Wemi termasuk salah satu anak yang cukup baik. Anak yang lain bahkan tidak bisa menghitung penjumlahan sama sekali, apalagi perkalian dan pembagian.
Saya sempat bertanya kepada kepala sekolah, kenapa anak-anak bisa jadi seperti ini? Kepala sekolah menjawab, “Kualitas guru di sini sangat rendah dan muridnya memang tidak berbakat matematika.”
“Lalu apa kriteria anak ini naik kelas?” tanya saya lebih lanjut. “Tidak ada! Semua anak dinaikkan. Kalau tidak naik kelas, orang tua akan datang bawa parang dan tombak,” lanjutnya. Orang tua di sana merindukan anak-anaknya pintar. Itu sebabnya, mereka menyuruh anaknya bersekolah. Jika anak mereka tidak lulus, mereka anggap sekolah tidak mengajar dengan baik. Wajar saja kalau mereka menuntut kenaikan kelas dengan parang dan tombak.
Selama 2008/2009, saya dengan tim dari Surya Institute berkeliling ke kota-kota dan kabupaten di Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Kami melatih ratusan, bahkan ribuan, guru IPA dan matematika. Selama pelatihan ini kami menemukan bahwa faktor utama siswa sulit belajar matematika dan IPA ini adalah metode pembelajaran yang kurang tepat dan kualitas guru, bukan keadaan/potensi siswa.
Potensi Siswa
Secara rata-rata, kemampuan siswa Indonesia dalam belajar matematika atau IPA (fisika) sangat baik. Anak-anak Indonesia tidak bodoh. Kalau mereka mendapat kesempatan, mereka akan berprestasi luar biasa.
Sekitar pertengahan 2009 kami membawa 5 anak dari Kabupaten Tolikara dan 5 anak dari Wamena ke Surya Institute di Tangerang. Tolikara dan Wamena adalah daerah pegunungan di Papua yang selama ini dianggap sangat terbelakang. Di Surya Institute para siswa ini dilatih matematika Gasing (Gampang, asyik, dan menyenangkan) 4 jam per hari. Selama pelatihan kami melihat bahwa sesungguhnya siswa-siswa ini sangat cerdas matematika, berlawanan dengan anggapan selama ini yang menganggap mereka bodoh. Siswa ini juga punya keinginan kuat untuk maju. Mereka ingin sepintar anak-anak lain dari Pulau Jawa. Mereka juga sangat rajin belajar.
Fakta itu mengingatkan saya sekitar 15 tahun lalu, waktu saya pulang dari Amerika Serikat. Kala itu teman saya bertanya, mengapa mau pulang ke Indonesia? Bukankah sudah enak kerja di pusat fisika nuklir Amerika Serikat. Ketika saya jawab bahwa saya pulang karena ingin menjadikan Indonesia juara dunia dalam olimpiade fisika, teman saya ini tertawa. Dia bilang Indonesia tidak akan bisa jadi juara, anaknya bodoh-bodoh dan malas-malas. Ternyata 5 tahun kemudian, setelah saya menemukan metode yang tepat, anak-anak Indonesia mulai bermunculan menjadi juara dalam berbagai lomba tingkat dunia.
Hal itu semakin meyakinkan saya bahwa kalau kita bisa menemukan metode yang tepat dan guru yang hebat, anak-anak kita akan menjadi luar biasa.
Kualitas Guru
Selama melatih ribuan guru IPA dan matematika di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, kami menemukan perbedaan kualitas yang cukup mencolok antara guru-guru di kota besar dan daerah-daerah, terutama daerah tertinggal.
Guru di kota besar, terutama dari sekolah-sekolah terbaik, sudah cukup baik kualitasnya. Mereka punya kesempatan dan fasilitas yang baik untuk mengembangkan diri. Sebagian dari mereka sudah menggunakan komputer dalam proses pembelajarannya. Bahkan, ada yang mampu membuat perangkat-perangkat lunak pembelajaran. Mereka hanya kesulitan ketika harus melatih siswa ke tingkat olimpiade. Mereka butuh pelatihan khusus untuk olimpiade ini.
Untuk guru-guru di daerah, keinginan majunya sangat kuat. Mereka sadar bahwa mereka kurang. Mereka ingin memperbaiki diri. Seorang peserta dari Aceh yang kami latih selama 1 bulan di Jakarta mengatakan, “Selama 20 tahun saya mengajar, belum pernah kami mendapatkan pelatihan seperti ini. Di sini walaupun kami belajar dari pagi hingga malam hari, kami sangat menikmati. Kami baru sadar bahwa ternyata kami ini sangat kurang.”
Guru dari daerah lain mengaku bahwa selama ini dia mengajar sangat monoton. Dia telah membuat pelajaran IPA yang begitu asyik dan menyenangkan menjadi mata pelajaran yang membosankan siswa. Guru ini mengaku bahwa selama ini dia tidak mendapatkan metode yang tepat. Akhirnya yang terjadi adalah siswa bosan dan mengganggap IPA atau fisika itu sulit.
Masih banyak kisah guru yang mengaku bahwa mereka selama ini belum mengajar secara Gasing. Mereka bingung karena selama ini belum banyak mendapat pelatihan yang baik. Jadi, sebenarnya guru-guru yang ada di Indonesia adalah guru yang baik. Mereka punya hati, mereka punya keinginan maju. Tetapi, mereka butuh bantuan, dukungan, dan kesempatan untuk berkembang menjadi lebih baik.
Logo Fisika GASING
What’s Next?
Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, seluruh stakeholder pendidikan, termasuk pemerintah dan masyarakat, perlu bahu-membahu dalam meningkatkan kualitas guru. Yang dimaksud kualitas di sini termasuk kemampuan menguasai konten (guru IPA harus mengerti konsep-konsep IPA secara benar dan guru matematika mengerti dan mampu mengerjakan soal-soal matematika dengan benar) dan juga metode pembelajaran yang Gasing.
Untuk guru-guru di kota besar, diperlukan sekali pelatihan intensif sampai level olimpiade sehingga siswa-siswa terbaik kita dapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuan sampai ke level olimpiade. Untuk guru-guru di daerah, terutama di daerah terpencil, perlu ada pelatihan khusus yang cukup lama (tidak hanya pelatihan sporadis yang hanya 1-2 hari). Pelatihan 6 bulan hingga 1 tahun ini akan membantu guru-guru ini meng-update konten yang dimiliki dan memperbaiki metode pembelajaran. Kita berharap ke depan kemampuan guru-guru di daerah ini mampu menyamai kemampuan guru-guru di kota-kota besar.
Memang untuk pelatihan yang lama ini butuh dana cukup besar. Tetapi, dengan dana 20 persen yang dicanangkan pemerintah untuk pendidikan, hal ini tidaklah sulit dilaksanakan. Saya percaya jika semua stakeholder pendidikan bekerja bahu-membahu meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, kualitas sumber daya manusia kita akan meningkat secara luar biasa.
Catatan tambahan:
Salah satu aspek yang dikemukan Prof Yohanes Surya (YS) merupakan salah satu masalah klasik di dunia pendidikan kita yakni faktor kualitas guru dan sarana serta pra-sarana daerah yang tidak memadai. Contoh kasus sederhana adalah jauhnya jarak sekolah dari rumah, sementara tidak ada akses jalan yang memadai menuju sekolah yang terjadi di Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Sayangnya, semangat bersekolah anak-anak itu tidak dibarengi ketersediaan fasilitas belajar yang cukup. Bahkan, banyak sekolah di pedalaman dan perbatasan di Kalimantan yang kekurangan guru sehingga siswa belajar seadanya.
Kritk yang disampaikan Prof Yohanes Surya cukup tepat, karena beliau memiliki pengalaman yang cukup banyak dalam dunia pendidikan, khususnya pembinaan anak-anak berbakat. Sejak melatih Tim Olimpiade Fisika Indonesia sejak 1993 dan akhirnya pulang ke Indonesia, YS berhasil membawa nama besar bangsa Indonesia dibidang Fisika SMA pada khususnya, dan ilmu eksata ditingkat SD dan SMP melalui IJSO.
Beliau pendiri Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Surya, rektor Universitas Multimedia Nusantara. Pendiri TOFI, peloppr ajang Asian Physic Olympiad, pelopor dari Internasional Junior School Olympiad, The First Step to Nobel Prize, perintis kelas Super, motivator para guru dan siswa yang berkeliling di pelosok nusantara, pencetus GASING, pembina TOFI dan sebagainya.
Salam Nusantaraku,
Disadur dari JawaPos, 8 Januari 2010 dan Kompas.com, 14 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar