Oleh : Ahmad Kurnia, SPd,MM #
ahmadkurnia@gmail.com
PENDAHULUAN
Tujuan umum pendidikan adalah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya
dalam arti pendidikan yang dilakukan tetap mempertahankan kesatuan,
keanekaragaman, mengembangkan cita-cita perorangan. Setiap warga negara
berhak memperoleh pendidikan secara merata dengan keunggulan (excellence) dan penyeimbangan (equity) antara pemanfaatan (acces) dengan prestasi (achievement).
Tujuan yang mulia ini akan dapat tercapai apabila dilakukan aktivitas
pendidikan yang bertanggung jawab dan terjaminnya kualitas akademik pada
desain, manajemen proses pendidikan, bertumpu pada konsep pertumbuhan,
pengembangan, pembaharuan, dan kelangsungannya sehingga penyelenggaraan
pendidikan harus dikelola secara profesional. Bidang pendidikan yang
menjadi tumpuan harapan banyak pihak untuk dapat menghasilkan sumber
daya yang berkualitas, kerap terengah-engah karena dihadapkan pada
persoalan serius akibat perkembangan yang terus-menerus dan sangat
cepat. Pendidikan mengalami keletihan dan ketidakberdayaan, yang disebut
oleh Coombs sebagai krisis pendidikan.
Muhammadiyah sejak lama dianggap sebagai pelopor pertama pembaharuan di dunia pendidikan Indonesia setelah pendirinya KH Ahmad Dahlan
bersinggungan dengan gerakan wahabi di timur tengah yang ditandai
dengan keberhasilan dalam bidang pendidikan dan social yang dibuktikan
dengan berdirinya sekolah-sekolah Muhammadiyah dari tingkat Taman
kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, selain rumah sakit dan
panti-panti yang menyebar di seluruh Indonesia, bahkan sampai ke wilayah
Asia tenggara lainnya seperti Malaysia dan Brunei.
Jelas sebuah prestasi yang luar biasa dalam memperbaharui gerakan Islam yang terkenal dengan gerakan tajdid dan furifikasi
pelaksanaan ajaran Islam, menghancurkan tahayul, bid’ah dan khurofat
yang sering jadi jargon persyarikatan. Tujuannya sangat mulia yaitu “menegakan
dan menjungjung tinggi agama Islam sehingga bisa terwujudnya masyarakat
utama yang adil, sejahtera serta mendapatkan ridho Allah SWT”[1].
Namun kebesaran ini bisa saja membuat tidur dan hal yang biasa terjadi
di organisasi semapan Muhammadiyah dan organisasi islam lainnya dengan
jumlah umat yang banyak, tapi sebaliknya bisa saja kebesaran ini akan
mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan dari pengikutnya yang
disusul dengan adanya krisis pemikiran yang justru dari kalangan anak
mudanya yang merupakan kader dalam dakwah dan pengelola pendidikan.
Dapat kita amati gejala kekurangan kader yang bukan sekedar memahami
organisasi dan ideologi persyarikatan tapi memahami Islam yang kafah, bukan kader nyeleneh dan bangga dengan meliberalismekan Islam yang terkadang menusuk kemapanan dan kemurnian pemikiran persyarikatan termasuk ide pluralisme[2] yang bagi orang awam tidak begitu dimengerti bisa masuk pada organisasi Islam sebesar Muhammadiyah.
Apa mungkin dengan pembaharuan yang kebablasan sehingga sulit
membedakan mana yang perlu diberangus karena bisa merusak ideology
Muhammadiyah yang sedang dihembuskan oleh pimpinan pusat Muhammadiyah
dari wilayah, daerah sampai cabang ranting untuk menahan laju “virus-virus tarbiyah”[3] yang
sangat menakutkan, sebuah ketakutan yang luar biasa yang terkadang
tidak objektif lagi. Sebuah kemarahan besar dengan banyaknya kader-kader
persyarikatan yang masuk dan menjadi kader partai atau banyak anak
pemimpin Muhammadiyah yang justru tertarik dengan partai dakwah ini.
Apa
sebuah kesalahan mereka bersinggungan dengan rohis-rohis, Lembaga
Dakwah Kampus, KAMMI yang sekilas sama dengan HMI. Bukan sebuah
kebetulan mereka bersinggungan dengan rohis-rohis, lembaga dakwah kampus
yang memang sejalan dengan gejolak anak muda yang cenderung haus dengan
nilai-nilai aplikatif dalam berharokah tanpa melupakan ruhiyah mereka.
Dan gejala sinergis antara berorganisasi dengan ruhiyah sudah mulai
luntur sehingga hal yang wajar kalau mereka berbeda partai dengan
ayahanda-nya yang tahu hanya dijadikan batu loncatan dan dimanfaatkan
oleh partai yang gencar menahan laju gerakan partai anak bawang yang
melaju pesat dan puncaknya saat pemilu tahun 2004 dan 2008, sebenarnya
sebuah ibroh dan pelajaran berharga di Muhammadiyah, bukan sebaliknya
membuat sebuah kebijakan tidak adil dan berlebihan dalam menyikapi
gerakan ini.
Jangan terlanjur dikaitkan dengan kekakuan dan diangap berbahaya.
Sebuah sifat jumud dan ashobiyah bukan karakter organisasi semoderat
Muhammadiyah. Kalau berintropeksi, Apa sebelumnya Muhammadiyah bisa
menahan laju “Sipilis” (sekulerisme, liberalisme, pluralisme) yang
mencuci otak kader-kader muda persyarikatan atau masuknya pengaruh
aliran sesat seperti Syi’ah atau Ahmadiyah-nya? Atau islam liberal [4]Lahirnya JIMM[5]
sebagai nama lain JIL Apa dalih politisasi agama, penguasaan Masjid
Muhammadiyah, penguasaan amal usaha Muhammadiyah dan kemudian
mengkambing hitamkan sebuah partai Islam yang semua orang mengakui jauh
lebih aplikatif bukan sebagai wacana yang sering dihembuskan
Muhammadiyah. Gerakan real jauh lebih menarik anak muda yang
menginginkan sebauah wujud Islam yang bukan sekedar wacana semata dengan
jargon-jargon luntur bahkan malah Muhammadiyah masih belum menembus
masyarakat dengan strtaegi dakwahnya yang terkadang masih tradisional
dan selalu membuat keputusan abu-abu terhadap cita-cita ummat seperti
pemberlakuan syariat Islam yang terkadang dijawabnya dengan sangat tidak
memuaskan lagi. Tidak mempolitisasi agama tapi menunggangi Muhammadiyah
yang organisasi islam dengan jemaah islam juga. Bahkan banyak kadernya
menjadikan sebagai batu loncatan ke politik, lalu siapa sebenarnya yang
mempolitisasi agama itu dan bagaimana pluralisme yang banyak merugikan
kader Muhammadiyah daripada menguntungkan.Apa dengan dalih kesalahan
tidak mampu menyebutkan tujuan Muhamadiyah bisa dikatakan itu sebuah
alibi untuk melawan sebuah pemikiran lurus dan saya kira jauh lebih
merubah menjadi manusia yang hanif tapi tidak radikal.
Semua orang mengakui system Muhammadiyah diakui sangat baik
berpuluh-puluh tahun dengan ide-ide tajkiyah dari ulama-ulama pendahulu
Muhammadiyah yang memikirkan pembelokan pemikiran Islamnya ternyata
dapat dilihat aplikasinya dipartai yang dianggap virus jahat tersebut.
Bahkan pengkaderan dalam bentuk usroh-usroh dan halaqoh-halaqoh ini
sebelumnya ada di Muhammadiyah dan bukan seharusnya kita memperbaharui
kalau bisa me-reinveting sistem pengkaderan kita. Anehnya ide-ide
tahkiah dari ulama sholeh Muhammadiyah seperti Pak KH. A.R. Fahruddin, KH. A.R. Sutan Mansyur, KH Mas Mansur dan ulama terakhir Muhammadiyah KH Azwar Bashir
teraplikasi dalam partai penuh virus ini. Bahkan seharusnya kader
persyarikatan kembali ke mesjid dan bersatu dengan kader harokah ini
dalam rangka menegakan Islam dan memberantas TBC[6] sebagaimana bersatunya kaum salafiyah dengan persyarikatan ini.
Jelas bukan berarti Muhammadiyah kekurangan orang cerdas dan intelek,
tapi Muhammadiyah kekurang kader yang istiqomah dan komitment terhadap
islam, bukan sekedar kader organisasi yang gersang ruhiyah-nya dan gila
dengan jabatan pribadi yang justru lebih banyak merugikan Muhammadiyah.
Bahkan kalau dikatakan tidak ada sedikitpun perbedaan mendasar antara
Muhammadiyah sekarang dengan Nahdatul Ulama (NU). Bahkan NU jauh lebih
moderat dan siap menerima perbedaan mendasar sehingga mereka bisa
berkembang jauh bukan merasa mapan dengan usianya yang sudah tua dan
terkenal dengan amal usahanya.
1.2. Perumusan Masalah
Untuk memperjelas tujuan dari studi kasus ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
- Apa Yang Menghambat Perkembangan Pendidikan Di Perguruan Muhammadiyah Kota Bekasi dilihat dari permasalahan krisis pemikiran dan kaderisasi organisasi?
- Bagaimanakah Repositioning Pendidikan Muhammadiyah Di Perguruan Muhammadiyah Kota Bekasi ?.
1.3. Tujuan Studi Kasus
Adapun
tujuan studi kasus ini adalah untuk mengetahui secara deskriptif
permasalahan yang terjadi di perguruan muhammadiyah kota Bekasi dan
strategi repositioning dalam frame organisasi Muhammadiyah khususnya
dalam pendidikan.
1.4. Metode Penelitian
Metode
studi kasus ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan
rancangan studi kasus observasional. Pengumpulan data dilaksanakan
dengan (1) Wawancara mendalam (2) Observasi partisipasi (3) studi
dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan cara (1) Reduksi
data, (2) Penyajian data, (3) Penarikan kesimpulan
PEMBAHASAN MASALAH
2.1. Profile Organisasi
Muhammadiyah
Bekasi semula bagian dari Pimpinan cabang Jati Negara jakarta yang
berdiri tahun 1960 yang membawahi 11 pimpinan cabang selevel kecamatan
yang mengelola 7 amal usaha yang salah satunya adalah Majlis Pendidikan
Dasar Dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah. Majlis ini membawahi amal
usaha dalam pendidikan mulai dari SD sampai tingkat SMA/SMK dalam
perkembagannya mengalami perkembangan pesat tapi terlihat turun naik
bila dibandingkan dengan sekolah swasta di Bekasi Timur yang masih baru.
Padahal
dari infrastruktur sangat baik dilahan kurang lebih 3000 m2 dengan
bangunan permanen 3 lantai lengkap fasilitas lab dan fasilitas penunjang
lainnya dengan pelaksanaan proses belajar mengajar pagi hari untuk
tingkat TK sampai SMA/SMK dan sore sampai malam dipergunakan untuk
perkuliahan kampus E universitas Muhammadiyah Jakarat (UMJ). Lokasi
strategis berada dalam komunitas SMP negeri di kota Bekasi dengan akses
ke terminal Bekasi dan keluar dari Tol Bekasi barat ddan dekat dengan
pusat pemda Kotamadya Bekasi.
2.2. Perkembangan Organsasi Pendidikan
Unggul
tidaknya suatu institusi pendidikan terletak pada pola organisasinya
dan Muhammadiyah menempatkan pendidikan sebagai sebuah amal usahanya
yang diunggulkan. Karena pertama kali berdiri muhammadiyah bergerak
dalam dunia pendidikan, namun akhir-akhir ini dibeberapa daerah system
pendidikan Muhammadiyah sangat stagnan dan berdampak pada pola
kadersiasi yang semakin menurun.Yang ditandai dengan semakin stagnannya
perkembangan organisasi, melemahnya kaderisasi dan rapuhnya organisasi
terhadap masuknya pola pemikiran baru yang bertentangan dengan khittah
muhammadiyah yang merasuki kader mudanya dan semakin kentalnya nuansa
politik dalam organisasi pendidikan serta berdampak pada perkembangan
dunia pendidikan..
Dampak
dalam dunia pendidikan, Muhammadiyah salah satu organisasi pelopor
dalam pendidikan modern di Indonesia, akan tetapi dalam perjalanannya
mengalami stagnasi dan ada kesan merasa puas dengan citranya sebagai
organisasi besar dalam pendidikan dan organisasi sosial dengan
beratus-ratus sekolah dan lembaga sosial di seluruh Indonesia. Namun
secara realitas masih banyak juga sekolah Muhammadiyah yang masih
tertinggal jauh dengan sekolah lain dari segi kualitas maupun
kuantitasnya, terutama sekolah-sekolah yang berada didaerah yang bukan
merupakan basis Muhammadiyah Hal ini disebabkan adanya permasalahan
utama yang menyebabkan adanya kecenderungan terhadap pemahaman yang
tertanam kuat semacam stigma yang juga tidak disertai dengan adanya
peningkatan kualitas. Rekruitmen tenaga pendidikan dan pengelolaan
sekolah masih belum maksimal. Ada kecenderungan stagnan dalam
perkembangan kuantitas jumlah penerimaan siswa tiap tahun saat sekolah
lain terus berkembang muhammadiyah mengalami stagnasi. Termasuk proses
pengangkatan calon pimpinan lembaga masih tumpang tindih dengan jabatan
struktural organisasi
Stagnasi
pendidikan di Muhammadiyah bisa diakibatkan beberapa indikator yang
dalam frame simbolik cultural organisasi sampai sekarang terlihat
seperti adanya
1. Dis-asosiasi organisasi.
Muhammadiyah
selalu dipersepsikan dengan salah seolah bertabrakan dengan kultur
masyarakat tradisional yang melekat dengan berbagai stigma
sosio-ideologis yang secara positif dianggap sebagai salah satu
tantangan dakwah organisasi yang perlu mendapatkan perhatian serius dan
secara negative bisa menghambat perkembangan Muhammadiyah dimasa yang
akan datang.
2. Fenomena Aliran Pemikiran.
Adanya
fenomena perkembangan tarbiyah yang terlihat sejalan dengan
Muhammadiyah dan bisa diterima dikalangan muda persyarikatan atau
mengambil istilah Farid setiawan menyebut serangan tarbiyah ini dengan “Virus tarbiyah” (lihat Suara Muhammadiyah, No 5/2006)
yang mulai masuk keberbagai segi kehidupan inteletual muda yang diawali
dikampus dan disekolah bahkan ke sekolah non-Muhammadiyah sekalipun.
Kesadaran agamis dikalangan intelektual muda kampus diawali sekitar
tahun 80-an dibeberapa kampus umum seperti ITB, UGM, UI ini tidak bisa
dibendung apalagi fenomena ini bahkan merebak ke berbagai masyarakat.
Hal ini jelas menghasilkan stigma baru dalam pengakaderan di
persyarikatan yang ternyata manhaj ini justru berkembang pesat pula
didaerah urban yang secara didominasi kaum pendatang yang mungkin
kader-kader kita dipersyarikatan.
3. Dikhotomi Pendatang Dan Pribumi.
Adanya
persinggungan kader pendatang dengan pribumi digambarkan seperti
persinggungan kaum Anshor dan muhajirin ketika hijrah rasulullah ke
Medinah. Begitu juga adanya dikhotomi pribumi-pendatang bisa mewarnai
masuknya budaya persyarikatan sehingga bisa melemahkan sukuisme,
promodialisme yang kaku serta menganggap kader pribumi tidak
professional dalam pengelolaan organisasi amaliah dan lembaga-lembaga
pendidikan dan sikap keras para pendatang yang menganggap kultur yang
dibawa daerahnya lebih mencerminkan jati diri kemuhammadiyahan.sesuai
dengan kultur persyarikatan yang dia bawa daerahnya masing-masing.
4. Stigma Sosial di Sekolah Muhammadiyah.
Stigma
sosial bisa berarti prasangka sosial yang secara negative bisa
berpengaruh terhadap tertutupnya jalur komunikasi Beberapa stigma sosial
dimasyarakat terhadap pendidikan di Muhammadiyah antara lain :
- Istilah ideology baru atau lebih radikal dianggap sebagai agama baru terasa melekat dimasyarakat,
- Lebih terkesan beorientasi sosial dan bengkel ahlak bisa berpengaruh imbas terhadap citra pendidikan Muhammadiyah yang murah dan tidak berkualitas sehingga melupakan fungsi “humanitas” dan “kualitas” dalam pendidikan secara realitas sekolah membutuhkan dana operasional untuk peningkatan kualitas pendidikannya dan oleh anggota persyarikatan dimanfaatkan untuk menitipkan putranya yang bermasalah atau tetangganya yang tidak mampu untuk dimasukan kesekolah Muhammadiyah.
- Stigma pengembangan pendidikan di daerah non-Yogya dan sekitarnya belum mendapatkan perhatian sehingga dihembuskan adanya kultur Jawa dan non-Jawa, tapi ditepiskan dengan terpilihnya, ketua umum Muhammadiyah yang berasal dari luar jawa seperti almarhumah Prof. Dr. Hamka dan terakhir terpilihnya Prof. Dr. Din Syamsuddin (2005-2010). Itulah sebuah stigma yang kebenarannya relative tapi perlu mendapat perhatian dan dianggap sebagai jamu yang terasa pahit tapi bisa menyembuhkan keterdiaman dakwah Muhammadiyah sebagai suatu pergerakan Islam (harokatul islamiyah) dalam mensosialisasikan dakwah cultural dan meningkatkan pencitraan Muhammadiyah di daerah-daerah yang potensial berbaurnya berbagai kultur seperti daerah penyangga ibu kota.
2.3. Proses Kaderisasi Dan Dakwah Muhammadiyah.
Akar
permasalahan lain dari semakin melemahnya organisasi adalah proses
kaderisasi yang mandeg, terkadang terabaikan setelah keterlibatan kader
terbaiknya dalam aktiftas kepartaian mulai tahun 1999-an.
Selain
proses dakwah yang terhenti pada amal usaha dan dakwah internal, dulu
Muhammadiyah dikenal dengan dai-dainya yang dikirim kedaerah
kristenisasi dan suku terbelakang, yang justru organisasi lainnya tetap
konsisten seperti : Dewan dakwah Islam Indonesia (DDII), Hidayatullah,
dll, tapi semakin mapannya para dai dalam kancah politik sehingga
terkadang bercampur baur dengan politisasi dakwah yang luar biasa
pengaruhnya, sehingga ada sebagian kader yang merasakan adanya
kekosongan setelah sekian lama terabaikannya program kaderisasi yang
menyebabkan mereka beralih pada pemikiran lain yang lebih hebat
bertebaranlah mereka di Salafiyin, Hizbul Tahir, Syi’ah, Ahmadiyah dan
tentunya organisasi tanpa bentuk seperti Islam liberal dan ada juga yang
kadernya bertebaran di partai keadilan sejahtera (PKS).
Sehingga
perlu adanya semangat untuk kembali ke khittah Muhammadiyah dan
netralitas dalam berpolitik dengan tidak menjerumuskan organisasi
Muhammadiyah dalam perpolitikan sebagaimana dicontohkan oleh tokoh
Muhammadiyah masa lalu dengan Masyumi-nya.
REFRAMING ORGANISASI DAN PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
3.1. Definisi Istilah
Bolman & Deal [7] mengartikan reframing sebagai :.”.is
mental models, maps, minds-sets, schema and cognitive lense and
deliberately mix metaphore, referring to them as windows, map, tool,
lense, orientation and presfective’ (Reframing adalah model mental,
pemetaan, pola pemikiran, skema dan lensa kognitif yang dijelaksan dalam
bingkai pintu, peta, alat, lensa, orientasi dan prespektif).
Organisasi diartikan sebagai a consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that functions on a relatively continuous basis to achive a common goal or set of goals (stphen P. Robbins, 1990:4) Organization are relatively permanent social entities characterized by goal-oriented behavior, specialization and structure (Warren B. brown, 1980:2) Pengorganisasian diartikan sebagai suatu tindakan mengusahakan hubungan kelakukan yang efektif antara orang-orang, hingga mereka dapat bekerjasama secara efisien dan demikian memperoleh kepuasan pribadi dalam hal melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu.(George R.Terry, 2006:233)
3.2. Reframing Pendidikan.
Dalam
hal ini penulis ingin membuka kembali tirai tertutup untuk memetakan
kembali pola pemikiran dari mulai bingkai structural, bingkai political,
bingkai simbolik dan bingkai etik dan spirit yang terjadi di perguruan
muhammadiyah.
a. Reframing Structural.
Apabila dilihat dari bingkai structural organisasi dengan Asumsi yang mencerminkan kepercayaan pada rasionalitas dan suatu keyakinan bahwa pengaturan yang formal dapat meminimalkan
masalah dan memaksimalkan kinerja. Perspektif kaderisasi organisasi di
Muhammadiyah harus menekankan pentingnya mengubah manusia (melalui
pelatihan pemecatan, rotasi, promosi, atau pemecatan), dalam hal ini
perlu menghidupkan kembali program kaderisasi sebagai ruh organisasi
muhammadiyah selain pengembangan struktur pengelolaan amal usaha
pendidikan tetapi perspektif struktural juara pola pikir baik-out peran
dan hubungan. Properti dirancang, ini pengaturan formal dapat
mengakomodasi kedua tujuan-tujuan kolektif dan perbedaan individu.
Kita lihat ada lima asumsi mendasari kerangka struktural[8]:
- Organisasi ada untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Dalam hal ini perlu meninjau kembali unutk kembali ke tujuan utama Muhammadiyah sebagaimana yang dianjurkan para pendiri Muhammadiyah dan para ulama muhammadiyah dimasa lalu sesuai dengan visi dan misi yang sebenarnya telah kokoh sebagaimana yang diajurkan oleh para pendiri muhammadiyah
- Organisasi untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja melalui spesialisasi dan pembagian kerja yang jelas.Profesonalisme kerja tidak berdasarkan pola primodialisme kelompok dan structural Muhammadiyah sehingga untuk pengangkatan struktur organisasi harus berdasarkan keahlian, kualitas pemahaman pemikiran, dan penguasaan basis aqidah dan pola ideology yang kokoh, bukan skedar pemahamn dan lamanya berorganisasi dengan mengabaikan factor sebelumnya. Seperti terjadi pengangkatan kepala sekolah harus sesuai dengan kapasiltas professional dan keahlian serta pemahaman pemikiran Muhammadiyah tanpa mencampurkan dengan adanya kepentingan politik yang selama ini telah merusak tatanan organisasi dengan adanya jabatan rangkap strukutural dalam organisasi, amal usaha dan dalam aktiftas politik.
- Bentuk yang sesuai koordinasi dan kontrol memastikan bahwa upaya-upaya yang beragam individu dan unit organisasi.Hal lain yang dijadikan sorotan juga adanya span of control yang kurang dilakukan terhadap aktiftas organisasi, karena dalam observasi kebanyakan mereka aktif separoh waktu dalam aktiftas dakwah dan berorganisasi, sehingga agak sulit pengontrolan kebijakan dan SOP yang diberlakukan setelah adanya musyawarah dan muktamar Muhammadiyah dengan ebrbagai macam ijtihad dan keputusan kebawah agak sulit dimplementasikan.
- Orgnisasi organisasi bekerja dengan baik ketika menang atas rasionalitas preferensi pribadi dan tekanan luar.Hal lain organisasi akan bekerja saat ada aktiftas seperti persiapan musyada, muktamar, sementara diluar aktiftas organisasi sebatas amal usaha yang dalam hal ini lembaga pendidikan dan social, dan terasakan adanya pengaruh perpoitikan dalam pengembangan organisasi lebih menonjol, karena dalam hal ini banyak kader yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik sehingga kaderisasi terabaikan setelah perpolitikan terhenti.
- Struktur harus dirancang untuk sesuai dengan keadaan organisasi (termasuk tujuan, teknologi, tenaga kerja, dan lingkungan).Masalah dan kesenjangan Performace di organisasi pendidikan timbul dari kekurangan struktural dan dapat diperbaiki melalui restrukturisasi kembali semua sturktur organisasi organisasi dengan batasan : profesionalime, tidak rangkap jabatan strukutural, netralitas politik disertai kebebasan dalam berpolitik, kontribusi kader yang dipertegas.
b. Reframing Cultural.
Sedangkan
dalam tinjauan reframing cultural adalah dengan melihat pola budaya di
Muhammadiyah. Dari Stigma yang diuraikan dibab II diatas terlihat kalau
organisasi Muhammadiyah memperlihatkan betapa Lemahnya kultur organisasi
dengan mudahnya perkembangan manhaj lain dan janganlah ditanggapii
dengan “jumud” seperti mengambil pendapat Farid Setiawan diatas
dengan istilah “virus tarbiyah” sebagai sebuah fenomena dakwah dan
banyaknya kader dakwah kita yang berafiliasi kepartai lain, bisa
dikatakan merupakan sebuah muhasabah betapa lemahnya manhaj
kita, sehingga kita tidak bisa menyalahkan manhaj lain, tapi dijadikan
sebagai kajian perlu adanya pembenahan dan bisa juga secara legowo dijadikan wacana. Kenapa tidak bisa menerima system tarbiyah yang diibaratkan “virus baik” yang kalau kita kaji kembali pernah dilakukan Rasulullah ketika mengadakan menghalaqoh para sahabatnya dirumah Al-arqom bin Al-Arqom RA.
Dan kemudian istilah ini dijadikan sebagai istilah pengkaderan dipersyarikatan seperti Baetul Arqom[9]. Insya Allah citra Muhammadiyah sebagai harokatul islam besar di Indonesia tidak akan hilang, bahkan jauh lebih baik untuk membenahi system pengkaderan kita yang lebih menonjolkan organisasinya sementara militansi dan girah keagamaan dirasa belum maksimal. Kehausan inilah yang akhirnya ditemukan para kader muda persyarikatan didunia luar. Sebuah sunatullah dan sebuah keniscayaan sebuah system yang beristiqomah dan berpatokan teguh pada sunnah Rasulullah (sebagaimana yang diperjuangkan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan furifikasi dan gerakan tajdidnya) ternyata bisa berkembang dengan pencitraan yang baik dimasyarakat.
Kalau
kita amati kegiatan halaqoh, daurah, sebenarnya sudah ada dalam
pengakderan kita tapi tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena
kesibukan para ustad dan tokoh Muhammadiyah di oragnisasi dan politik
sehingga kegiatan kajian-kajian seperti kajian tarjih dan pemahaman
harokah di Muhammadiyah serasa masih kurang. Begitu juga betapa
sulitnya mengumpulkan para kader untuk sebauh pengajian dan mereka bisa
berkumpul saat kegiatan acara, musyda sehingga pengkaderan seperti
taruna melati, Baetul Arqam tidak ada follow up-nya dan belum bisa
membentuk fikrah Muhammadiyah. Apalagi fikrah ini bisa menyusupi
sela-sela kehidupan masyarakat yang sudah ada bukan merekrut orang baru
untuk di Muhammadiyahkan, tapi masih terpaku pada upaya
Memuhammadiyahkan orang Muhammadiyah.
Pencitraan di dunia pendidikan, Betapa sulitnya untuk menjaring siswa berkualitas ke sekolah Muhammadiyah yang dirasakan penulis dengan bangunan yang cukup megah dan dengan fasilitas yang cukup memadai, tapi sekolah Muhammadiyah didaerah penyangga ibu kota seperti Bekasi dirasa sulit. Penults beranggapan, pencitraan promosi masih bisa dikalahkan dengan pencitraan ideology. Dugaan sementara penulis adalah pencitraan Muhammadiyah yang kurang, oleh karena dakwah ekternal muhammadiyah juga dirasakan masih belum maksimal mempengaruhi masyarakat, akan terasa lain pencitraan sekolah Muhammadiyah seperti di Yogyakarta dan sekitarnya.
Selama
ini kita amati, konsentrasi peningkatan kualitas pendidikan lebih
terkonsentrasi dipusat (Yogya, Jawa tengah dan Jawa Timur dan
sekitarnya) dan belum merambah daerah-daerah yang komunitas Muhammadiyah
yang akan terus berkembang atau sebaliknya stagnan, Sehingga Kenapa
perkembangan sekolah Muhammadiyah didaerah Jawa Barat tidak seunggul
perkembangan sekolah di Jawa timur dan sekitarnya dengan kultur
Jawa-nya yang melekat? Dapat ditandai belum adanya universitas
Muhammadiyah sebaik di Yogyakarta ataupun universitas yang membanggakan
warga muhammadiyah di Malang yang ada di daerah Pasundan. Sehingga hal
ini juga berpengaruh terhadap perkembangan dakwah Muhammadiyah didaerah
ini terasa lambat, padahal dari segi lokasi jauh posisi Jawa barat
lebih dekat ke ibukota dengan fasilitas dan akses yang jauh lebih cepat.
Pencitraan lain terasa jauh lebih hebat adalah masuknya pengaruh
liberal islam dikalangan intelektual mudanya sehingga terasa hambar
citra muhammadiyah sebagai organisasi gerakan islam, dengan opini-opini
kontroversialnya yang terkadang bertentangan dengan sikap dan kaidah
organisasi. Sungguh ironis mencoba menahan gerakan kegamaan yang
ditakuti sebgai virus tarbiyah, tapi sisi lain membiarkan liberalissi,
sekulerisme dan pluralisme masuk kedalam pola pikir anak mudanya.
Sehingga terjadilah pergeseran pola berfikir orang muhammadiyah.
Inilah
salah satu Stigma social-cultural yang sebenarnya tidak bisa dihindari
dan hal ini kembali kepada sikap dari persyarikatan yang menjadikan
wacana, wacana ini belum dihembuskan. Kenyataannya persepsi ini bisa
berpengaruh terhadap penerapan dakwah cultural yang sedang kita galakan
selama ini terutama konsentrasi dakwah daerah pasundan dan daerah
penyangga ibu kota yang banyak didominasi kader pendatang yang
berhadapan dengan konsentrasi masyarakat asli. Sehingga tak bisa
dihindarkan melahirkan dikhotomi kader pribumi dengan kader pendatang,
sehingga terjadilah class action yang terkadang menggoyahkan
profesionalisme dan keutuhan persyarikatan ataupun malah lebih
meningkatkan dinamika organisasi terutama dapat dilihat saat pelaksanan
Musyawarah daerah. Ada sebagian menganggap sebagai dinamika
berorganisasi, Bahkan persinggungan cultural secara positif bisa
berpengaruh terhadap peningkatan komunikasi dan pembenahan organisasi
kelembagaan terutama dalam mengelola persyarikatan.
c. Reframing Politik Organisasi
Adanya
persinggungan kader pendatang dengan pribumi digambarkan seperti
persinggungan kaum Anshor dan muhajirin ketika hijrah rasulullah ke
Medinah. Begitu juga adanya dikhotomi pribumi-pendatang bisa mewarnai
masuknya budaya persyarikatan sehingga bisa melemahkan sukuisme,
promodialisme yang kaku serta menganggap kader pribumi tidak
professional dalam pengelolaan organisasi amaliah dan lembaga-lembaga
pendidikan dan sikap keras para pendatang yang menganggap kultur yang
dibawa daerahnya lebih mencerminkan jati diri kemuhammadiyahan.sesuai
dengan kultur persyarikatan yang dia bawa daerahnya masing-masing.
d. Reframing Ethical Dan Simbolik
Berkaitan reframing etika dan simbolik membahas tentang pentingnya reframing ethics dan spritual, yang terdiri dari: Soul dan Spirit di dalam Organisasi, the factory: excellence and authorship, the family: caring and love, the jungle: justice and power, the temple: faith and significance
Etika merupakan satu
set prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai, prinsip-prinsip yang
mengatur perilaku suatu individu atau organisasi. Sedangkan secara
psikologik, spirit diartikan sebagai “soul”. Soul (jiwa) adalah sebuah
rasa identitas yang mendefinisikan individu atau keyakinan inti
organisasi dan nilai-nilai. Agar dapat diaplikasikan dalam organisasi,
maka etika harus berada di dalam jiwa setiap anggota organisasi.
Organisasi yang memiliki keyakinan inti dan ideologi yang kuat lebih
sukses dalam jangka panjang.
Pada
konteks sumber daya manusia, cinta merupakan sumber lahirnya kepedulian
terhadap etika dan kepemimpinan. Dalam hal ini etika menawarkan
kepedulian dan kasih sayang. Secara politis, etika adalah keadilan
dengan cara mengalokasikan sumber daya yang cukup diseluruh kelompok
yang berbeda. Secara simbolis, etika adalah iman yang berpusat pada
keyakinan bersama bahwa pekerjaan adalah panggilan dan menambahkan
sesuatu yang bernilai bagi komunitas manusia.
Thomas Peters dan Robert Waterman Jr. menyatakan delapan ciri organisasi yang unggul, yaitu:
- A Bias for Action. organisasi lebih berkiblat pada aksi, dan tidak hanya berkutat dengan rencana. Prinsip organisasi ini adalah “try it, do it and fix it”. Organisasi yang lebih menghargai tindakan nyata daripada ambisi yang abstrak.
- Close to the stakehoulder. Organisasi yang memahami dengan baik apa yang diinginkan stakehoulder-nya. ummat adalah “segala-galanya”. Bahkan, untuk keperluan memahami yang diharapkan, mereka tak segan-segan mendirikan dewan pembina, membuka layanan openhouse, melakukan riset-riset SDM, dan sejenisnya. 3. Autonomy and Entrepreneurship. organisasi menghargai sikap anggota yang berani untuk mandiri, memiliki pandangan orisinal, berani mengambil resiko, dan sejenisnya.
- Productivity through People. organisasi menilai kader merupakan aset terpenting bagi organisasi, melebihi arti penting kekuasaan atau bangunan. kader dianggap sebagai pelaku (aktor) yang dewasa, yang bisa dipercaya dan memiliki kreativitas yang unik. Ada komitmen bahwa organisasi adalah aset terpenting yang terlihat dari anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan pelatihan kader.
- Hands-on, Value Driven. organisasi tak mengabaikan arti penting dari tujuan-tujuan yang bersifiat jangka panjang, bahkan transedental. kader diyakinkan bahwa mereka tidak hanya bekerja untuk organisasi, tetapi juga untuk mencapai cita-cita yang luhur (superordinate goals). Mereka berusaha memberi makna transedental yang secara rutin dilakukan dalam organisasi.
- Stick to the Knitting. Organisasi tidak tergesa-gesa dalam melakukan diversivikasi. organisasi belajar dari pengalaman, bahwa banyak organisasi terjebak dalam diversifikasi berlebihan. Organisasi memiliki bisnis inti (core business) yang jelas, dan tidak tergoda masuk ke perubahan pemikiran yang tidak dikuasainya dengan benar.
- Simple Form, Lean Staff. organisasi memiliki struktur organisasi yang sederhana dengan jumlah staf yang ramping. Mereka menyadari bahwa organisasi besar biasanya kurang cepat atau kurang adaptif menghadapi perubahan di lingkungan sekitar. Dengan kata lain, organisasi besar cenderung memiliki hirarki yang panjang, melakukan formalisasi, dan proses prosedural yang berlebihan. Organisasi yang sederhana dengan sejunlah staf yang ramping dinilai penting untuk menjaga agar perusahaan tetap lincah dan cepat dalam mengambil keputusan.
- Simultaneous Loose – Tight Properties. Organisasi memiliki kemampuan menjalankan konsep-konsep manajemen yang sepintas terlihat bertentangan. Dalam konteks ini, organisasi mampu menyeimbangkan prinsip sentralisasi dan desentralisasi dengan baik.
3.3. Repositioning Organisasi
Reposisi organsiasi dilaksanakan dengan menilai dan mereview seluruh kekuatan dan kelemahan sehingga dapat menentukan mana yang harus diperbaiki dan diperkuat. Ada beberapa usaha strategis bagi pengembangan pendidikan yang bisa dikembangkan untuk menjawan permasalahan yang diuraikan diatas antaralain diungkapkan oleh Muhajir Efendi dalam makalahnya”Implementasi Manajemen Pendidikan TinggiPengalaman Universitas Muhammadiyah Malang”[10]
a. Menciptakan Citra sosial sekolah Muhammadiyah
Kelemahan
lain, Belum memaksimalkan ciri khas keunggulan yang bisa dijadikan
sebagai bentuk pencitraan sekolah Muhammadiyah dengan mengikuti kultur
masyarakat transisi industri sehingga citra sekolah Muhammadiyah lebih
dikenal sebagai sekolah termurah, keuangannya bisa dicicil dan sesuai
dengan mitos pencitraan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial ditambah
citra lain yang tak kalah menariknya mencitrakan sekolah Muhammadiyah
sebagai bengkel ahlak sehingga bisa menampung siswa yang bermasalah,
terkecuali sekolah unggulan Muhammadiyah didaerah lain.Dengan
pencitraan tersebut, Sangat wajar sekali kalau masih banyak para tokoh
Muhammadiyah yang tidak mau menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah
Muhammadiyah dengan alasan tersebut.
Ada Fenomena yang baik sekaligus mengkhawatirkan banyak putra Muhammadiyah yang sukses mengelola sebuah lembaga pendidikan sendiri tanpa mau berafiliasi dengan persyarikatan sehingga bisa eksis meningkatkan kualitas yang melebihi sekolah Muhammadiyah yang sudah ada, selain itu sangat memprihatinkan masih ada sebagian kader persyarikatan yang tidak mau mendirikan sekolah dengan mengatas namakan persyarikatan karena anggapannya akan sulit menerima siswa yang multicultural dan masih banyak yang tidak memahami Muhammadiyah. Sebagai organisasi dan ideology yang berbeda di masyarakat. Anehnya mereka tidak mau memakai label Muhammadiyah tapi masih memakai system pendidikan Muhammadiyah baik dalam kurikulum maupun dalam system pembinaan
- Menciptakan Trust dan Confidence untuk Stakeholder
Salah
satu yang tidak bisa dipungkiri adalah menciptkan rasa kepercayaan
masyrakat terhadap pendidikan Muhammadiyah, tentu saja bukan sekedar
pemahaman ideologis saja, tetapi juga bisa menyangkut masalah kualitas
dan berdasarkan survey penulis sendiri yang pernah menjadi kepala
sekolah berdasarkan peneusuran kerja lulusan SMK muhammadiyah bekasi 80%
terserap didunia kerja dan 20 % banyak yang melanjutkan kuliah baik ke
PTS maupun PTN di Jawa barat dan DKI Jakarta[11].
Untuk meningktkan rasa confidensi terhadap sekolah Muhammadiyah kota
bekasi adanya sosialisasi dakwah dilingkungan sekolah dan komunitas
muhammadiyah secara rutin dan membangun kualitas infrastruktur dan
tenaga kependidikan secara berkala sesuai dengan system pendidikan
Muhammadiyah serta membangun pusat-pusat keunggulan di bidang akademik
dan eunterpreuner akan membangun brand image di masyarakat kota bekasi tentang keebradaan perguruan Muhammadiyah.
- Membangun Competitive Advantage.
Strategi USE PDCA dapat dipergunakan dalam membangun competitive advance centres. Pengembangan bidang ini harus dipandang sebagai suatu perbaikan terus menerus (continues improvement),
sehingga tugas utama pimpinan muhammadiyah khususnya para pimpinan
lembaga yaitu melakukan perbaikan proses yang terjadi secara terus
menerus dengan membuat keputusan yang efektif untuk menyelesaikan
masalah-masalah bisnis yang ada berkaitan dengan ini bisa menggunakan
pembuatan keputusan USE PDCA, yaitu;
U = Understand improvement needs
S = State the problem
E = Evaluate the root Cause (s)
P = Plan the solution
D = Do or implement the solution
C = Check
A = Act
- Membangun Culture Organisasi
Perguruan tinggi sebagai organisasi pendidikan memiliki
kepentingan terhadap pelestarian budaya, nilai, pemandirian kaidah
Muhammadiyah terutama dalam kebijakan pendidikannya. Oleh karena itu perguruan Muhammadiyah bekasi dituntut untuk mengikuti perkembangan jaman (fashionable).
Pendidikan menyangkut dimensi sistem, paradigma dan kultur. Budaya
organisasi perlu disesuaikan dengan pergeseran paradigma dunia, yang
berorientasi pada customer, kepuasan pelanggan (customer satisfaction), keterbukaan manajemen, dan jaminan kualitas.
Jaminan kualitas pendidikan (quality assurance) merupakan titik temu antara harapan para pemakai layanan (client) dan pemberi layanan pendidikan (provider).
Kualitas pendidikan merupakan hal yang selalu di diskusikan para ahli
pendidikan. Untuk masyarakat yang berbeda, mungkin definisi kualitas
pendidikan akan berbeda, demikian pula dengan indikator yang digunakan
untuk mengukur kualitas pendidikan. Quality Assurance sebagai
alat ukur kualitas telah diimplementasikan dalam pendidikan di beberapa
negara yang telah maju sebagai sebagai bentuk akuntabilitas
Untuk standar profesional di bidang pendidikan. Quality Assurance yang
terencana dengan baik dan tersistematis akan dapat digunakan untuk
merefleksi diri, memonitor kinerja pendidikan, memberikan gambaran
komprehensif kefektifan proses pendidikan dan kinerja universitas, sustainable improvement universitas,
serta dapat digunakan untuk memberikan jaminan atau kepercayaan suatu
produk atau jasa pendidikan dikatakan berkualitas.
Standard Australia (Cuttance, 1995) Quality Assurance (QA) di definisikan sebagai semua tindakan
yang terencana dan sistematis untuk memberikan kepercayaan/jaminan
bahwa suatu produk atau jasa memenuhi syarat untuk dikatakan
berkualitas.
Dari
sisi efektivitas kinerja, Ellis J (2001) mendefinisikan QA sebagai
aktivitas yang dilakukan untuk menilai keefektifan proses penyedia
layanan, membangun gambaran yang komprehensif mengenai kinerja dan
pembaharuan informasi melalui siklus tahunan. Disamping itu CDQA (the
Chief Directorate for Quality Assurance) pada tahun 2001 mendefinisikan Quality Assurance
sebagai kegiatan monitoring dan evaluasi kinerja dari berbagai macam
level sistem pendidikan untuk mencapai tujuan sistem tersebut.
Menurut Harman dan Meek (2000)
QA adalah manajemen yang sistematis dan prosedur penilaian yang
diadopsi oleh insitusi atau sistem untuk memonitor kinerja dan
meyakinkan pencapaian ouput yang berkualitas atau peningkatan kualitas.
QA adalah suatu proses yang bertujuan menyatukan semua stakeholder
dalam mencapai satu tujuan yaitu peningkatan kualitas pendidikan.
Aktivitas ini memberikan penghargaan pada pelaksanaan kegiatan program
yang baik, bukan menghakimi pelaksanaan kegiatan yang kurang baik. QA dimaksudkan untuk meyakinkan stakehorlders bahwa institusi memberikan layanan yang bisa diterima (Dahlgren, P. dkk, 2001).
Dengan
adanya penjaminan mutu di bidang akademik, karyawan, layanan, keuangan,
dan kesesuaian antara produk akademik yang dihasilkan oleh lembaga stakeholder, akan menumbuhkembangkan rasa saling percaya dan membangun image Muhammadiyah
yang baik di masyarakat. Apabila masyarakat merasa puas, maka akan
terjalin keterikatan secara emosional dan secara bertahap akan
mengembangkan loyalitas pada pendidikan Muhamadiyah secara keseluruhan.
- Membangun Kerjasama Dengan Institusi Lain.
Membangun jalinan kerjasama dengan institusi
lain merupakan hal yang tidak dapat di hindari. Karena pesatnya
perkembangan teknologi informasi dalam era globalisasi ini, maka dunia
akan terasa menjadi lebih kecil karena jarak sudah tidak lagi menjadi
hambatan dalam berkomunikasi. Dengan komunikasi keterbatasan geofrafis
seakan menghilang dan menjadi satu kesatuan masyarakat global.
Pergguruan muhammadiyah kota bekasi menjalin hubungan dengan institusi
pendidikan Muhammadiyah di Jakarta, yogyakarta yang sudah maju dalam
pengelolaan dan sistem pembelajaran serta kuirkulumnya selain dengan
mitra perushaan terutama dikawasan industri Cikarang dan sekitarnya
terutama untuk permagnagan, penyerapan tenaga kerja serta sponsorship
setiap acara di perguruan muhammadiyah.
- Perubahan Paradigma
Dari
prespektif institusi pendidikan dipandang sebagai penyedia jasa
pendidikan. Sama seperti penyedia layanan jasa lainnya yang merubah
kebutuhan pasar dan harapan untuk menciptakan permintaan dan peluang
yang muncul. untuk memeriksa dan merespon semua kebutuhan, harapan dan
peluang dari lingkungan lembaga pendidikan ini sangat membutuhkan
perencanaan strategi, yang meliputi menciptakan misi dan pernyataan visi, merumuskan prinsip-prinsip inti dari kegiatan.
Tantangan terpenting dari sudut pandang diatas adalah adanya integrasi dari setiap kegiatan pengkajian, perencanaan dan perbaikan. Dengan adanya Integrasi tersebut memungkinkan institusi untuk mengidentifikasi kekuatan organisasi dan kebutuhannya, membantu menentukan prioritas, mendorong segera dan terus menerus untuk mengadakan dialog antar pimpinan daerah Muhammadiyah kota Bekasi, staf dan administrasi dan stakehoulder lainnya dalam menentukan bagaimana mendorong pengembangan lembaga dan bagaimana untuk mencapai Pendidikan yang mampu menginformasikan dan mengisnergikan pemahaman publik, memupuk rasa percaya masyarakat, dan memberikan kontribusi untuk kesejahteraan bangsa.
- Menciptakan Organisasi Pembelajar
Kesuksesan
organisasi pada saat ini sangat tergantung pada kemampuan organisasi
tersebut untuk belajar dan merespon perubahan-perubahan yang terjadi
dengan cepat. Manajer organisasi yang sukses adalah orang yang mampu
secara efektif menggunakan kebijaksanaan, mengelola organisasi dengan
berbasis ilmu pengetahuan, dan melakukan perubahan-perubahan yang
diperlukan. Disinilah letak pentingnya organisasi pembelajar. Organisasi
pembelajar adalah pengembangan kapasitas organisasi untuk terus
belajar, beradaptasi dan berubah.
Sugeng
Prabowo (2010) berpendapat bahwa secara konseptual organisasi dapat
dibedakan menjadi organisasi tradional dan organisasi pembalajar. Ada
sepuluh faktor yang membedakan antara konsep organisasi tradisional
dengan konsep organisasi pembelajar. Adapun perbedaan kedua konsep
tersebut sebagai berikut:
Table 3.1. Faktor Pembeda Organisasi
No.
|
Konsep Organisasi Tradisional
|
Konsep Organisasi Pembelajar
|
1
|
Stabilitas
|
Perubahan yang tidak berkesudahan
|
2
|
Hirarkhis Birokratis
|
Kepemimpinan dari setiap orang
|
3
|
Organisasi yang kaku
|
Fleksibilitas
|
4
|
Pengendalian melalui aturan
|
Pengendalian melalui visi dan value
|
5
|
Informasi yang tertutup
|
Informasi yang disebarluaskan
|
6
|
Menerima hanya pada hal-hal yang pasti
|
Menerima keraguan
|
7
|
Reaktif dan menghindari resiko
|
Proaktif, dan keberanian menanggung resiko
|
8
|
Berfokus ke internal organisasi
|
Berfokus pada lingkungan kompetitif
|
9
|
Keunggulan bertahan
|
Keunggulan kompetitif yang berubah
|
10
|
Bersaing pada pasar yang ada
|
Bersaing pada pasar masa depan yang kontemporer
|
Perkembangan
organisasi pembelajar dalam pendidikan di Indonesia terus mengalami
perkembangan. Hal ini dapat terlihat dari berbagai hal, mulai dari
kebijakan penyelenggaraan dari pemerintah, sampai dengan perubahan
sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan
sebagai akibat kebijakan pemerintah misalnya, perubahan dari sistem
sentralisasi menjadi sistem desentralisasi sehingga muncul model
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS). Perubahan pola pengelolaan, sehingga muncul Komite
Sekolah, Dewan Pendidikan, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, dan
lain-lain.
Perubahan
yang berkaitan dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya
perubahan dalam proses pembelajaran, sehingga menghasilkan teori
pembelajaran quantum (quantum teaching/ learning), pembelajaran aktif (active learning), pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning). Perubahan dalam manajemen misalnya Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), penggunaan alat analisis Balance Scorecard, dan lain-lain.
Lembaga
pendidikan harus mampu mendorong melahirkan kondisi prasyarat yang oleh
Peter Senge (1990) disebut sebagai lima hal inti dalam pembentukan
organisasi pembelajar. Kondisi prasyarat tersebut harus dirancang dan
dilaksanakan secara sistematis oleh lembaga pendidikan yaitu:
(1)Keahlian Pribadi (Personal Mastery), (2) Model Mental (Mental Model), (3)Visi Bersama (Shared Vision), (4)Pembelajaran Tim (Team Learning), dan (5)Pemikiran Sistem (System Thinking).
Personal Mastery
adalah suatu budaya dan norma organisasi yang diterapkan sebagai cara
bagi semua individu dalam organisasi untuk bertindak dan melihat
dirinya. Penguasaan pribadi ini mestinya harus sangat dikuasai oleh
orang-orang yang bekerja di lembaga pendidikan.
Mental Model
adalah suatu aktivitas perenungan yang dilakukan dengan terus menerus
mengklarifikasikan dan memperbaiki gambaran-gambaran internal kita
tentang dunia, dan melihat bagaimana hal itu membentuk tindakan dan
keputusan kita. Model mental terkait dengan bagaimana seseorang berpikir
dengan mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan tindakan
atau aktivitas dalam berorganisasi.
Shared Vision
adalah suatu gambaran umum dari organisasi dan tindakan organisasi yang
mengikat orang-orang secara bersama-sama dari keseluruhan identifikasi
dan perasaan yang dituju. Dengan visi bersama, organisasi dapat
membangun komitmen yang tinggi dalam organisasi. Selain itu organisasi
dapat pula menciptakan gambaran-gambaran atau mimpi-mimpi bersama
tentang masa depan yang ingin dicapai, serta prinsip-prinsip dan
praktek-praktek penuntun yang akan digunakan dalam mencapai masa depan
tersebut.
Team Learning
adalah suatu keahlian percakapan dan keahlian berpikir kolektif dalam
organisasi. Kemampuan organisasi untuk membuat individu-individu cakap
dalam percakapan dan cakap dalam berfikir kolektif tersebut akan dapat
meningkatkan kecerdasan dan kemampuan organisasi. Dengan kata lain dapat
dinyatakan bahwa kecerdasan organisasi jauh lebih besar dari jumlah
kecerdasan-kecerdasan individunya.
Systems Thinking
adalah suatu cara dalam menganalisis dan berpikir tentang suatu
kesatuan dari keseluruhan prinsip-prinsip organisasi pembelajar. Tanpa
kemampuan menganalisis dan mengintegrasikan disiplin-disiplin organisasi
pembelajar, tidak mungkin dapat menerjemahkan disiplin-displin itu
kedalam tindakan organisasi yang lebih luas.
3.5. Penyelarasan Organisasi (Organization Alignment)
Tujuan yang diharapkan dari alignment
adalah terjadinya efek sinergi dimana penggabungan dari komponen yang
ada akan menghasilkan hal yang jauh lebih besar daripada penjumlahan
masing-masing individu.
Aligment
harus diperlakukan sebagai sesuatu yang istimewa, antara lain top
manajer harus menjadi orang yang paling bertanggung jawab untuk menjamin
terlaksananya penyelarasan dalam organisasi.
Value alignment atau keselarasan nilai antara organisasi/perusahaan Muhammadiyah dan SDM sangat dibutuhkan. Jadi value alignment harus dijadikan sebagai prasyarat yang didahulukan sebelum melihat capability alignment atau keselarasan kemampuan. Value alignment dapat menghasilkan the right person at the right place.
Value alignment atau keselarasan nilai antara organisasi/perusahaan Muhammadiyah dan SDM sangat dibutuhkan. Jadi value alignment harus dijadikan sebagai prasyarat yang didahulukan sebelum melihat capability alignment atau keselarasan kemampuan. Value alignment dapat menghasilkan the right person at the right place.
Proses untuk menciptakan keselarasan strategis (strategic alignment)
pada suatu organisasi dimulai dari tataran tim eksekutif, berikutnya
adalah membentuk sinergi strategi dan kinerja melalui apa yang disebut
dengan proses penyelarasan vertikal (vertical alignment) dan penyelarasan mendatar (horizontal alignment).
Kesuksesan
organisasi pada saat ini sangat tergantung pada kemampuan organisasi
untuk belajar dan merespon perubahan-perubahan yang terjadi dengan
cepat. Disinilah letak pentingnya organisasi pembelajar. Organisasi
pembelajar adalah pengembangan kapasitas organisasi untuk terus belajar,
beradaptasi dan berubah yang ditandai oleh: 1) Suasana dimana
anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan
mengembangkan potensi penuh mereka, 2) Memperluas budaya belajar sampai
pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain, 3) Menjadikan
strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan
bisnis, dan 4) Berada dalam proses transformasi organisasi secara terus
menerus.
KESIMPULAN
- Inti dari kelemahan diatas adalah perlu peningktan profesionalisme organisasi kelembagaan antara lain Ketidak profesionalan amaliyah lembaga di Muhammadiyah adalah imbas dari pengelolaan organisasi yang tidak total dijadikan para kader sebagai aktifitas organsiasi sebagai sandingan kegiatan dakwah dan tarbiyah di Muhamamdiyah. Bahkan revitalsasi secara teori sangat ideal sekali bagi pertumbuhan organisasi tapi dilapangan ternyata tidak bisa menyentuh cabang dan ranting, ada kesan bingung bagaimana mengaplikasikan revitalisasi tersebut. Sehingga kegiatan dakwah dan penataan kegiatan organisasi di Muhammadiyah tidak bisa hanya dijadikan kegiatan paroh waktu atau sekedar prestise tanpa amal nyata atau sebagai pengisi masa pensiunan atau sebagai jenjang karier politik untuk mencari loncatan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Sebenarnya motif apapun di Muhammadiyah sah-sah saja, asalkan masih bisa memberikan kontribusi positif bagi persyarikatan dan melakukan dengan prosedur yang syar’I dan tidak lupa dengan untuk menghidupkan kembali dakwah muhammadiyah dan riak-riak kecil dari kader-kader muda kita selama masih ada control insya Allah kekhawatiran itu tidak akan terjadi.
- Tujuan yang diharapkan dari alignment adalah terjadinya efek sinergi dimana penggabungan dari komponen yang ada akan menghasilkan hal yang jauh lebih besar daripada penjumlahan masing-masing individu. Aligment harus diperlakukan sebagai sesuatu yang istimewa, antara lain top manajer harus menjadi orang yang paling bertanggung jawab untuk menjamin terlaksananya penyelarasan dalam organisasi.Value alignment atau keselarasan nilai antara organisasi/perusahaan dan kandidat karyawan sangat dibutuhkan. Jadi value alignment harus dijadikan sebagai prasyarat yang didahulukan sebelum melihat capability alignment atau keselarasan kemampuan. Value alignment dapat menghasilkan the right person at the right place. Proses untuk menciptakan keselarasan strategis (strategic alignment) pada suatu organisasi dimulai dari tataran tim eksekutif, berikutnya adalah membentuk sinergi strategi dan kinerja melalui apa yang disebut dengan proses penyelarasan vertikal (vertical alignment) dan penyelarasan mendatar (horizontal alignment).
- Kesuksesan organisasi pada saat ini sangat tergantung pada kemampuan organisasi untuk belajar dan merespon perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat. Disinilah letak pentingnya organisasi pembelajar. Organisasi pembelajar adalah pengembangan kapasitas organisasi untuk terus belajar, beradaptasi dan berubah yang ditandai oleh: 1) suasana dimana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka, 2) memperluas budaya belajar sampai pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain, 3) menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis, dan 4) berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus.
DAFTAR PUSTAKA
Bolman G. Lee & trence E. Deal (2003). Reframing Organization,john wiley & Son, San fransisco.
Kaplan, Robert S & Norton David T, (2006) Alignment, Harvard Business scholl Publishing, Boston.
Jaiz, Hartono, (2007) Aliran dan Paham sesat di Indonesia, Alakautsar, Jakarta, 2008.
Buku Panduan Organisasi Muhammadiyah, Tim penyusun,2005. PD Muhammadiyah Bekasi
AD/ART Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 2007
Brandt, Ronald. (1993). What do you mean professional. Educational Leadership. Nomor 6 50, March.
Canella & Reiff .(1994). Individual constructivist teacher education: Teachers as empowered learners. Teacher Education Quarterly, 21(3), 27-28.
Carolin Rekar Munro. (2005). “Best Practices” in teaching and learning : Challenging current paradigms and redefining their role in education. The College Quarterly. 8 (3), 1 – 7.
Colin Marsh. (1996). Handbook for beginning teachers. Sydney : Addison Wesley Longman Australia Pry Limited.
[1] Lihat AD/ART Muhammadiyah, terbitan PP Muhammadiyah tahun 2010.
[2] Paham yang berpendapat bahwa;
[3] Istilah yang dilontarkan oleh masuknya anasir pemikiran dari luar dari organisasi yang berbasis partai dan tarbiyah.
[4]
Peristilahan yang berasal dari pendapat kurzmam yang dikembangkan
nurcholis majid, dkk yang memandang semua agama sebagai jalan sejajar
(hartono ahmad jaiz,”tasawuf, pluralism dan pemurtadan, al-kautsar,
jakarta, 2001, hal. 116-117.
[5] JIMM sebuah singkatan dari jaringan islam muda muhammadiyah
[6] Peristilahan diMuhamamdiyah tentang penyakit masyarakat Islam yaitu Tahayul, bid’ah dan churofat yang disingkat TBC.
[7] Bolman, G. Lee, Deal Terrence E, Reframing Organization, jossey bass,san faransisco,( 2003:12-13)
[8] Reframing organisasi, hal.
[9]
Metdoe kaderisasi Muhammadiyah sebagai bentuk pemahaman organisasi dan
ideology Muhammadiyah secara konsisten dilakukan sejak dahulu oleh para
pendidri Muhammadiyah.
[10] Makalah
disampaikan pada acara Seminar dan Lokakarya Nasional “Manajemen
Perguruan Tinggi Masa Depan Untuk Meningkatkan Daya Saing bangsa” pada
tanggal 21 -23 Agustus 2007 di Balikpapan
**) Rektor Universitas Muhammadiyah Malang
[11] Data statistic penelusran lulusan SMK Muhammadiyah 01 Bekasi tahun 2010 :6
# Penulis seorang Dosen, Mantan Kepala sekolah SMK Muhammadiyah 01 Bekasi, Ketua Departemen Ekonomi PD Pemuda Muhammadiyah Bekasi (2006-2010) dan kandidat Doktor Manajemen Pendidikan, UNJ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar