Mengenal Liberalisme Pendidikan (Relasi Liberalisme, Ekonomi,dan Pendidikan)
Oleh : Muhammad Najib
Praktek
kolonialisme pendidikan dalam bungkus liberalisme menemu jawabnya di
Indo-nesia. Dahulu pada masa kolonialisme Belanda, kebijakan pendidikan
hanya akibat berkah politik etis-nya semata. Belanda memberi
kesempatan kepada ”pribumi-pribumi tertentu” untuk menik-mati sekolah-sekolah
bentukan Pemerintah kolonial semacam HIS dan MULO. Dengan menyekolahkan mereka
diharapkan setelah selesai pendidikan ter-sebut, para siswa bisa membantu
Belanda menghisap lebih dalam lagi potensi negeri ini, tapi ternyata gagal.
Politik etis tersebut hanya mampu terjangkau sebagian kecil rakyat Indonesia.
Sehingga sebagian besar rakyat tetap bodoh, dan dengan mudah dieksploitasi
tenaga dan sumber daya alamnya. Pada masa sekarang, kebijakan pemerintah di
dunia pendidikan, juga menunjukkan tren yang sama, yakni ketika pendidikan
semakin jauh dari keber-pihakan terhadap rakyat. Contoh yang menguatkan hal
tersebut adalah ketika pemerintah –lewat UU Sisdiknas 2003–
melegitimasi kebijakan privatisasi pendidikan. Kebijakan ini
berupa tekanan pada stan-darisasi dan sertifikasi mutu pendidikan sampai
tingkat internasional, serta pengelolaan pendidikan dalam bentuk badan hukum
yang sebenarnya merupakan ”kolonialisasi gaya
baru” pendidikan.
Memang
ternyata kebijakan privatisasi sendiri bukan ide murni pemerintah, tetapi hasil
tekanan IMF. Dengan privatisasi ada alasan negara untuk melepaskan tanggung
jawab dalam pelayanan pendidikan terhadap warganya karena sebagian sudah
diserahkan kepada publik. Mengapa yang di privatisasi justru PTN-PTN terkemuka?
alasan utamanya pertimbangan pasar. Jika PTN-PTN itu dilepas ke pasar bebas,
banyak orang yang ingin memperebutkannya.
Sumber :www.nu.or.id/iklan_pesantren.asp
HAR Tilaar :
Badan Hukum Pendidikan Neo Liberalisme
TEMPO Interaktif, Jakarta:Rencana
pemerintah membentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada institusi pendidikan
formal dicurigai pakar pendidikan, H.A.R Tilaar, dinilai tak lebih sebagai
bagian representasi neo liberalisme dalam dunia pendidikan. Bank dunia dan International
Monetary Fund dituding berada di balik rencana ini. "Jelas agenda neo
liberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya
pada pembiayaan pendidikan," ujar H.A.R Tilaar saat ditemui usai menjadi
pembicara dalam seminar bertajuk Menyikapi Dampak Transformasi Sosial Budaya di
Era Global bertempat di hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, hari ini, Selasa (12/4).
Melalui
BHP, menurut Tilaar, pemerintah secara terselubung berupaya menghindarkan
tanggung jawab penyisihan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar
20 persen bagi pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi. Alasannya,
"dengan bentuk itu, tuntutannya kemandirian institusi pendidikan sampai
pada kemandirian pendanaan," katanya.
Pemerintah sendiri saat ini tengah
menyusun Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Menurut
Direktur jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas),
Satrio Soemantri Brodjonegoro, pemikiran perlunya otonomi pada perguruan tinggi
menjadi dasar pembentukan aturan ini. Satrio tak menampik pernyataan RUU itu
merupakan perluasan dari status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang telah
dikenakan kepada beberapa perguruan tinggi negeri sebelumnya. "Ya nantinya
semua akan menjadi badan hukum,"ujarnya.
Sumber : www.tempointeraktif.com/
Akibat Liberalisme Pendidikan Bangsa Indonesia Akan Jadi Bangsa Kuli
Jakarta, Kompas -
Kebijakan pemerintah untuk meliberalisasikan pendidikan dikritik dan dikecam
keras oleh sebagian besar pembicara dalam Konferensi Nasional Pendidikan
Nasional dalam Arus Neoliberalisme di Bandung, yang berakhir Minggu (15/5)
malam. Liberalisme dan privatisasi pendidikan akan menjauhkan cita-cita bangsa
dan akan melumpuhkan kemampuan masyarakat sehingga akan mengembalikan Indonesia
sebagai bangsa kuli dan bangsa yang terjajah.
Sejumlah
pembicara juga menyerukan dibentuknya jaringan dan kekuatan bersama untuk
menentang upaya-upaya pemerintah melakukan liberalisasi, privatisasi, dan
komersialisasi pendidikan.
Anggota Komnas
HAM Dr Habib Chirzin menilai, negara telah gagal memenuhi kewajiban dalam
pendidikan yang menjadi hak dasar warga negara, bahkan dalam penyediaan
anggaran pendidikan sekalipun. Chirzin mengingatkan bahwa kewajiban pemerintah
mengalokasikan 20 persen dana dari APBN merupakan kewajiban minimal yang harus
dipenuhi, bukan suatu hal yang dicita-citakan.
Komodifikasi
pendidikan, menurut Chirzin, akan memarjinalisasikan rakyat miskin. Padahal,
konstitusi mewajibkan negara untuk menyediakan pendidikan yang bisa diakses
oleh semua warga tanpa diskriminasi, termasuk diskriminasi secara ekonomi. Hak
atas pendidikan, kata Chirzin, merupakan hak asasi manusia yang menjadi
prasyarat pelaksanaan hak asasi manusia lainnya, seperti hak sosial dan hak
politik warga negara.
"Pengingkaran
hak atas pendidikan akan mengakibatkan seseorang tidak bisa sekolah, tidak bisa
mengembangkan diri, tidak bisa bekerja, dan teralienasi dari skema-skema
sosial," kata Chirzin, alumnus Pondok Pesantren Gontor.
Pakar ekonomi
Prof Dr Sri- Edi Swasono mengemukakan, liberalisme pendidikan merupakan bagian
dari Komitmen Washington yang akan melumpuhkan bangsa Indonesia. Bila pendidikan
dipahami sebagai komoditas, terjemahannya adalah seseorang yang tidak bisa
membayar sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) tidak usah sekolah.
"Bila
liberalisme pendidikan dilakukan, 30 tahun lagi bangsa Indonesia akan menjadi
seperti suku Aborigin," katanya.
Komoditas
= hukum pasar
Ekonom
Ichsanuddin Noorsy juga mengemukakan keprihatinannya atas kegagalan negara
memenuhi kewajibannya dalam bidang pendidikan. Anggaran pendidikan pemerintah
pusat maupun daerah tidak sesuai dengan konstitusi. Dari sebuah studi yang
dilakukan di 100 kabupaten/kota, realisasi anggaran pemerintah daerah pada 2001
rata-rata hanya 3,4 persen. Jauh dari angka 20 persen yang diamanatkan
konstitusi.
Menurut
Ichsanuddin, bila pendidikan diperlakukan sebagai
komoditas, pendidikan akan diatur sesuai hukum pasar. Meningkatnya permintaan
pendidikan akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. "Akhirnya, hanya
orang kaya yang bisa bersekolah," ujarnya.
Beasiswa untuk
orang miskin atau subsidi silang, kata Ichsanuddin, merupakan program karitatif
dalam sistem neoliberal. Program karikatif menunjukkan kegagalan sistem ekonomi
neoliberal. Dalam praktiknya, jumlah siswa yang diberi beasiswa amat sedikit
dan orang miskin belum-belum ketakutan untuk mencoba masuk sekolah dan
perguruan tinggi yang mahal.
"Liberalisme
pendidikan merupakan kebijakan yang menjual kedaulatan bangsa untuk menjadikan
rakyatnya cerdas," kata Ichsanuddin.
Advokasi
pendidikan
Universitas Islam Negeri Malang Prof Dr Imam Suprayogo menilai, pendidikan selama
ini tidak diurus secara serius sehingga terus merosot. Kemerosotan mutu
pendidikan itu juga terjadi di perguruan tinggi. Mutu pendidikan tinggi dengan
kuliah reguler pun rendah, kini perguruan tinggi berlomba-lomba membuka program
ekstensi malam, kelas Sabtu-Minggu, bahkan tanpa kuliah tatap muka sama sekali.
Imam
mengemukakan, pendidikan sebaiknya tidak diliberalisasi. Kebijakan yang seharusnya diambil pemerintah adalah melakukan
advokasi pendidikan dengan membenahi gedung-gedung sekolah yang ambruk,
meningkatkan kesejahteraan guru, dan lain-lainnya. Liberalisasi pendidikan bisa
saja dilakukan, tetapi hanya pada kelompok masyarakat tertentu yang mampu.
Aktivis perempuan
Dr Musda Mulia mengemukakan perlunya perubahan total visi pendidikan di
Indonesia. Senada dengan Imam, Musda juga mengemukakan perlunya advokasi
pendidikan untuk kelompok-kelompok marjinal. Untuk membendung arus
neoliberalisme dalam pendidikan, Musda menyarankan agar membangun kampanye
antineoliberalisme dan membuat jaringan kerja advokasi pendidikan. (wis)
Produk Hukum Cenderung Fasilitasi Kapitalisme Global
dalam Pendidikan
Bandung, Kompas -
Produk perundang-undangan dalam bidang pendidikan di Indonesia tidak bisa
melindungi dan memajukan hak-hak sosial dan kultural warga negara untuk
memperoleh pendidikan. Sebaliknya, ia justru cenderung memfasilitasi
kepentingan kapitalisme global. Pemerintah diharapkan melakukan reformasi
substansial dalam peraturan perundang-undangan dan melakukan proteksi untuk
melindungi institusi dan konsumen pendidikan di Indonesia.
Seruan itu
dikemukakan anggota Komnas Hak Asasi Manusia, Amidhan, saat membuka Konferensi
Nasional Pendidikan dalam Arus Neoliberalisme yang diselenggarakan di Kampus
Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat (13/5).
yang
berlangsung selama tiga hari itu akan menghadirkan sejumlah tokoh politik dan
pejabat pemerintahan, aktivis organisasi masyarakat, tokoh agama, ekonom, dan
pimpinan perguruan tinggi.
Hadir sebagai
pembicara pada hari pertama antara lain Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Meutia Farida Hatta Swasono, Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif, Daniel Nafis dari
Lingkar Studi Agama dan Kebangsaan, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia Suharyadi, serta Praswad Nugraha dari Lembaga Pengkajian dan
Pengabdian Masyarakat Demokratis Universitas Padjadjaran.
Jadi
proyek bisnis
Amidhan menilai,
dalam beberapa tahun terakhir pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran,
bahkan telah sampai pada situasi krisis. Krisis pendidikan itu tidak hanya di
tingkat pendidikan dasar dan menengah, tetapi juga pendidikan tinggi. Ia
menyatakan keprihatinannya terhadap institusi pendidikan yang saat ini
berkembang menjadi proyek bisnis, bukan hanya di sekolah swasta, tetapi juga di
sekolah negeri. Orang mendirikan yayasan pendidikan bukan untuk menyalurkan
dana, tetapi justru mengambil dana dari masyarakat.
"Moga-moga
saja masyarakat masih percaya pada pemerintah untuk menyelenggarakan
pendidikan," kata Amidhan.
Amidhan
mengingatkan kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan bagi semua orang
tanpa diskriminasi, baik dalam legislasi maupun dalam hal-hal lainnya. Untuk
memajukan persamaan hak dalam memperoleh pendidikan itu, pendidikan
diselenggarakan bebas tanpa biaya pada tingkat wajib belajar sampai usia
tertentu. Amidhan juga mendesak agar di tingkat perguruan tinggi tetap dibuka
kesempatan bagi anak-anak berpotensi, sekalipun tidak mampu secara ekonomi.
Meutia
mengemukakan, pendidikan harus mampu menjawab tuntutan pemerataan dan mutu
untuk menjawab perubahan nasional dan global. Publik menilai kebijakan
liberalisme pendidikan akan menyebabkan penurunan kemampuan masyarakat
menyekolahkan anaknya. Masyarakat khawatir privatisasi pendidikan akan
menyebabkan komersialisasi pendidikan sehingga menyebabkan masyarakat miskin
tidak memperoleh akses pendidikan.
Liberalisme
pendidikan, kata Meutia, bisa berdampak positif dan negatif terhadap perempuan.
Dengan banyaknya sekolah, perempuan memperoleh kesempatan lebih luas. Akan
tetapi, dengan mahalnya pendidikan, perempuan yang ada di bangku sekolah
semakin kecil jumlahnya.
Keluarga kurang
mampu, lanjut Meutia, tak mampu menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi yang
baik. Perempuan dan kaum miskin paling menderita akibat liberalisme pendidikan.
Banyak perempuan yang tidak bisa sekolah dan buta huruf sehingga perempuan
dalam posisi marjinal. Upaya yang dilakukan adalah pembelajaran di akar rumput
bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat.
"Silakan
bikin sekolah internasional, mengejar hal-hal yang serba canggih, tetapi
sejarah, geografi, bahasa Indonesia, dan nilai-nilai nasionalisme tetap
diajarkan. Privatisasi pendidikan tidak boleh mencabut akar budaya kita,"
kata Meutia. (wis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar