by : Das
Salirawati, M.Si
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan kebutuhan
primer pada saat ini, apalagi sebagian besar masyarakat sudah menyadari
pentingnya pendidikan dalam menata masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu
setiap negara senantiasa berusaha memajukan bidang pendi-dikan, disamping bidang
yang lain dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang kompetitif dan
berkualitas serta berusaha mengejar kemajuan negara lain.
Satu dari sekian banyak masalah di era global yang
dihadapi Indonesia saat ini adalah masalah di bidang pendidikan. Masalah yang
belum teratasi pada saat ini terutama masalah yang berhubungan dengan kualitas
hasil pendidikan (Suyanto, 2007). Adanya kebijakan sertifikasi guru adalah
salah satu upaya nyata Pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru agar
guru sebagai aktor utama dalam pendidikan umumnya dan pembelajaran khususnya
dapat meningkatkan kompetensinya.
Seorang
guru penting untuk menciptakan paradigma baru untuk menghasilkan praktik
terbaik dalam proses pembelajaran (Carolin Rekar Munro, 2005). Oleh karena itu,
ketika terjadi perubahan kurikulum dan terjadi pergeseran tuntutan hasil
pendidikan yang berkaitan dengan tuntutan pasar kerja, maka gurulah yang harus
berperan mewujudkan harapan itu. Guru
harus selalu mengembangkan diri, baik yang berkaitan dengan kompe-tensi bidang
studi maupun pedagogik, termasuk penggunaan internet dalam mencari informasi
terkini (Kok Siang Tang, Ngoh Khang Goh, & Lian Sai Chia, 2006).
Ronald
Brandt (1993) menyatakan bahwa hampir semua usaha reformasi dalam pendidikan,
seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan metode pembelajaran baru akhirnya
tergantung kepada guru. Tanpa guru yang mampu menguasai bahan ajar dan strategi
belajar-mengajar, maka segala upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan
mencapai hasil yang optimal. Hal ini berarti seorang guru tidak hanya
diharapkan mampu menguasai bidang ilmu yang diajarkan, tetapi juga menguasai
strategi belajar-mengajar.
Saat ini
dunia pendidikan telah banyak menghasilkan berbagai macam inovasi dan
menghadirkan strategi/model pembelajaran. Hal ini semata-mata sebagai upaya
mengga-irahan minat belajar peserta didik, sekaligus meningkatkan kualitas
pembelajaran dan hasil belajar. Oleh karena itu sudah saatnya guru mengetahui
model-model pembela-jaran, baik jenisnya maupun cara penerapannya.
KONDISI
PENDIDIKAN KITA SAAT INI
Seiring
dengan kemajuan di bidang pendidikan, maka secara perlahan-lahan telah terjadi
perubahan paradigma pendidikan, seperti perubahan dari teacher centered ke student
centered; diterimanya pendekatan, metode, dan model pembelajaran baru yang
inovatif; munculnya kesadaran bahwa informasi/pengetahuan dapat diakses lewat
berba-gai cara dan media oleh peserta didik; teknologi pembelajaran berbasis
teknologi infor-masi (TI) mulai diterapkan; orientasi pendidikan bukan hanya
pada pengembangan sum-ber daya manusia (human
resources development), tetapi juga pada pengembangan kapabilitas manusia (human capability development);
diperkenalkannya e-learning; depen-dence ke independence; individual ke team
work oriented; dan large group ke
small class.
Namun demikian kita masih melihat adanya pembelajaran di
sekolah-sekolah yang berpusat pada guru dimana guru masih aktif sebagai pemberi
informasi dan mendominasi pembelajaran di kelas, sedangkan peserta didik pasif
sebagai penerima informasi, meski-pun paradigma pendidikan yang baru sudah
mengarahkan pada student centered.
Selain itu pembelajaran masih menekankan pada hafalan dan drill-drill (latihan) yang kemung-kinan besar disebabkan banyaknya
materi yang harus diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun
peserta didik tidak lagi dianggap objek pembelajaran, tetapi kenyataannya
materi pembelajaran masih sangat ditentukan oleh guru. Di sebagian besar
sekolah, masih terlihat kurang mengoptimalkan pengembangan kapabilitas peserta
didik, baik yang menyangkut cipta, rasa, dan karsa, serta peserta didik kurang
memiliki kesempatan untuk berpikir kritis, logis, kreatif, dan inovatif.
Dengan
kenyataan seperti itu, maka sudah saatnya bagi guru untuk mencoba mengembangkan
profesionalismenya melalui pengembangan model-model pembelajaran yang
benar-benar mampu mengaktifkan dan menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan sekaligus menyenangkan. Dengan demikian peserta
didik akan merasakan kebermaknaan belajar bagi hidup dan kehidupannya dan
akhirnya meaningful learning akan
terwujud.
PENGERTIAN
MODEL PEMBELAJARAN
Model
pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasi-kan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi, sebenarnya model
pembela-jaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan atau strategi
pembelajaran. Saat ini telah banyak dikembangkan berbagai macam model
pembelajaran, dari yang sederhana sampai model yang agak kompleks dan rumit
karena memerlukan banyak alat bantu dalam penerapannya.
Seorang
guru diharapkan memiliki motivasi dan semangat pembaharuan dalam proses
pembelajaran yang dijalaninya. Menurut Sardiman A. M. (2004 : 165), guru yang
kompeten adalah guru yang mampu mengelola program belajar-mengajar. Mengelola
di sini memiliki arti yang luas yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu
menguasai keterampilan dasar mengajar, seperti membuka dan menutup pelajaran,
menjelaskan, menvariasi media, bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya,
juga bagaimana guru menerapkan strategi, teori belajar dan pembelajaran, dan
melaksanakan pembelajaran yang kondusif. Pendapat serupa dikemukakan oleh Colin
Marsh (1996 : 10) yang menya-takan bahwa guru harus memiliki kompetensi
mengajar, memotivasi peserta didik, membuat model instruksional, mengelola
kelas, berkomunikasi, merencanakan pembela-jaran, dan mengevaluasi. Semua
kompetensi tersebut mendukung keberhasilan guru dalam mengajar. Setiap guru
harus memiliki kompetensi adaptif terhadap setiap perkem-bangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan di bidang pendidikan, baik yang menyangkut perbaikan
kualitas pembelajaran maupun segala hal yang berkaitan dengan peningkatan
prestasi belajar peserta didiknya.
MODEL
PEMBELAJARAN BERBASIS SCL
Ada
beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan pada saat ini yang berbasis
pada Student Centered Learning (SCL).
Model SCL sangat digemari karena berbagai alasan, diantaranya:
1. diterimanya pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran;
2. adanya pergeseran paradigma pengajaran ke pembelajaran;
3. adanya pergeseran dari teacher oriented ke student oriented;
4. adanya pergeseran dari orientasi hasil ke proses
pembelajaran;
5. diterimanya konsep pendidikan sepanjang hayat;
6. diterimanya konsep multiple
intelligence;
7. semakin mudah dan murahnya akses informasi melalui
jaringan dan perangkat TI;
8. tersedianya buku-buku referensi yang mudah diperoleh. .
Perlu
diingat bahwa sebaik apapun model pembelajaran tersebut secara teoretik, tetapi
keberhasilannya dalam membantu menciptakan pembelajaran yang kondusif bagi
peserta didik sangat tergantung pada kepiawaian guru dalam menerapkannya.
Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa keunggulan pembelajaran di Jepang
terutama disebabkan oleh peranan guru yang mampu memilih strategi pembelajaran
yang efektif termasuk di dalamnya memilih model pembelajaran (Aleks Masyunis,
2000). Guru memberikan warna dan nilai terhadap model yang diterapkan.
Berikut
ini akan disajikan beberapa contoh model pembelajaran yang berbasis pada SCL.
Contoh suatu model tidak harus ditiru 100% oleh guru, tetapi guru harus dapat
memodifikasi sesuai dengan karakteristik peserta didik dan fasilitas yang
tersedia di sekolah. Dengan demikian penerapan model pembelajaran tidak membatasi
kreativitas guru dalam menjalankan tugasnya, tetapi tetap mampu mengikuti
perkembangan dunia pendidikan yang digelutinya.
Berbicara
mengenai proses pembelajaran di sekolah seringkali membuat kita kecewa, apalagi
bila dikaitkan dengan pemahaman peserta didik terhadap materi ajar. Mengapa
demikian? Ya, karena kenyataan menunjukkan banyak peserta didik mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap
materi ajar yang diterimanya, tetapi mereka tidak memahaminya. Sebagian peserta
didik tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan
bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/ dimanfaatkan. Selain itu,
peserta didik kesulitan memahami konsep yang diajarkan hanya dengan metode
ceramah, apalagi jika konsep yang diajarkan sangat abstrak. Padahal mereka sangat butuh untuk dapat
memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat pada
umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja.
Banyak
pertanyaan muncul di diri guru yang berkeinginan untuk membantu masalah yang
dihadapi peserta didiknya tersebut, seperti:
1. Bagaimana
menemukan cara terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di
dalam mata pelajaran tertentu, sehingga semua peserta didik dapat menggunakan
dan mengingatnya lebih lama konsep tersebut ?
2. Bagaimana
setiap bagian mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan
dan membentuk satu pemahaman yang utuh ?
3. Bagaimana
seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan peserta didiknya yang selalu
bertanya-tanya tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan
dari apa yang mereka pelajari ?
4. Bagaimana
guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari peserta didiknya,
sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengaitkannya
dengan kehidupan nyata, sehingga dapat membuka berbagai pintu kesempatan selama
hidupnya ?.
Semua pertanyaan itu merupakan tantangan bagi guru untuk
selalu berusaha dan berusaha agar dapat menemukan solusi yang paling tepat
untuk mengatasinya. Penga-laman di negara lain menunjukkan bahwa minat dan prestasi peserta didik dalam bidang matematika, sains, dan
bahasa meningkat secara drastis
pada saat:
1.
Mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara
informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah
mereka miliki atau mereka kuasai.
2.
Mereka diajarkan bagaimana mereka mempelajari
konsep, dan bagaimana konsep tersebut dapat digunakan di luar kelas.
3. Mereka diperkenankan untuk
bekerja secara bersama-sama (cooperative).
Hal itulah yang merupakan jiwa
dan inti pokok dari penerapan model pembelajaran berbasis CTL.
1. Model
Pembelajaran Berbasis Pendekatan CTL
Pendekatan CTL adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penera-pannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif,
yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questinoning),
menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan
(Modeling), refleksi (reflection),
dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) (Johnson, 2002).
Sesuai dengan faktor kebutuhan individual peserta didik,
maka untuk dapat meng-implementasikan pembelajaran kontekstual guru seharusnya:
Menyediakan
lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning)
dengan 3 karakteristik umumnya (kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan
motivasi berkelanjutan).
Menggunakan
teknik bertanya (questioning) yang meningkatkan pembelajaran peserta
didik, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Mengembangkan
pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna jika ia diberi
kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengontruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan baru (contructivism).
Memfasilitasi
kegiatan penemuan (inquiry) agar peserta didik memperoleh pengeta-huan
dan keterampilan melalui penemuan sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah
fakta).
Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik
melalui pengajuan pertanyaan (questioning).
Menciptakan masyarakat belajar (learning
community) dengan membangun kerjasama antar peserta didik.
Memodelkan (modelling) sesuatu agar peserta
didik dapat menirunya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru.
Mengarahkan peserta didik untuk merefleksikan
tentang apa yang sudah dipelajari.
Menerapkan penilaian autentik (authentic
assessment).
2. Model
Pembelajaran Berbasis Pendekatan PAIKEM
a. Pembelajaran Aktif
Anak didik belajar, 10% dari apa
yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari
apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa
yang dikatakan dan dilakukan (Sheal, Peter, 1989). Pernyataan tersebut nampak
sejalan dengan yang diharapkan dalam Kurikulum 2006, yang menginginkan peserta
didik mencapai suatu kompetensi tertentu yang dapat diko-munikasikan dan
ditampilkan.
Kurikulum terbaru kita menginginkan adanya
perubahan pembelajaran dari teacher
centered ke student centered.
Perubahan ini tidak semudah diucapkan, karena pola pembelajaran kita sudah
terbiasa dengan cara guru menjelaskan dan menyampaikan informasi, sedangkan peserta
didik lebih banyak menerima. Namun bukan berarti kita pesimis dengan perubahan itu,
tetapi mungkin pencapaiannya memerlukan waktu. Bagaimanapun habits yang sudah terbentuk lama, untuk
mengubahnya perlu kesung-guhan dan kemauan tinggi dari semua komponen yang
terlibat dalam pembelajaran.
Pembelajaran
aktif artinya pembelajaran yang mampu mendorong anak didik aktif secara fisik,
sosial, dan mental untuk memahami dan mengembangkan kecakapan hidup menuju
belajar yang mandiri, atau pembelajaran yang menekankan keaktifan anak didik
untuk mengalami sendiri, berlatih, beraktivitas dengan menggunakan daya pikir,
emosi-onal, dan keterampilannya. Melalui pembelajaran aktif diharapkan anak
didik akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi
yang dimilikinya. Selain itu, mereka secara penuh dan sadar dapat menggunakan
potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya, lebih terlatih untuk
berprakarsa, berpikir secara sistematis, kritis, tanggap, sehingga dapat
menyelesaikan masalah sehari-hari melalui penelusuran informasi yang bermakna
baginya.
Guru
yang aktif adalah guru yang memantau kegiatan belajar anak didik, memberi umpan
balik, mengajukan pertanyaan yang menantang, dan memperbanyak gagasan anak
didik untuk dapat dimunculkan. Sedangkan anak didik yang aktif adalah mereka
yang sering bertanya, mengemukakan pendapat, mempertanyakan gagasan sendiri/orang
lain, dan aktif melakukan suatu kegiatan belajar (Mel Silberman, 2002).
Sayangnya,
sebagian guru kurang mampu mengajukan pertanyaan yang menan-tang kepada anak
didik, sehingga pembelajaran aktifpun jarang tercipta. Hal ini kemung-kinan
disebabkan berbagai hal, seperti alasan klise karena dikejar waktu untuk menye-lesaikan
materi hingga tak sempat berpikir ke arah itu, ketidaksiapan guru itu sendiri
untuk membuat dan menjawab pertanyaan menantang. Padahal dengan pertanyaan
menantang sudah pasti anak didik kita terpacu dan termotivasi untuk mencari
jawaban dan itu berarti aktivitas belajar mereka semakin tinggi dan wawasan
pengetahuannya akan selalu ber-tambah dari hari ke hari.
b. Pembelajaran Inovatif dan Kreatif
Setiap
manusia secara normal pasti memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu yang
tinggi terhadap sesuatu yang baru. Demikian juga anak didik, jika dalam
pembelajaran disuguhi sesuatu yang baru pasti akan timbul semacam energi baru
dalam mengikuti pelajaran. Dengan kata lain, sesuatu yang baru mampu bertindak
seperti magnet yang menarik minat dan motivasi anak didik untuk mengikutinya.
Pembelajaran
inovatif adalah pembelajaran dengan memperkenalkan sesuatu yang berbeda yang
belum dialami dari sebelumnya. Sesuatu yang baru tidak identik dengan sesuatu
yang mahal. Apa yang nampaknya sepele, bisa saja mampu membuat pembelajaran
lebih hidup hanya karena sang guru mampu melakukan inovasi. Dalam penciptaan
pembelajaran inovatif yang terpenting adalah kemauan dan keinginan guru untuk
membuat belajar menjadi menarik untuk diikuti dan menghilangkan kebosanan
peserta didik dalam belajar.
Kreatif adalah cara berpikir yang mengajak kita keluar
dan melepaskan diri dari pola umum yang sudah terpateri dalam ingatan. Pembelajaran
kreatif adalah pembela-jaran yang mengajak anak didik untuk mampu mengeluarkan
daya pikir dan daya karsanya untuk menciptakan sesuatu yang di luar pemikiran
orang kebanyakan. Kreatif merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris to create yang dapat diurai : C (combine), R (reverse), E (eliminate),
A (alternatif), T (twist), E (elaborate). Jadi, seorang anak didik yang berpikir kreatif dalam
benaknya berisi pertanyaan : dapatkan saya mengkombinasi / menambah, membalik,
menghilangkan, mencari cara / bahan lain, memutar, mengelaborasikan sesuatu ke
dalam benda yang sudah ada sebelumnya ?
Melepaskan diri dari sesuatu yang sudah terpola dalam
pikiran kita bukanlah pekerjaan yang mudah. Beberapa hal yang mampu
membangkitkan pikiran kita untuk menjadi kreatif antara lain : berfantasi atau
mengemukakan gagasan / ide yang tidak umum, terkesan “nyleneh”, berada pada
satu gagasan / ide untuk beberapa saat, berani mengambil resiko, peka terhadap
segala keajaiban, penasaran terhadap suatu kebenar-an, banyak membaca artikel
penemuan yang membuatnya kagum dan terheran-heran.
Berpikir kreatif dapat diawali dengan bercanda dan
berteka-teki tentang sesuatu, karena berpikir kreatif berlangsung ketika otak
dalam keadaan santai. Seorang pemikir kreatif suka mencoba gagasan/ide yang
berkebalikan dengan yang dipikirkan oleh orang banyak. Mereka suka melihat
sisi-sisi lain yang baginya lebih menarik untuk dicermati dan dipikirkan.
Kadang-kadang orang yang berpikir lurus tidak akan dapat “berteman baik” dengan
orang yang berpikir kreatif, karena menganggap ia sebagai orang aneh.
Untuk
dapat menciptakan pembelajaran inovatif maupun kreatif diperlukan tiga sifat
dasar yang harus dimiliki anak didik maupun guru, yaitu peka, kritis, dan
kreatif terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Peka artinya orang lain tidak
dapat melihat keterkaitannya dengan konsep yang ada dalam otak, tetapi kita
mampu menangkapnya sebagai fenomena yang dapat dijelaskan dengan konsep yang
kita miliki. Kritis artinya fenomena yang tertangkap oleh mata kita mampu
diolah dalam pikiran hingga memunculkan berbagai pertanyaan yang menggelitik
kita untuk mencari jawabannya. Kreatif artinya dengan kepiawaian pola pikir dan
didasari pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep tertentu lalu kita
berusaha menjelaskan/menciptakan suatu aktivitas yang mampu menjelaskan
fenomena tersebut kepada diri sendiri atau orang lain.
Guru
yang kreatif dan inovatif adalah guru yang mampu mengembangkan kegiatan yang
beragam di dalam dan di luar kelas, membuat alat bantu/media sederhana yang
dapat dibuat sendiri oleh anak didiknya. Demikian pula anak didik yang kreatif
dan inovatif mampu merancang sesuatu, menulis dan mengarang, dan membuat
refleksi terhadap semua kegiatan yang dilakukannya.
c. Pembelajaran Efektif
Efektif
memiliki makna tepat guna, artinya sesuatu yang memiliki efek/pengaruh terhadap
yang akan dicapai/dituju. Pembelajaran efektif artinya pembelajaran yang mampu
mencapai kompetensi yang telah dirumuskan, pembelajaran dimana anak didik
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran dikatakan efektif
jika terjadi perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Adapun
ciri-ciri pembelajaran efektif diantaranya tercapainya tujuan yang diharap-kan,
anak didik menguasai keterampilan yang ditargetkan. Belajar dan mengajar akan
efektif jika anak didik aktif dan semua aktivitas pembelajaran berpusat pada
anak didik. Hal ini karena pembelajaran yang berpusat pada anak didik akan
mampu menimbulkan minatnya dan secara tidak langsung mereka memahami konsep dan
kaitannya dengan aspek-aspek kehidupan.
d. Pembelajaran Menyenangkan (Joyful Learning)
Saat ini di berbagai negara sedang
trend dan semangat mengembangkan joyful
learning dan meaningful learning,
yaitu dengan menciptakan kondisi pembelajaran sede-mikian rupa sehingga anak
didik menjadi betah di kelas karena pembelajaran yang dijalani menyenangkan dan
bermakna. Mereka merasakan bahwa pembelajaran yang dijalani memberikan
perbedaan dalam basis pengetahuan yang ada di pikirannya, berbeda dalam
memandang dunia sekitar, dan merasakan memperoleh sesuatu yang lebih dari apa
yang telah dimilikinya selama ini. Sebagai bangsa yang ingin maju dalam era
globalisasi yang kompetitif ini tentunya kita juga ingin merasakan pembelajaran
yang demikian.
Semua
mata pelajaran dapat dibuat menjadi menyenangkan, tergantung bagai-mana niat
dan kemauan guru untuk menciptakannya. Pembelajaran yang dikemas dalam situasi
yang menyenangkan, jenaka, dan menggelitik sangat diharapkan oleh anak didik
saat ini yang sangat rawan stres karena saratnya materi ajar yang harus
dikuasai. Penelitian terhadap beberapa anak-anak sekolah di dunia yang diadakan
UNESCO menunjukkan sebagian dari mereka menginginkan belajar dengan situasi
yang menye-nangkan (Dedi Supriadi, 1999).
Pembelajaran
menyenangkan artinya pembelajaran yang interaktif dan atraktif, sehingga anak
didik dapat memusatkan perhatian terhadap pembelajaran yang sedang dijalaninya.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika seorang guru menjelaskan suatu materi tanpa
ada selingan dan anak didik hanya mendengarkan, melihat, dan mencatat, maka
perhatian dan konsentrasi mereka akan menurun secara draktis setelah 20 menit.
Keadaan ini semakin parah jika guru tidak menyadari dan pembelajaran hanya
berjalan monoton dan membosankan (Tjipto Utomo dan Kees Ruijter, 1994). Lebih
lanjut dikemukakan, keadaan ini dapat diatasi apabila guru menyadari lalu
mengubah pembelajarannnya menjadi menyenangkan dengan cara memberi selingan
aktivitas atau humor. Tindakan ini secara signifikan berpengaruh meningkatkan
kembali perhatian dan konsentrasi anak didik yang relatif besar.
Pembelajaran
menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat anak didik tidak takut salah,
ditertawakan, diremehkan, tertekan, tetapi sebaliknya anak didik berani berbuat
dan mencoba, bertanya, mengemukakan pendapat / gagasan, dan mempertanya-kan
gagasan orang lain. Menciptakan suasana yang menyenangkan tidaklah sulit,
karena kita hanya menciptakan pembelajaran yang relaks (tidak tegang), lingkuangan
yang aman untuk melakukan kesalahan, mengaitkan materi ajar dengan kehidupan
mereka, belajar dengan balutan humor, dorongan semangat, dan pemberian jeda
berpikir. Dalam belajar guru harus menyadari bahwa banyak kata ”aku belum tahu”
akan muncul dan kata ”aku tahu” sedikit muncul, karena mereka memang dalam
tahap belajar. Demikian pula guru harus menyadari bahwa otak manusia bukanlah
mesin yang dapat disuruh berpikir tanpa henti, sehingga perlu pelemasan dan
relaksasi.
Sesuai
dengan pendapat Ausubel bahwa belajar akan bermakna jika peserta didik dapat
mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konsep yang sudah ada dalam struktur
kognitifnya, dan pendapat Bruner yang menyatakan belajar akan berhasil lebih
baik jika selalu dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar. Secara
logika dapat dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila yang
dipelajari ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan kata-kata atau
kalimat yang didengar sudah familiar
di kepala kita. Melalui joyful learning
diharapkan ada perbaikan praktik pembelajaran ke arah yang lebih baik.
Perubahan ini tidak harus terjadi secara draktis, perlahan-lahan tetapi pasti.
Perbaikan proses sangat penting agar keluaran yang dihasilkan benar-benar
berkualitas.
Seperti
diketahui, otak kita terbagi menjadi dua bagian, yaitu kanan dan kiri. Terkadang dalam dunia pendidikan kita lupa akan
pentingnya mengembangkan otak sebelah kanan. Secara umum hanya otak kiri yang
menjadi sasaran pengembangan, terutama untuk ilmu eksakta. Otak sebelah kanan
adalah bagian yang berkaitan dengan imajinasi, estetika, intuisi, irama, musik,
gambar, seni. Sebaliknya otak sebelah kiri berkaitan dengan logika, rasio,
penalaran, kata-kata, matematika, dan urutan. Untuk menepis hal itu, sebenarnya
kita dapat tunjukkan bahwa ilmu apapun mampu digunakan sebagai bahan untuk
mengembangkan otak sebelah kanan, diantaranya dengan cara memahami dan
menghafal konsep melalui puisi, nyanyian, maupun permainan teka-teki.
Otak kita adalah bagian tubuh yang paling rawan dan sensitif.
Otak sangat menyukai hal-hal yang bersifat tidak masuk akal, ekstrim, penuh
warna, lucu, multisenso-rik, gambar 3 dimensi (hidup), asosiasi, imajinasi,
simbol, melibatkan irama / musik, dan nomor/urutan. Berdasarkan hal ini, maka
kita sebagai pendidik dapat merancang apa yang sebaiknya kita berikan kepada
anak didik agar otak mereka menyukainya. Sebagai contoh mengemas pembelajaran
dengan menggunakan puisi atau lagu untuk menyimpul-kan materi yang diajarkan,
atau melalui teka-teki jenaka untuk mengevaluasi sejauhmana mereka menguasai
materi yang diajarkan.
3.
Model Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Berbasis Kontroversi Isu
Masyarakat kita adalah masyarakat yang heterogen dalam
hal latar belakang budaya, pendidikan,
status ekonomi, bahasa, agama, dan lain-lain. Latar belakang pendi-dikan yang
berbeda akan mempengaruhi cara berpikir dan menerima informasi yang berkembang
di masyarakat. Mulai dari informasi yang berkaitan dengan ekonomi, politik,
sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi saat ini kita berada di
era globalisasi dimana kemajuan di bidang TIK demikian canggih, sehingga semua
informasi dengan mudah dan cepat dapat diterima masyarakat.
Bagi masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang
relatif rendah akan menelan mentah-mentah segala informasi yang dilihat dan
diterima dari berbagai media, karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang
dimiliki. Namun bagi guru yang termasuk dalam golongan intelektual tentunya
tidak berpikir sama dengan mereka, karena guru memiliki bekal ilmu pengetahuan
yang relatif cukup untuk dapat mencerna dan menelaah/ mengkaji kebenaran
informasi yang masih bersifat isu tersebut.
Ball (1988) menyatakan bahwa penguasaan guru terhadap
bidang ilmunya meru-pakan sesuatu yang fundamental agar peserta didik dapat
dibantu dalam mempelajari bidang ilmu tersebut. Menurut Amy J. Phelps &
Cherin Lee (2003), guru akan dapat memberikan pengetahuan kepada peserta
didiknya dalam suatu prosedur yang sederhana dan tepat bila ia menguasai materi
yang akan diajarkan dengan baik. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah
tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 PP RI No 19/2005 bahwa seorang
guru harus memiliki empat jenis kompetensi, diantaranya kompetensi profesional.
Keprofesionalan guru harus ditunjukkan melalui aktivitas penggalian dan
pengembangan wawasan bidang ilmu yang ditekuninya secara terus menerus tanpa batas waktu dan ruang. Termasuk ketika
ada suatu isu yang berkembang di masyarakat yang ada kaitannya dengan bidang
ilmu yang ditekuninya, guru harus secara cepat dan tanggap mencari informasi
lebih lanjut untuk mengetahui lebih jelas dan benar tentang isu tersebut.
Constance Blasie & George Palladino (2005)
berpendapat bahwa pengetahuan dan penggunaan teknologi informasi secara tepat
dalam pengajaran dan pembelajaran adalah kemampuan yang harus dikuasai oleh guru
sekolah lanjutan. Hal ini mengisyarat-kan pada kita selaku guru akan pentingnya
penguasaan penggunaan kemajuan TIK dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan
menjalankan tugas. Contoh konkretnya penguasaan penggunaan internet dalam
menelusuri informasi yang diperlukan untuk mengkaji kebenaran isu yang
berkembang di masyarakat.
Beberapa contoh isu yang berkembang di masyarakat yang
sempat membuat masyarakat bingung dan resah dan memerlukan penjelasan ilmiah
yang mampu menepis isu-isu yang kontroversial tersebut agar meredam keresahan
masyarakat diantaranya isu MSG, isu minyak babi, isu banyu geni, isu merkuri,
isu kiamat, isu kontroversi buku gurita Cikeas, isu batas TOEFL untuk kelulusan
mahasiswa, dan sebagainya.
Salah satu wujud nyata peningkatan
profesional guru adalah kemampuan guru dalam menerapkan pendekatan dan metode
pembelajaran baru yang dipandang sesuai dengan nuansa dan esensi kurikulum yang
berlaku. Salah satunya adalah pendekatan kontekstual yang mengharuskan guru
mengaitkan materi ajar dengan dunia nyata peserta didik, sehingga peserta didik
memiliki transfer of knowledge dan transfer of value di lingkungan keluarga
dan masyarakat.
Banyaknya isu yang terekspose di
masyarakat melalui kecanggihan TIK menuntut guru untuk mampu menerapkan
pendekatan kontekstual dengan cara melihat keterkaitan isu-isu tersebut dengan
materi yang diajarkan dan kebutuhan peserta didik akan penje-lasan/informasi
yang benar dan tepat. Dengan demikian berarti guru mampu tampil seba-gai
“pahlawan” dalam menenangkan keresahan masyarakat, sekaligus sarana bagi guru
dalam mengembangkan ilmunya. Jika pembelajaran kontekstual berbasis kontroversi
isu yang berkembang di masyarakat ini dapat terimplementasi dengan baik secara
terus menerus, maka citra dan martabat guru semakin gemilang.
4. Model Pembelajaran
dengan Pendekatan Kontekstual Berbasis Lingkungan
Ketiadaan alat dan bahan laboratorium sering menjadi
kendala tidak dilakukannya praktikum, meskipun guru pengampu memiliki petunjuk
praktikumnya. Oleh karena itu sangat diperlukan kreativitas guru IPA dalam
mencari alternatif bahan dan alat lain yang dapat digunakan agar praktkum tetap
dapat dilaksanakan. Dengan demikian pelaksanaan praktikum tidak bergantung pada
fasilitas laboratorium yang ada di sekolah, tetapi cukup menggunakan bahan dan
alat yang dengan mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Metode praktikum sangat dianjurkan dalam pembelajaran
IPA, karena sesuai dengan tujuan pendidikan yang meliputi 3 aspek, yaitu
mengembangkan pengetahuan, menanamkan sikap ilmiah, dan melatih keterampilan.
Melalui praktikum peserta didik memperoleh pemahaman yang mendalam tentang
suatu konsep, sebab mereka melaku-kan dan melihat sendiri.
Bila dilihat dari buku petunjuk praktikum yang sudah ada
di lapangan, nampaknya tidak semua materi pokok yang ada dalam kurikulum mata
pelajaran IPA terwakili oleh suatu topik percobaan. Ironisnya,
sebagian besar buku petunjuk praktikum yang beredar di pasaran isinya sama,
tidak ada yang memiliki kelebihan, misalnya menyajikan topik percobaan yang
berbeda dan baru/aktual. Meskipun semua percobaan bertujuan mengaktifkan
peserta didik, namun akan lebih menarik minat belajar peserta didik bila buku
petunjuk praktikum berisikan aktivitas percobaan sederhana yang menarik dengan
bahan dan alat yang digunakan dapat diperoleh di lingkungan sekitar, sehingga
peserta didik dapat mencobanya di rumah.
Bagaimanakah
cara kita sebagai guru menciptakan suatu percobaan baru sehing-ga peserta didik
tertantang dan tertarik untuk melakukannya ? Suatu materi ajar dapat dikonstruksi menjadi percobaan
dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini :
a. Pelajari secara mendalam materi ajar tersebut, lalu coba
cari hubungan setiap konsep yang ada dengan fenomena yang ada dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Setelah kita menemukan suatu fenomena, cobalah berpikir
bagaimana mengangkat fenomena tersebut menjadi suatu rancangan percobaan
sederhana dengan mencari hubungannya dengan konsep kimia tertentu.
c. Buatlah langkah-langkah pengujian / pembuktiannya.
d. Ujicobalah sesuai dengan rancangan yang dibuat.
e. Tulis rancangan kita dengan format prosedur sederhana
yang mudah dipahami.
Untuk dapat menemukan fenomena yang berkaitan dengan
materi ajar mungkin dirasa sulit oleh kita, namun sebenarnya semakin banyak
membaca buku dan membuka internet, semakin besar kepekaan kita terhadap
fenomena kimia di sekitarnya.
5.
Model Pembelajaran Berbasis Pendekatan Konstruktivistik
Menurut Canella & Reiff (1994: 27-28) belajar dengan
pendekatan konstruktivistik berarti mengonstruksi atau menyusun struktur
pemahaman/pengetahuan dengan cara mengaitkan dan menyelaraskan fenomena, ide,
atau pengetahuan baru ke dalam struktur pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya.
Aliran konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah
hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengonstruksi pengetahuannya melalui interaksi
dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat
ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus
diinter-prestasikan sendiri oleh mereka. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah
jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Jawaban peserta didik atas suatu persoalan adalah jawaban yang
masuk akal bagi mereka saat itu. Jika ada jawaban salah, bukan
disalahkan, tetapi ditanyakan bagaimana ia dapat memperoleh jawaban itu. Dengan
demikian peserta didik terlibat aktif dalam proses perolehan suatu konsep.
Strategi pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik
dapat dilakukan guru dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu:
a. Menyajikan masalah-masalah aktual kepada peserta didik
dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan mereka
b. Menekankan
pembelajaran di sekitar konsep-konsep primer
c. Mendorong
peserta didik untuk mengajukan pertanyaan sendiri
d. Mengkondisikan
peserta didik berani menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri
e. Mengkondisikan
peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat dan menghargai sudut
pandangnya sendiri.
f. Menantang
peserta didik agar dapat melakukan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar
penyelesaian tugas melalui pertanyaan yang menantang.
g. Menganjurkan
peserta didik belajar dalam kelompok
h. Mendorong
peserta didik untuk berani menemukan tanggungjawab
i. Melakukan
penilaian, baik terhadap proses maupun hasil belajar peserta didik dalam
konteks pembelajaran.
Inti
pendekatan konstruktivistik adalah peserta didik diharuskan mampu mengons-truksi
sendiri pemahaman terhadap suatu konsep berdasarkan struktur kognitif yang
telah ada, dimana peserta didik melakukan penyelarasan dengan konsep baru yang
diterimanya
PENUTUP
Guru adalah profesi yang luar biasa
mulia diantara profesi yang lain. Dengan kesabaran dan keprofesinalannya
seorang guru berusaha mentransfer segala apa yang dimilikinya kepada anak didik
tanpa lelah, setiap hari dan setiap saat. Seorang guru senantiasa ditruntut
untuk melakukan pembaharuan dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai
pendidik. Melalui penerapan dan pemodifikasian model pembelajaran yang sedang
berkembang saat ini diharapkan anak didik menjadi subjek belajar yang baik dan
generasi yang mandiri, mampu menciptakan sesuatu secara kreatif dan inovatif
tanpa harus meniru bangsa lain.
Tanpa
mengurangi makna sebenarnya dari pembelajaran, marilah kita berusaha
menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, sehingga mampu
mengubah image belajar sebagai suatu
keterpaksaan menjadi suatu kebutuhan, dengan cara membawa peserta didik
menikmati sisi-sisi keindahan dan kemenarikan dari suatu materi pelajaran yang
sedang dipelajarinya dalam kemasan model pembelajaran yang tepat. Semoga kita
termasuk guru yang dapat menciptakan kesenangan dalam belajar, bahkan kalau mungkin dapat
menyebabkan anak didik kecanduan belajar. Hidup ini penuh
pilihan, semoga pilihan kita sebagai guru adalah pilihan yang tepat untuk masuk
surga (Amiiin).
DAFTAR PUSTAKA
Aleks Masyunis. (2000). Strategi kualitas pendidikan MIPA di LPTK. Makalah pada
Seminar Nasional FMIPA UNY tanggal 22 Agustus 2000.
Amy J. Phelps & Cherin Lee. (2003). The power of practice : what students learn from how we teach. Journal of Chemical Education, 80 (7),
829 – 832.
Ball, D. L. (1988). Unlearning to teach mathematics. East Lansing : Michigan
State University ,
National Center for Research on Teacher
Education.
Brandt, Ronald. (1993). What do you
mean professional. Educational Leadership. Nomor 6 50, March.
Canella & Reiff
.(1994). Individual constructivist teacher education: Teachers as empowered
learners. Teacher Education Quarterly,
21(3), 27-28.
Carolin Rekar Munro.
(2005). “Best Practices” in teaching and
learning : Challenging current paradigms and redefining their role in education.
The College Quarterly. 8 (3), 1 – 7.
Colin Marsh. (1996). Handbook for beginning teachers. Sydney
: Addison Wesley Longman Australia Pry Limited.
Constance Blasie & George Palladino. (2005). Implementing the professional development standards : a research
department’s innovative masters degree program for high school chemistry
teachers. Journal of Chemical Education. 82 (4), 567 – 570.
Dedi Supriadi. (1999). Mengangkat citra
dan martabat guru. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Depdiknas. (2005). Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Johnson, E. B. (2002). Contextual
teaching and learning. California :
A Sage Publications Company, Corwin Press, Inc.
Kok Siang Tan, Ngoh Khang Goh, & Lian Sai Chia. (2006). Bridging the
cognitive – affective gap : teaching chemistry while advancing affective
objectives. Journal of Chemical Education.
83 (1), 59 – 63.
Mel Silberman. (2002). Active
learning : 101 Strategi pembelajaran aktif. Yogyakarta
: Yappendis.
Sardiman, A. M. (2004). Interaksi
dan motivasi belajar-mengajar. Jakarta: Rajawali.
Sheal, Peter. (1989).
How to develop and present staff training
courses. London : Kogan Page Ltd.
Suyanto. (2007). Tantangan profesional guru
di era global. Pidato
Dies UNY 27 Mei 2007. Yogyakarta : UNY.
Tjipto Utomo dan Kees
Ruijter. (1994). Peningkatan dan pengembangan
pendidikan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar