Pendahuluan
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada
mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark,
Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy
mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari
mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk
diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai
memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya
pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke
integratif. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia
semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada
tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi ’education for all’.
Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota
konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus)
mendapatkan layanana pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi
Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca
Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal
dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia
tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan
konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia
menuju pendidikan inklusif.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005
diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi
Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan
program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa anak benar-benar
memperoleh pendidikan. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia
tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000
mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan
program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia
pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun
2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan pendidikaninklusif.
1. Pengertian
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama
teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah
sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan
program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan
dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan
oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980)
Global View of
Disability: Mithu Alur and Michael Bach (Inclusive
Education for children With Disability 2005:11)
·
550 million disabled people (6,5 billion
of human population
·
80 % live in develoving countries
·
33% are children
·
80% Live in rural area
·
Labeled the “poorest of the poor
·
55% of the disabled children live in
poverty
·
In some countries, 90 % disabled
children won’t survive beyond age 20
·
WHO estimates 98% of disabled people in
developing countries are totally neglected (no free medical care or social
security)
Menurut CAPP
Mithu Alur and Michael Bach (Inclusive
Education for children With Disability 2005:59)
- Inclusive education means every child learning together in his/her neibourhood school All children are welcomed in the school and all children learn together in the regular classroom.
- Afford “open access”to students with disabilities
- Uses Identifiable school, classroom and instructional practice that promote inclusion and make real involment and acceptance probable.
- Ensure that student with disabilities take part in all aspect of the social life of the school
- Inclusive education is for every child
Berdasarkan
batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan
pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama
dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat
tinggalnya. Semangat
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses
yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
Pendidikan Segregasi, Pendidikan integratif dan
Pendidikan Inklusif
a. Pendidikan segregasi Pendidikan segregasi adalah
sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan
reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan
khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik.
Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C
(untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak
tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang
TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem
pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di
sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana
prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari
sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak
kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
b. Pendidikan
terpadu/integratif
Pendidikan terpadu adalah sekolah yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan
di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan
kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana
prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler
untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan
dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang
harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata
lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem
yang dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah
terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan
sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak
berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.
Sistem
pendidikan integratif
Penyelenggaraan
program pendidikan terpadu bermula dengan keluarnya surat keputusan Mendikbud
No.002/U/1986 tanggal 4 Januari 1986 tentang program pendidikan terpadu bagi
anak cacat. Keputusan itu disusul dengan surat edaran Dirjen Dikdasmen
No.6718/C/I/89 tanggal 15 Juli 1989 tentang perluasan kesempatan belajar bagi
anak berkelainan di sekolah umum. Kemudian SK Mendikbud No.0491/U/1992
mempertegas tentang pendidikan bagi anak berkelainan yang diselenggarakan
bersama-sama dengan anak normal di jalur pendidikan sekolah. Melalui program
pendidikan terpadu ini para peserta didik dimungkinkan untuk saling
menyesuaikan diri, saling belajar tentang sikap, perilaku dan ketrampilan,
saling berimitasi dan mengidentifikasi, menghilangkan sifat menyendiri,
menimbulkan sikap saling percaya, meningkatkan motivasi untuk belajar dan
meningkatkan harkat serta harga diri. Selain surat keputusan yang telah
diuraikan di atas, juga ada surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994
tanggal 30 Maret 1994 tentang penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan
bagi beberapa jenis kecacatan akan tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal
atau di atas rata-rata. Pelaksanaan
pendidikan terpadu di Indonesia terselenggara dengan sistem:
1). Belajar di
kelas biasa dengan guru kelas. Sekarang ini banyak siswa tuna netra yang
mendapatkan program pelayanan pendidikan terpadu secara penuh, dimana siswa belajar di kelas biasa dan ditangani
sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi.
2). Belajar di
kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.
Siswa tuna netra belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidang ketunanetraan.
Siswa tuna netra belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidang ketunanetraan.
3). Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung Guru kunjung
biasanya menangani siswa tuna netra yang belajar pada beberapa sekolah.
Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada guru kelas atau guru bidang
studi.
4). Belajar di
sekolah umum dengan kelas khususSiswa tuna netra belajar di sekolah umum tetapi
belajar di kelas yang khusus (terpisah dengan siswa normal lainnya).
5). Belajar dalam
satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan.
Siswa tuna netra bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar dalam satu gedung sekolah yang sama.
Siswa tuna netra bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar dalam satu gedung sekolah yang sama.
Hambatan pelaksanaan pendidikan integratif
Di beberapa daerah di Indonesia, banyak sekolah umum yang
tidak mau menerima siswa berkebutuhan
khusus untuk belajar di sekolah
tersebut dengan alasan tidak adanya surat keputusan dari pemerintah yang
menyatakan bahwa sekolah tersebut harus menerima siswa yang memiliki kebutuhan
khusus. Sesuai surat keputusan Kepala Kanwil Depdiknas Propinsi DKI Jakarta
No.31/101.B2/LL/1999 tanggal 23 April 1999 ditunjuklah beberapa sekolah umum di
DKI Jakarta menjadi sekolah terpadu. Pada kenyataannya, banyak Kepala Sekolah
yang ditunjuk sebagai sekolah terpadu merasa keberatan dengan penunjukan
tersebut. Alasannya sekolah mereka tidak akan mendapatkan nilai plus dengan
kehadiran siswa yang berkebutuhan khusus di sekolah mereka. Kepala sekolah juga
merasa bahwa dengan penunjukan tersebut akan menurunkan nilai kinerja sekolah,
sementara nilai kinerja sekolah tersebut yang diperoleh melalui nilai akademis
siswa merupakan dasar bagi penilaian akreditasi sekolah yang akan dilaksanakan
mulai tahun ajaran 2002/2003 di seluruh sekolah negeri di Jakarta.
Penunjukan
sekolah umum menjadi sekolah terpadu juga tidak disertai dengan sosialisasi
anak berkebutuhan khusus kepada kepala sekolah beserta staff dan gurunya.
Selain itu prasarana dan sarana penunjang pelayanan pendidikan terpadu juga
tidak disediakan oleh pemerintah.Penunjukan sekolah terpadu di Jakarta hanya
ditujukan untuk SLTP dan SMU. Sedangkan untuk jenjang sekolah dasar belum ada
penunjukan untuk sekolah terpadu. Masih banyak anggapan di benak guru-guru di
sekolah umum yang menyatakan bahwa mengajar anak yang memiliki kebutuhan khusus
adalah sesuatu yang remeh. Sehingga mereka akan merasa menjadi rendah apabila
sekolah dimana tempat mereka mengajar dijadikan sekolah terpadu.Surat Direktur
Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang
penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis
kecacatan akan tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas
rata-rata menjadi kendala pula bagi pelaksanaan pendidikan terpadu di
Indonesia. Sebab dengan surat keputusan tersebut pihak sekolah umum dapat
menolak siswa berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata, dengan demikian
pelaksanaan pendidikan terpadu menjadi sangat terbatas hanya bagi siswa yang
sangat pandai saja.
c. Pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari
pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan
khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan
berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana
prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada
sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak
sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta
didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan.
Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa
dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan
sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai
potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif
adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara
pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual
tanpa diskriminasi.
3. Implikasi manajerial pendidikan inklusif Sekolah
reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan berimplikasi secara
manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:
a. Sekolah reguler menyediakan
kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai
perbedaan.
b. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas
yang heterogen dengan menerapkan kurikulum
dan pembelajaran yang bersifat
individual.
c. Guru di kelas reguler harus menerapkan
pembelajaran yang interaktif.
d. Guru pada sekolah
inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi.
e. Guru memahami multiple intelligence
f. Guru memahami
perbedaan kebutuhan dalam mengembangkan kurikulum
g. Mampu merubah aturan main antara
guru dengan siswa
h. Guru memiliki strategi dan model
serta metode mengajar yang bervariasi.
i. Guru pada sekolah inklusif
dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan.
Pro dan kontra
pendidikan inklusif
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh
dunia sebagai salah satu upaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap
anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang
berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan kontra pendidikan
inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara yang ikut
dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif
terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah
dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan
inklusif.Pro Pendidikan Inklusifa. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB
merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan
khusus.b. Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan
sekolah regular.c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di
daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang
tidak terjangkau.
1. Pro Pendidikan Inklusif.
a. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan
satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
b. Biaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding
dengan dengan sekolah regular.
c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di
daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang
tidak terjangkau.
2. Kontra Pendidikan Inklusif.
a. Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan
khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
b.Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
c. Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di
sekolah reguler.
d. Banyak sekolah reguler yang belum siap
menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas
e. Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena
diikuti anak yang sejenis.5. Pendidikan Inklusif yang Moderat.
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang
pendidikan inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat.
Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah Pendidikan inklusif yang
memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.
a.
Model
moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.
b. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam
prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari satu
bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti : bentuk kelas reguler
penuh, bentuk kelas reguler dengan cluster, bentuk kelas reguler dengan ’pull
out’, bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’, bentuk kelas khusus
dengan berbagai pengintegrasian. bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip
fundamental yang mendasari kebijakan nasional.
(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada
perkembangan nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya.
(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi
agar sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta konsep
kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas.
(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati
semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu,
serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka.
(5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk
mengembangkan strategi bersama menuju inklusi.
(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka
sekolah yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan
inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama yang
terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, donor,
masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta
(7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta
organisasi non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam
setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif
dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.
(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi
sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam
Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus mencakup semua anak usia sekolah.
(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan
dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek
inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan
menekankan pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak
termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat,propinsi, dan lokal) dan sekolah
seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang
tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif.
Berikut ini
ada beberapa analisa untuk mengatasi masalah tersebut di atas agar pendidikan
inklusif bisa terlaksana, pada level community, maupun pada level individual
dan family.
Kriteria Calon Sekolah Penyelenggara Pendidikan
Inklusif
1. Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program
pendidikan inlusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan
orang tua)
2. Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan
sekolah
3. Tersedia guru khusus/PLB (guru tetap sekolah atau guru
yang diperbantukan dari lembaga lain)
4. Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar
5. Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang
relevan
6. Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh
semua anak
7. Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang
pendidikan inklusi
8. Sekolah tersebut telah terakreditasi
Rekomendasi
Rekomendasi berikut ini untuk lebih
meningkatkan kualitas sistem pendidikan:
(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental
yang mendasari kebijakannasional.
(2) Konsep
kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik,
maupun pencapaian akademik lainnya.
(3) Sistem
asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan
di atas.
(4) Orang dewasa
seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan
karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan
pandangan mereka.
(5) Semua
kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama
menuju inklusi.
(6) Demi menjamin
pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak (SRA),
maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA,
dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan
non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak
maupun sektor swasta.
(7) Semua
pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah,
seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai
keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah
terhadap pembelajaran bagi semua anak.
(8) Pemerintah
seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik
semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus
mencakup semua anak usia sekolah
(9) Program
pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi
guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah
hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik
tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat, provinsi, dan lokal) dan sekolah
seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang
tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif.
Kesimpulan
1). Landasan yuridis, empirik, dan falsafah pendidikan
integratif dan pendidikan inklusif sudah jelas tetapi banyak faktor yang harus
diperhatikan demi terlaksananya pendidikan ini secara berkesinambungan
2). Pro dan Kontra
di masyarakat tentang pelaksanaan pendidikan integratif dan inklusif perlu di
cari solusi nyata sehingga tujuan pendidikan nasional dapat dicapai.
3) Belum ada
sinergi yang baik antara pemerintah, seluruh lembaga pendidikan serta
masyarakat dalam upaya mewujudkan pendidikan integratif dan pendidikan inklusif
tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Ashman,A.&
Elkins,J.(194). Educating Children With
Special Needs. New York:Prentice
Hall.
Basuki Wibawa, Ivan Hanafi, Rusilanti(editor) Bunga
Rampai Kajian Pendidikan Nasional,
Cetakan I, Juli,2008 penerbit UNJ.
Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa, (2006) Pedoman
Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Depdiknas Jakarta (Draf Naskah
tidak diterbitkan)
Johnsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten (2003) Pendidikan Kebutuhan Khusus; Sebuah
Pengantar, Bandung : Unipub
Kauffman and
Mara Sapon-Shevin.Educational Leadership.52 (4) 7-11 Stainback,W.& Sianback,S.(1990).
Support Networks for Inclusive
Schooling:Independent Integrated Education.Baltimore: Paul H.Brooks.
Mithu Alur and Michael Bach,2005. Inclusive Education for children with disability CAPP. Education
World Books, WQ Judge Press, Mumbai India: 2005
PP No 19 Tahun
2005 Tentang Standar Nasioanal Pendidikan
Undang – Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UNESCO (1994). The Salamanca
Statement and Framework For Action on Special Needs Education. PARIS:Author.Warnock,H.M.(1978).
Special Educational Needs:Report of The committee of Enquiry in the Education
of Handicapped Young People. London:
Her Majesty’s, Stationary Office