Sebuah pertanyaan besar kenapa baru sekarang
diberlakukan setelah budaya teksbook kita begitu kuat dalam kurikulum
pendidikan kita, mahasisiwa terbiasa dengan hapalan-hapalan teks yang tak
berimbang dengan apliaksi kasus. Sehingga mereka terbiasa dengan asupan-asupan
imu dalam diktat dan buku paket yang baku yang tidak mengarah pada apresiasi
dan kreatiftas kita.
Mereka hebat berteori tapi lemah dalam aplikasi. Saat
skripsi mereka membolak-balikan hasil
skripsi sudah menjadi budaya sehari-hari di perpustakaan kampus. mereka skripsi
hanya melihat karya orang lain dan menduplikasikannya, kalau bisa dbuatkan
sekripsi yang bertebaran di sudut kampus Apalagi persepsi penelitian sekedar
syarat kelulusan bukan untuk pembuktian kualitas mereka sebagai intelektual dan pembelajaran mereka selama delapan semester
kuliah di perguruan tinggi.
Begitu juga karya ilmiah dan hasil riset dosen di
Indonesia sangat kurang mendapat perhatian, kurangnya subsidi bagai penelitian,
belum ada publikasi luas sebatas jurnal kampus atau hanya sekedar persyaratan
sertifikasi dosen atau kepangkatan yang bisa copy paste dan hanya formalitas
semata.orang lain Lebih parah lagi
dengan budaya plagiator dikalangan ilmuwan, seperti tahun 90-an Ismet Fanany
menuduh desertasi hasil karya Dr. Yahya Muhaimin dalam judul “Bisnis Dan Politik Di Indonesia” sebagai
duplikasi dari karya ilmuwan Australia Dr. Richard robinson, “Capitalism An The Bureaucratic State In
Indonesia” [1]
Walaupun begitu kebijakan baru untuk mewajibkan
kelulusan setelah hasil karya ilmiah mereka S1, S2 dan S3 harus terpublikasikan
secara nasional. Sebuah gebrakan baru yang sebenarnya sudah diterapkan dinegara
lain, walaupun dirasakan apriori mengenai beberapa hal yang harus dipikirkan
oleh pemerintah dalam hal ini dikti dalam hal :
- Siapa yang menjadi media publikasi nasional, bagi PTN jelas dari pemerintah resmi dalam hal ini mendiknas, lalu PTS dengan bermacam grade kulaitas-nya.
- Berapa jumlah calon sarjana yang harus ngantri untuk dipublikasikan, kualitas karya ilmiahnya bagaimana yang gagal, kapan kelarnya?
- Kualitas pembimbing riset yang alakadarnya dan bagaimana fee, termasuk resiko semakin menumpuk calon sarjana yang tertunda dengan kebijakan ini terutama kampus yang kualitasnya masih dibawah standar nasional.
Kita akui program publikasi hasil penelitian ini
akan meningkatkan budaya penelitian yang kuat setelah mereka menjadi sarjana,
karena merasa hasil penelitian mereka terbaca semua orang dan menjadi promosi
personal. Tapi masalah diatas terutama media publikasinya benar-benar qualified
dan memikirkan kualitas PTS yang masih belum standar baik dalam perangkat
kuirkulum maupun infrastruktur.
Sebenarnya seandainya mau secara bertahap dengan
memperhatikan dosen untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan menyediakan
penerbitan dengan memperhatikan royalty ilmiah mereka sehingga memberikan
motivasi penelitian mereka semakin kuat, plus ada bantuan yang proporsional
antara dosen negeri dan swasta untuk riset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar