[sumber; www.thesleuthjournal.com] |
Oleh: Gurukecil*
Rekomendasi Forum Rektor Indonesia (FRI) agar perguruan tinggi
ditempatkan dalam yurisdiksi Kementerian Riset dan Teknologi telah
mengagetkan Daoed Joesoef. Menurut Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne dan Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru itu, rekomendasi itu mengejutkan karena
menunjukaan bahwa ternyata “akhirnya ketahuan mengapa pendidikan tinggi
di perguruan tinggi (PT) kacau selama ini. Ternyata PT dikelola menurut
kesalahpahaman tentang misi pendidikan keilmuan dari PT.” Menurutnya
pula, “PT memang menangani riset, tetapi tujuan esensialnya bukanlah
menghasilkan sesuatu yang ‘siap pakai’ di bidang kehidupan apa pun,
melainkan membuat manusia berspirit ilmiah karena spirit inilah yang
menggerakkan manusia untuk terus berusaha menyempurnakan
pengorganisasian pengetahuan kita begitu rupa hingga menguasai semakin
banyak potensi tersembunyi dalam alam dan pergaulan (interaksi) human”.
Saya termasuk yang sama terkejutnya, dengan beberapa alasan yang kurang
lebih sama, tetapi juga dengan alasan yang berbeda.
Menanggapi Daoed Joesoef, salah seorang narasumber dalam FRI di
Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, 30-31 Januari 2014 —yang
merekomendasi pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek
(Kemdikti Ristek)—, Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak alasan kuat yang mendasari rekomendasi FRI tersebut.
Di antaranya, Kemdikbud yang menangani pendidikan dasar, menengah, dan
tinggi menjadi terlalu besar sehingga bebannya terlalu berat dan tidak
fokus. Selain itu, Kemdikbud cenderung menjadikan PT hanya sebagai unit
pelaksana teknis. Juga, PT —khususnya PT negeri— memiliki sumber daya
manusia relatif lebih banyak dan berkualitas tidak hanya untuk
pengajaran, tetapi juga untuk penelitian. Menurut Azyumardi Azra,
sejumlah PT papan atas Indonesia menghasilkan lebih banyak penelitian
inovatif yang dikutip secara internasional dibandingkan dengan yang
dihasilkan oleh lembaga khusus ristek seperti LIPI dan BPPT. Masih
menurut Azyumardi Azra, gagasan itu menemukan momentum ketika forum
tersebut dipimpin Laode M. Kamaluddin, Rektor Unissula, Semarang (2013),
yang melalui bukunya Re-orientasi (Strategi) Pendidikan Nasional Indonesia
(2015-2020) yang disosialisasikan di FRI di UNS Surakarta, menggagas
‘pemekaran’ Kemdikbud menjadi Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar,
dan Menengah dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi
(Kemdikti Ristek).
Saya mencoba memahami pandangan Daoed Joesoef dan Azyumardi Azra di
atas berdasarkan pengalaman saya menyelesaikan pendidikan pasca-sarjana
di PT luar tanah air dan kemudian membandingkannya pengalaman saya
bekerja sebagai dosen di PT negeri di Indonesia selama hampir 30 tahun.
Saya mencoba mencerna pandangan Daoed Joesoef menjadi lebih sederhana.
Tujuan esensial pendidikan —dasar, menengah, dan tinggi— sesungguhnya
adalah mencerdaskan bangsa. Riset hanyalah produk, bukan tujuan. Bangsa
yang cerdas dengan sendirinya akan menghasilkan riset yang hebat. Untuk
mencerdaskan bangsa, pendidikan seharusnya memanusiakan manusia,
menjadikan manusia berbudaya, bukan sekedar menjadikan manusia sebagai
sumberdaya. Pendidikan seharusnya mampu menghasilkan manusia yang bisa
mengubah pasar, bukan manusia yang sekedar tunduk pada dan sekedar
bersedia melayani pasar. Dan karena itu, pendidikan perlu diseiringkan
dengan kebudayaan. Pada saat yang sama, saya juga mencoba memahami
kegalauan Azyumardi Azra atas kinerja Kemdikbud selama ini. Saya sepakat
dalam beberapa hal dengan Azyumardi Azra. Tetapi berdasarkan pengalaman
selama ini sebagai dosen biasa, saya berpandangan bahwa kinerja PT
negeri ini tidak akan berubah, sepanjang pengelolaan PT tetap dilakukan
dengan gaya seperti sekarang.
Kritik pedas Azyumardi Azra bahwa Kemdikbud telah campur tangan
terlalu jauh terhadap pengelolaan PT, khusunya PT Negeri, sehingga PT
seakan-akan menjadi hanya semacam unit pelaksana teknis (UPT) patut
menjadi perhatian para petinggi Kemdikbud. Campur tangan menteri dalam
pemilihan rektor dan dalam ‘penyeragaman’ program studi dan
kurikulumnya, baru sekedar dua contoh. Masih banyak contoh lain, bahkan
yang sampai ke hal-hal tidak masuk akal seperti perijinan tugas/ijin
belajar, linearitas bidang ilmu, pandangan ilmu sebagai sebatang pohon
yang hanya bisa bercabang tanpa ada cabang yang saling bertemu,
merupakan contoh-contoh lain. Alhasil, PT beroperasi seakan-akan sebagai
sebuah UPT dan rektor menjadi sekedar kepala UPT yang hanya bisa
‘merekomendasikan’ kebijakan, yang berarti tidak ikut dilibatkan dalam
pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan. Namanya sebuah
rekomendasi, belum tentu juga akan didengar, alih-alih diakomodasi ke
dalam kebijakan. Dan rekomendasi FRI agar PT keluar dari Kemdikbud
seakan-akan menjadi sebuah bentuk ‘frustasi’ akibat dari tidak pernah
dilibatkan itu.
Tapi saya sepakat dengan pokok pikiran bahwa PT seharusnya dikelola sebagai ‘rumah belajar’, sebagaimana disampaikan oleh Budi Widianarko, Rektor Unika Soegijapranata.
Menurut Widianarko, PT adalah lembaga yang sarat dengan muatan
pendidikan dan pengajaran. Sebagaimana lebih lanjut diungkapkannya,
“Ungkapan ‘universitas magistrorum et scholarium’ (universitas sebagai
komunitas guru dan murid) secara gamblang menunjukkan itu, merujuk
kepada bentuk awalnya, ketika pada abad pertengahan universitas
dilahirkan dan kemudian dikelola oleh kumpulan guru atau dosen”.
Widianarko mengutip George Dennis O’Brien, penulis buku All the Essential Half-Truths about Higher Education
(1998), untuk mengingatkan bahwa “universitas sebagai rumah belajar
jangan sampai dilupakan hanya demi menjawab tantangan perubahan zaman”.
Mungkin yang dimaksud dalam hal ini adalah tantangan bahwa produk
penelitian Indonesia masih dikalahkan sangat jauh oleh
universitas-universitas di negeri tetangga. Tapi persoalan utamanya
sebenarnya bukanlah itu, melainkan adalah, sebagaimana ditekankan oleh
O’Brien dalam bukunya, “The neglected topic in university assessments is
not teaching; it is learning –with or without a (faculty) teacher”.
Tugas utama PT bukanlah mengajar, melainkan belajar. Dan dari itu, PT
seharusnya menjadi rumah belajar.
Dalam pengertian belajar itu termasuk bukan hanya mahasiswa belajar
dari dosennya, melainkan juga dosennya belajar dengan cara berdiskusi
dan meneliti, dan juga belajar dengan cara mengamati kehidupan sosial
kemasyarakatan dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Tridharma PT
seharusnya tidak dimaknai secara terpisah sebagai mengajar, meneliti,
DAN mengabdi pada masyarakat, melainkan sebagai satu kesatuan proses
belajar yang melibatkan seluruh sivitas akademika sehingga dapat
menjadikan PT sebagai rumah belajar. Menjadikan PT sebagai ‘research
university’, universitas penelitian’ tanpa didasari oleh filosofi
universitas sebagai rumah belajar, hanya akan mencabik tugas utama
universitas untuk mencerdaskan bangsa menjadi universitas pelayan pasar.
Dan bila itu terjadi tanpa diiringi dengan semangat meneliti untuk
belajar maka jangan kemudian heran kalau PT akan menghasilkan banyak apa
yang oleh Charles J. Sykes disebut ‘profscam’, sebagaimana diulas dalam
bukunya Profscam: Professors and the Demise of Higher Education
(1988). Dosen meneliti sekedar untuk mendapatkan angka kredit agar bisa
menjadi profesor termuda. Dan di negeri ini, di mana dosen direkrut
bukan harus berpendidikan doktor, dosen ramai-ramai melanjutkan
pendidikan bukan untuk belajar, melainkan untuk memperoleh gelar demi
bisa menjadi profesor (bukan tidak mungkin juga menjadi profscam
sehingga timbul pesetan singkatan guru besar GBHN alias guru besar hanya
nama).
Bagaimana bukan GBHN bila profesor diberi kewajiban tambahan
dibandingkan dosen lainnya HANYA menulis buku? Siapapun yang suka
membaca buku akan tahu bahwa sebagian besar buku di negeri ini ditulis
tanpa melalui proses belajar, melainkan sekedar dengan cara yang tidak
jauh berbeda dengan yang dilakukan seorang pemulung. Bedanya, yang
dipungut oleh penulis buku adalah kalimat atau bahkan alinea dari
berbagai sumber, sedangkan yang dipungut oleh pemulung adalah sampah.
Banyak buku ditulis tanpa tesis yang jelas, gagasan apa yang sebenarnya
diusungnya. Dan Kemdikbud mewajibkan profesor menulis buku, tanpa pernah
memberikan ketentuan, apakah buku yang ditulisnya itu pernah dibaca
orang lain atau tidak, alih-alih pernah dikutip orang lain atau tidak.
Di luar sana, sudah tidak zaman lagi berapa banyak buku atau artikel
jurnal telah dipublikasikan oleh seorang dosen, melainkan berapa banyak
buku atau artikel jurnal yang dipublikasikannya sudah dikutip orang
lain. Sementara di luar sana sudah berubah seperti itu, Kemdikbud tetap
bertahan pada paradigma manajemen lama, bahwa profesor harus menulis
buku, bukan mengubahnya menjadi buku yang ditulis profesor harus dikutip
orang lain (indeks sitasi, citation index).
Persoalan pokok kedua yang dihadapi PT sebagai UPT Kemdiknas adalah
pengelolaan. PT dikelola seakan-akan sebagai institusi birokrasi, dan
bahkan pada era reformasi ini, cenderung menjadi institusi yang sarat
dengan nuansa politik. Pergantian ketua jurusan/program studi, dekan
fakultas, dan rektor universitas/direktur sekolah tinggi/politeknik
bukan lagi hanya merupakan sebuah pembaruan manajemen, melainkan lebih
sebagai sebuah arena pertarungan politik praktis. Para kandidat bukannya
dipilih atas dasar kemampuan memimpin (leadership merits),
melainkan atas proses tawar menawar ‘kalau saya pilih kamu jadi rektor,
saya dapat apa?’ Tak pelak, alih-alih ‘belajar’ memperbaiki manajemen
institusi yang dipimpinnya, pejabat yang terpilih tidak bisa tidak harus
membangun ‘koalisi politik’ dengan cara memberi jabatan kepada mereka
yang telah memilihnya. Dan itu tentu saja termasuk merasa harus tunduk
kepada menteri yang juga telah memberikan suara untuk memilihnya. Maka
manajemen PT pun berlangsung begitu terus dari tahun ke tahun tanpa
banyak perubahan.
Seharusnya para rektor yang tergabung dalam FRI ingat bahwa sebelum
menjadi rektor, mereka pernah menjadi dosen biasa. Kalau saja mereka
masih ingat bahwa mereka pernah menjadi dosen biasa, mereka tentunya
tahu, di bawah kementerian manapun PT ditempatkan, tidak akan mengubah
apa-apa kalau sivitas akademikanya tidak pernah belajar. Mereka
seharusnya tahu bahwa sebagian besar mahasiswa kuliah hanya untuk
memperoleh gelar, dosen mengajar tanpa belajar, manajemen melaksanakan
tugas sekedar untuk mendapatkan remunerasi. Lagipula, bagaimana PT bisa
jadi rumah belajar yang baik bila atmosfer akademiknya begitu pengap
dengan nuansa politik praktis? Bagaimana orang merasa perlu belajar bila
pengetahuan ditempatkan di bawah kekuasaan, dalam kerangka pikir ‘power is knowledge’ dan bukan ‘knowledge is power’? Bagaimana orang bisa belajar bila perpustakaan yang ada hanyalah gedung megah tanpa tambahan koleksi buku, jangan pula basis data kepustakaan dalam jaringan (online)?
Bagaimana meneliti bisa menjadi proses belajar bila laboratorium yang
ada lebih banyak hanya berupa gedung megah dengan ruang kosong yang
kemudian digunakan sebagai ruang kuliah? Dan biaya perjalanan dinas yang
ada lebih banyak untuk manajemen berkonsultasi dengan Kemdikbud, bukan
untuk dosen menghadiri konferensi/seminar ilmiah?
Karena itu, jangan
salahkan bila jurusan/program studi berjalan hanya sebagai sebuah
rutinitas. Setiap awal semester menyusun jadwal kuliah secara manual
sehingga sering terjadi tabrakan jam kuliah dan penggunaan ruang.
Tugas-tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh manajemen dibebankan
kepada dosen melalui ketua jurusan/program studi. Penyusunan jadwal
kuliah yang seharusnya merupakan tugas manajemen fakultas diserahkan
kepada jurusan/program studi yang tugasnya seharusnya akademik. Ketua
jurusan/program studi seharusnya berfokus pada hal-hal akademik seperti
merancang benang merah penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang
dilakukan oleh dosen, melakukan diskusi akademik mingguan/bulanan, dan
kegiatan akademik lainnya untuk menjadikan kampus lebih beratmosfer
akademik. Alaih-alih, jurusan/program studi dan para dosennya dibebani
dengan tugas administrasi untuk menyusun dokumen akreditasi yang
seharusnya merupakan tugas manajemen. Itu terjadi karena manajemen tidak
ingin belajar, hanya bisa menyuruh orang belajar. Kalau saja ingin
belajar, mereka seharusnya dapat menggunakan software gratis UNITime
untuk menyusun jadwal kuliah sehingga dapat dilakukan dengan mudah
tanpa bantuan ketua jurusan/program studi, sekaligus juga untuk
memperbaiki efektivitas penggunaan ruang.
Kalau saja para
rektor merasa pernah menjadi dosen biasa, tentu saja mereka pernah
merasakan apa yang saya uraikan di atas. Dengan begitu mereka tahu bahwa
tanpa mengubah manajemen maka di bawah kementerian manapun PT
ditempatkan, tidak akan mengubah apa-apa. Sayang, rupanya setelah
menjadi pejabat mereka berubah menjadi birokrat yang melupakan masa-masa
sulit ketika mereka masih sebagai dosen biasa. Mereka melupakan sejarah
hidupnya dan menjadikan diri sekedar sebagai perpanjangan tangan
menteri untuk mengepalai sebuah UPT Kemdikbud. Kalaupun nanti PT menjadi
di bawah Kemdikti Ristek, sebagaimana yang mereka rekomendasikan,
paling-paling yang berubah hanyalah siapa yang menjadi atasan yang harus
mereka layani. Hanya sedikit yang masih bisa menjadi diri sendiri
seperti Budi Widianarko. Dan siapa tahu pula, setelah berada di bawah
Kemdikti Ristek nanti, para profesor akan menjadi profesor riset pula,
profesor tanpa mau mengajar, apalagi belajar. Belum lagi yang menuntut
menjadi pejabat, karena setelah menjadi profesor mereka akan dengan
sendirinya menjadi anggota senat universitas sehingga mempunyai
kekuasaan untuk bertransaksi dalam menentukan siapa yang menjadi dekan,
siapa yang menjadi rektor.[S]
*Blogger Gurukecil pernah belajar di McGill University dan Charles Darwin University.
sumber tulisan : http://satutimor.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar