Abstrak
Ibn Khaldun menempatkan agama sebagai daya
pemersatu dan sumber kekuatan dalam kehidupan sosial yang hanya dapat dilakukan
melalui pendidikan. Agama menjadi fondasi dalam membangun budaya dan peradaban
bangsa atau kerajaan, sebab agama mempersatukan dan membuat kehidupan sosial
menjadi lebih dinamis, serta membuat bangsa tak terkalahkan. Tanpa agama, suatu
kelompok hanya mempunyai persatuan alamiah melalui rasa solidaritas kelompok
yang menyebabkan setiap stakeholdernya bertindak bersama guna mencapai
keunggulan. Pendidikan karakter yang didasarkan pada nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam ajaran agama akan berpengaruh dalam kehidupan sosial dan
kehidupan politik serta membangun budaya dan peradaban suatu bangsa. Fungsi
agama dalam kehidupan manusia sangat besar dan bervariasi. Agama tidak hanya
dipakai oleh manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang sifatnya
sesuai dengan ajaran-ajaran dari agama yang bersangkutan sehingga menjadi
kehidupan manusia lebih beradab, dan agama tidak boleh digunakan untuk hal-hal
yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur dari ajaran agama itu sendiri, sebab
hal itu akan menghancurkan peradaban manusia. Tulisan ini berupaya untuk
menganalisis gagasan pendidikan karakter untuk membangun budaya dan peradaban bangsa
sebuah telaah terhadap filsafat pendidikan Ibn Khaldun.
Kata-kata Kunci:
Pendidikan karakter, agama, budaya, filsafat pendidikan.
A. Pendahuluan
Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu
utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak
bangsa, pendidikan karakter inipun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam
mensukseskan Indonesia Emas 2025. Undang Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan hal
ini, maka pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam
proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh
menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan
berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun ruhani. Manusia yang
berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk
atau dibangun agar peradaban suatu bangsa dapat ditegakkan. Peradaban dan
budaya suatu bangsa Indonesia memiliki ciri tidak hanya sekedar memancarkan
kemilau pentingnya pendidikan, melainkan juga mampu merealisasikan konsep
pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara
berkelanjutan dan merata.
Didin Hafidhuddin dalam Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Agama mengemukakan bahwa pendidikan pada
hakikatnya adalah usaha dan upaya bersama yang dilakukan secara sadar, serius,
dan sungguh-sungguh dalam rangka membangun watak dan karakter peserta didik
secara komprehensif.[1] Selaras dengan hal ini Konfrensi internasional
pertama tentang pendidikan Islam di Mekkah yang diadakan pada tahun 1977
memberikan rekomendasi bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah:
Education
should aim at the balanced growth of the total personality of man, through the
training of man’s spirit, intellect the rational itself, feelings and bodily
senses ..... both individually
and collectively and motivate all these aspect toward goodness and attainment
of perfection ….. these at complete submission to Allah on the level of the
individual, community at large ……,[2] (Pendidikan karakter
akan menumbuhkan kepribadian manusia secara
totalitas mencakup seperti semangat, kecerdasan, perasaan dan sebagainya, baik
dalam kehidupan pribadinya, masyarakatnya untuk melakukan kebaikan dan
kesempurnaan, serta dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT, melalui tindakan
pribadi, masyarakat, maupun kemanusiaan secara luas).
Dengan demikian, pendidikan karakter itu berdasarkan
pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran agama. Fungsi agama dalam
kehidupan manusia sangat besar dan bervariasi. Agama tidak hanya dipakai oleh
manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang sifatnya sesuai dengan
ajaran-ajaran dari agama yang bersangkutan, tetapi juga sering dipergunakan
untuk hal-hal yang bertentangan dengan agama itu sendiri.
Pemakaian agama sebagai alat legitimasi
biasanya muncul pada bangsa-bangsa yang tidak homogen secara agama. Gejala
seperti ini akan muncul ke permukaan apabila kepercayaan-kepercayaan yang
berbeda mengenai realitas yang tertinggi (ultimate)
masuk ke dalam arena politik, mereka mulai bertikai dan makin jauh dari sikap
kompromi. Berdasarkan kenyataan ini ada kecenderungan pada masyarakat modern
yang secular, seperti di negeri-negeri Barat untuk memisahkan agama dari
kehidupan, kendati di beberapa tempat lainnya diakui pula adanya
pemikiran-pemikiran, praktik-praktik, dan pranata-pranata keagamaan tetap
merupakan pusat kehidupan.[3]
Dari aspek ilmu-ilmu sosial, fenomena agama
dalam konteks sosial politik memiliki keterkaitan dengan kekuasaan serta
legitiasi dalam wacana politik, kenyataan ini bisa disebut sebagai realitas
interaksi agama melalui pendidikan karakter dalam kehidupan sosial maupun
politik. Wacana mengenai hal ini merupakan isu yang sarat kontroversi baik di
kalangan para pemikir Barat maupun pemikir Muslim, lebih-lebih lagi ketika isu
tersebut masuk dalam kehidupan masyarakat empirik. Di dunia intelektual Muslim
wacana ini secara konfrehensif pernah dikemukakan oleh ‘Abd ar-Rahman Ibn
Khaldun.[4]
Ibn Khaldun menempatkan agama sebagai daya
pemersatu yang akan membentuk karakter manuisa, serta sumber kekuatan kehidupan
sosial maupun politik. Baginya agama lebih merupakan landasan pembangunan budaya
dan peradaban bangsa dan kerajaan, sebab ia mempersatukan semua stakeholder
dalam kehidupan sosial dan membuat bangsa tak terkalahkan.[5] Tanpa agama, suatu kelompok hanya mempunyai
persatuan alamiah melalui rasa kelompok yang menyebabkan setiap anggotanya
bertindak bersama guna mencapai keunggulan. Berkaitan dengan hal ini, Ibn
Khaldun mengemukakan:
Warna
keagamaan benar-benar menjauhkan rasa saling cemburu dari iri hati di antara
bangsa yang mempunyai rasa kelompok yang sama, dan menyebabkan mereka menyatu
dalam kebenaran. Di satu pihak, bila seke-lompok orang yang memiliki satu warna
keagamaan dapat mencapai satu pendapat yang benar dalam menghadapi segala
persoalan, tak seorang pun dapat menahan mereka. Sebab sudut pandang mereka
satu dan tujuan mereka pun merupakan kesepakatan bersama, mereka rela mati
untuk tujuan-tujuannya. Di lain pihak, anggota dinasti yang mereka serang
mungkin lebih banyak dari jumlahnya. Namun, golongan tersebut mempunyai
tujuan-tujuan yang berbeda. Mereka mempunyai tujuan-tujuan yang sesat dan
bercerai-berai, lantaran takut mati. Karena itu, perlawanan mereka tidak
berarti bagi orang yang memiliki warna keagamaan, sekaligus jumlah mereka lebih
besar. Mereka dikuasai kelompok kecil yang memiliki warna keagamaan itu, dan
dalam tempo singkat disapu habis, hingga lenyap.[6]
Jadi, pendidikan karakter merupakan suatu
keniscayaan yang sudah lama menjadi problem di kalangan pemikir Islam seperti
Ibn Khaldun. Bagi seorang Muslim, pemisahan antara agama dari kehidupan sosial
terutama dalam dunia pendidikan sejak awal tidak dikenal, karena agama secara
langsung memasuki dan mengatur berbagai aspek kehidupan sosial manusia. Bagaimana
konsep pendidikan karakter yang dapat membangun budaya dan peradaban bangsa? Tulisan
ini berupaya untuk menganalisis gagasan pendidikan karakter untuk membangun
budaya dan peradaban bangsa dalam perspektif filsafat pendidikan Ibn Khaldun.
B. Sketsa
tentang Kehidupan Ibn Khaldun
Ibn
Khaldun lahir pada tanggal 27 Mei 1332 M. atau 1 Ramadhan 723 H. di Tunisia.[7] Dia berasal dari sebuah keluarga yang
terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan maupun politik.[8] Pendidikan pertama diperoleh dari bapaknya,
kemudian ia dikirim orang tuanya untuk belajar ilmu hadis kepada Syam ad-Din
Abu ‘Abd Allah al-Wadiyasyi (1274-1348 M./665-739 M.) dan mendalami ilmu fiqh
kepada beberapa ahli fiqh (fuqaha’)
terkemuka seperti Muhammad Ibn ‘Abd as-Salam al-Hawwari (1278-1349 M./669-738
H.) dan Abu Muhammad Ibn ‘Abd al-Muhaimin al-Hadhrami (1277-1349 M./668-738
H.). Di samping itu, Ibn Khaldun juga mempelajari ilmu-ilmu yang bernuansa
filosofis, misalnya teologi, logika (mantiq),
ilmu-ilmu kealaman, matematika dan astronomi kepada Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn
Ibrahim al-Abili (1282-1356 M./673-745 H.) seorang ulama yang sangat menguasai
ilmu filsafat dan ilmu-ilmu rasional yang begitu dikagumi Ibn Khaldun.[9]
Pada usia
yang masih relatif muda, sekitar 18 tahun, Ibn Khaldun telah menguasai beberapa
disiplin ilmu keislaman yang klasik, termasuk ilmu-ilmu rasional yang bernuansa
kefilsafatan. Meski demikian, semua ini tidak membuat dia puas dan berusaha
untuk memperluas wawasannya dengan mempelajari disiplin ilmu lain seperti ilmu
politik, sejarah, ekonomi, geografi dan lain sebagainya.[10] Dengan kapasitas intelektual yang dimilikinya
inilah menyebabkan dia mempunyai perdekatan yang berbeda ketika menganalisa
gejala sosial yang terjadi pada manusia dan masyarakat yang akan memunculkan
ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis.[11] Pada aspek inilah letak kelebihan dan
sekaligus kekurangan Ibn Khaldun. Pengetahuannya yang luas dan bercorak
ensiklopedis, namun demikian, dalam sejarah ia tidak dikenal sebagai orang yang
menguasai suatu bidang disiplin ilmu.
Memasuki
usianya yang ke-20 tahun, Ibn Khaldun menghentikan kegiatan studinya dan ikut
aktif dalam kehidupan politik yang penuh dengan pergolakan yang mewarnai
kawasan Barat Muslim termasuk Tunisia tempat kelahirannya, yang berujung pada
hancurnya Dinasti al-Muwahhidun (akhir abad VII H.) serta berdirinya beberapa
dinasti-dinasti kecil. Di Tunisia terdapat Dinasti Bani Hafs (1228-1574
M./619-965 H.), di Tlemcen dan Barbaria Tengah (Aljazair sekarang) berdiri
Dinasti Bani ‘Abd al-Wad, di Fez dan Maroko terdapat Dinasti Bani Marin
(1269-1420 M./660-811 H.). Di antara ketiga dinasti tersebut, Dinasti Bani
Marin merupakan dinasti yang paling kuat. Wilayah kekuasaannya semakin
bertambah luas dari waktu ke waktu, terutama ketika dinasti itu diperintah oleh
Sultan Abu al-Hasan yang berkuasa di Fez pada tahun 1330 M./731 H. Pada masa
kekuasaan-nya ia menyerang kota-kota sekitar Gibraltar dan merampasnya dari
penguasa Kristen di tahun 1346 M./743 H. Kemudian ia memperluas kekuasaannya ke
arah Timur dengan menduduki Tlemcen dan seluruh Barbaria Tengah pada tahun 1346
M./747 H. yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Dinasti Bani ‘Abd al-Wad.
Kemudian tahun 1347 M./748 H. Sultan Abu al-Hasan berhasil menguasai Tunisia
setelah merebutnya dari kekuasaan Bani Hafs.[12] Dalam suasana pertarungan politik itulah
wilayah sekitar Afrika Utara diserang oleh wabah penyakit menular yang melanda
seluruh dunia Islam dari Samarkand sampai ke Mauritania. Wabah penyakit itu
tidak hanya melanda kawasan Timur melainkan juga sampai ke Italia dan sebagian
besar wilayah Eropa termasuk Spanyol. Dalam bencana tersebut Ibn Khaldun
kehilangan kedua orang tua dan saudaranya, demikian pula guru-gurunya, serta
sebagian besar penduduk Tunisia menjadi korban.[13]
Setelah berjangkitnya
wabah penyakit menular tersebut, Sultan Abu al-Hasan meninggalkan kota Tunisia
pada tahun 1349 M./750 H. dengan sejumlah penduduk, para ulama dan para
sastrawan menuju kota Fez di Maroko untuk menyelamatkan diri.[14] Kendati demikian, dia tetap melakukan berbagai
penaklukan untuk memperluas kekuasaan Bani Marin. Pada saat itu wilayah
kekuasaan dinasti ini sudah meliputi Maroko, Barbaria Tengah dan Tunisia.
Dengan begitu Dinasti Bani Marin telah berhasil melenyapkan Dinasti Bani Hafs
dan Dinasti Bani al-Wad.
Peristiwa
yang sangat menyeramkan ini ternyata berimplikasi pada terhentinya semua
kegiatan yang berhubungan dengan pendidikannya. Dengan perasaan yang sangat
menyedihkan karena kehilangan orang-orang yang begitu dicintai dan
dihormatinya, tidak memungkinkan baginya untuk melanjutkan studinya sebagaimana
ketika orang tuanya masih hidup. Kondisi inilah yang merubah jalan hidupnya
untuk beralih kepada aktivitas politik.
Dengan
demikian, Ibn Khaldun sudah mulai menancapkan niatnya untuk mengikuti jejak
leluhurnya yang sebagian besar berkiprah dalam dunia politik. Meski demikian,
kiprahnya sebagai tokoh politik member inspirasi baginya untuk meletakan konsep
sosial sebagai dasar pemikirannya di bidang filsafat yang membuat ia dikenal
sebagai filosof dan juga sebagai seorang sosiolog yang memiliki perhatian besar
terhadap pendidikan. Abuddin Nata dalam Filsafat Pendidikan Islam
menyatakan bahwa perhatian Ibn Khaldun terhadap pendidikan terlihat dari
pengalamannya sebagai yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.[15]
C.
Konsep Dasar dan Tujuan Pendidikan Karakter Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun melihat manusia sebagai seorang Muslim dan telah
mempunyai dasar untuk pemhaman tentang ajaran Islam yang akan membentuk
karakternya, karena itu konsepnya tentang kemanusiaan merupakan hasil dari
derivikasi upaya intelektulanya untuk membuktikan dan memahami asumsi yang
terdapat dalam Al-Quran melalui gejala dan aktivitas kemanusiaan.[16] Ibn Khaldun memandang bahwa Allah SWT telah membedakan manusia
dengan binatang karena kemampuannya untuk berpikir. Binatang hanya bertindak
berdasarkan insting, persepsinya berpencar-pencar,[17] sedangkan manusia mampu menentukan suatu rentetan kausal secara
teratur dan dapat mengatur tindakan-tindakannya secara tertib.[18]
Ibn Khaldun menjelaskan bahwa kemampuan berpikir yang dimiliki manusia
baru merupakan potensi akan menjadi aktual setelah sifat kebinatangannya
mencapai kesempurnaan di dalam dirinya, dimulai dari kemampuan membedakan (tamyiz).
Pencapaian setelah itu didapat oleh manusia adalah akibat dari persepsi sensual
dan kemampuan berpikirnya. Pikiran dan pandangannya manusia dicurahkan untuk
mencari hakikat kebenaran. Karena itu, manusia juga akan memperhatikan
peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang bermanfaat bagi essensi dan
eksistensinya. Akhirnya, upaya mencari pengetahuan tentang hakikat sesuatu
menjadi suatu kebiasaan dalam dirinya, kebiasaan itu disebut oleh Ibn Khaldun
sebagai Malakah.
Khazanah ilmu pengetahuan timbul melalui
malakah karena dengannya manusia mampu mengenali gejala dan hakikat segala
sesuatu. Setelah itu, jiwa manusia akan tertarik untuk mendalami ilmu tersebut
sehingga ia membutuhkan orang lain untuk melepaskan dahaga keingintahuannya.
Dari sinilah timbul pengajaran (ta’lim)
yang merupakan hal alami di tengah umat manusia.[19] Karena itu, Ibn Khaldun melihat pendidikan
sebagai usaha transformatif potensialitas (attaqah
al-quswa) manusia yang bertujuan mengoptimalkan pertumbuhkan dan
perkembangannya yang akan membentuk budaya dan peradaban suatu bangsa.
Pendidikan harus diletakkan sebagai bagian integral dari pembangunan budaya dan
peradaban (al-umran) karena budaya
dan peradaban sendiri dibangun berdasarkan pendidikan.[20] Pendidikan juga merupakan sarana bagi manusia
mengetahui hukum-hukum Allah SWT yang telah disyariatkan atasnya dan menggapai ma’rifat
dengan menjalankan praktek-praktek ibadah.
Secara ringkas Syed Omar bin Syed Agil dalam
Philosophy of Education in
Prolegomena Ibn Khaldun menjelaskan
sebagai berikut:
In order to
understand his views on education, it is imperative that Ibn Khaldun’s
elucidation of knowledge and intellect and the function of the soul is
explicated. His elucidation of the significance of the soul in relation to
knowledge is remarkable. Although in the Prolegomena he explicates that the
soul is the source of good and evil deeds, he also suggests that it is a centre
for acquiring and storing of knowledge. Man is able to think and engage in
perception through the powers of the soul. The soul influences the body through
action and perception. When a man is frequently exposed to a body of knowledge
it gets imprinted in the soul and becomes a habit that will not easily
disappear. His intelligence is enhanced with the greater exposure of knowledge
and crafts to the soul.[21]
Ibn Khaldun berpandangan bahwa perbendaharaan
ilmu manusia tercakup pada jiwa manusia itu sendiri. Allah menciptakan persepsi
yang bermanfaat baginya untuk berpikir dan memperoleh pengetahuan ilmiah.[22] Manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan
melalui naluri yang ditanamkan Allah dalam akal, apabila tujuan esensial mereka
dalam penyelidikannya itu adalah mencari kebenaran serta menggantungkan diri
pada rahmat Allah.[23] Ibn Khaldun memandang kebenaran yang hakiki
bersumber dari Allah SWT. Kebenaran bukan hanya ada di dalam realita, melainkan
ada kebenaran hakiki (haq-al yakin)
yang datang dari Ilahi. Meskipun demikian, pengetahuan yang mungkin didapat
manusia dari penyelidikannya hanya sebatas ‘ain
al-yaqin atau lebih tinggi lagi yang dapat dicapai manusia adalah ilm al-yaqin meskipun mereka berusaha
semaksimal mungkin untuk mencapai yang haq
al-yakin.[24]
Ibn Khaldun melihat ada kawasan lain selain
akal dan indera untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu persepsi Supernatural-Ilahiah.
Di atas alam manusia, ada alam spiritual yang dapat dibuktikan dengan
pengaruh-pengaruhnya terhadap manusia dengan kekuatan persepsi dan kehendak
yang diberikan kepadanya. Esensi alam spiritual yang merupakan persepsi murni
dan pemikiran absolut disebut alam ruh. Upaya untuk mencapai alam tersebut,
jiwa manusia suatu waktu harus bisa melepaskan diri dari ikatan fisik atau kemanusiaannya
agar bisa menjadi bagian dari malaikat dan pada saat yang sama sifat
kemanusiaan pun akan kembali lagi. Keadaan seperti ini hanya dapat dicapai
melalui latihan rohani (riyadlah);
seperti zikir, puasa dan bertahajud, sehingga Allah akan mengajarkan manusia
apa-apa yang tidak diketahuinya (Ibn Khaldun, 1989: 528).
D.
Pendidikan Karakter untuk Membangun Budaya dan Peradaban Bangsa
Pendidikan
karakter sebenarnya bukanlah hal baru dalam sistem pendidikan di Indonesia,
sejak lama pendidikan karakter ini telah menjadi bagian penting dalam misi
kependidikan nasional walaupun dengan penekanan dan istilah yang berbeda. Wacana
urgensi pendidikan karakter kembali menguat dan menjadi bahan perhatian sebagai
respons atasberbagai persoalan bangsa terutama masalah dekadensi moral seperti
korupsi, kekerasan, perkelahian antar pelajar, bentrok antar etnis dan perilaku
seks bebas yang cenderung meningkat. Fenomena tersebut menurut H.A.R Tilaar
merupakan salah satu ekses dari kondisi masyarakat yang sedang berada dalam
masa transformasi sosial menghadapi era globalisasi (H.A.R Tilaar 1999: 3).
Sesungguhnya pendidikan karakter merupakan sebuah program kurikuler telah
dipraktekan pada beberapa negara. Sebuah studi yang dilakukan oleh J. Mark
Halstead dan Monica J. Taylor menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pengajaran
nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter terpuji telah dikembangkan di
sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan
karakter berdasarkan nilai-nilai tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
to build on and supplement the values children have
already begun to develop by offering further exposure to a range of values that
are current in society (such as equal opportunities and respect for diversity);
and to help children to reflect on, make sense of and apply their own
developing values (Halstead dan
Taylor, 2000: 169).
Pembangunan karakter
budaya dan peradaban suatu bangsa harus dilengkapi dengan nilai-nilai yang
telah dimiliki anak agar berkembang sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga
hidup dalam masyarakat, serta agar anak mampu merefleksikan, peka, dan mampu
menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan karakter tidak bisa berjalan
sendirian. Karakter warga negara yang baik merupakan tujuan universal yang
ingin dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara manapun di
dunia. Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan kewarganegaraan di sejumlah
negara menunjukkan bahwa pembentukan karakter warga negara yang baik tidak bisa
dilepaskan dari kajian pendidikan kewarganegaraan itu sendiri (Kerr, 1999;
Cholisin, 2004; Samsuri, 2004, 2009).
Pada era Orde Baru
pembentukan karakter warga negara nampak ditekankan kepada mata pelajaran
seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di
era pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan karakter pun ada upaya untuk
”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan di samping Pendidikan Agama.
Robertson dalam
Globalization: Social Theory and Global Culture, menyatakan era globalisasi ini akan melahirkan global culture
(which) is encompassing the world at the international level. Dengan adanya
globalisasi problematika menjadi sangat kompleks. Globalisasi
disebabkan perkembangan teknologi, kemajuan ekonomi dan kecanggihan sarana informasi. Kondisi tersebut diatas telah membawa dampak positif
sekaligus dampak negatif bagi bangsa indonesia, Kebudayaan negara-negara Barat yang cenderung mengedepankan
rasionalitas, mempengaruhi negara-negara Timur termasuk Indonesia yang masih memegang adat dan kebudayaan leluhur
yang menjunjung nilai-nilai tradisi dan spiritualitas keagamaan.
Kenyataan di
atas menjadi tantangan terbesar bagi dunia pendidikan saat ini. Proses
pendidikan sebagai upaya mewariskan nilai-nilai luhur
suatu bangsa yang bertujuan melahirkan generasi unggul secara
intelektual dengan tetap memelihara kepribadian dan identitasnya sebagai
bangsa. Pada aspek inilah letak esensial pendidikan yang memiliki dua misi
utama yaitu “transfer of values” dan juga “transfer of knowledge”.
Pendidikan hari ini dihadapkan pada situasi dimana proses pendidikan sebagai
upaya pewarisan nilai-nilai lokal di satu sisi menghadapi derasnya nilai
global. Kondisi demikian menurut Tilaar (1999: 17) membuat pendidikan hari ini
telah tercabik dari keberadaannya sebagai bagian yang terintegrasi dengan
kebudayaannya (H.A.R Tilaar 1999: 17). Gejala pemisahan pendidikan dari
kebudayaan dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut, yaitu: Pertama,
kebudayaan telah dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan kesenian, tarian
tradisional, kepurbakalaan termasuk urusan candi-candi dan bangunan-bangunan
kuno, makam-makam dan sastra tradisional. Kedua, nilai-nilai kebudayaan
dalam pendidikan telah dibatasi pada nilai-nilai intelektual belaka. Ketiga,
nilai-nilai agama bukanlah urusan pendidikan tetapi lebih merupakan urusan
lembaga-lembaga agama”.
Gambaran
tersebut menjadi dasar untuk memperhatikan
pentingnya pembangunan karakater (Character building) manusia indonesia
yang berpijak kepada khazanah nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Koentjaraningrat memberikan jalan bagaimana agar gejala pemisahan pendidikan
dari kebudayaan ini dapat segera teratasi, ia menyarankan pentingnya kembali
merumuskan kembali tujuh unsur universal dari kebudayaan, antara lain: sistem
religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, keseniaan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem
teknologi dan peralatan. Kebudyaan yang menjadi alas pendidikan tersebut
haruslah bersifat kebangsaan. Dengan demikian, kebudayaan yang dimaksud adalah
kebudyaan yang riil yaitu budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan
Indonesia. Sedangkan pendidikan mempunyai arah untuk mewujudkan keperluan
perikehidupan dari seluruh aspek kehidupan manusia dan arah tujuan pendidikan untuk
mengangkat derajat dan harkat manusia.
E.
Pendidikan Karakter Berbasis Budaya dan Strategi Pengembangannya
Pendidikan karakter berbasis budaya, kebudayaan dimaknai sebagai
sesuatu yang diwariskan atau dipelajari, kemudian meneruskan apa yang
dipelajari serta mengubahnya menjadi sesuatu yang baru, itulah inti dari proses
pendidikan. Apabila demikian adanya, maka tugas pendidikan sebagai misi
kebudayaan harus mampu melakukan proses; pertama pewarisan kebudayaan, kedua
membantu individu memilih peran sosial dan mengajari untuk melakukan peran
tersebut, ketiga memadukan beragam identitas individu ke dalam lingkup
kebudayaan yang lebih luas, keempat harus menjadi sumber inovasi sosial.
Tahapan tersebut diatas, mencerminkan jalinan hubungan fungsional
antara pendidikan dan kebudayaan yang mengandung dua hal utama, yaitu : Pertama,
bersifat reflektif, pendidikan merupakan gambaran kebudayaan yang sedang
berlangsung. Kedua, bersifat progresif, pendidikan berusaha melakukan
pembaharuan, inovasi agar kebudayaan yang ada dapat mencapai kamajuan. Kedua
hal ini, sejalan dengan tugas dan fungsi pendidikan adalah meneruskan atau
mewariskan kebudayaan serta mengubah dan mengembangkan kebudayaan tersebut
untuk mencapai kemajuan kehidupan manusia.
Dengan demikian, urgensi pendidikan karakter itu dimana proses pendidikan merupakan ikhtiar
pewarisan nilai-nilai yang ada kepada setiap individu sekaligus upaya inovatif
dan dinamik dalam rangka memperbaharui nilai tersebut ke arah yang lebih maju
lagi. Karena itu, pendidikan karakter merupakan goalendingdari sebuah
proses pendidikan. Karakter adalah buah dari budi nurani. Budi nurani bersumber
pada moral. Moral bersumber pada kesadaran hidup yang berpusat pada alam
pikiran. Moral memberikan petunjuk, pertimbangan, dan tuntunan untuk berbuat
dengan tanggung jawab sesuai dengan nilai, norma yang dipilih. Dengan demikian,
mempelajari karakter tidak lepas dari mempelajari nilai, norma, dan moral.
Sejatinya karakter sesuatu yang potensial dalam
diri manusia, ia kemudian akan aktual dikala terus menerus dikembangkan,
dilatih melalu proses pendidikan.Mengingat banyak nilai-nilai yang harus
dikembangkan dalam pendidikan karakter, kita bisa mengklasifikasikan pendidikan
karaktertersebut ke dalam tiga komponen utama yaitu:
1.
Keberagamaan;
terdiri dari nilai-nilai (a). Kekhusuan hubungan dengan tuhan; (b). Kepatuhan
kepada agama; (c). Niat baik dan keikhlasan; (d). Perbuatan baik; (e).
Pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.
2.
Kemandirian;
terdiri dari nilai-nilai (a). Harga diri; (b). Disiplin; (c). Etos kerja; (d).
Rasa tanggung jawab; (e). Keberanian dan semangat; (f). Keterbukaan; (g).
Pengendalian diri.
3.
Kesusilaan
terdiri dari nilai-nilai (a). Cinta dan kasih sayang; (b). kebersamaan; (c).
kesetiakawanan; (d). Tolong-menolong; (e). Tenggang rasa; (f). Hormat
menghormati; (g). Kelayakan/ kepatuhan; (h). Rasa malu; (i). Kejujuran; (j).
Pernyataan terima kasih dan permintaan maaf (rasa tahu diri). (Megawangi, 2007)
Megawangi juga telah menyusun kurang lebih ada
9 karakter mulia yang harus diwariskan yang kemudian disebut sebagai 9 pilar
pendidikan karakter, yaitu : a). Cinta tuhan dan kebenaran; b). Tanggung jawab,
kedisiplinan dan kemandirian; c). Amanah; d). Hormat dan santun; e). Kasih
sayang, kepedulian dan kerjasama; f) percaya diri, kreatif dan pantang
menyerah; g). Keadilan dan kepemimpinan; h). Baik dan rendah hati; i).
Toleransi dan cinta damai. (Elmubarok, 2008: 111).
Pola pengajaran terhadap nilai-nilai tersebut
di atas, sebagaimana dikemukan oleh Lickona memberikan penjelasan ada tiga
komponen penting dalam membangun pendidikan karakater yaitu moral knowing(pengetahuan
tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral) dan moral
action(perbuatan bermoral). Ketiga hal tersebut dapat dijadikan rujukan
implementatif dalam proses dan tahapan pendidikan karakater. Selanjutnya, kira-kira misi atau sasaran apa saja yang
harus dibidik dalam pendidikan karakter? Pertama kognitif, mengisi otak,
mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, danpada tahap-tahap berikutnya dapat
membudayakan akal pikiran, sehingga diadapat memfungsi akalnya menjadi
kecerdasan intelegensia. Kedua, afektif, yangberkenaan dengan perasaan,
emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadiseseorang dengan terbentuknya
sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini
semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional. Ketiga,
psikomotorik, adalah berkenaan dengan aktion, perbuatan, perilaku, dan
seterusnya.
Jadi, apabila disinkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan
bahwa darimemiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang
hal tersebut dan selanjutnya berprilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan
apayang disikapinya. Pendidikan karakter, adalah meliputi ketiga aspek
tersebut. Seseorangmesti mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk.
Selanjutnya bagaimana seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana
seseorang sampai ketingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan. pada
tingkat berikutnya bertindak, berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan,
sehingga muncullah akhlak dan karakter mulia.
Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan jenis pendidikan
yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki integritas
moral yang mampu direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan.
Adapun tujuan Pendidikan Karakter sebagaimana yang diungkapkanoleh Ki Hajar
Dewantoro adalah “ngerti-ngerasa-ngelakoni” (menyadari,menginsyafi dan
melakukan). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa Pendidikan Karakter adalah
bentuk pendidikan dan pengajaran yang menitikberatkan pada prilaku dan tindakan
siswa dalam mengapresiasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai karakter ke
dalam tingkah laku sehari-hari.
Berdasarkan
asumsi tersebut di atas, maka pendidikan karakter adalah hasil dari tindakan
moral, maka pendekatan pendidikan moral dapat digunakan untuk pendidikan
karakter. Untuk memahami tentang karakter maka pahamilah berbagai hal yang berhubungan
dengan konsep moral yang harus diajarkan
kepada para peserta didik melalui pengejaran yang baik. Terkait
dengan metode pengajaran menurut Ibn Khaldun merupakan suatu keterampilan atau skill
(sina’ah). Keterampilan dalam aspek
sains-pengetahuan yang beragam, serta penguasaan atas pengetahuan tersebut
merupakan akibat dari kebiasaan. Kebiasaan tersebut memungkinkan pemiliknya
untuk menguasai semua prinsip dasar dan kaidah-kaidah ilmu tersebut dan akhirnya
dapat digunakan untuk memahami permasalahan dan menguasai prinsip-prinsipnya
dengan lebih mendetail (Ibn Khaldun, 1989: 534-535). Potensi intelek manusia
juga bekerja secara bertahap seperti yang telah dijelaskan di awal.
F.
Penutup
Indonesia
adalah negeri dengan penduduk keempat terbesar di dunia dan hidup di wilayah
benua maritime yang sangat kaya dari semua aspeknya. Jika pembangunan budaya
dan peradabannya tidak tertinggal, maka bersamaan dengan terus meningkatnya
kualitas sumber daya manusia di seluruh dunia, sudah tentu pada saatnya
Indonesia akan berkembang menjadi salah satu kiblat peradaban umat manusia.
Pendidikan karakter memerlukan upaya-upaya pencerahan dalam membentuk
kepribadian, watak, dan karakter generasi muda sekarang agar menghasilkan
insan-insan unggulan di segala bidang.
Pola
pendidikan karakter untuk membangun budaya dan peradaban bangsa memerlukan
strategi pembangunan pendidikan nasional yang dinamis dan responsif terhadap
tuntutan kebutuhan demikian itu. Strategi pendidikan nasional yang kita
praktikkan sekarang memerlukan reformasi yang mendasar dan bahkan boleh jadi
bersifat radikal sehingga dapat membuka optimisme ke arah perbaikan yang
berarti di masa mendatang.
Melalui
gagasan yang digali dari filsafat pendidikan Ibn Khaldun akan memberi harapan,
kiranya kaum cerdik cendekia dan khususnya para ahli pendidikan dapat
memikirkan pelbagai altenatif solusi dalam memperbaiki sistem pendidikan
nasional kita dan kinerja lembaga-lembaga pendidikan dalam arti sempit, dan
integrasi sistem pendidikan dalam arti luas dengan melibatkan semua actor dan
factor yang berpengaruh terhadap pembentukan karakter bangsa.
Ibn Khaldun berhasil mendudukan secara
proporsional ilmu-ilmu naqliah dengan aqliah. Hal itu dikarenakan
beliau adalah seorang filosof yang orisinil dalam filsafat Islam, dan mampu
menyingkirkan pengaruh-pengaruh filsafat yunani dalam pemikirannya. Dalam
pemikiran tentang pendidikan, beliau tidak membagi ilmu menjadi fardhu Ain
dan fardhu kifayah. Bagi Ibn Khaldun, penguasaan terhadap kedua jenis
ilmu tersebut sangatlah penting. Ilmu-ilmu aqliyah menurutnya harus memperoleh
porsi seimbang sebagaimana ilmu-ilmu naqliah.
Pemikiran terakhir ini menjadi poin penting
lainnya dari pemikiran Ibn Khaldun yang dapat memecahkan prolematika pendidikan
akibat adanya dikotomik ilmu dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
Usaha-usaha perbaikan yang telah dilakukan oleh sebagian umat Islam dengan
membuka sekolah-sekolah Islam terpadu, madrasah serta pesantren yang membekali
peserta didiknya dengan ilmu-ilmu aqliah dan naqliah, perlu mendapat dukungan
berbagai pihak terutama pemerintah sebagai pemegang otoritas. Karena itu, produk
pendidikan yang dihasilkan adalah sosok manusia unggul dalam ilmu pengetahuan,
lurus dalam pemikiran dan akidahnya, serta memiliki akhlakul qarimah. Manusia-manusia semacam inilah yang nantinya
mampu menghidupkan tradisi keilmuan di kalangan masyarakat muslim yang berujung
pada kelahiran kembali peradaban Islam. Inilah sebab mengapa Ibn Khaldun
menempatkan pendidikanan sebagai bagian integral dari pembangunan budaya dan peradaban
(al-umran).
Jakarta Dalmeri
DAFTAR PUSTAKA
Agil, Syed Omar bin Syed, Philosophy of Education in Prolegomena Ibn Khaldun, Universiti Tun
Abdul Rajak. UNITAR E-JOURNAL Vol. 4, No. 1, January 2008. http://ejournal.unitar.edu.my, 22
November 2009.
Ahmad, Anis,
Educational Thought of Ibn Khaldun, Journal of the Pakistan Historical
Society, Vol.XVI., Karachi, 1968.
Alam, Manzoor. “Ibn Khaldun on the Origin,
Growth and Decay of Cities.” Encyclopaedie
Survei of Islmic Culture. Vol. V. 1997.
Alavi, Zianuddin, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, Bandung
: Penerbit Angkasa, 2003.
Al-Azmeh,
Aziz. Ibn Khaldun. London and New
York: Routledge. 1990.
Alberta Education. (2005). The Heart of Matter: Character and Citizenship Education in
AlbertaSchool. Alberta: Alberta Education, Learning and Teaching Resources
Branching, Minister of Education
Ali, A. Mukti. Ibn Khaldun dan Asal-usul Sosiologi. Yogyakarta: Yayasan Nida.
1970.
Baali, Fuad dan Ali Wardi. Ibn Khaldun and Islamic Thought Styles: A Social Perspective. Boston:
Massachussetts G.K. Hall and co. 1981.
Baali, Fuad. Society, State, and Urbanism: Ibn Khaldun’s Sociological Thought.
Albany: State University of New York Press. 1988.
Berkowitz, Marvin W. dan Bier, Mellinda C.
(2005). What Works in Character Education: A Research-driven Guide for
Educators. Washington:Character Education Partnership
Character Education Partnership. (2003). Character
Education Quality Standards. Washington:Character Education Partnership
Cheddadi, Abdesselam, Ibn Khaldun, Paris: UNESCO International Bureau of Education,
2000.
Cholisin. (2004). “Konsolidasi Demokrasi
Melalui Pengembangan Karakter Kewarganegaraan,” Jurnal Civics, Vol. 1,
No. 1, Juni, pp. 14-28
Curriculum Corporation. (2003). The Values Education Study: Final Report.
Victoria: Australian Government Dept. of Education, Science and Training.
Halstead, J. Mark dan Taylor, Monica J. (2000).
“Learning and Teaching about Values: A Review of Recent Research.” Cambridge Journal of Education. Vol. 30
No.2, pp. 169-202.
http://www.ibe.unesco.org/publications/ThinkersPdf/khaldune.pdf,
22 November 2009
Kerr, D. (1999). “Citizenship Education in the
Curriculum: An International Review,” The School Field. Vol. 10, No. 3-4
Khaldun, Ibn, Muqaddimah, cetakan kedelapan, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008.
-- Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study
in Orientalism. London: Third World Center for Research and Publishing,
1981.
-- Ibn
Khaldun: An Essay in Reinterpretation. London: Frank Cass and Company.
1982.
-- Ibn
Khaldun: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Firdaus. T.t.
Kirschenbaum, Howard. (2000).”From Values
Clarification to Character Education: A Personal Journey.” The Journal of
Humanistic Counseling, Education and Development. Vol. 39, No. 1,
September, pp. 4-20
Lickona, Thomas. (1991). Educating for
Character: How Our schools can teach respect and responsibility. New York:
Bantam Books
Ramayulis
dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokoknya, Jakarta :
Kalam Mulia, 2006.
Samsuri. (2004).“Civic Virtues dalam Pendidikan Moral dan Kewarganegaraan di
Indonesia Era Orde Baru” Jurnal Civics,
Vol. 1, No. 2, Desember.
Samsuri. (2007). “Civic Education Berbasis Pendidikan Moral di China.” Acta Civicus, Vol. 1 No. 1, Oktober.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Walidin, Warul, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun: Perspektif
Pendidikan Modern, Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003.
Williams, Mary M. (2000). “Models of Character
Education: Perspectives and Developmental Issues.” The Journal of Humanistic
Counseling, Education and Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 32-40.
*Makalah
dipresentasikan dalam Seminar Nasional dan Workshop Pendidikan Karakter yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa
Manajemen Pendidikan (IKA-MP) Program Doktor Program Pascasarjana Universitas
Negeri Jakarta (UNJ), tanggal 26-27 Juni 2013.
_________________________
[1]Didin Hafidhuddin dalam Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Agama, makalah yang disampaikan dalam Workshop Nasional Standarisasi MPK-PAI Jakarta 13 Agustus 2009, hlm. 1.
[3]Bryan R. Wilson, Religion in
Secular Society, (London: Penguin Books, 1969), hlm. 9.
[4]Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn
Khaldun and Islamic Thought Styles: A Social Perspective, (Boston:
Massachussetts G.K. Hall and co., 1981), hlm. 9.
[5]Barbara F. Stowasser, “Religion and Political Development: Some Ideas
on Ibn Khaldun and Machiavelli”, dalam Occasional
Papers Series, Center for Comparative Arab Studies, Georgetown University,
Januari, 1983, hlm. 2.
[6]Ibn Khaldun, The Muqaddimah: an
Introduction to History, alih bahasa Franz Rosenthal, (New York: Bollingen,
1958), vol. I, hlm. 320.
[7]Muhammad Talbi, “Ibn Khaldun”, The
Encyclopaedia of Islam, Vol. III, hlm. 825. Bandingkan dengan Hasan Saab,
“Ibn Khaldun”, Encyclopedia of Philosophy,
Vol. IV. hlm. 107.
[8]Fuad Baali, Society State, and
Urbanism: Ibn Khaldun’s Sociological Thought (New York: State University of
New York Press, 1988), hlm. 1. Lihat juga S. Dabydeen, “Ibn Khaldun: An
Interpretation”, The Islamic Quarterly,
Vol. XIII, Nomor 2, 1969, hlm. 79.
[9]‘Abd al-Rahman Ibn Khaldun (selanjutnya disebut Ibn Khaldun) At-Ta’arif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuhu
Gharban wa Syarqan, editor Muhammad Ibn Tawit at-Tanji (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), jilid III, hlm. 481-483. Lihat juga A. Mukti Ali, Ibn Khaldun dan Asal-usul Sosiologi
(Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), hlm. 16-17.
[10]Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s
Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundations of the Science of
Culture (Chicago: University of Chicago Press, 1964), hlm. 27-29.
[11]Ann K. S. Lambton, State and
Government in Medieval Islam: An Introduction to the Study of Islamic Political
Theory, The Jurists (Oxford: Oxford University Press, 1985), hlm. 152.
Bandingkan dengan Heinrich Simon, Ibn
Khaldun’s Science of Human Culture, alih bahasa Fuad Baali (Lahore: S.HLM.
Muhammad Ashraf, 1978), hlm. 9.
[12]‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn
Khaldun: Riwayat dan Karyanya, alih bahasa Akhmadi Thoha (Jakarta: Grafiti,
1985), hlm. 21-22. Lihat juga A. Mukti Ali, op.cit.,
hlm. 17-18.
[13]Ibn Khaldun menyebutkan peristiwa itu dengan rasa duka yang mendalam:
“Ketika usiaku semakin dewasa dan bersemangat dalam menuntut ilmu pengetahuan
dengan cara berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, tiba-tiba wabah
penyakit menular menyerang semua orang, para ulama yang menjadi guruku, serta
kedua orang tuaku wafat karena serangan wabah penyakit tersebut. Keterangan
lebih lanjut lihat Ibn Khaldun, op.cit., hlm.
481-490.
[14]‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, op.cit.,
hlm. 19-22.
[15]Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005), hlm. 223.
[17] Ibn Khaldun, Muqaddimah,
cetakan kedelapan, Jakarta : Pustaka Firdaus,2008, hlm. 525.
[18] Ibid., hlm. 528.
[19] Ibid., hlm. 534.
[20] Walidin Warul Walidin, Konstelasi
Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun, hlm. 105-107.
[21]Syed Omar bin Syed Agil, Philosophy
of Education in Prolegomena Ibn Khaldun, (Kualalumpur: Universiti Tun Abdul Rajak, 2009), hlm. 24.
[22] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 742.
[23] Ibid,. hlm. 755.
[24] Ibid., hlm. 217.
2 komentar:
ijin comot gan...
mampir ke blog ane gan...
silahkan dan terimakasih atas kunjungannya.
Posting Komentar