Penulis: Ester Lince Napitupulu | Editor: Latief
KOMPAS.COM/ M LATIEF ILUSTRASI:
Dengan kondisi ekonomi sekarang, masyarakat menarik anak-anaknya untuk sekolah ke sekolah negeri yang dibantu penuh oleh pemerintah.
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketika pemerintah terbatas pendanaannya dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah swasta berperan untuk ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Anehnya, saat merasa memiliki dana pendidikan yang semakin besar, pemerintah dengan gencar mempromosikan sekolah gratis, keberadaan sekolah-sekolah swasta justru dipinggirkan.
Kondisi tersebut terungkap dalam diskusi dan testimoni bertajuk "Ancaman Eksistensial Pendidikan Dasar di Perguruan Swasta". Diskusi dilaksanakan oleh Tim Advokasi untuk keadilan Pendidikan Dasar Anak Bangsa di Jakarta, Selasa (22/2/2011).
Sekolah-sekolah swasta saat ini mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 55 Ayat 4, khususnya untuk menghilangkan kata 'dapat' seperti yang tertulis di pasal itu. Dengan kata itu, pemerintah seolah-olah tidak berkewajiban membantu sekolah swasta.
Dalam diskusi itu terungkap, sekolah-sekolah swasta yang melayani pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu hingga menengah minim mendapatkan bantuan. Sertifikasi guru swasta dijatah dengan kuota yang lebih sedikit setiap tahunnya dibandingkan dengan guru PNS. Bantuan guru-guru PNS untuk sekolah swasta tidak ada lagi, bahkan di sejumlah daerah guru PNS yang masih ada di sekolah swasta dicabut.
Selain itu, akses pendanaan bagi sekolah swasta kecil untuk membantu peningkatan layanan pendidikan, misalnya rehabilitasi gedung sekolah dan penambahan sarana belajar, terbatas.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU) Marsyudi Suhud mengatakan, saat ini ada ribuan sekolah formal dan 21.000 pondok pesantren di bawah naungan NU. Sekolah swasta di bawah NU tersebut juga merasakan perbedaan perlakuan dari pemerintah dibandingkan dengan sekolah negeri.
Kenyataan itu didukung Machmud Masjkur dari Perguruan Salafiyah Pekalongan. Dengan kondisi ekonomi sekarang, masyarakat menarik anak-anaknya untuk sekolah ke sekolah negeri yang dibantu penuh oleh pemerintah.
"Sekolah swasta yang melayani anak-anak tidak mampu minim bantuan dalam banyak aspek," kata Marsyudi.
Suster Maria Bernardine dari Perguruan Santa Maria Pekalongan mengatakan, keluhan soal sikap pemerintah yang diskriminatif terhadap sekolah negeri-swasta terus mencuat sampai saat ini. Ini ternyata karena ada ketentuan dalam UU Sisdiknas yang mengatakan pemerintah dapat, bukan wajib, membantu sekolah swasta.
"Jadi, tidak ada kepastian bantuan untuk sekolah swasta dari pemerintah," kata Maria.
Darmaningtyas, pengamat pendidikan yang juga pengurus Perguruan Taman Siswa, menambahkan, sekolah-sekolah swasta yang melayani golongan rakyat kecil wajib memberikan dukungan pendanaan, terutama di jenjang pendidikan dasar. Hingga periode 1970-an, banyak sekolah swasta yang dibantu penuh oleh pemerintah, baik gedung, perangkat mebel, peralatan, maupun gurunya, yang dikenal dengan sekolah bersubsidi.
Menurut Darmaningtyas, ketika pemerintah punya uang untuk lebih memerhatikan pendidikan, yang diutamakan justru membangun sekolah-sekolah.
"Seharusnya, kan, bisa dengan memperkuat sekolah swasta yang ada, tetapi diberi subsidi sehingga tidak membenai masyarakat. Namun, kenyataannya sekolah swasta dibiarkan kalah bersaing dengan sekolah negeri yang dapat dukungan penuh dari pemerintah," ujar Darmaningtyas.
Peran sekolah swasta saat ini terus tergerus. Untuk tingkat SD, peran sekolah swasta sekitar 8 persen, SMP hanya 35 persen, sementara SMA mencapai sekitar 55 persen.
Pengurus PP Lembaga Pendidikan Maarif NU Masduki Baidlawi mengatakan, karena dukungan pada sekolah swasta akan membebani anggaran di APBN, pemerintah membuat aturan yang ambigu. Karena itu, kata "dapat" memberikan bantuan dalam Pasal 55 Ayat 4 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 harus dihilangkan supaya mengikat pemerintah harus juga memberi bantuan untuk sekolah swasta.
Sumber : http://edukasi.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar