Semua orang ingin berubah. Ya, kita tentu sangat setuju dengan
pernyataan tersebut. Tetapi kita juga tahu bahwa tak banyak orang yang bisa
melakukannya, apalagi menyelesaikannya. Selain banyak yang tidak bisa melihat
kesempatan itu, sebagian besar lainnya justru tidak bergerak. Jika pun bergerak
tetapi gagal menyelesaikan misi mulia itu. Sehingga perubahan itu tak kunjung
terjadi.
Menurut versi majalah dan lembaga survei di amerika orang-orang terkaya di dunia dijadikan tolak ukur untuk membedakan antara mereka (winners?) dengan para pecundang (losers). Tetapi untuk menjadi kaya raya dan sukses dalam bisnis, orang tidak perlu harus memiliki gelar akademis.
Tanpa keberanian dan kemampuan untuk menerobos pola pikir dan
kebiasaan universitas, orang tidak dimungkinkan untuk mencapai prestasi puncak
seperti yang dicapai oleh orang-orang yang sukses tanpa gelar
akademis.paling-paling ia akan menjadi bagian dari kelas menengah yang mungkin
cukup mapan, tetai belum mencapai puncak prestasi (peak performance).
Sesungguhnya menjadi kaya dan sukses dalam berbisnis, pertama-tama
memang tidak ditentukan oleh ada atau tidak adanya gelar kesarjanaan, tetapi
lebih ditentukan oleh faktor-faktor lain. Dan orang-orang yang kaya raya selalu
mendemontrasikan hal-hal seperti:
- Pertama, ide, keyakinan dan visi kuat mengenai masa depan masyarakat dunia dan bagaimana menangguk keuntungan dari semua hal itu;
- kedua, mereka mamiliki sensitivitas terhadap kebutuhan pasar;
- ketiga, mereka sangat kreatif untuk menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar;
- keempat, mereka mengambangkan keberanian untuk mengambil risiko dalam usia muda (risk-taker); kelima, mereka memiliki kebiasaan bekerja keras, yang bafi mereka justru menyenangkan karena pilihan kerja mereka bertalian erat dengan minat dan bakat atau talenta pribadi;
- keenam, mereka memiliki toleransi terhadap kegagalan dan tidak menganggapnya sebagai hal yang “haram” atau “najis”, tetapi justru perlu untuk dapat sungguh-sungguh berhasil;
- ketujuh, mereka pantang menyerah dan mendemontrasikan ketekunan bekerja yang luar biasa; dan seterusnya. Itulah beberapa paktor yang lebih dominan daripada atribut tempelan yang diberikan universitas ( gelar akademis ).
Sudah waktunya, juga di indonesia, visi, misi, dan strategi pendidikan ditata ulang dengan secara seksama memeriksa asumsi-asumsi yang selama ini dipegang teguh tanpa sikap kritis yang seharusnya menjadi jiwa akademis. Universitas harus berhenti memproduksi beo-beo dan mesin penghafal yang melecehkan potensi manusia sebagai satu-satunya ciptaan yang diciptakan o;eh sang pencipta dengan dianugrahi daya cipta untuk mencipta dalam proses belajar berbakti, beriman dan bertakwa hanya kepada sang pencipta.
Persekolahan formal tidak pernah cukup membekali angkatan muda untuuk menapaki kehidupan di awal abad 21 ini. Robert T. Kiyosaki dalam buku “Rich Dad, Poor Dad” ia menjabarkan enam pelajaran berikut :
- pertama, orang kaya tidak bekerja untuk mendapatkan uang, tetapi membuat uang bekerja untuk mereka;
- kedua, untuk dapat membuat uang bekerja bagi kita, kita harus melek secara finansial (financial literacy), mampu membaca angka dan memaknainya dengan jitu;
- ketiga, berupaya untuk menciptakan bisnis sendiri, dan tidak puas dengan hanya menjadi karyawan(dengan bayaran dan fasilitas yang bagaimmanapun juga);
- keempat, ketauhilah sejarah perpajakan dan kekuasaan dari perusahaan;
- kelima, orang kaya menginvestasikan uangnya; keenam, bekerjalah untuk belajar jangan bekerja untuk mendapatkan uang.
Orang-orang muda perlu diajar dan dilatih untuk mulai memahami
cara mmendapatkan penghasilan pada usia sedini mungkin, sesaat mereka belajar
menghitung, membaca dan menulis. Tujuannya bukan menjadi kaya secepat mungkin,
tetapi memppelajari bagaimana uang “bekerja” atau bagaimana uang dapat
“dipekerjakan” sebagai budak manusia, sehingga ia bisa terhindar dari
kecendrungan menjadi budak uang.
Menjadi kaya itu sendiri hanyalah salah satu pilihan bagi
manusia. Sekalipu orang dimungkinkan untuk menjadi kaya, ia dapat memilih untuk
tidak menjadi demikian. Sebagai contoh Nabi Muhammad SAW dan yesus kristus
memilih mengajarkan pentingnya beriman dan bertakwa kepada ALLAH dalam keadaan
kaya maupun miskin, dibandingkan memilih memperkaya diri sendiri.
Satu hal yang pantas kita syukuri adalah kenmyataan bahwa
ditengah maraknya sentimen kedaerahan dan berbagai wujud primordialisme sebagai
dampak pelaksanaan desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah, kampus
relatif masih merupakan tempat yang aman dimana kegiatan lintas-agama,
lintas-suku, lintas-bahasa, lintas budaya, dan lintas-generasi dilaksanakan.
Pengetahuan dikaitkan tidak hanya dengan tindakan, tetapi
dikaitkan dengan kajian tentang pekerjaan, analisis pekerjaan, dan rekayasa
pekerjaan atau untuk memperbaiki pekerjaan. Ini dirintis oleh Frederick Winslow
Taylor (1856-1915).
Driyarkara menmgatakan pendidikan itu sendiri hakikatnya
adalah proses pemanusiawian manusia muda, proses “humanisasi”, yang tentu saja
tidak boleh dibonsaikan demi kepentingan pasar saja.
Resep klasik “ jika kamu mau sukses di masa depan, bellajarlah
disekolah terkenal” rasanya sudah tidak berlaku lagi. Sekolah paling elite pun
tidak mampu lagi membekali murid-muridnya dengan pengetahuan dan pegangan yang
memadai untuk menghadapi tantangan jaman ini.
Sesungguhnya pemujaan terhadap “ sertifikat akademis” adalah
dampak dari pemujaan sekolah sebagai satu-satunya lembaga “pendidikan”. Dan
dalam banyak kasus kita sudah saksikan
bagaimana gelar akademis sedikit sekali menggambarkan kemampuan pemiliknya.
Kalau proses-proses pembelajaran berbasiskan keluarga, komunitas, perusahaan,
dan masyarakat dapat diselenggarakan dengan relatif memadai, maka proses
perekrutan kerja harus pula dibebaskan dari kewajiban memiliki “sertifikat
akademis”.
Untuk masa yang sangat lama kita telah mencoba hidup dalam
masyarakat yang menganggap dan memperlakukan sekolah sebagai satu-satunya
tempat belajar. Hasilnya adalah apa yang sekarang kita petik. Sebagai
masyarakat dan negara bangsa, indonesia makin dekat dengan apa yang dulu
disebut Bung Karno sebagai “banggsa kuli-babu” kita nyaris tidak memiliki
kelompok asyarakat yang oleh Romo Mangunwijaya disebut “bermental swasta”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar