Jumat, 18 Januari 2013

LIBERALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA



Mengenal Liberalisme Pendidikan (Relasi Liberalisme, Ekonomi,dan Pendidikan)

Oleh : Muhammad Najib

Praktek kolonialisme pendidikan dalam bungkus liberalisme menemu jawabnya di Indo-nesia. Dahulu pada masa kolonialisme Belanda, kebijakan pendidikan hanya  akibat berkah  politik etis-nya semata. Belanda memberi kesempatan kepada ”pribumi-pribumi tertentu” untuk menik-mati sekolah-sekolah bentukan Pemerintah kolonial semacam HIS dan MULO. Dengan menyekolahkan mereka diharapkan setelah selesai pendidikan ter-sebut, para siswa bisa membantu Belanda menghisap lebih dalam lagi potensi negeri ini, tapi ternyata gagal. Politik etis tersebut hanya mampu terjangkau sebagian kecil rakyat Indonesia. Sehingga sebagian besar rakyat tetap bodoh, dan dengan mudah dieksploitasi tenaga dan sumber daya alamnya. Pada masa sekarang, kebijakan pemerintah di dunia pendidikan, juga menunjukkan tren yang sama, yakni ketika pendidikan semakin jauh dari keber-pihakan terhadap rakyat. Contoh yang menguatkan hal tersebut adalah ketika pemerintah –lewat UU Sisdiknas 2003– melegitimasi    kebijakan privatisasi pendidikan. Kebijakan ini berupa tekanan pada stan-darisasi dan sertifikasi mutu pendidikan sampai tingkat internasional, serta pengelolaan pendidikan dalam bentuk badan hukum yang sebenarnya merupakan ”kolonialisasi gaya baru” pendidikan.
Memang ternyata kebijakan privatisasi sendiri bukan ide murni pemerintah, tetapi hasil tekanan IMF. Dengan privatisasi ada alasan negara untuk melepaskan tanggung jawab dalam pelayanan pendidikan terhadap warganya karena sebagian sudah diserahkan kepada publik. Mengapa yang di privatisasi justru PTN-PTN terkemuka? alasan utamanya pertimbangan pasar. Jika PTN-PTN itu dilepas ke pasar bebas, banyak orang yang ingin memperebutkannya.



HAR Tilaar : Badan Hukum Pendidikan Neo Liberalisme

TEMPO Interaktif, Jakarta:Rencana pemerintah membentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada institusi pendidikan formal dicurigai pakar pendidikan, H.A.R Tilaar, dinilai tak lebih sebagai bagian representasi neo liberalisme dalam dunia pendidikan. Bank dunia dan International Monetary Fund dituding berada di balik rencana ini. "Jelas agenda neo liberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan," ujar H.A.R Tilaar saat ditemui usai menjadi pembicara dalam seminar bertajuk Menyikapi Dampak Transformasi Sosial Budaya di Era Global bertempat di hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, hari ini, Selasa (12/4).

Melalui BHP, menurut Tilaar, pemerintah secara terselubung berupaya menghindarkan tanggung jawab penyisihan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar 20 persen bagi pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi. Alasannya, "dengan bentuk itu, tuntutannya kemandirian institusi pendidikan sampai pada kemandirian pendanaan," katanya.
Pemerintah sendiri saat ini tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Menurut Direktur jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Satrio Soemantri Brodjonegoro, pemikiran perlunya otonomi pada perguruan tinggi menjadi dasar pembentukan aturan ini. Satrio tak menampik pernyataan RUU itu merupakan perluasan dari status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang telah dikenakan kepada beberapa perguruan tinggi negeri sebelumnya. "Ya nantinya semua akan menjadi badan hukum,"ujarnya.


Akibat Liberalisme Pendidikan Bangsa Indonesia Akan Jadi Bangsa Kuli
Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah untuk meliberalisasikan pendidikan dikritik dan dikecam keras oleh sebagian besar pembicara dalam Konferensi Nasional Pendidikan Nasional dalam Arus Neoliberalisme di Bandung, yang berakhir Minggu (15/5) malam. Liberalisme dan privatisasi pendidikan akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan kemampuan masyarakat sehingga akan mengembalikan Indonesia sebagai bangsa kuli dan bangsa yang terjajah.

Sejumlah pembicara juga menyerukan dibentuknya jaringan dan kekuatan bersama untuk menentang upaya-upaya pemerintah melakukan liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan.

Anggota Komnas HAM Dr Habib Chirzin menilai, negara telah gagal memenuhi kewajiban dalam pendidikan yang menjadi hak dasar warga negara, bahkan dalam penyediaan anggaran pendidikan sekalipun. Chirzin mengingatkan bahwa kewajiban pemerintah mengalokasikan 20 persen dana dari APBN merupakan kewajiban minimal yang harus dipenuhi, bukan suatu hal yang dicita-citakan.

Komodifikasi pendidikan, menurut Chirzin, akan memarjinalisasikan rakyat miskin. Padahal, konstitusi mewajibkan negara untuk menyediakan pendidikan yang bisa diakses oleh semua warga tanpa diskriminasi, termasuk diskriminasi secara ekonomi. Hak atas pendidikan, kata Chirzin, merupakan hak asasi manusia yang menjadi prasyarat pelaksanaan hak asasi manusia lainnya, seperti hak sosial dan hak politik warga negara.

"Pengingkaran hak atas pendidikan akan mengakibatkan seseorang tidak bisa sekolah, tidak bisa mengembangkan diri, tidak bisa bekerja, dan teralienasi dari skema-skema sosial," kata Chirzin, alumnus Pondok Pesantren Gontor.

Pakar ekonomi Prof Dr Sri- Edi Swasono mengemukakan, liberalisme pendidikan merupakan bagian dari Komitmen Washington yang akan melumpuhkan bangsa Indonesia. Bila pendidikan dipahami sebagai komoditas, terjemahannya adalah seseorang yang tidak bisa membayar sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) tidak usah sekolah.
"Bila liberalisme pendidikan dilakukan, 30 tahun lagi bangsa Indonesia akan menjadi seperti suku Aborigin," katanya.

Komoditas = hukum pasar
Ekonom Ichsanuddin Noorsy juga mengemukakan keprihatinannya atas kegagalan negara memenuhi kewajibannya dalam bidang pendidikan. Anggaran pendidikan pemerintah pusat maupun daerah tidak sesuai dengan konstitusi. Dari sebuah studi yang dilakukan di 100 kabupaten/kota, realisasi anggaran pemerintah daerah pada 2001 rata-rata hanya 3,4 persen. Jauh dari angka 20 persen yang diamanatkan konstitusi.

Menurut Ichsanuddin, bila pendidikan diperlakukan sebagai komoditas, pendidikan akan diatur sesuai hukum pasar. Meningkatnya permintaan pendidikan akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. "Akhirnya, hanya orang kaya yang bisa bersekolah," ujarnya.
Beasiswa untuk orang miskin atau subsidi silang, kata Ichsanuddin, merupakan program karitatif dalam sistem neoliberal. Program karikatif menunjukkan kegagalan sistem ekonomi neoliberal. Dalam praktiknya, jumlah siswa yang diberi beasiswa amat sedikit dan orang miskin belum-belum ketakutan untuk mencoba masuk sekolah dan perguruan tinggi yang mahal.

"Liberalisme pendidikan merupakan kebijakan yang menjual kedaulatan bangsa untuk menjadikan rakyatnya cerdas," kata Ichsanuddin.

Advokasi pendidikan

Universitas Islam Negeri Malang Prof Dr Imam Suprayogo menilai, pendidikan selama ini tidak diurus secara serius sehingga terus merosot. Kemerosotan mutu pendidikan itu juga terjadi di perguruan tinggi. Mutu pendidikan tinggi dengan kuliah reguler pun rendah, kini perguruan tinggi berlomba-lomba membuka program ekstensi malam, kelas Sabtu-Minggu, bahkan tanpa kuliah tatap muka sama sekali.
Imam mengemukakan, pendidikan sebaiknya tidak diliberalisasi. Kebijakan yang seharusnya diambil pemerintah adalah melakukan advokasi pendidikan dengan membenahi gedung-gedung sekolah yang ambruk, meningkatkan kesejahteraan guru, dan lain-lainnya. Liberalisasi pendidikan bisa saja dilakukan, tetapi hanya pada kelompok masyarakat tertentu yang mampu.

Aktivis perempuan Dr Musda Mulia mengemukakan perlunya perubahan total visi pendidikan di Indonesia. Senada dengan Imam, Musda juga mengemukakan perlunya advokasi pendidikan untuk kelompok-kelompok marjinal. Untuk membendung arus neoliberalisme dalam pendidikan, Musda menyarankan agar membangun kampanye antineoliberalisme dan membuat jaringan kerja advokasi pendidikan. (wis)



Produk Hukum Cenderung Fasilitasi Kapitalisme Global dalam Pendidikan
Bandung, Kompas - Produk perundang-undangan dalam bidang pendidikan di Indonesia tidak bisa melindungi dan memajukan hak-hak sosial dan kultural warga negara untuk memperoleh pendidikan. Sebaliknya, ia justru cenderung memfasilitasi kepentingan kapitalisme global. Pemerintah diharapkan melakukan reformasi substansial dalam peraturan perundang-undangan dan melakukan proteksi untuk melindungi institusi dan konsumen pendidikan di Indonesia.

Seruan itu dikemukakan anggota Komnas Hak Asasi Manusia, Amidhan, saat membuka Konferensi Nasional Pendidikan dalam Arus Neoliberalisme yang diselenggarakan di Kampus Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat (13/5).

yang berlangsung selama tiga hari itu akan menghadirkan sejumlah tokoh politik dan pejabat pemerintahan, aktivis organisasi masyarakat, tokoh agama, ekonom, dan pimpinan perguruan tinggi.

Hadir sebagai pembicara pada hari pertama antara lain Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono, Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif, Daniel Nafis dari Lingkar Studi Agama dan Kebangsaan, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Suharyadi, serta Praswad Nugraha dari Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis Universitas Padjadjaran.

Jadi proyek bisnis
Amidhan menilai, dalam beberapa tahun terakhir pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran, bahkan telah sampai pada situasi krisis. Krisis pendidikan itu tidak hanya di tingkat pendidikan dasar dan menengah, tetapi juga pendidikan tinggi. Ia menyatakan keprihatinannya terhadap institusi pendidikan yang saat ini berkembang menjadi proyek bisnis, bukan hanya di sekolah swasta, tetapi juga di sekolah negeri. Orang mendirikan yayasan pendidikan bukan untuk menyalurkan dana, tetapi justru mengambil dana dari masyarakat.

"Moga-moga saja masyarakat masih percaya pada pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan," kata Amidhan.

Amidhan mengingatkan kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan bagi semua orang tanpa diskriminasi, baik dalam legislasi maupun dalam hal-hal lainnya. Untuk memajukan persamaan hak dalam memperoleh pendidikan itu, pendidikan diselenggarakan bebas tanpa biaya pada tingkat wajib belajar sampai usia tertentu. Amidhan juga mendesak agar di tingkat perguruan tinggi tetap dibuka kesempatan bagi anak-anak berpotensi, sekalipun tidak mampu secara ekonomi.

Meutia mengemukakan, pendidikan harus mampu menjawab tuntutan pemerataan dan mutu untuk menjawab perubahan nasional dan global. Publik menilai kebijakan liberalisme pendidikan akan menyebabkan penurunan kemampuan masyarakat menyekolahkan anaknya. Masyarakat khawatir privatisasi pendidikan akan menyebabkan komersialisasi pendidikan sehingga menyebabkan masyarakat miskin tidak memperoleh akses pendidikan.
Liberalisme pendidikan, kata Meutia, bisa berdampak positif dan negatif terhadap perempuan. Dengan banyaknya sekolah, perempuan memperoleh kesempatan lebih luas. Akan tetapi, dengan mahalnya pendidikan, perempuan yang ada di bangku sekolah semakin kecil jumlahnya.

Keluarga kurang mampu, lanjut Meutia, tak mampu menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi yang baik. Perempuan dan kaum miskin paling menderita akibat liberalisme pendidikan. Banyak perempuan yang tidak bisa sekolah dan buta huruf sehingga perempuan dalam posisi marjinal. Upaya yang dilakukan adalah pembelajaran di akar rumput bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat.

"Silakan bikin sekolah internasional, mengejar hal-hal yang serba canggih, tetapi sejarah, geografi, bahasa Indonesia, dan nilai-nilai nasionalisme tetap diajarkan. Privatisasi pendidikan tidak boleh mencabut akar budaya kita," kata Meutia. (wis)


Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *