Oleh :
Muhammad Yacub*)
Abstrak: Ada berbagai masalah dalam dunia pendidikan
kita yang belum teratasi. Beberapa masalah tersebut antara lain kinerja yang
tidak pas dengan tujuan umum pendidikan nasional, produk pendidikan yang belum
siap pakai atau tidak sesuai dengan ketersediaan lapangan kerja, rangking
pendidikan kita di mata dunia yang setara dengan negara-negara miskin atau baru
merdeka, dll. Dalam situasi seperti itu telah bergulir pula gelombang reformasi
yang menghendaki adanya perubahan. Dalam rangka memasuki tahapan reformasi dan
realisasi undang-undang otonomi daerah maka dalam patron pendidikan kita mesti
dapat menumbuhsuburkan secara serempak potensi-potensi IQ, EQ, CQ, dan SQ.
Dalam patron itu juga mesti terbuhul adanya kemandirian/ kewirausahaan yang
didukung oleh kemampuan bersinergi dengan lingkungan fisik dan non-fisik yang
ada. Dengan kata lain, dalam menyongsong berbagai kecenderungan yang aktual
tidak ada alternatif lain selain perlu penataan kembali terhadap dunia
pendidikan mulai dari filsafat/tujuan pendidikan sampai ke pemerintahan dan
manajemen pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan substansi pengajaran
secara nasional, regional dan lokal.
Kata kunci: permasalahan
pendidikan, reformasi pendidikan, desentralisasi, potensi manusia, metode
pembelajaran.
_____________
_____________
*) Prof. Dr.H.Muhammad Yacub, M.Ed
adalah staf pengajar Universitas Negeri Medan (UNIMED), program Pasca Sarjana
USU dan IAIN-SU di Medan .
1. Pendahuluan
Atas bantuan Pemda Sumatera Utara pada Minggu pertama
November 1999, penulis (atas nama pengurus ISPI-SU) mengikuti seminar
pendidikan nasional yang membahas bagaimana upaya merumuskan paradigma baru
dalam sistem pendidikan nasional di tanah air tercinta ini dalam kaitannya
dengan UU No. 22 tahun 1999 di Yogyakarta. Seminar itu sebagai upaya serius
agar kecenderungan-kecenderungan yang negatif dan mencemaskan pada akhir-akhir
ini terutama perilaku sebagian dari anak-anak bangsa ini tidak terus-menerus
kebablasan. Telah banyak dibahas tentang segala sesuatu yang perlu diwujudkan
dalam masyarakat, agar generasi muda kita kelak menjadi insan yang berbudi
luhur, demokratis, kreatif dan cakap melalui wahana pendidikan yang
dikembangkan. Dalam dunia pendidikan yang bersifat otoriter akan sulit sekali
atau tidak akan terdapat adanya sifat kemandirian (otonom), demokratis,
pro-aktif/kreatif. Apakah paradigma pendidikan kita yang lalu dan sekarang ini
tidak relevan lagi sehingga terwujud insan-insan yang dalam perilakunya tidak
seperti yang kita harapkan? Masalah di atas telah dibahas dalam seminar
pendidikan nasional di Yogyakarta.
Dari sejumlah tokoh pendidikan yang hadir dalam
seminar pendidikan nasional 1999 yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan
Primagama, PGRI dan ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) wilayah
Yogyakarta pada tanggal 8-10 November 1999 telah dibahas bagaimana kita harus
melakukan rekonstruksi dalam sistem pendidikan nasional di negeri ini, terutama
dalam kaitannya dengan otonomi/ desentralisasi pendidikan yang mesti terwujud
dalam abad ke-21 yang segera kita masuki. Dengan kata lain, telah terjadi
reformasi pemerintahan dari sistem yang lebih banyak menggunakan pendekatan
kekuasaan ke dalam pemerintahan yang lebih demokratis, lepas dari
keterbelengguan dan telah diperkenankan tumbuhnya kebersamaan (egalitarian)
dalam masyarakat. Dengan demikian adanya reformasi dalam sistem pendidikan
nasional tidak boleh tidak mesti dilakukan.
2. Teori-teori Tampilnya Tokoh-tokoh Terkenal
Di antara sekian banyak para pemimpin yang
sukses, mungkin saja dapat ditinjau dari teori-teori leadership/manajemen yang
diterapkan dalam kiprahnya. Ada
tiga teori yang kesohor dalam kemunculan para pemimpin di dunia ini, yaitu
teori genetik (keturunan), sosial dan lingkungan. Orang-orang seperti Pangeran
Charles, Hamengku Buwono X, Gus Dur, Megawati tampil sebagai tokoh terkenal
karena leluhurnya memang dari kalangan aristokrat dan tokoh yang terkenal.
Tampilnya Pangeran Charles dan Hamengku Buwono X secara genetik, karena
leluhurnya dari kalangan kaum aristrokat ditambah lagi dengan adanya proses
pendidikan/pengalaman yang dialaminya (teori genetik). Gorbachev, George Bush,
Yasser Arafat mencuat kepermukaan dan tampil mengagumkan bukan karena leluhur
mereka, tetapi karena keadaan sosial dan lingkungan telah menempa diri dengan
baik, ada peluang yang membuat diri orang itu muncul kepermukaan (teori
sosial). Dalam masa yang sedang labil dan keadaan tidak menentu tidak jarang
terjadi muncul pemimpin yang dominan pada mereka bukan dari kalangan aristokrat
tapi dari rakyat biasa seperti Napoleon, Hitler, Suharto yang pada gilirannya
mereka mencapai puncak kekuasaan yang tidak pernah diduganya (teori lingkungan)
Ada juga orang-orang yang sukses sebagai ilmuan, pioner dalam bidang iptek dan
sosial, ekonomi, dan politik seperti Iqbal, Tagore, dan Habibie. Mereka berasal
dari kalangan elit dalam masyarakatnya, kemudian menempa diri secara optimal
melalui pendidikan dan pengalaman yang panjang ( teori genetik dan lingkungan
). Kebanyakan dari mereka menjadi berhasil atau tampil menjadi pemimpin atau
tokoh dalam bidangnya masing-masing setelah melalui proses
pembinaan/pendidikan/latihan yang panjang dan berliku-liku .
Dari deretan nama-nama di atas dapat kita lihat
dalam biografinya bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang menempa diri secara
serius pada masa mudanya. Telah banyak turunan raja yang gagal menjadi tokoh
penerus tahta orang tua/leluhurnya, karena tidak menempa diri atau lalai,
sehingga mereka tumbang dari singgasananya. Sudah pasti bahwa orang-orang
terkenal seperti di atas, bukanlah terdiri orang-orang yang selalu santai,
malas dan semacamnya ketika mereka masa muda dulu, tetapi mereka yang pernah
menempa diri dengan belajar yang baik, disiplin, ulet, tahan uji, etos kerjanya
tinggi, lalu berjuang dengan gigih dalam mencapai cita-cita yang agung dan
mulia di dunia nyata baik secara lokal, regional, nasional dan internasional.
3. Pentingnya pendidikan dan pengalaman
Semua kita atau siapa saja memahami bahwa orang
tua dan generasi penerusnya selalu merindukan bagaimana mendapatkan hidup
bahagia dan cemerlang untuk dirinya dan sesamanya. Tak heran jika
lembaga-lembaga pendidikan kebanjiran para penuntut ilmu (siswa dan mahasiswa).
Telah tumbuh dan berkembang perguruan-perguruan, mulai taman kanak-kanak (TK)
sampai perguruan tinggi negeri/swasta (PTN/PTS) di seluruh tanah air. Setiap
tahun terdapat jutaan orang muda membanjiri PTN/PTS. Telah menjadi berita rutin
tentang wisuda lulusan perguruan, mulai dari TK sampai lulusan PTN/PTS.
Belakangan ini di antara lulusan PTN dan PTS itu ada yang mencapai tingkat
Magister (S2), Doktor (S3) dan studi lanjut setelah Doktor (post doctorat).
Kalau ada S4, S5 dan S,S, selanjutnya mungkin akan dikejar terus oleh para
pecinta ilmu.
Pada akhir-akhir ini telah terjadi gejala baru di
tengah-tengah masyarakat ilmuwan, yaitu sangat besar jumlah pencari kerja atau
penganggur baik dari kalangan yang tidak/kurang terdidik sampai lulusan
perguruan tinggi. Kebanyakan dari para penganggur terdidik itu lulusan fakultas
dari ilmu-ilmu sosial bahkan dari lulusan ilmu-ilmu eksakta, diantaranya lulusan
dari fakultas pertanian, teknik, dan kedokteran. Banyaknya pengangguran dari
kalangan putus sekolah, lulusan SD-SLA, fakultas-fakultas sosial/keguruan,
sudah menjadi berita biasa. Realita di atas merupakan salah satu faktor yang
membuat orang muda kehilangan semangat dan motivasi dalam menempa diri, dengan
cetusan hati sebagai berikut : "buat apa capek-capek belajar dengan
serius, pada akhirnya hanya untuk menambah kuantitas pengangguran intelektual
saja".
Cetusan hati di atas, sepintas lalu memang ada benarnya
pada masa tertentu, tetapi tidak selamanya akan selalu benar dalam masa yang
lain. Mengapa begitu? Sebagai penganut ajaran agama yang baik, kita mesti yakin
bahwa: "Akulah (kata Tuhan) yang mengatur perbekalan hidup (rezeki)
setiap insan di muka bumi ini". Dengan jaminan Tuhan tersebut kita
jangan hanya menunggu saja, namun kita harus berusaha keras bagaimana
mendapatkan peluang kerja atau menciptakan kerja baru untuk dirinya dan jika
mungkin menciptakan kerja untuk orang lain. Dalam bagian lain Allah berfirman
dalam Al Qur’an : "Allah tidak berubah nasib suatu kaum apabila mereka
tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri". Hal itu berarti, bahwa
walaupun gelar sarjana, atau keahlian tertentu telah kita miliki, namun kita
mesti berusaha mendapatkan pekerjaan yang cocok, jika belum diperoleh maka
jangan jemu apa lagi putus asa, terus berusaha dengan cara: (1) supaya sebanyak
mungkin orang lain mengetahui kebolehan/keahlian yang kita miliki, (2) membina
diri agar menjadi insan yang berkualitas sehingga mereka dapat menciptakan
pekerjaan untuk diri sendiri dan jika mungkin untuk orang lain. Penulis pernah
mendorong orang-orang muda seperti apa yang dituliskan di atas ini dan fakta
menunjukkan bahwa dengan penuh kegigihan orang-orang muda mengikuti terapi tersebut,
pada gilirannya mereka menemukan pekerjaan yang dapat menolong kehidupannya.
Dengan kata lain, kita mesti optimis, kreatif dan rajin berkomunikasi dengan
siapa saja yang pada gilirannya akan dapat membantu atau membuka jalan yang
pada gilirannya seseorang mendapatkan pekerjaan atau karier yang menjadi lahan
memperoleh rezeki di muka bumi ini.
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat
(tempat penulis pernah menimba ilmu khususnya dalam bidang pendidikan non
formal atau Pendidikan Luar Sekolah atau PLS) pada tahun 1978-1080 yang lalu
sangat banyak ditumbuhkembangkan Community College atau semacam
Pendidikan Politeknik yang ada di sejumlah propinsi di Indonesia seperti yang
kita kenal sekarang ini. Para
lulusan Community
College di Amerika Serikat pada umumnya dapat
langsung bekerja ke perusahaan yang telah menjalin kerja sama dengan college
tersebut. Boleh jadi ada sejumlah lembaga mengirimkan orang-orangnya ke lembaga
pendidikan/pelatihan itu. Walaupun demikian kendati telah lulus dari lembaga
yang seperti di atas, tidak merupakan jaminan bahwa lulusan tersebut 100 persen
siap kerja. Mereka itu masih perlu dilatih atau menyesuaikan diri lagi dalam
perusahaan yang merekrutnya, mengikuti latihan khusus dalam waktu yang relatif
singkat.
Persyaratan utama dalam menempa diri, terutama
dalam belajar di perguruan tinggi, tidak hanya tergantung pada faktor dana dan
intelegensia saja, masih banyak faktor-faktor lain yang turut berperan. Tidak
sedikit mereka yang mempunyai dana yang melimpah ruah dan tidak didukung oleh
kadar intelegensia dan lain-lain yang baik mereka gagal dalam mencapai sukses,
pada akhir studinya. Kegagalan itu terjadi karena orang-orang itu lebih banyak
menggunakan waktunya untuk kegiatan di luar objek studinya atau ia terperosok
pada kelompok orang-orang yang salah arah antara lain: kelompok penggemar
minuman/makanan yang berbahaya/narkoba dan semacamnya. Ada pula yang gagal karena terlibat dalam
berbagai kejahatan yang makin merebak di mana saja. Dan memang tanpa adanya dan
intelegensia dll yang memadai dapat dikatakan lebih baik tak usah belajar ke
perguruan tinggi karena biaya untuk studi lanjut yang bermutu, memang cukup
mahal, di samping faktor-faktor lain yang akan diulas pada giliran selanjutnya.
Dalam situasi yang serba sulit akhir-akhir ini
terutama sangat lemahnya kehidupan ekonomi bangsa kita, usaha-usaha dari semua
pihak sangat diharapkan. Dari pihak pemerintah terutama dalam Kabinet yang
sekarang ini tampak jelas bagaimana upaya mengatasi kesulitan ekonomi terutama
pengadaan bahan-bahan keperluan pokok menjadi tumpuan utama. Berbagai proyek
pembangunan fisik yang baru akan dimulai dapat ditunda dan dananya dialihkan
kepada pembinaan sektor-sektor yang dipandang sangat urgen antara lain
peningkatan sektor pangan, industri, perdagangan di dalam dan luar negeri serta
sektor yang berkaitan dengan pembinaan sumber daya manusia pada umumnya, dalam
pembinaan kewirausahaan pada khususnya.
4. Berbagai Potensi Non-fisik yang Mesti
Dikembangkan dalam Proses Pendidikan
Dalam bagian akan diuraikan secara singkat dan
populer tentang potensi non-fisik antara lain mengenai: kecerdasan emosional
dan lain-lain yang mesti ada dalam kegiatan-kegiatan wirausaha yang pada masa
akhir-akhir ini sedang ditumbuh-kembangkan oleh berbagai pihak.
4.1 Kecerdasan Emosional (Emotional
Quotient)
Kecerdasar emosional terjemahan dari emotional
quotion (EQ). Menurut Laurence E Syapiro (1997) EQ adalah himpunan dari
berbagai fungsi jiwa yang melibatkan kemampuan memantau itensitas
perasaan/emosi, baik pada diri sendiri maupun pada diri orang lain, memiliki
keyakinan tentang dirinya (percaya diri) dan penuh dengan antusias, pandai
memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi sehingga dapat membimbing
pikiran dan tidakannya. Seseorang yang tinggi kualitas EQ-nya dalam kinerjanya
tampak adanya keuletan dan kekenyalan, selalu dapat menahan diri dalam
mengalami frustasi/stres atau himpitan keadaan dalam rangka mencapai atau
memperjuangkan sesuatu yang menjadi cita-cita yang ingin dicapainya.
Walaupun masih ada sebagian ahli belum sepakat
apakah EQ ini dapat diukur atau tidak, orang-orang yang di dalam dirinya
terdapat potensi ini, dalam kepribadiannya terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
- Empati.
- Mampu mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah menyesuaikan diri berjuang dan survive dalam situasi yang bagaimana termasuk dalam keadaan rawan.
- Disukai oleh apa dan siapa saja yang ada di sekitarnya.
- Memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah.
- Tekun dalam menangani tugas-tugas yang diembannya.
- setia kawan dengan mitranya
Siapa yang memiliki kecerdasan emosional (EQ)
pada umumnya dalam menggeluti usahanya selalu gigih, ulet, konsisten (ajeg) dan
tahan uji/andal dalam menghadapi situasi yang paling pahit dan berat.
4.2 Kreativitas (creativity
quotient)
Istilah ini berasal dari kata creativity, creatie
berarti ciptaan, creativity berarti penciptaan. Adanya kreativitas yang
tinggi dalam kepribadian berarti terdapat kecenderungan untuk menciptakan
sesuatu yang dipandang baru dan bermanfaat dalam kehidupan. Orang yang kreatif
sering juga dianggap sebagai orang yang inovatif, selalu berminat untuk
menemukan yang baru dan original (keaslian), tidak hanya meniru/mengekor
terhadap sesuatu yang telah dikerjakan orang lain. Dalam diri orang yang
kreatif dalam kinerjanya selalu tampak:
- Mampu mengendalikan emosi.
- Memiliki empati.
- Luwes dalam berpikir/bertindak, berminat dalam kegiatan kreatif.
- Berwawasan ke depan dan percaya kepada gagasan sendiri.
(Dedi Suriadi, 1994)
Dalam belajar, bekerja, dan dunia bisnis adanya kreativitas
sangat diperlukan dalam rangka menghadapi kejenuhan/kebosanan dan persaingan
yang ketat.
- Kecerdasan Ruhaniah (Spiritual Quotient atau SQ)
SQ adalah suatu kemampuan untuk
memahamai dan menggali motif terdalam dari kehidupan ini. Dengan kemampuan ini
seseorang dapat mengenal Tuhan, meyakininya dan mencintainya. Seseorang tidak
dapat mencintai Tuhan secara benar sebelum ia mencintai sesama manusia secara
tulus. SQ yang tinggi kadarnya sangat berkaitan dengan EQ dan CQ (Gatra, No,43
th IV. 9 Sept. 2000: 46)
- Etos Kerja (EK)
Istilah etos salah satu artinya
adalah semangat, etos kerja artinya semangat bekerja. Siapa yang etos kerjanya
tinggi selalu bergairah/bersemangat dalam menjalani kegiatan kerja yang telah
diputuskan menjadi bagian dari kehidupannya. Mereka seolah-olah tidak mengenal
lelah dan putus asa dalam menggeluti tugas-tugas yang menjadi tanggung
jawabnya. Dalam jiwanya telah terpatri motto "Hari ini harus lebih baik
dari hari kemarin" yang berasal dari salah satu ajaran agama Islam yang cukup
hebat tapi kurang terlihat dalam kepribadian sebagian dari orang-orang Islam
masa kini; padahal motto ini telah diluncurkan pada abad ke-7 yang lalu. Motto
itu adalah bagian dari motivasi kerja berdasarkan ajaran Islam: "Siapa
saja pada hari ini amalnya lebih baik dari kemarin maka tergolong orang
beruntung, siapa yang amalnya sama saja dengan kemarin, tergolong orang yang
merugi dan apabila amalnya lebih rendah dari kemarin maka ia tergolong orang
celaka".
Betapapun berat dan sulitnya
kegiatan kerja yang menjadi tanggung jawabnya, ia selalu menggeluti tugasnya
itu dengan rasa ikhlas dan lapang dada; ia senantiasa merasa senang dan tenang
dalam menjalankan tugasnya. Dengan penuh kesadaran, tugas yang diembannya itu
adalah salah satu ibadah bahkan setara dengan ibadah wajib menurut ajaran agama
Islam. Apabila bekerja telah diyakini sebagai ibadah dan hal itu dila-kukannya
secara rutin, dengan penuh kesadaran dan kecintaan maka apabila orang itu tidak
melakukannya karena berbagai sebab maka ia merasakan ada sesuatu yang hilang
atau tidak lengkap dalam dirinya. Siapa saja yang telah melakukan ibadah kepada
Tuhan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya dan ibadah itu telah meresap
dalam jiwanya dan menjadi bagian yang menetap dalam dirinya (kebiasaan) maka apabila
kegiatan itu tidak dilakukannya, ia merasa gelisah. Siapa saja yang etos
kerjanya tinggi pada umumnya akan merasa seperti itu apabila ia dalam keadaan
menganggur atau suatu tugas yang tidak didikerjakan dengan tuntas. Dalam
menumbuhkembangkan kegiatan belajar, bekerja, wirausaha dll sifat-sifat mental
yang dipaparkan di atas harus ada. Dari sejumlah tokoh yang dipandang sukses
dalam berbagai bidang, khususnya dalam dunia wirausaha memang terbukti memiliki
sifat-sifat mental seperti telah dipaparkan di atas.
- Meningkatkan penumbuhan usaha-usaha Wiraswasta
Program-program untuk membantu kelompok
masyarakat yang tergolong dalam usaha kecil ke bawah dan menengah (usaha
wiraswasta) terutama dalam rangka program-program yang ada dalam Jaringan
Pengaman Sosial (JPS) yang telah diluncurkan dengan alasan sebagai berikut.
- Pertumbuhan jumlah pegawai negeri dengan zero growth, dengan demikian kesempatan untuk menjadi pegawai negeri makin kecil peluangnya.
- Banyaknya usaha-usaha swasta yang besar dan menengah yang terlikuidasi akibat krisis moneter yang mengakibatkan krisis lainnya.
- Belum tumbuh dengan subur usaha-usaha wirausaha yang dilandasi oleh semangat dan etos kerja yang didalamnya terdapat kecerdasan emosional, kreativitas dan spiritual yang tinggi.
Dari orang-orang yang sukses dalam dunia bisnis
yang pernah penulis lontarkan dalam sejumlah tulisan yang pernah dimuat di
media massa, antara lain Marsimin Purba, Sujak Widodo, Ray Crock dapat kita
cermati bahwa dalam kepribadian mereka terdapat potensi-potensi yang telah
diuraikan di atas. Menurut pengamatan penulis bahwa dalam kepribadian
orang-orang seperti M. Purba, Sujak, Lim Sui Long, dan R Crock terdapat adanya
IQ, EQ, CQ, dan RQ. S Widodo dan M. Purba
(wiraswastawan dari wilayah Sumatera Utara dan Batam-Riau ) ternyata memang
memiliki sifat-sifat tekun dan ulet/gigih dalam menumbuhkembangkan usaha yang
dikelolanya dalam bidang yang digelutinya. Mereka memiliki kemampuan
berkomunikasi yang baik dengan berbagai pihak terutama dengan Departemen
Koperasi dan Bank; dengan bantuan pembiayaan dari Bank maka usaha mereka makin
bertambah maju dan sukses. Dengan adanya potensi-potensi seperti telah
diuraikan di atas salah seorang dari 10 orang terkaya kaliber dunia yaitu Ray
Crock pada gilirannya menjadi lebih kaya-raya jika dibandingkan dari pada
pembina dan pengembang awal (pioner) dari Restoran Mc Donald yaitu Mc Donald
bersaudara. (C.A.Poisant, 1993)
Dengan memperhatikan uraian di atas kita dapat
merasakan bahwa produk pendidikan yang terjadi pada masa lalu di negeri ini
baru terfokus pada kuantitas lulusan belum menyentuh dari sisi kualitas
pendidikan, berorientasi pada aspek kognitif (NEM/IP yang tinggi) dan kemampuan
psikomotor yang kurang optimal dan belum banyak menyentuh aspek non fisikal
terutama dari sisi pengembangan EQ, CQ dan, SQ secara optimal.
7. Otonomi Pemerintahan Daerah dan reformasi
pendidikan
7.1 Pengertian Otonomi, UU No. 22 tahun 1999
dan Otonomi Pemerintahan Daerah
Otonomi artinya memutuskan suatu
keputusan/kebijakan secara mandiri; otonomi erat kaitanya dengan
desentralisasi. Otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas,
demokratis, rasional dan sudah tentu dalam kalangan insan-insan yang
berkualitas. Dalam pemerintahan Presiden Habibie yang berusia 500 hari itu
telah lahir Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
walaupun belum begitu sempurna namun dapat merupakan acuan untuk melangkah
lebih maju dapat mengadakan terobosan ke arah terwujudnya cita-cita nasional
yang belum juga menjadi kenyataan.
Dalam UU No. 22 1999 itu yang merupakan titik
balik terhadap UU No. 5 tahun 1974, telah ditegaskan adanya pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam pasal 7 UU No 22 tahun 1999
kewenangan daerah akan cukup luas, namun dalam bidang keamanan, hubungan politik
luar negeri, agama, peradilan dan moneter/fiskal masih merupakan kewenangan
pemerintah pusat. Dengan realisasi desentralisasi kewenangan dalam bidang
keuangan hanya terfokus dalam pembangunan secara makro dalam globalisasi, ada
kesepakatan tentang pembagian budget untuk pusat dan daerah sehingga kewenangan
daerah dalam menggunakan keuangan yang menjadi porsinya sesuai dengan kebutuhan
dan aspirasi yang memang relevan untuk daerahnya.
7.2 Rekonstruksi/Reformasi dalam Sistem
Pendidikan Nasional dan Regional
Dalam seminar yang telah dikemukakan di atas
telah dibahas hal-hal sebagai berikut.
Pertama, dari berbagai kelemahan yang kita jumpai
dalam dunia pendidikan dalam zaman orde lama dan orde baru sudah pasti mesti
dirumuskan paradigma baru dalam menuju milenium ke tiga mendatang. Telah
terungkap berbagai bentuk dan jenis lembaga pendidikan yang telah tumbuh dan
berkembang di tanah air tercinta ini, baik yang tumbuh dari sosio budaya
masyarakat yang ada di bumi Nusantara ini maupun yang berdasarkan pengaruh dari
luar nusantara misalnya dari Asia Selatan, Timur Tengah dan Barat. Keberadaan
berbagai bentuk lembaga pendidikan Islam terutama paradigma pendidikan yang
dikembangkan dalam pondok pesantren dipandang sebagai salah satu bentuk
pendidikan yang membina sikap mandiri dan waspada terhadap berbagai
pengaruh dari luar. Pada awalnya pondok pesantren didirikan dengan semangat
kemandirian dan berbagai sistem (termasuk dalam substansi pendidikan) yang
ditumbuhkembangkan di dalamnya begitu otonom, walaupun adanya semacam hak
veto dan hegemoni memang ada di tangan kiayi atau para pendiri pesantren.
Kedua, dalam GBHN 1999 telah dirumuskan misi
pendidikan nasional kita sebagai berikut. Mewujudkan sistem dan iklim
pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia,
kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin,
bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka
mengembangkan kualitas manusia Indonesia.( Soedjiarto, 1999 ). Untuk mewujudkan
misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut:
- Perluasan dan pemerataan pendidikan.
- Meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan.
- Melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum.
- Memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas.
- Dalam realisasi pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen.
- Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa (Soedjiarto, 1999).
Ketiga, dalam hal upaya menuju otonomi pendidikan
kita mesti memperhatikan adanya empat pilar yang direkomendasi oleh UNESCO
yaitu: 1) learning to know, 2) learning to do, 3) learning to
live together, dan 4) learning to be (mengembangkan kepribadian dan
kemampuan untuk bertindak dengan otonomi yang lebih besar disertai oleh
penilaian dan tanggung jawab pribadi). Dalam hal otonomisasi pendidikan di
Indonesia sesuai dengan semangat reformasi telah ditetapkan/diberlakukan UU No.
22 tahun 1999 pasal 11 ayat 2 bahwa bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan
salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah tingkat II.
Kemudian dalam pasal 8 ayat 1 diacu bahwa penyerahan kewenangan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah dan masyarakat di dalamnya sebagai realisasi
desentralisasi yang tidak boleh tidak memiliki konsekwensi logis berupa
penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Dengan demikian, otonomi
pendidikan akan berupa sistem desentralistik dalam manajemen pendidikan harus
dapat mengarahkan pada berbagai kebijakan dalam proses pendidikan antara lain
dalam proses belajar-mengajar sebagai alat mencapai tujuan yaitu mendorong
terwujudnya partisipasi, peningkatan kualitas layanan melalui pemberdayaan
lembaga pendididkan (sekolah) dan pendidik/guru dan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam konteks sosial budayanya sendiri. Dengan
demikian, penerapan sistem desentralistik manajemen Pendidikan Dasar dan
seterusnya dapat mengacu PP No. 65 tahun 1951 dan UU No. 22 tahun 1999. Dengan
demikian maka DPR daerah (Dati I dan II) perlu memikirkan kembali agar berbagai
kebijakan di masing-masing daerah sesuai dengan jiwa reformasi yang kondusif
dan kebutuhan daerahnya di masing-masing. Dengan demikian, peserta didik harus
dikembangkan secara proporsional dari berbagai segi (IQ, EQ, CQ dan RQnya) dan
jasmaninya sesuai dengan bakat dan minatnya dan dalam konteks: sosio-budaya
daerah yang mengacu pada kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang mesti dipegang teguh
dalam upaya menjaga kesatuan/keutuhan nasional. Dalam upaya itu jangan
dilupakan bahwa bangsa apa saja mesti berintegrasi dengan bangsa-bangsa lainnya
di dunia ini.
Dari sedemikian banyak masukan dalam hal
otonomisasi dalam pendidikan menuju milenium ketiga dari seminar terungkap
sebagai berikut.
- Perlu adanya filosofi pendidikan Indonesia yang menggambarkan paradigma yang relevan dengan jiwa reformasi yang di dalamnya telah tumbuh sistem demokratisasi dan kebebasan yang beradab/beraklak dan sedang kita kembangkan sekarang ini dalam berbagai bentuk dan sudah tentu dalam aspek Politik Pendidikan dan Kebudayaan sehingga dapat mewujudkan Manusia Indonesia Baru yang berkepribadian kuat.
- Pendidikan Nasional hendaknya memiliki misi agar tercipta partisipasi masyarakat secara menyeluruh sehingga secara mayoritas seluruh komponen bangsa yang ada dalam masyarakat menjadi terdidik. Pada sisi lain tidak hanya terfokus pada penyiapan tenaga kerja, tapi lebih jauh dari itu harus memperkuat kemampuan dasar peserta didik sehingga memungkinkan baginya untuk berkembang lebih jauh sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan global.
- Pengembangan sekolah perlu menggunakan pendekatan community based education, terutama menerapkan prinsip otonomi, acountability dan quality assurance sehingga dapat mengakomodasi sosio-ekonomi/budaya lokal namun tetap mengacu pada sosio budaya nasional. (Suyanto, 1999). Dengan demikian, lembaga pendidikan yang ada mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat/orang tua di sekitarnya dan pemerintah setempat, namun tetap dalam koridor sistem pendidikan nasional.
- Substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan kreativitas (IQ, EQ, CQ, dan RQ) dalam totalitas yang seimbang dan serasi. Pendidikan menengah dan tinggi hendaknya diarahkan pada membuka kemungkinan pengembangan individu/kepribadian secara vertikal dan horisontal. Pengembangan secara vertikal mengacu pada struktur keilmuan dan pengembangan horisontal, mengacu pada keterkaitan antarbidang keilmuan.
- Dalam realisasi pendidikan dalam konteks lokal adanya badan-badan pembantu dalam dunia pendidikan antara lain Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) ditingkatkan perannya menjadi Dewan Sekolah yang di dalamnya harus ada unsur-unsur Pemerintah Daerah, perwakilan guru-guru dan sudah tentu ada pula di dalamnya tokoh-tokoh masyarakat dan para orang tua peserta didik. BP3 berperan memberi masukan tidak hanya dari sisi bantuan material dan kesejahteraan guru, tetapi juga masukan dalam berbagai aspek termasuk dalam pembinaan misi, visi dan substansi (kurikulum lokal dll) pendidikan yang sesuai dengan keperluan daerah masing-masing.
- Dalam pembelajaran pada tingkat apa saja mesti dapat mengaktualisasi enam unsur kapasitas belajar yaitu: (i) kepercayaan (confidence), (ii) keingintahuan (curioucity), (iii) sadar tujuan (intensionality), (iv) kendali diri (self control), (v) kemampuan bergaul secara harmonis /saling pengertian (relatedness), dan (vi) mampu bekerja sama (work together) dengan pihak mana saja.
8. Penutup
Dengan kata lain, rahasia bagaimana kita dapat
mencapai keberhasilan dalam proses pendidikan yang pada gilirannya dapat
mencapai sukses kehidupan ini dalam garis besarnya adalah sebagai berikut.
- Kita harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang optimal sehingga menjadi profesional dalam satu atau dua atau lebih dari dalam kehidupan yang nyata baik yang bersifat fisikal atau non fisikal.
- Berusaha agar orang lain atau jika mungkin satu/beberapa perusahaan mengenal dan mengetahui tentang keahlian yang kita miliki sehingga mereka mungkin menggunakan (memesan) keahlian yang kita miliki untuk mereka manfaatkan.
- Dalam menggeluti pekerjaan apa saja tunjukkan hasil kerja (prestasi) yang prima/optimal dan dengan penuh tanggung jawab (accountability) serta jauhkan diri dari segala sesuatu yang arogan.
- Adanya kemampuan untuk berinteraksi dengan baik dan harmonis (human relation) dengan sesamanya dan dengan atasan/bawahannya serta bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
- Sangat perlu adanya kejujuran, disiplin, keuletan, kesabaran dalam berbagai aspek dalam kehidupan dalam ruang/tempat kerja dan di luarnya termasuk dalam keluarganya.
- Sadarilah bahwa bekerja adalah termasuk salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT di samping berbagai jenis ibadah lainnya terutama ibadah ubudiyah kepadaNya.
Dengan berbagai usaha di atas timbul tanda tanya:
dapatkah berbagai upaya itu mencapai tujuan yang diharapkan? Faktor-faktor apa
saja yang mesti ditingkatkan sehingga tumbuh dan berkembang sehingga berbagai
usaha baru dapat terwujud? Dalam menjawab pertanyaan di atas, penulis yakin
bahwa para pembaca dapat menemukan sendiri jawabannya setelah melalui
penyelidikan dan pengalaman yang cukup panjang.
Sekedar demikian saja pemaparan kami tentang
reformasi pendidikan yang dapat kami simak dalam tulisan ini. Mudah-mudahan
saja isi tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua.
Pustaka Acuan
Madya, Sumarsih, 1999, "Menuju Otonomi
Pendidikan", MAKALAH, Primagama-ISPI-PGRI, Yogyakarta .
Muhammad, Henry & Bakri, Kholis Bachtiar, 2000. " Sikap damai itu cerdas ", GATRA, No. 43/thn VI/9 September.
Meester, De L, 1999, "Menuju Otonomi Pendidikan", MAKALAH, Primagama-ISPI-PGRI,Yogyakarta .
Poisant, Charles Albert, 1993, RAHASIA KEBERHASILAN JUTAWAN TERKEMUKA DI DUNIA, Pustaka Tangga,Jakarta .
Muhammad, Henry & Bakri, Kholis Bachtiar, 2000. " Sikap damai itu cerdas ", GATRA, No. 43/thn VI/9 September.
Meester, De L, 1999, "Menuju Otonomi Pendidikan", MAKALAH, Primagama-ISPI-PGRI,
Poisant, Charles Albert, 1993, RAHASIA KEBERHASILAN JUTAWAN TERKEMUKA DI DUNIA, Pustaka Tangga,
Supriadi, Dedi, 1994, KREATIPTAS, KEBUDAYAAN
& PERKEMBANGAN IPTEK, Alfabeta, Bandung .
Syapiro, Laurence E, 1997, MENGAJARKAN EMOTIONAL
INTELIGENCE PADA ANAK, Gramedia, Jakarta .
Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara bangsaIndonesia ",
MAKALAH, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta .
Suyanto, 1999, "Paradigma Baru Sistem Pendidikan Nasional Abad ke-21", MAKALAH, Primagama-IPSI-PGRI,Yogyakarta .
Yacub, Muhammad, 1999, ORANG TUA BIJAKSANA DAN INSAN-INSAN YANG SUKSES, Yay-Madera ,
Medan .
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu_opini_mengenai_reformasi_s.htm
Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara bangsa
Suyanto, 1999, "Paradigma Baru Sistem Pendidikan Nasional Abad ke-21", MAKALAH, Primagama-IPSI-PGRI,
Yacub, Muhammad, 1999, ORANG TUA BIJAKSANA DAN INSAN-INSAN YANG SUKSES, Yay-
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu_opini_mengenai_reformasi_s.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar