajar dengan cara mengamati kehidupan sosial kemasyarakatan dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Tridharma PT seharusnya tidak dimaknai secara terpisah sebagai mengajar, meneliti, DAN mengabdi pada masyarakat, melainkan sebagai satu kesatuan proses belajar yang melibatkan seluruh sivitas akademika sehingga dapat menjadikan PT sebagai rumah belajar. Menjadikan PT sebagai ‘research university’, universitas penelitian’ tanpa didasari oleh filosofi universitas sebagai rumah belajar, hanya akan mencabik tugas utama universitas untuk mencerdaskan bangsa menjadi universitas pelayan pasar. Dan bila itu terjadi tanpa diiringi dengan semangat meneliti untuk belajar maka jangan kemudian heran kalau PT akan menghasilkan banyak apa yang oleh Charles J. Sykes disebut ‘profscam’, sebagaimana diulas dalam bukunya Profscam: Professors and the Demise of Higher Education (1988). Dosen meneliti sekedar untuk mendapatkan angka kredit agar bisa menjadi profesor termuda. Dan di negeri ini, di mana dosen direkrut bukan harus berpendidikan doktor, dosen ramai-ramai melanjutkan pendidikan bukan untuk belajar, melainkan untuk memperoleh gelar demi bisa menjadi profesor (bukan tidak mungkin juga menjadi profscam sehingga timbul pesetan singkatan guru besar GBHN alias guru besar hanya nama).
Bagaimana bukan GBHN bila profesor diberi kewajiban tambahan dibandingkan dosen lainnya HANYA menulis buku? Siapapun yang suka membaca buku akan tahu bahwa sebagian besar buku di negeri ini ditulis tanpa melalui proses belajar, melainkan sekedar dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan seorang pemulung. Bedanya, yang dipungut oleh penulis buku adalah kalimat atau bahkan alinea dari berbagai sumber, sedangkan yang dipungut oleh pemulung adalah sampah. Banyak buku ditulis tanpa tesis yang jelas, gagasan apa yang sebenarnya diusungnya. Dan Kemdikbud mewajibkan profesor menulis buku, tanpa pernah memberikan ketentuan, apakah buku yang ditulisnya itu pernah dibaca orang lain atau tidak, alih-alih pernah dikutip orang lain atau tidak. Di luar sana, sudah tidak zaman lagi berapa banyak buku atau artikel jurnal telah dipublikasikan oleh seorang dosen, melainkan berapa banyak buku atau artikel jurnal yang dipublikasikannya sudah dikutip orang lain. Sementara di luar sana sudah berubah seperti itu, Kemdikbud tetap bertahan pada paradigma manajemen lama, bahwa profesor harus menulis buku, bukan mengubahnya menjadi buku yang ditulis profesor harus dikutip orang lain (indeks sitasi, citation index).
Persoalan pokok kedua yang dihadapi PT sebagai UPT Kemdiknas adalah pengelolaan. PT dikelola seakan-akan sebagai institusi birokrasi, dan bahkan pada era reformasi ini, cenderung menjadi institusi yang sarat dengan nuansa politik. Pergantian ketua jurusan/program studi, dekan fakultas, dan rektor universitas/direktur sekolah tinggi/politeknik bukan lagi hanya merupakan sebuah pembaruan manajemen, melainkan lebih sebagai sebuah arena pertarungan politik praktis. Para kandidat bukannya dipilih atas dasar kemampuan memimpin (leadership merits), melainkan atas proses tawar menawar ‘kalau saya pilih kamu jadi rektor, saya dapat apa?’ Tak pelak, alih-alih ‘belajar’ memperbaiki manajemen institusi yang dipimpinnya, pejabat yang terpilih tidak bisa tidak harus membangun ‘koalisi politik’ dengan cara memberi jabatan kepada mereka yang telah memilihnya. Dan itu tentu saja termasuk merasa harus tunduk kepada menteri yang juga telah memberikan suara untuk memilihnya. Maka manajemen PT pun berlangsung begitu terus dari tahun ke tahun tanpa banyak perubahan.
Seharusnya para rektor yang tergabung dalam FRI ingat bahwa sebelum menjadi rektor, mereka pernah menjadi dosen biasa. Kalau saja mereka masih ingat bahwa mereka pernah menjadi dosen biasa, mereka tentunya tahu, di bawah kementerian manapun PT ditempatkan, tidak akan mengubah apa-apa kalau sivitas akademikanya tidak pernah belajar. Mereka seharusnya tahu bahwa sebagian besar mahasiswa kuliah hanya untuk memperoleh gelar, dosen mengajar tanpa belajar, manajemen melaksanakan tugas sekedar untuk mendapatkan remunerasi. Lagipula, bagaimana PT bisa jadi rumah belajar yang baik bila atmosfer akademiknya begitu pengap dengan nuansa politik praktis? Bagaimana orang merasa perlu belajar bila pengetahuan ditempatkan di bawah kekuasaan, dalam kerangka pikir ‘power is knowledge’ dan bukan ‘knowledge is power’? Bagaimana orang bisa belajar bila perpustakaan yang ada hanyalah gedung megah tanpa tambahan koleksi buku, jangan pula basis data kepustakaan dalam jaringan (online)? Bagaimana meneliti bisa menjadi proses belajar bila laboratorium yang ada lebih banyak hanya berupa gedung megah dengan ruang kosong yang kemudian digunakan sebagai ruang kuliah? Dan biaya perjalanan dinas yang ada lebih banyak untuk manajemen berkonsultasi dengan Kemdikbud, bukan untuk dosen menghadiri konferensi/seminar ilmiah?
Karena itu, jangan salahkan bila jurusan/program studi berjalan hanya sebagai sebuah rutinitas. Setiap awal semester menyusun jadwal kuliah secara manual sehingga sering terjadi tabrakan jam kuliah dan penggunaan ruang. Tugas-tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh manajemen dibebankan kepada dosen melalui ketua jurusan/program studi. Penyusunan jadwal kuliah yang seharusnya merupakan tugas manajemen fakultas diserahkan kepada jurusan/program studi yang tugasnya seharusnya akademik. Ketua jurusan/program studi seharusnya berfokus pada hal-hal akademik seperti merancang benang merah penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang dilakukan oleh dosen, melakukan diskusi akademik mingguan/bulanan, dan kegiatan akademik lainnya untuk menjadikan kampus lebih beratmosfer akademik. Alaih-alih, jurusan/program studi dan para dosennya dibebani dengan tugas administrasi untuk menyusun dokumen akreditasi yang seharusnya merupakan tugas manajemen. Itu terjadi karena manajemen tidak ingin belajar, hanya bisa menyuruh orang belajar. Kalau saja ingin belajar, mereka seharusnya dapat menggunakan software gratis UNITime untuk menyusun jadwal kuliah sehingga dapat dilakukan dengan mudah tanpa bantuan ketua jurusan/program studi, sekaligus juga untuk memperbaiki efektivitas penggunaan ruang.
Kalau saja para rektor merasa pernah menjadi dosen biasa, tentu saja mereka pernah merasakan apa yang saya uraikan di atas. Dengan begitu mereka tahu bahwa tanpa mengubah manajemen maka di bawah kementerian manapun PT ditempatkan, tidak akan mengubah apa-apa. Sayang, rupanya setelah menjadi pejabat mereka berubah menjadi birokrat yang melupakan masa-masa sulit ketika mereka masih sebagai dosen biasa. Mereka melupakan sejarah hidupnya dan menjadikan diri sekedar sebagai perpanjangan tangan menteri untuk mengepalai sebuah UPT Kemdikbud. Kalaupun nanti PT menjadi di bawah Kemdikti Ristek, sebagaimana yang mereka rekomendasikan, paling-paling yang berubah hanyalah siapa yang menjadi atasan yang harus mereka layani. Hanya sedikit yang masih bisa menjadi diri sendiri seperti Budi Widianarko. Dan siapa tahu pula, setelah berada di bawah Kemdikti Ristek nanti, para profesor akan menjadi profesor riset pula, profesor tanpa mau mengajar, apalagi belajar. Belum lagi yang menuntut menjadi pejabat, karena setelah menjadi profesor mereka akan dengan sendirinya menjadi anggota senat universitas sehingga mempunyai kekuasaan untuk bertransaksi dalam menentukan siapa yang menjadi dekan, siapa yang menjadi rektor.[S]
*Blogger Gurukecil pernah belajar di McGill University dan Charles Darwin University. 

sumber tulisan : http://satutimor.com


Selasa, 28 Oktober 2014

Surat Terbuka untuk Pak M Nasir, Menteri Riset dan Dikti

Pak Nasir, selamat atas penetapan Bapak menjadi MenRistek Dikti.

Sebagai dosen biasa, saya orang yang berharap besar dengan kementerian baru ini.
Pak Nasir, ada kekhawatiran di sebagian kolega bahwa dibentuknya kementerian ini hanya memindahkan posisi subordinasi pendidikan tinggi dari Kemendikbud ke Kemendiktiristek. Kekhawatirannya adalah pendidikan tinggi disubordinasi ristek, terlalu fokus pada riset dan teknologi, dan pendidikan tinggi tetap berjalan seperti apa adanya, tanpa perubahan bahkan mengalami kemunduran sebagai rumah belajar.

Padahal tentu saja, lahirnya kementerian baru ini untuk membuat perubahan, perbaikan dunia pendidikan tinggi kita. Saya berharap banyak.

Kita mesti sadar bahwa profil dunia pendidikan tinggi kita saat ini tidak terlalu menggembirakan. Jauh dari ideal untuk bisa bersaing di tingkat dunia maupun kawasan. Kalau tidak percaya, ini data perbandingan Indonesia dan Malaysia dalam aspek riset:
Screenshot 2014-09-01 19.06.48
Screenshot 2014-09-01 19.07.01
Titik berangkat di tahun 1996, Indonesia tidak terpaut jauh dari Malaysia. (Peneliti) Indonesia memproduksi 540 paper ilmiah, sementara Malaysia 961. Jarak terlihat melebar di tahun 2005 ketika jumlah paper ilmiah di Malaysia mencapai tiga kali lipat. Puncaknya di tahun lalu (2013), Indonesia hanya mampu memproduksi 4.175 paper ilmiah dan Malaysia mencapai 23.190, hampir enam kali lipat.

Hal serupa juga ditunjukkan oleh berbagai pemeringkatan universitas di dunia. QS misalnya, baru-baru ini melansir peringkat universitas di Asia pada 2014. Universitas di Indonesia yang masuk 100 besar hanyalah UI di peringkat 71. ITB dan UGM hanya berada di peringkat 125 dan 145. Bandingkan sekali lagi dengan Malaysia yang menempatkan tiga universitasnya di atas UI, masing-masing UM, UKM dan UTM di peringkat 32, 56, dan 66.

Pak nasir, daya saing pendidikan tinggi kita juga bisa dilihat dari profil dosen berdasarkan jenjang pendidikan.

Berikut ini saya ambil data pendidikan dosen yang tersedia di forlap.dikti.go.id di hari ini. Sebagian besar dosen kita berpendidikan S2, diikuti S1 yang jumlahnya besar dan sebagian kecil S3.

Dengan data resmi di atas, tentu saja sulit membayangkan kita bisa menjadi Center of Excellence, setidaknya di Asia Tenggara. Oh ya, tentu saja ada berbagai program beasiswa untuk dosen, baik di dalam dan di luar negeri. Saya termasuk diantara penerima manfaat beasiswa. Tapi pengelolaannya masih belum lancar, ada banyak persoalan. Saya berharap betul Pak Nasir mau blusukan, bertanya langsung ke penerima beasiswa tentang bagaimana beasiswa dikelola.

Untuk beasiswa luar negeri, kami punya PKDLN (Persatuan karyasiswa Dikti LN) yang juga dipimpin oleh Pak Nasir (Sony), siap menjadi mitra agar persoalan manajemen beasiswa yang berdampak pada martabat bangsa di akademisi dan kampus-kampus luar negeri tidak terulang. Kata kucinya: kami sedang khawatir dengan desentralisasi beasiswa yang sekarang diprogramkan Dikti. Apakah mungkin jika semua beasiswa yang berasal dari pemerintah dikelola terpusat di LPDP?

Pak Nasir,
Sebelum menjadi pejabat kampus dan kemudian Menteri, Bapak tentu adalah dosen biasa. Kami, para dosen biasa dari Aceh sampai Papua sering berdiskusi di media sosial. Saya mengundang Bapak bergabung, blusukan dan menyerap berbagai aspirasi yang ada di sana.
Salah satu yang sering kami diskusikan adalah kesejahteraan.

Akhir tahun lalu kami dikejutkan dengan kebijakan tunjangan kinerja yang mengecualikan dosen PNS. Alasannya adalah karena dosen sudah menerima tunjangan sertifikasi. Padahal menurut data http://forlap.dikti.go.id/dosen/homerekapserdos yang saya akses hari ini, baru 43% dosen yang sudah tersertifikasi, sebanyak 57% BELUM tersertifikasi.

Belum lagi tunjangan sertifikasi dicabut ketika dosen melakukan tugas belajar. Berbeda dengan tunjangan kinerja yang tetap dibayarkan (sejumlah prosentase tertentu) walaupun PNS non dosen sedang tugas belajar.
Masih soal kesejahteraan, saya berharap bahwa dosen bisa mendapatkan tunjangan fungsional yang setidaknya sama besarnya dengan peneliti. Sudah tujuh (7) tahun tunjangan fungsional dosen yang diatur dengan perpres 65 2007 tidak mengalami kenaikan.
Screen Shot 2013-05-18 at 6.45.16 PM
Sementara berdasarkan perpres 100 tahun 2012, inilah tunjangan fungsional peneliti:
Screen Shot 2013-11-27 at 6.42.33 PM
Pak Nasir mungkin bertanya, lha kok Si Abah ngomongin soal kesejahteraan melulu?
Sederhana jawabannya.

Saya percaya bahwa dosen di Indonesia pintar-pintar, hebat-hebat dan berkualitas tinggi. Namun mereka tidak bisa memaksimalkan potensi yang dimilikinya melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat karena harus berjibaku memenuhi kebutuhan hidup dengan mengajar di berbagai tempat atau mencari proyek-proyek sampingan.

Saya percaya bahwa jika masih terus seperti itu, maka kita memang membiarkan dunia pendidikan tinggi kita tertinggal.Oh ya, penghasilan yang baik juga penting untuk menarik anak-anak bangsa terbaik untuk terjun ke dunia pendidikan tinggi. Di Jepun, saya bertemu anak-anak muda Indonesia yang sedang atau selesai sekolah S3 dan mempelajari ilmu yang hebat-hebat. Saya yakin fenomena itu ada di berbagai tempat di dunia. Contoh lain, ratusan anak-anak muda Indonesia sedang bersekolah doktor dengan biaya LPDP di kampus-kampus terbaik dunia dan sebagian besar mereka belum punya ikatan kerja. Jika prestasi dan semangat mereka bisa diserap dunia pendidikan tinggi, bukankah ini sebuah potensi besar untuk bangkit?

Saya berharap di periode Pak Nasir, persoalan kesejahteraan terpecahkan sehingga yang kami diskusikan di media sosial bisa bergeser ke prestasi, hasil-hasil riset, dan ksempatan kolaborasi dan kerja sama.

Pak Nasir,
Saya juga menyarankan Bapak untuk blusukan ke kampus-kampus di Indonesia, secara incognito.

Sekarang, dosen-dosen di Indonesia dituntut untuk menulis jurnal internasional bereputasi atau terakreditasi. Namun bagaimana hal ini bisa dilakukan di tengah persoalan tentang infrastruktur dasar dalam bekerja.
Survey kecil-kecilan yang saya lakukan di Grup Dosen Indonesia menemukan bahwa
Sebanyak 39% dosen tak memiliki meja kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai bersama- sama.
Sebanyak 35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja, dan hanya 26% yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua orang dosen.
Bagaimana bicara pendidikan tinggi berkualitas bisa terwujud jika hal mendasar seperti meja kerja saja belum tersedia? Ketika dosen mesti bekerja (membaca, mengoreksi, menulis) di rumah dan membimbing mahasiswa di kantin sambil minum kopi susu sachet  dan makan indomie rebus?

Sekali lagi saya sarankan Pak Nasir incognito ke kampus-kampus yang ada di pelosok Banten, Aceh, Papua dan daerah-daerah lain. Incognito ya Pak, kalau nggak Pak Nasir akan dijamu makanan enak di kantor rektorat dan hanya ditunjukkan ruang kelas yang bagus dan wangi saja tanpa melihat persoalan sesungguhnya.
Oh ya, terakhir soal pemilihan rektor PTN.

Ini opini pribadi saja. Saya berharap Pak Nasir legowo tak mencampuri pemilihan Rektor PTN. 35% suara menteri mengintervensi pemilihan Rektor PTN sudah saatnya dicabut. Cukuplah menteri menetapkan kriteria serta etika dan menegakkannya. Lebih ekstrim, mungkin saatnya Rektor PTN dipilih langsung oleh dosen tetap. Jangan khawatir dengan politik di kampus, justru saatnya praktek demokrasi di kampus yang dilakukan oleh orang-orang berpendidikan rata-rata lebih baik dari rakyat Indonesia menjadi contoh yang bisa ditiru.

Ini dulu yang saya sampaikan. Oh ya, di blog ini saya memang banyak menulis dan berbagi berbagai hal tentang pendidikan tinggi. Inspirasinya datang dari Bunda Fitri, seorang Ibu yang dedikasinya berbagi ilmu dan informasi tentang dunia pendidikan tinggi luar biasa. Website yang beliau kelola jauh lebih bisa diandalkan dari website pemerintah yang mengurusi pendidikan tinggi. Saya usul, di hari pendidikan yang akan datang, saatnya Bunda Fitri mendapatkan penghargaan di dunia pendidikan tinggi.

Sekian dulu ya Pak Nasir, saya mau melanjutkan menulis disertasi dulu, sedang dikejar-kejar Sensei :)

Kyoto, 27 Oktober

Sumber:
1. http://dosenindonesia.net/mengawal-kementerian-riset-dan-pendidikan-tinggi/
2. forlap.dikti.go.id

Sumber tulisan : http://abdul-hamid.com

Selasa, 14 Oktober 2014

Sistem Pendidikan Dasar “Tradisional” ala Jepang

Oleh :Witono Hardi

Anak SD di Jepang sedang mancing JARIGANI (Udang) 
di sebuah taman di kota Toyohashi
Setiap kali saya menulis tentang sistem pendidikan Jepang, sebenarnya saya sedang menulis tentang sesuatu yg berhubungan dengan sistem tradisional. Seperti kembali ke masa Indonesia tahun 50-60an. Dengan sistem itulah pendidikan dasar Jepang dibentuk. Setiap kali saya hadir di kelas anak saya, pada saat waktu kunjungan ke sekolah, seolah apa yang diceritakan almarhum bapak saya dulu muncul di depan mata

Jepang tidak gegabah memasukkan modernisasi secara ugal ugalan pada pendidikannya. Kemajuan sebuah SD di Jepang tidak dilakaukan dengan menampilkan kemodernan,, seperti internet, wifi, gadget atau apapun yang seringkali dianggap sebagai simbul kemajuan.

Siswa Jepang diharuskan jalan kaki ke sekolah, nggak peduli dari, strata sosial apapun. Mobil mewah orang tuanya ditinggal di rumah. Kemudian mereka dilarang membawa gadget ke sekolah. Membicarakan harta adalah sesuatu yang memalukan bagi siswa jepang.

Pembentukan moral merupakan sesuatu yang utama dan sangat ditekankan di Jepang.
Tidak ada SD pavorit di Jepang. Karena lokasi siswa sekolah ditentukan oleh dinas pendidikan berdasarkan alamatnya. Jadi nggak ada kemacetan akibat orang tua yang antar anak, rumah di timur sekolah di barat,, rumah di utara sekolah di selatan dan akhirnya ketemu di tengah tengah.

Pendidikan dasar di Jepang tidak membebani siswa dengan sekian banyak pelajaran dan hapalan. Yang membuat otak muda itu kelelahan. Tapi materinya sedikit saja. PR nya yang banyak, selain diajak kembali ke alam dalam belajar. Otak yang cuma sekepal ini sedang dipersiapkan nanti untuk SMA dan perguruan tinggi. Itulah masanya otak dipress belajar.

Sebetulnya kita pun bisa
Kita sebetulnya bisa. Sangat bisa untuk meniru pendidikan dasar jepang. Sebab pendidikan dasar bukan dibangun berdasarkan kemajuan iptek yang canggih. Tetapi justru dibangun di atas nilai nilai moral.  Bahkan nilai nilai kita jauh lebih luhur. Karena kita berdasarkan nilai agama. Sedangkan jepang sehebat apapun, tidak memasukkan agama dalam sistem pendidikannya. Jadi mereka bermoral baik bukan untuk siapa siapa. Tapi ya sekedar untuk hidup di dunia ini.

Satu hal yang ternyata gampang gampang susah adalah, jika yang menyangkut dengan materi (gedung sekolah bagus, sarana, komputer, dsb) itu walaupun mahal, tapi seolah olah mudah didapat. Karena hanya menyangkut fisik. Sedangkan hal yang menyangkut mental, walaupun kelihatan mudah, tapi tidak mudah juga untuk dirubah. Akankah kita bisa membangun mental sebagaimana bangsa Jepang? Contoh yang paling sederhana adalah masalah sekolah pavorit. Siapkah kita menyekolahkan anak di dekat lokasi kita? Dan siapkah sekolah yang bersangkutan untuk mendidik putra-putrii kita. Seringkali orang tua mesti mencari sekolah di blok lain yang tentu saja menghabiskan waktu dan biaya. Pembiaran kita sebagai ortu maupun pihak terkait dalam hal membawa sepeda motor ke sekolah dengan berbagai alasan, sambil membiarkan anak kita tanpa SIM ke sekolah, adalah pelajaran pelanggaran hukum yang kita lakukan secara masif dan istiqomah. Gak bisa bayangkan jika anak kita bersekolah sambil melanggar hukum dan kita biarkan.
Selain itu adalah para pengambil kebijakan. Siapkah untuk membuat kebijakan yang tidak setiap tahun berubah seperti sekarang ini? Jangan bicara tentang anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan kita yang 20% APBN ini sudah sangat cukup untuk membiayai pendidikan. Bukan malah memperbesar pungutan di mana mana yang sering menghiasi media massa.

Terakhir, pendidikan dasar dimulai dari keluarga. Jika mulai sekarang kita sudah berpikir untuk lebih baik, tidak mengandalkan materi dan hedonisme, dan simulai dari keluarga per keluarga maka mudah mudahan di masa depan kita akan jauh….jauh lebih baik.

Pemikiran salah yang harus dihindari
Seringkali kita terbelenggu dengan pemikiran salah seperti berikut:
  1. Anakku saya les kan dimana mana biar puintar. Percuma, hebat di masa anak anak tidak menjamin sukses masa depannya. Biasa biasa saja. Ajari tentang hidup dan kehidupan
  2. Jepang adalah teknologi canggih, kita tradisional. Pendidikan dasar Jepang malah tradisional. Atau silakan cari dari internet, siapa tahu saya salah
  3. Secanggih dan sehebat apapun Jepang, kan mereka atheis, kita beragama. sekarang ini, hari ini, kita masih hidup di dunia. Selama kita hidup di dunia tentu harus mengambil sikap yang terbaik. Agama adalah untuk diamalkan, bukan untuk sombong sombongan dan gaya2an. Emang ada jaminan surga kalau hidupnya seenak sendiri
  4. Kita sudah telanjur seperti ini. Tak ada kata telanjur, semua bisa berubah, asal mau
  5. Semua tergantung uang, makin mahal makin baik. Semua tergantung Allah, dialah penguasa seluruh alam. Dialah pemilik timur dan barat. Dialah yang dengan rahman dan rahimNya mengatur alam. Rahman Nya untuk alam semesta. Karena Rahman Nya inilah semut saling berkasih sayang. Seorang ibu menyusui bayinya. Seekor macan memelihara anaknya. Dan semua orang nggak peduli beriman atau tidak, hidup teratur di dunia. Sedangkan RahimNya adalah iman dan islam. Bagaikan kendaraan mewah, siap mengantarkan kita kemana kita melangkah, asal kita bisa memakainya. Tanpa pengetahuan dan pengamalan yang cukup makan agama ini hanyalah simbul yang tidak bisa memberi manfaat apa apa.
Jangan bangga dengan kehebatan masa kanak kanak. Banggalah jika hebat di masa dewasa dan memperbaiki nasib bangsa.


"Kyoiku" Mama di Jepang

Di Jepang ada namanya “kyoiku mama” (ibu pendidikan) para ibu di Jepang rata-rata tidak bekerja, tapi hanya untuk mendidik dan mengurusi anak2 mereka mulai bangun, berangkat pulang sekolah, kursus, les, sampai tidur lagi, semuanya di bawah didikan sang ibu.
PARA  kyoiku mama ini menanamkan kesopanan, kebersihan pada anak mereka, rata2 mereka lulusan S1/S2. Mereka sekolah tinggi bukan untuk berkarier tapi “mendidik anak” itulah karier mereka yang tertinggi.

Dan kemajuan ekonomi Jepang adalah karena ditopang oleh kyoiku mama ini makanya tidak heran kalau orang Jepang itu disiplin, etos kerja tinggi, menjaga kebersihan itu semua hasil didikan para kyoiku mama, sehingga sekolah hanya untuk menstransfer ilmu saja.

Sementara “Ryousai kenbo”* adalah slogan yang kembali digalakkan pemerintah Jepang, istilah ini muncul di jaman restorasi Meiji dan banyak dianut keluarga Jepang untuk mewujudkan keluarga harmonis ideal. Intinya menyerukan bahwa wanita peran terhormat sebagai istri yang baik dan bijaksana, pembagian peran alami sesuai fitrah antara perempuan dan laki laki. Peran perempuan sebagai menteri dalam negeri dan motivator domestik rumah tangganya dan peran lelaki jadi menteri luar negri keluarganya sebagai motivator logistik dan publik.

Di Jepang peran ini kembali digalakkan karena sekarang perempuan memilih melajang menjadi wanita karier sehingga presentasi pertumbuhan penduduk muda usia produktif di negara mereka menurun. Tentu saja kasus kekerasan remaja dan bunuh diri di Jepang pada usia sekolah terus bertambah karena tidak terpenuhinya kualitas hubungan ibu dan anak yang menunjang pertumbuhan emosi anak.

Jadi wajar pemerintahan Jepang sangat memberi tempat terhormat pada peranan ibu rumah tangga yang berkualitas, karena kemajuan bangsanya kelak pun tetap ditopang oleh kualitas ibu-ibu rumah tangganya sebagai pembentuk kualitas karakteranak anak mereka.

Sungguh luar biasa, “ibu rumah tangga adalah profesi idaman” di Jepang. Bagaimana dg kita? share yukk kepada teman-teman kamu yang wanita betapa bangga nya menjadi seorang wanita.

*Ryousai: istri yg baik. Kenbo: ibu yang bijaksana

Sumber : https://www.facebook.com/photo.php
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *