Oleh : Hikmahanto Juwana*
Setelah mengalami sistem
pendidikan di berbagai negara dan melihat sistem pendidikan di Indonesia, ada
sejumlah masalah yang dihadapi. Sistem pendidikan yang berlaku selama ini di
Indonesia ternyata tidak dapat menempa sumber daya manusia Indonesia yang
memiliki potensi yang tidak kalah dibanding dengan sumber daya manusia dari
negara lain, termasuk negara maju sekalipun.
Potensi yang ada pada sumber daya
manusia, tidak akan mempunyai arti yang signifikan dan maksimal bila penempaan
atas mereka melalui sistem pendidikan tidak dilakukan secara benar.
Tulisan ini mencoba
mengidentifikasi sejumlah problem yang dihadapi oleh sistem pendidikan di
Indonesia sehingga kurang maksimal dalam menyiapkan sumber daya manusia yang
handal. Tulisan ini juga mencoba untuk mengidentifikasi berbagai elemen yang
harus diperhatikan jika sistem pendidikan di Indonesia hendak dibenahi.
II. Problem
a. Stigma Masyarakat
Pendidikan di Indonesia penuh
dengan stigma yang dapat berpengaruh pada kualitas pendidikan yang dimiliki
oleh individu. Sumber daya manusia Indonesia yang menyimpan banyak potensi
ternyata tidak terdidik secara baik dan terarah.
Perbedaan antara IPA/Eksakta
dengan pilihan lain sejak di SMA. Bagi orang tua dan individu mereka harus
masuk IPA meski bukan menjadi keinginan.
Akibatnya mereka yang memasuki
bidang studi ilmu sosial di perguruan tinggi bukanlah orang-orang pilihan.
Ini berpengaruh dalam jangka
panjang terhadap sumber daya manusia yang memasuki sektor-sektor bidang
pekerjaan ilmu sosial, seperti hukum.
Stigma di masyarakat pada
pendidikan adalah perbedaan pendidikan universitas dan pendidikan vokasi. Pasca
kelulusan di sekolah menengah banyak yang memilih pendidikan di universitas
daripada vokasi. Kalaupun ada yang memasuki bidang vokasi ini sekedar jembatan
untuk masuk universitas.
Ini semua karena terdapat beragam
perbedaan bagi mereka yang lulus pendidikan universitas dengan pendidikan
vokasi, mulai dari status sosial hingga perbedaan gaji.
b. Persepsi Salah
Disamping stigma pendidikan,
terdapat pula persepsi yang salah terkait dengan pendidikan di Indonesia.
Masyarakat cenderung memiliki
persepsi yang salah dalam membedakan pendidikan vokasi dengan pendidikan
profesi. Ini terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang mempersamakan
antara pendidikan vokasi dengan profesi.
Persepsi salah lainnya adalah
pendidikan, terutama melalui gelar, dianggap penentu rendah tingginya status
sosial. Akibatnya banyak masyarakat mengejar gelar, bukan ilmunya. Lembaga
pendidikan yang menjual ijazah pun sangat diminati oleh masyarakat.
Mereka yang mengikuti pendidikan
sejak dini hingga pendidikan tinggi bukan untuk mendapatkan ilmu melainkan
lebih memperhatikan formalitas, seperti kehadiran (absensi), nilai, hingga
ijazah.
Persepsi yang salah tentang
pendidikan ini yang mengakibatkan kualitas pendidikan tidak berkolerasi dengan
kemajuan bangsa.
c. Pendidikan yang
Menentukan Target bukan Menumbuhkan Keingin-tahuan
Pendidikan di Indonesia lebih
menekankan pada target tercapainya materi muatan daripada menumbuhkan dan
merangsang keingin-tahuan dari peserta didik.
Akibatnya keinginan untuk
berinovasi dan berimprovisasi (sense of
innovation and improvisation) sangat rendah. Tanpa instruksi tidak ada yang
bergerak. Padahal sumber daya manusia di Indonesia menyimpan potensi yang luar
biasa.
Tumpulnya keingin-tahuan tidak
semata-mata bisa ditimpakan pada pengajar atau kurikulum, tetapi juga pada
infrastruktur yang jauh dari memadai. Bila berbagai lembaga pendidikan tidak
mampu menyedikan perpustakaan ataupun akses ke internet maka sulit mengharapkan
peserta didik untuk memenuhi rasa ingin tahunya.
Sistem pendidikan yang menekankan
pada target capaian materi akan menghasilkan manusia-manusia yang kehabisan
energi ketika justru energi sangat dibutuhkan. Mereka akan mendapatkan materi
bahan ajar yang mereka tidak tahu manfaatnya.
Individu yang pandai bukan
berarti individu yang harus tahu semua. Individu yang pandai adalah individu
yang secara mudah mencerna materi pengajaran. Oleh karenanya pandai tidak perlu
digantungkan pada materi tetapi pada keinginan individu untuk mengetahui lebih
banyak.
d. Terlalu Berorientasi pada Indonesia
Orientasi sistem pendidikan di
Indonesia sangat Indonesia. Meskipun tidak sedikit jumlah orang Indonesia yang
berhasil untuk bekerja di luar Indonesia namun keberhasilan sebenarnya tidak
ditunjung pada sistem pendidikan yang mereka peroleh ketika berada di
Indonesia. Keberhasilan lebih ditunjang karena kemampuan diri untuk mau belajar
hal baru.
Harus diakui sistem pendidikan
yang berorientasi pada Indonesia tidak membekali peserta didik untuk dapat
bersaing secara global. Padahal saat ini pasar kerja tidak hanya terpaku pada
pasar kerja domestik, tetapi internasional.
Disinilah indikasi mengapa jumlah
pekerja tidak terampil (unskilled workers)
lebih banyak bekerja di luar negeri daripada pekerja terampilnya (skilled workers).
Sistem pendidikan di Indonesia
pun kurang dapat diminati oleh para peserta didik asing. Padahal saat ini
lembaga pendidikan Indonesia yang berorientasi pada Indonesia harus bersaing
dengan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan asing. Negara
seperti Singapura mempunyai kepercayaan yang tinggi sistem pendidikannya
diminati oleh masyarakat Indonesia. Merekapun membuka sekolah Singapura.
Di sejumlah negara pendidikan
mulai dari dasar, menengah dan tinggi diorientasikan tidak hanya untuk
negaranya sendiri. Mereka telah mampu mengembangkan sistem pendidikan yang diminati
oleh berbagai warga masyarakat yang berasal dari berbagai negara.
e. Otonomi Universitas
Permasalahan lain yang dihadapi
oleh sistem pendidikan di Indonesia adalah pada level Universitas. Universitas
kurang diberi otonomi sehingga masih dalam kendali pemerintah.
Pemerintah seolah masih ingin
mengatur, tidak pada level yang sangat umum, tetapi juga hal-hal yang bersifat
teknis. Di sejumlah perguruan tinggi peran pemerintah dalam menentukan
adminstrator, mulai dari Rektor hingga pembantu dekan sangat dominan.
Tidak heran bila universitas di
Indonesia tidak mampu bersaing dengan universitas-universitas luar negeri.
Mereka terikat oleh berbagai peraturan perundang-undangan dan birokrasi.
f. Kurang Relevannya Pendidikan dengan
Kebutuhan Industri
Masalah lain yang kerap
dilontarkan sebagai kritik adalah sistem pendidikan kurang sesuai dengan
kebutuhan industri. Para peserta didik harus menyesuaikan diri dan menempuh
pendidikan lanjutan agar benar-benar diterima oleh industri.
Bila ditelusuri ada dua sumber
masalah. Pertama, pengambil kebijakan ketika mengambil kebijakan memiliki ide
apa yang baik untuk peserta didik tanpa memperhatikan apa yang diinginkan oleh
industri.
Kedua adalah industri memiliki
ekspektasi yang terlalu tinggi dari para peserta didik. Padahal peserta didik
tidak mungkin diajarkan atau diberi materi yang sangat spesifik yang dibutuhkan
oleh Industris. Sistem pendidikan hanya dapat memberikan pengetahuan dasar (basic) kepada peserta didiknya untuk
kemudian dikembangkan oleh peserta didik tersebut atau oleh industri yang
membutuhkan.
III. Pembenahan
Bila menilik berbagai kelemahan
sistem pendidikan di Indonesia, kesimpulan yang dapat diambil adalah diperlukan
pembenahan yang bersifat fundamental. Pembenahan tidak bisa sepotong-sepotong (piece meal) sehingga dapat memberikan
dampak tidak dalam satu, lima atau sepuluh tahun mendatang tetapi pada satu,
dua bahkan generasi-generasi berikut bagi sumber daya manusia Indonesia.
Apa yang dilakukan pada hari ini
merupakan investasi untuk masa mendatang. Apa yang dilakukan pada hari ini
adalah langkah awal untuk memulai suatu perubahan yang signifikan bagi generasi
mendatang.
Namun demikian ada sejumlah
elemen yang perlu menjadi perhatian dalam melakukan pembenahan sistem
pendidikan di Indonesia. Berikut akan diuraikan elemen-elemen dimaksud.
a. Kesabaran
Kesabaran merupakan hal
terpenting dalam melakukan suatu perubahan yang berkaitan dengan manusia.
Kesabaran dibutuhkan karena perubahan tidak dilakukan atas sistem, tetapi yang
terpenting adalah cara berpikir (mindset)
dari setiap manusia yang ada dalam sistem.
Dalam sistem pendidikan ada
sejumlah manusia yang berperan. Ada pengambil kebijakan, ada pengajar, ada
mahasiswa, ada orang tua dan ada pula manusia yang berperan dalam mendukung
proses belajar mengajar.
Perubahan yang dilakukan atas
sistem pendidikan tidak berada dalam suatu kekosongan atau kevakuman. Perubahan
juga tidak dapat menafikan apa yang pernah ada.
Oleh karenanya perlu masa
transisi yang sedapat mungkin tidak dirasakan oleh para pemangku kepentingan.
b. Konsistensi
Disamping kesabaran juga
dibutuhkan suatu konsistensi dalam menjalankan kebijakan. Bagi Indonesia ini
merupakan suatu masalah besar. Pengambil kebijakan dari tingkat yang tertinggi
hingga paling bawah kerap tidak konsisten. Setiap pimpinan baru ingin melakukan
perubahan yang sebenarnya tidak terlalu signifikan tetapi harus melalui suatu
proses yang melelahkan.
Bagi sebagian besar pemimpin di
Indonesia berlaku pemikiran bahwa selagi menjadi pemimpin harus mampu untuk
melakukan perubahan. Perubahan diartikan sebagai sesuatu yang berbeda dengan
pemimpin sebelumnya.
Padahal cara berpikir seperti ini
tidak membawa kebaikan bagi bangsa dan negara. Bukannya pembangunan sistem yang
dilakukan tetapi yang terjadi adalah memindahkan pendelum dari satu ekstrim ke
ekstrim yang lainnya.
Oleh karenanya konsistensi dalam
melakukan perubahan sangat penting bagi Indonesia sebagai negara yang sedang
membangun. Pemimpin harus dianggap berhasil bila ia mampu meneruskan apa yang
telah diletakkan oleh para pendahulunya. Sebaliknya pemimpin dianggap tidak
berhasil ketika ia tidak mampu membaca visi para pendahulunya.
Dalam kebijakan di bidang
pendidikan kerap yang terjadi adalah ganti menteri ganti kebijakan. Bahkan
ganti Direktur Jenderal ganti pula kebijakan atas sistem pendidikan yang
menjadi tanggung jawabanya.
Tidak heran bila satu generasi
akan mengalami sistem pendidikan yang berbeda dengan generasi terdahulu dan
generasi sesudahnya.
Oleh kareanya konsistensi
merupakan elemen yang perlu mendapat perhatian bagi para stakeholders dan
mereka harus mengawal konsistensi perubahan sistem pendidikan yang dilakukan
oleh para pengambil kebijakan.
c. Kemampuan mengidentifikasi Masalah
Elemen lain yang perlu mendapat
perhatian adalah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dari pengambil
kebijakan. Memang dalam makalah ini telah disampaikan sejumlah masalah seputar
pendidikan di Indonesia. Namun masalah yang telah disampaikan tidak hanya itu
saja.
Masih banyak masalah yang harus
diidentifikasi dalam rangka pembenahan sistem pendidikan di Indonesia. Salah
satu yang penting adalah kondisi Indonesia yang harus diakui antara satu
propinsi, bahkan kabupaten dan kotamadya yang berbeda, baik infrastruktur,
masyarakat maupun kemampuan pemerintah daerah dalam memberikan pendidikan
kepada masyarakatnya.
Masalah lain adalah koordinasi
antar instansi yang kerap sangat lemah. Pembenahan sistem pendidikan bukanlah
tanggung jawab dan beban dari Kementerian Pendidikan Nasional, namun melibatkan
sejumlah instansi pemerintah. Instansi pemerintah yang perlu mendapat
koordinasi adalah instansi dilevel horizontal maupun vertikal.
d. Pelibatan Stakeholders
Perubahan dalam sistem pendidikan
harus muncul sense of ownership dari
seluruh pengambil kebijakan, tetapi juga masyarakat Indonesia secara
keseluruhan.
Oleh karenanya perlu pelibatan
para stakeholders di Indonesia atas perubahan yang akan dilakukan. Proses
pengambil keputusan yang memperhatikan ciri-ciri demokrasi harus diperhatikan.
Namun demikian ketika keputusan oleh mayoritas telah diambil maka semua harus
tunduk pada keputusan tersebut. Perlu dihindari proses yang memojokkan satu
kelompok yang di kemudian hari kelompok ini menjadi oposisi untuk tidak
membenarkan terjadinya perubahan.
Dalam pelibatan stakeholders,
peran media massa sangat penting. Media massa harus mampu menterjemahkan
kebijakan yang diambil dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami kepada
masyarakat.
e. Anggaran
Satu hal yang tidak kalah penting
dalam pembenahan sistem pendidikan di Indoensia adalah anggaran. Anggaran yang
dibutuhkan sangatlah besar. Oleh karenanya anggaran harus memadai demi
suksesnya perubahan yang akan dilakukan.
Dalam kaitan dengan anggaran hal
yang perlu mendapat perhatian adalah mencegah kebocoran atau terjadinya
korupsi. Korupsi mempunyai dampak yang luar biasa terhadap upaya-upaya
pembenahan bangsa dan negara. Korupsi telah mampu melumpuhkan reformasi dan
restorasi yang dilakukan oleh berbagai komponen.
Oleh karenanya anggaran yang
cukup besar bagi pembenahan sistem pendidikan harus diawasi agar tidak
diselewengkan.
IV. Penutup
Sistem pendidikan yang berlaku di
Indonesia yang diandalkan untuk menempa sumber daya manusia ternyata belumlah
sempurna. Masih banyak kelemahan yang menjangkiti sistem pendidikan.
Oleh karena itu perubahan
terhadap sistem pendidikan perlu untuk dilakukan. Perubahan yang dilakukan
harus memperhatikan berbagai elemen yang dapat membuat kebijakan tersebut
gagal.
* Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Meraih gelar SH dari Universitas Indonesia (1987), LL.M
dari Keio University, Jepang (1992) dan Ph.D dari University of Nottingham,
Inggris (1997).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar