by : Prof Dr. Soedijarto, MA*
(Guru Besar Pasca Sarjana, UNJ)
A.
Pendahuluan
Politik, kata filosof Hannah Arendt,
merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia. Dengan mengabadikan diri
merupakan seni untuk dikenang sesama warga negara dan dicatat sejarah karena
jasa-jasa dan prestasi dalam membangun kehidupan bersama.
Lukisan tentang politik yang begitu
indah tersebut sebenarnya sudah dilukiskan para filosof klasik Yunani, seperti
Aristoteles dan Plato. Dalam buku Nichomachean
Ethics, misalnya, Aristoteles melukiskan politik itu indah dan terhormat.
Indah karena politik merupakan jembatan emas bagi terciptanya kehidupan
masyarakat yang adil dan sejahtera. Terhormat karena semua cabang ilmu lainnya
mengabdi kepada ilmu politik. Demikian juga dalam karya Aristoteles lainnya
Politics dan karya filosof Plato Republic. Dua karya klasik yang telah menjadi
magnum opus itu menjelaskan, sejatinya politik itu agung dan mulia, yaitu
sebagai wahana membangun masyarakat utama.
Namun, apakah politik seindah itu?
Berbicara politik pada tataran normative memberi kesan naif. Sebab, politik
dalam praksisnya adalah pertarungan kekuatan sehingga kecenderungannya “tujuan
menghalalkan cara” ala Machiavelli, selalu terbuka bagi para politikus.
Artinya, karena yang mesti dimenangkan
dalam pertarungan politik itu adalah kepentingan dan keuntungan diri, yang
mencuat adalah konflik kepentingan, dan apabila tidak dikelola dengan baik,
anarkisme politiklah yang terjadi. Lalu, bagaimanakah jika konflik dan friksi
itu selalu mencuat di setiap pertarungan politik? Pertanyaan itulah yang mesti
dijawab dengan menghadirkan etika politik sebagai sosok adab yang dibutuhkan
untuk memedomani arah jalannya politik.
Slamet Raharjo Jarot dalam dalam
diskusi budaya politik di Hotel Bumi Karsa Jakarta, berpendapat para politikus
saat ini tidak menjalankan etika moral dalam berpolitik, sehingga menurunkan
harkat dan martabat bangsa.
Carut-marut politik di tanah air,
kata Slamet, akibat budaya pemaksaan
yang dilakukan elite politik. Terlebih lagi dalam mencapai kekuasaan, para
politikus tidak segan-segan melakukan trik dan intrik politik tanpa memikirkan
kepentingan rakyat.
Slamet Rahardjo menambahkan, untuk
memilih pemimpin sejati Indonesia dibutuhkan waktu yang cukup lama. Sedangkan
untuk memilih presiden hanya cukup sekali dalam lima tahun. Karena itu, dia menyeru
masyarakat untuk keluar dari permainan politik yang kotor.
Paskah jatuhnya Soeharto, Indonesia
masuk dalam zaman reformasi yang mengagung-agungkan kebebasan. Setelah memasuki
zaman reformasi kebebasan tadi bukannya membawa bangsa ini ke tahap kemakmuran,
tapi pada tahap penderitaaan (suffering).
Padahal kita telah mencapai cita-cita kita yaitu kebebasan. Mungkin ini menjadi
pertanyaan mendasar bagi kita sekarang ini. Mengapa yang terjadi adalah
kemiskinan dan penderitaan.
Para politikus yang sebelumnya
berjanji membawa bangsa ini terlepas dari belenggu kemiskinan malahan masuk
dalam jurang kemiskinan dan penderitaan. Penduduk miskin semakin bertambah.
Para pengemis semakin hari semakin banyak jumlahnya. Apakah ini yang dinamakan
kebebasan dan kemerdekaan. Anggota DPR yang terhormat berlomba-lomba menaikkan
gajin mereka. Mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyat.
Sementara di sudut-sudut kota besar
tempat menjulangnya bangunan tinggi dan megah berceceran anak-anak miskin dan
tak dapat mengecap pendidikan seperti selayaknya yang menjadi hak mereka.
Jangankan mengecap pendidikan untuk bertahan hidup saja mereka harus mengemis
dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya tidak mereka lakukan untuk
tetap hidup.
Hilangnya etika perpolitikan adalah
awal dari kesewenang-wenangan para penguasa untuk merampas apa yang menjadi hak
rakyat. Hal yang sangat ditonjolkan adalah politik aturan yang berlaku. Dalam
etika, aturan-aturan yang sudah menjadi hukum itu perlu ditinjau ulang. Aturan
bukanlah hukum yang sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Jika seandainya
terbukti bahwa aturan-aturan tersebut menuai kritikan yang keras dari
masyarakat berarti aturan yang berlaku
itu perlu diubah karena melanggar hak-hak orang lain.
Maka pemerintah dan badan kehormatan
yang ada di lembaga dewan perwakilan rakyat, tidak dapat menggunakan hukum yang
berlaku sebagai senjata ampuh untuk membenarkan diri. Perlu kita ketahui bahwa
hukum yang berlaku sekarang ini adalah hukum yang dibuat oleh pemerintah dan
DPR yang sarat dengan kepentingan. Etika merupakan hukum terakhir yang mampu
memberi keadilan bagi setiap warga negara.
Etika mempertanyakan semua hukum
yang sudah berjalan selama ini demi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.
Maka Aristoteles tidak pernah melapaskan politik dari etika. Baginya politik
harus berjalan di atas etika.
B.
Proses Perubahan
Budaya dan Etika Politik
Budaya politik yang matang
termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan sikap individu terhadap sistem
politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem
politik yang demokratis. Budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan sistem
keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang terwujudnya
partisipasi (Almond dan Verba dalam Siti Zuhro, 2010). Budaya politik yang
beretika merupakan budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh
Almond dan Verba sebagai civic culture.
Karena itu, proses perubahan budaya dalam segala hal termasuk dalam perubahan
budaya politik berhubungan dengan etika politik yang berkembang. Jika politik
yang sedang berkembang tidak berlandaskan pada etika poltik yang baik, maka
jelas berimplikasi terhadap lahirnya perubahan budaya yang tidak “beradab“ sehingga harapan perubahan
budaya yang kondusif dan produktif hanya
akan menjadi harapan dan impian semata.
Fenomena budaya politik yang
berkembang di suatu masyarakat, tidak
hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem politiknya, tetapi
juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok
dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, budaya politik dapat dilihat
manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, dan
dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam masyarakat itu.
Dalam konteks Indonesia,
kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah,
tetapi pada saat yang bersamaan adalah "sub-budaya etnik dan daerah"
yang majemuk pula. Keanekaragaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap
budaya politik bangsa. Dalam interaksi di antara sub-sub budaya politik
kemungkinan terjadinya jarak, tidak hanya antar budaya politik daerah dan
etnik, tetapi juga antar budaya politik tingkat nasional dan daerah. Apabila
pada tingkat Nasional yang tampak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap di
antara sub-sub budaya politik yang berinteraksi. Namun pada tingkat daerah yang
masih berkembang adalah "'sub-budaya politik" yang lebih kuat dalam
arti primordial.
Dari uraian di atas bisa dibedakan
kiranya antara budaya politik (political culture) dan perilaku politik
(political behaviour). Yang tersebut
terakhir kadang-kadang bisa dipengaruhi oleh budaya politik. Namun, budaya
politik tidak selalu tergantung pada perilaku politik. Apakah sistem budaya
yang ada cenderung bersifat komunal/kolektif atau individual ? Masalahnya
adalah apakah nilai-nilai demokrasi kompatibel dengan nilai-nilai budaya
politik lokal dan sebaliknya.
C.
Pentingnya
Etika Budaya dan Etika Politi
Dahl dalam Nurwahid (2007) berpendapat
bahwa konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang kuat yang memberikan
kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan
prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan pentingnya etika politik dengan
asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat
akan menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam dengan kuatlah yang
akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya
proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar menjadi rentan dan
bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik
regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi
atau kepemimpinan yang terpecah.
Dengan kata lain, Etika Politik
adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku
dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya
untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan
kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika politik mengandung misi kepada
setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap
melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk
mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara
moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku
politik yang toteran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik
serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai
tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama
dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas
kepentingan partai dan golongan.
Majlis Permusyawarat Rakyat (MPR)
memandang bahwa etika politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan
politik. Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya Ketetapan MPR RI No. VI Tahun
2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Ketetapan tersebut diuraikan
bahwa etika kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik merupakan
rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal,
dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai
acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan
berbangsa.
Rumusan tentang Etika Kehidupan
Berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu memberikan penyadaran
tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa.
Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah,
keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi,
rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga
bangsa.
Etika kehidupan berbangsa ini
diuraikan menjadi 6 (enam) etika yaitu, 1) etika sosial dan budaya, 2) etika
politik dan pemerintahan, 3) etika ekonomi dan bisnis, 4) etika penegakan hukum
yang berkeadilan, 5) etika keilmuan, dan 6) etika lingkungan.
Dalam Ketetapan tersebut juga
dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana
politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap
akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan
untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika
pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian
tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa
dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu
memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Masalah potensial yang dapat
menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan
penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan
nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu
yang manusiawi dan alamiah.
Etika Politik dan Pemerintahan
diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan antarkekuatan
sosial politik serta antarkelompok kepentingan lainnya untuk mencapai
sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan
bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika Politik dan Pemerintahan
mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur,
amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah
hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan
dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk
sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak
berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan
kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji
lainnya. Tap ini mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk mengamalkan
etika kehidupan berbangsa.
Berbicara mengenai etika berpolitik,
kita harus mengakui bahwa banyak kalangan elite kita cenderung berpolitik
dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa berpolitik
dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok,
serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan
karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan
memunculkan isu penyerangan pribadi, namun politik kekerasan pun dapat terjadi.
Elite nasional yang seperti ini
cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya
budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka pun sebagian
besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis
primordial sehingga elite cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku
pendukungnya. Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan
etika. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau
menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya. Mereka tidak sadar bahwa
sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang.
Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang.
Kebutuhan akan etika politik-
menurut Paul Budi Kleden dalam Teologi Terlibat: Politik dan Budaya dalam
Terang Teologi (2003), muncul ketika ada penyelesaian konflik yang dirasa tidak
mencerminkan cita rasa etis yang dapat diterima
publik. Etika politik membutuhkan rambu untuk mempertemukan jalan-jalan
yang berseberangan demi sebuah
convivium, sebuah kehidupan bersama dalam perbedaan. Sebuah rambu adalah
symbol ciptaan untuk tujuan praktis.
Namun, dalam memerankan etika
politik demi kehidupan praktis atau praksis politik yang lebih baik-lebih
membahagiakan kehidupan bersama, terlalu naif juga jika diandaikan bahwa
etika tidak boleh mengandung unsur
pemikiran pencapaian keuntungan dan peningkatan profit. Etika politik bertalian
dengan pengaturan kehidupan praksis, menjawab pertanyaan apa yang mesti
dilakukan demi mencapai sebuah kehidupan bersama yang bahagia sejahtera
Oleh karena itu, kita perlu dapat
mengulangi kedua rumusan Emmanuel Kant tentang imperatif kategoris bagi setiap tindakan praktis etis, ”Bertindaklah sedemikian, supaya maksim keinginanmu di mana pun dan kapan pun dapat
dijadikan prinsip sebuah peraturan umum untuk semua orang”, dan “Jangan sekali-kali menggemakan manusia
sebagai alat, melainkan harus selalu sebagai tujuan dari tindakanm”'.
Karena itu menyangkut tindakan, jelas dibutuhkan pertanggungjawaban, yaitu pertanggungjawaban
etis, dalam penentuan tujuan dan dalam penilaian metode guna mencapai tujuan
itu sehingga semua itu tidak terlepas dari pribadi, atau oknum yang bertindak.
Oknum dalam ulasan perihal etika politik tentu tidak lain adalah sang politikus.
D.
Peranan
Pendidikan dalam Perkembangan Budaya dan Etika Politik
Pendidikan
bagi kehiduapan manusia memiliki arti sangat penting, sebab martabat manusia sangat
ditentukan oleh kualifikasi dan kompetensi pendidikan yang dimikikinya. Yang demikian
itu, berlaku bagi eksistensi manusia secara umum, baik sebagai praktisi
pendidikan, politikus, negarawan atau apalah predikat yang disandanganya. Akan
tetapi perlu diingat bahwa domain lain dalam kehidupan manusia yang
berkembangan di sekitarnya, selain pendidikan turut serta membentuk atau setidaknya
mempengaruhi sikap, perilaku manusia dalam menentukan pilihan dan keputusan
yang diambilnya
Dalam dunia yang berubah dengan
cepat di era globalisasi ini diperlukan pengembangan dan pemahaman paradigma
baru untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. Pengembangan dan
pemberdayaan sumber daya manusia itu bukan merupakan suatu produk manufaktur,
tetapi seperti layaknya pengembangan tanaman yang harus dipilih bibitnya dengan
tekun, dipilih tanahnya yang subur, atau kalau perlu dikerjakan tanahnya lebih
dulu agar tanamannya bisa tumbuh subur, dan secara telaten harus disiram,
dipupuk, dan dijauhkan dari tanaman liar yang bisa mengganggunya. Karena itu,
sumber daya manusia harus dikembangkan dengan pemeliharaan sejak dini dengan
sebaik-baiknya, dibangkitkan motivasi dan kemauannya untuk maju, dipompa
kemampuannya, dan diberikan dorongan yang positif untuk sanggup membangun dan
bekerja keras. Mereka harus sadar bahwa hanya dengan bekerja keras mereka berhak
mendapatkan tingkatan kesejahteraan untuk masa depan pribadi, anak cucu, dan
bangsanya.
Menurut Nurwahid (2007) banyak studi
empiris dilakukan untuk melihat kaitan antara kualitas sumber daya manusia dan
pertumbuhan. Denison (1962), misalnya, menemukan adanya sumbangan yang besar
dari peningkatan years of schooling
terhadap pertumbuhan Amerika Serikat. Barro (1991) serta Mankiw, Romer, dan
Weil (1992) menyatakan bahwa partisipasi pendidikan dan investasi yang cukup
besar untuk pendidikan pada tahun 1960-an merupakan faktor yang penting dalam
menjelaskan variasi pertumbuhan negara-negara di dunia selama 40 tahun terakhir
ini. Mereka memperlihatkan bahwa kualitas sumber daya manusia menyumbang secara
cukup berarti bagi pertumbuhan. Sumbangan itu kira-kira sama dengan sumbangan
physical capital. Becker (1995) bahkan menunjukkan adanya estimasi bahwa
sekitar 80 persen aset dan kekayaan Amerika Serikat dan negara-negara maju
lainnya terdiri atas modal manusia.
Dengan pendekatan ini, dapat
diterangkan secara jelas apa yang menjadi kunci keberhasilan negara-negara di
Asia yang berkembang cepat, dimulai dari Jepang, kemudian Korea, Taiwan,
Hongkong, dan Singapura, yang memberikan penekanan besar pada penguatan
kualitas sumber daya manusia. Dengan sumber daya alam yang terbatas dan
hambatan yang mereka hadapi dalam ekspornya ke Barat, mereka dapat tetap
memelihara daya saing dan tingkat pertumbuhan yang menakjubkan.
Pengembangan kualitas sumber daya
manusia ini yang paling utama dihasilkan oleh pendidikan. Melalui pendidikan
akan menghasilkan insan-insan yang tidak hanya menyandang gelar sarjana, tetapi
insan-insan yang bersemangat ilmiah, yang kreatif, yang selalu mencari
kesempurnaan (unending search for
excellence) dan menghindarkan sikap mediocre.
Manusia-manusia yang demikian inilah yang akan menjadi modal pembangunan yang
utama, yang akan menjadi andalan masa depan.
Thomas Koten (2008) berpenadapat, sulit
mengharapkan seseorang menjadi politikus yang beretika jika, pertama, dalam proses pendidikan selalu
mengandalkan pengulangan secara sempurna, bahan oleh murid sebagai sarana untuk
menguji intelektualitasnya telah menghasilkan mental cash value. Pada murid bertumbuh mental - belajar hanya untuk
ujian. Waktu kuliah seorang mahasiswa
sekadar datang, duduk, dengar, dan mencatat-minus berpikir-apa yang disampaikan
dosen. Seusai kuliah seorang mahasiswa akan meminta salinan kuliah yang biasa
disusun dalam presentasi power point.
Kedua, dalam pendidikan yang
berkembang adalah sekularisasi pendidikan, misalnya, dari sistem dan orientasi
belajar siswa yang sepenuhnya diarahkan untuk mengejar kesuksesan secara
fisikal, material, dan jalan pintas untuk segera mendapatkan karier, jabatan,
kekuasaan, dan uang. Ketiga, dalam
pendidikan yang dikejar hanyalah pencapaian kecerdasan secara IQ dengan
mengabaikan kecerdasan spiritualitas dan budi pekerti, seperti nilai kejujuran,
keadilan, kebajikan, kebersamaan. Ingat bahwa nilai-nilai itulah sebenarnya
menjadi level tertinggi kecerdasan manusia yang sesungguhnya. Semakin
terserapnya nilai-nilai itu dalam pendidikan, kecerdasan seorang manusia memiliki
kualitasnya.
Namun, semua itu sulit dicapai dalam
dunia pendidikan kita selama ini karena memang sejak awal mahasiswa untuk
meraih kursi perguruan tinggi kadang harus mengorbankan harta, menyogok yayasan
agar dapat diterima tanpa memahami mengapa harus memasuki perguruan tinggi dan
nilai-nilai apa yang mesti diperjuangkan di bangku kuliah. Maka selanjutnya
tidak akan pernah lahir pembelajar sejati (true leader) dengan sifat
kecendekiaan yang mumpuni. Atau sulit mengharapkan lahir tokoh-tokoh
intelektual yang berkearifan jika pendidikan itu sangat pragmatis, ketika di
dalamnya ketiadaan kemungkinan untuk memikirkan dan mempertanggungjawabkan
tujuan dan mempertimbangkan relasi antara tujuan pendidikan dan cara
pencapaiannya. Sebab, tujuan pendidikan pertama-tama untuk membantu anak didik
untuk memikirkan tujuan perbuatannya sendiri.
Dengan demikianlah seseorang pelajar
yang menjadi politikus nantinya dapat belajar bertanggung jawab atas pilihan
tindakannya. Etika politik bermula dari kesanggupan berpikir analitis dan
kritis, memilah motivasi dan mempertanyakan kepentingan yang melatari sebuah
gagasan dan tindakan. Tidak ada kesanggupan
dalam bingkai relatif ini, seorang politikus dapat saja berkungkung
dalam budaya pendewaan kekuasaan dan harta.
Jadi, pendidikan untuk etika politik
menjadi sangat penting untuk memahami dan merefleksikan kehormatan dan
keindahan politik termasuk keluhuran demokrasi. Di sini pendidikan politik
menjadi sesuatu yang urgen dan harus benar-benar dijadikan sebagai salah satu
program utama pendidikan kita.
E.
Prinsip Dasar Etika Politik
Dasar Etika Politik di Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia,
melainkan memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern. Ada 5 prinsip dasar
dalam etika politik secara kontemporer sebagai berikut.
1.
Pluralisme
Pluralisme dimaksudkan adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya,
untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga
masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism
mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir,
kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan
kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi
(segenap paksaan dalam hal agama), kepicikan ideologis yang mau memaksakan
pandangannya kepada orang lain. Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan
Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh
didiskriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti
keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.
2.
Ham
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah
bukti Kemanusian yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia
menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan.
Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya
sebagai manusia. Hak-hak asasi terbagai dua, yaitu mutlak dan maupun
kontekstual :
a.
Mutlak; karena manusia memilikinya
bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia (dari
Sang Pencipta).
b.
Kontekstual ; karena baru mempunyai
fungsi, dan karena itu mulai disadari, diambang modernitas di mana manusia
tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan sebaliknya diancam oleh Negara
modern.
Hak asasi manusia dapat dibedakan dengan tiga generasi :
1)
Generasi pertama (abad ke 17 dan
18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hukum.
2)
Generasi kedua (abad ke 19/20):
hak-hak sosial
3)
Generasi ketiga (bagian kedua abad
ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).
Kemanusiaan yang adil dan beradab
juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras. Pelanggaran hak-hak asasi
manusia tidak boleh dibiarkan (impunity).
3.
Solidaritas
Bangsa
Solidaritas ; dapat dikatakan bahwa
kita tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa
kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya, dan
kehidupannya harus menyumbangkan sesuatu
pada kehidupan manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara
melingkar: keluarga, kampung, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan.
Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam
kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar
oleh penyakit rakus manusia yang bernama korupsi. Korupsi mengerogoti
kejujuran, tanggung-jawab, sikap objektif, dan kompetensi orang/kelompok.
Korupsi membuat mustahil orang mencapai sesuatu yang bermutu.
4.
Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat”
menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology,
atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan
(menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup.
Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan
siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah
“kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi demokrasi memerlukan sebuah
sistem penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik. Demokrasi
hanya dapat berjalan dengan baik, atas dua dasar:
1)
Pengakuan dan jaminan terhadap HAM
dan perlindungan terhadap HAM, menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi
kediktatoran mayoritas.
2)
Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan
dalam ketaatan terhadap hukum Negara hukum demokratis. Maka kepastian hukum
merupakan unsur hakiki dalam demokrasi.
5.
Keadilan
Sosial
Keadilan merupakan norma moral
paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun akan kandas,
apabila melanggar keadilan. Keadilan sosial mencegah masyarakat pecah ke dalam
dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling
bisa survive di hari berikut. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami
secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama
tertentu; keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme.
Keadilan sosial adalah keadilan yang
terlaksana. Keadilan sosial harus mampu membongkar praktek ketidakadilan yang ada dalam masyarakat, bersifat
struktural, bukan semata-mata individual. Artinya, ketidakadilan tidak terletak
dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan
dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya. Struktur-struktur itu
hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak
baik dari atas. Ketidakadilan struktural paling seperti halnya dialami dialami oleh bangsa
kita contohnya bentuk kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah
diskriminasi di semua bidang seperti terhadap perempuan, ras, suku dan budaya.
Menurut Franz Magnis Suseno (2007)
tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:
1)
Kemiskinan, ketidakpedulian dan
kekerasan sosial.
2)
Ekstremisme ideologis yang anti
pluralism. Ekstremisme agama di mana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan
merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
3)
Korupsi.
F.
Pancasila sebagai Dasar Etika Politik
Dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar hidup bernegara
dan berbangsa atau sebagai dasar hidup berpolitik, maka politik tidaklah
netral, tetapi harus dilandasi nilai-nilai etis. Itulah salah satu tugas filsafat
politik: mencerahi makna berpolitik dan mengekplisitkan nilai-nilai etis dalam
politik yang didasarkan atas Pencasila.
Menurut David Held (1988), ada anggapan negatif dan sikap
skeptik serta sinis terhadap politik.
Ada kecenderungan untuk menghindar dari politik. Namun perlu dicatat beberapa
hal: pertama, mau tidak mau kita tidak dapat lepas
dari politik. Segala kegiatan kita mengandaikan kerangka Negara dan masyarakat.
Kedua, berbagai kesulitan yang
dihadapi dunia modern, seperti peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup,
kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak dapat dipecahkan dengan meninggalkan politik, tetapi mengadakan
transformasi politik sedemikian rupa, sehingga memungkin kita membentuk dan
mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik
terhadap politik, bukan hal yang tak terhindari. Dengan membangun kredibilitas
dan kelayakan suatu model alternatif dan
imaginatif institusi politik, ketidakpercayaan akan politik bisa diatasi.
David Held (1998) mengartikan politik sebagai berikut: “Politik adalah mengenai kekuasaan,
yaitu mengenai kapasitas pelaku sosial dan institusi sosial untuk
mempertahankan atau mentransformir
lingkungannya, sosial dan fisik. Politik menyangkut sumber-sumber yang mendasari
kapasitas ini dan mengenai kekuatan-kekuatan
yang membentuk dan mempengaruhi operasi dari kekuatan itu. Oleh karena itu,
politik adalah suatu fenomena yang
diketemukan di dalam dan di antara institusi dan masyarakat, melintasi
kehidupan publik dan privat. Politik terungkap di dalam semua aktivitas kerjasama, negosiasi dan
perjuangan dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya. Politik terlibat dalam
semua relasi, institusi dan struktur yang melekat dalam aktivitas produksi dan
reproduksi dalam kehidupan masyarakat. Politik menciptakan dan mengkondisikan
semua aspek kehidupan kita. Politik berada pada inti perkembangan permasalahan
dalam masyarakat dan cara kolektif penyelesaian masalah tersebut.
Bagi Aristoteles manusia akan menjadi sempurna dan
mencapai tujuan kodratinya, kalau ia hidup dalam polis (negara-kota). Suatu
Negara ada, demi hidup baik dan bukan hanya untuk hidup saja. Seperti dikatakan
H. Arend, “Polis sebenarnya bukanlah Negara-kota (city-state) dalam lokasi fiknya; polis adalah organisasi masyarakat
yang muncul dari perbuatan dan
pembicaraan bersama dan ruang
yang sebenarnya terletak di antara orang yang hidup bersama untuk tujuan itu,
tak peduli dimanapun terjadi.”8) Maka istilah politik menunjuk kepada aktivitas dari polis, dimana kesejahteraan
bersama dideliberasikan dan
keputusan yang secara kolektif mengikat
dibuat. Jadi politik muncul dari tindakan bersama, “sharing of words and
deeds”. Ada hal-hal yang dapat kita
petik dari kehidupan politik pada jaman Yunani itu, meskipun harus diakui bahwa
ada contoh yang jelek yang terjadi pada waktu itu, misalnya wanita dan budak
tidak termasuk dalam warganegara. Ada
anggapan pada waktu itu bahwa mereka yang berhasil dalam kehidupan politik,
yaitu hal-ihwal kehidupan dalam Negara, akan mencapai kebaikan tertinggi. Kehidupan bersama
dalam Negara (polis) akan mencapai
kebaikan yang lebih besar, karena dilakukan bersama. Maka kehidupan bersama
dalam Negara tidak hanya akan melindungi
individu dan hak miliknya (sebagaimana jaman sekarang dituntut oleh liberalisme),
tetapi harus menciptakan keunggulan manusiawi (arête). Kodrat manusia mendorong, agar Negara berperan
dalam mengembangkan potensi manusia, mengajarkan kita untuk mencintai yang baik
dan membuat warganegara menjadi lebih baik dengan menciptakan kebiasaan yang
baik (inilah arti utama dari “pendidikan politik”). Maka dapat dikatakan bahwa
bagi Aristoteles, Negara atau polis
adalah “perkumpulan teman-teman yang saling memprovokasi untuk berbuat
kebajikan. Politik adalah suatu aktivitas etis, yaitu bersangkut paut dengan
masalah bagaimana kita harus hidup dalam suatu masyarakat politik.
M.
Sastrapratedja mengutip Michel Foucault (1998) mengatakan bahwa politik pada masa ini ditandai oleh
“pendisiplinan” dan “penundukan” yaitu pemaksaan agar manusia berperilaku
tertentu. Ini disebut “biopower”. Politik adalah pengaturan dan penguasaan
hidup dan biopower ini secara fundamental modern, yaitu manakala kehidupan
manusia dipertaruhkan oleh strategi politiknya sendiri. Dengan lain perkataan, kehidupan manusia menjadi objek politik itu sendiri.
Ini yang menjadi ciri dari politik modern, berbeda dari politik di masa lalu.
(Berbeda dari
Foucault, Giorgio Agamben dalam Homo
Sacer: Sovereign Power and Bare Life
(1998) sebagaimana dikutip Sastrapratedja, berpendapat bahwa tidak benar kehidupan
manusia selalu menjadi objek dari politik. Ia mengingatkan bahwa dalam Buku
Pertama Politics Aristoteles
membedakan antara “kehidupan yang begitu saja” atau “kehidupan biologis
semata”(bare life, nuda vita, kehidupan telanjang,
kehidupan biologis
(to zen) dan “hidup yang baik” (eu zen). Kehidupan politik mengatasi kehidupan “yang biologis melulu” menjadi “sesuatu yang
lebih”, yaitu lebih manusiawi. Yang menjadi ciri politik adalah perwujudan
kemampuan manusia untuk menstrukturkan suatu kehidupan bersama dalam
komunitas yang tidak memaksa, yang mampu melakukan refleksi deliberatif atas
pertanyaan apakah keadilan itu dan sarana konkrit apa untuk mencapainya? “Keadilan
melekat dalam polis; karena keadilan adalah penentuan apa yang adil,
adalah pengaturan persekutuan politik. Agamben menarik perhatian kita pada apa yang
dikatakan oleh Aristoteles mengenai bahasa dalam Politics: Agar menjadi
benar-benar manusiawi orang harus menjadi anggota polis, karena hanya
dengan begitu, ia dapat berbicara. “Mengeluarkan suara berfungsi untuk menunjukkan kesenangan atau kesakitan, dan ini suatu
kemampuan yang dimiliki hewan pada
umumnya. Tetapi bahasa berfungsi untuk menyatakan apa yang adil dan tidak
adil”. Di
sini kehidupan di lihat tidak hanya sebagai suatu fakta,
tetapi suatu capaian. Capaian itu adalah kebudayaan. Agamben menyebut kehidupan
biologis semata sebagai “inklusif eksklusif (un ‘ esclusione inclusive).
Maksud dari pernyataan itu menurut Sastrapratedja ialah
bahwa kehidupan yang baik (eu zen) bukan kehidupan biologis semata,
namun kehidupan yang baik juga
merupakan perkembangan dari
kehidupan biologis semata. Politik seolah-olah merupakan tempat di mana kehidupan harus mengalami transformasi menjadi
kehidupan yang baik. Tetapi ini bukan suatu capaian dari Aufhebung dari kehidupan biologis semata. Aufhebung politik tidak pernah tercapai, identitas tak pernah
selesai.
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara,
kehidupan politik memiliki dimensi etis,
bukan sesuatu yang netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
mendorong warganegara untuk berperilaku etis dalam politik.
Apabila nilai-nilai Pancasila itu dapat ditransformasikan ke dalam
ethos masyarakat, maka akan menjadi pandangan hidup atau Weltanschauung. Pandangan hidup dapat dilihat sebagai suatu cultural software, suatu
perangkat lunak budaya. Pandangan hidup adalah suatu cara memahami dunia
dan kehidupan sosial, suatu kosmologi masyarakat. Sebagai perangkat lunak budaya
pandangan hidup berperan dalam mengkonstruksikan dunia sosial dan politik. Tetapi pandangan
hidup itu selalu berada dalam kontestasi dan negosiasi dengan pandangan hidup
lainnya. Cultural software dikopi
dalam setiap individu melalui sosialisasi, interaksi dan komunikasi. Fungsi cultural software mirip dengan apa yang
disebut Gadamer “tradisi”: tradisi melengkapi kita dengan pra-pemahaman yang memungkinkan
kita membuat penilaian mengenai dunia sosial
Sejauh masyarakat memiliki kopi yang kurang lebih sama, maka pemahaman
budaya mereka adalah pemahaman budaya bersama.
G.
Penutup
Krisis kehidupan berbangsa dan
bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan
etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya
saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan
menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini.
Kemampuan membangun harmoni,
melakukan kompromi dan konsensus di kalangan elite politik kita terkesan sangat
rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan merendahkan. Padahal
untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan
kompromi dan semangat rekonsiliasi.
Politik bukanlah persoalan
mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana
diyakini oleh sebagian besar pelaksana money politics di Tanah Air kita.
Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya
menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani
dengan memakai rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung
sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas
nilai-nilai.
Karena itulah, politik lebih dari
sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara
mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan
yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara
yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Apabila kesadaran etika berpolitik
sangat rendah maka tantangan yang mungkin kita hadapi kedepan adalah terjadinya
feodalisme maupun kapitalisme dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan
bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin
politik menjadi raja-raja yang membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan
keterbelakangan.
Tantangan ini harus kita hadapi dengan
penuh kesadaran untuk selalu berjuang menentang feodalisme dan perjuangan untuk
membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme. Usaha ini sangat ditentukan juga
melalui perjuangan partai politik.
Partai politik hendaknya berbentuk
partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota
partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul
tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik
diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap
tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin partai.
Partai politik sebagai pilar demokrasi haruslah selalu berinteraksi dengan
masyarakat sepanjang tahun. Kegiatan sosial kemasyarakatan merupakan agenda
wajib begitu pula sikap cepat tanggap dalam menghadapi musibah dan bencana.
Para elit politik partai pun sudah
seharusnya sering terjun menemui konstituen, mendengar aspirasi mereka, dan
memperjuangkannya. Partai tidak boleh membuat jarak dengan rakyat. Di sinilah sesungguhnya
hakikat dari pendidikan politik yang diterapkan oleh partai politik dan
elitenya. Dengan demikian, maka apapun sikap dan kebijakan partai tidak akan
terlepas dari kehendak masyarakat konstituennya, dan benar-benar menjadi
penyambung lidah rakyat. Sehingga dapat mencegah kehawatiran bahwa partai hanya
memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kegiatan pencerdasan politik masyarakat
harus terus dipupuk oleh partai politik melalui respon terhadap realitas
sosial-politik. Selain itu berpolitik hendaknya dilakukan dengan cara yang
santun, damai, dan menyejukkan. Kemudian kita juga harus mengembangan sistem
multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang
terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja. Dengan etika
berpolitik yang demikian itulah kita berharap masyarakat madani yang kita
cita-citakan dapat segera terwujud.***
Daftar
Pustaka
David
Held, Models of Democracy. Cambridge:
Polity Press, 1998
Franz Magnis Suseno. Dasar Etika
Poilitk,
Artikel/ Makalah, Jakarta, 2007
Giorgio
Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power and
Bare Life. Standford: Standford University Press,1998.
Hidayat
Nur Wahid. Etika Politik, Makalah Disampaikan Pada Wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, dan Diploma
III Serta Dies Natalis Universitas Nasional ke-57 di Jakarta, 21 November 2006.
Julkiplimansyah, Kondisi Rakyat
dan Bangsa Indobesia Kian Terpuruk, Kompas, 27 Juli 2008
M. Sastrapratedja, Pancasila
Sebagai Dasar Negara, Asas Etika Politik dan Acuan Kririk Ideologi,
Makalah.
Mohammad
Hatta. Pengertian Pancasila.
Jakarta: Idayu Press, 1977
Thomas Koten. Pendidikan, Jembatan Utama Etika Politik, Makalah, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar