Pada akhir abad ke-20, para gubernur Amerika Serikat (AS) menyatakan, perang bukan lagi di medan pertempuran, tetapi di ruang kelas.
Tetapi, pertarungan di ruang kelas tersebut belum terwujud di Indonesia. Pasalnya, pemerintah kita bukan hanya berbohong, tetapi tidak menjalankan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hal tersebut disampaikan Guru besar emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Dr. H. Soedijarto, MA, dalam Diskusi Publik untuk Menganalisis Laporan ke Rumah Pengaduan Pembohongan Publik di Bidang Pendidikan yang diselenggarakan oleh Forum Rektor dan Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Kebohongan bekerja sama dengan Ma'arif Institute, hari ini.
Soedijarto memaparkan, salah satu kebohongan yang dilakukan pemerintah adalah tidak memenuhi amanat pasal 31 ayat (2) UUD 1945. "Pasal tersebut menyiratkan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan. Tapi kenyataannya, mengapa pemerintah justru hanya memberikan bantuan melalui bantuan operasional sekolah (BOS), bukannya mengusahakan pendidikan gratis?" kata Soedijarto di Kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jumat, (4/1/2011).
Hal lain yang dijamin konstitusi adalah setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan sesuai minat dan bakatnya. Tapi yang terjadi, selain ada sistem pendidikan nasional, tiap daerah juga mengusahakan sistem pendidikan sendiri-sendiri.
"Lantas soal biaya pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan nasional sekurang-kurangnya kita membutuhkan 20 persen dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN), bukan berarti mentok di angka itu. Tapi sebelumnya, pernahkah kita menghitung kebutuhan pendidikan?" ujar Soedijarto menggugat.
Dia menyayangkan, tidak ada yang gelisah dengan permasalahan tersebut. Bahkan, para rektor pun hanya berdiam diri ketika pemerintah membolehkan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Padahal, sudah menjadi kewajiban pemerintahlah menyediakan biaya pendidikan.
"Di seluruh dunia, anggaran perguruan tinggi mencapai satu persen pendapatan domestik bruto (PDB). Indonesia baru 0,3 persen PDB. Karena itulah PTN boleh menyelenggarakan BHP. Tapi kenapa rektor tidak menuntut pemerintah?" Soedijarto menegaskan.
Dia juga mengkritik, tidak ada satu pun elit politik mengatakan pendidikan itu penting. "Padahal, Deng Xiao Ping mengatakan, pemimpin yang tidak menguasai pendidikan tidak pantas memimpin," ujarnya menambahkan.
Tetapi, pertarungan di ruang kelas tersebut belum terwujud di Indonesia. Pasalnya, pemerintah kita bukan hanya berbohong, tetapi tidak menjalankan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hal tersebut disampaikan Guru besar emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Dr. H. Soedijarto, MA, dalam Diskusi Publik untuk Menganalisis Laporan ke Rumah Pengaduan Pembohongan Publik di Bidang Pendidikan yang diselenggarakan oleh Forum Rektor dan Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Kebohongan bekerja sama dengan Ma'arif Institute, hari ini.
Soedijarto memaparkan, salah satu kebohongan yang dilakukan pemerintah adalah tidak memenuhi amanat pasal 31 ayat (2) UUD 1945. "Pasal tersebut menyiratkan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan. Tapi kenyataannya, mengapa pemerintah justru hanya memberikan bantuan melalui bantuan operasional sekolah (BOS), bukannya mengusahakan pendidikan gratis?" kata Soedijarto di Kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jumat, (4/1/2011).
Hal lain yang dijamin konstitusi adalah setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan sesuai minat dan bakatnya. Tapi yang terjadi, selain ada sistem pendidikan nasional, tiap daerah juga mengusahakan sistem pendidikan sendiri-sendiri.
"Lantas soal biaya pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan nasional sekurang-kurangnya kita membutuhkan 20 persen dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN), bukan berarti mentok di angka itu. Tapi sebelumnya, pernahkah kita menghitung kebutuhan pendidikan?" ujar Soedijarto menggugat.
Dia menyayangkan, tidak ada yang gelisah dengan permasalahan tersebut. Bahkan, para rektor pun hanya berdiam diri ketika pemerintah membolehkan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Padahal, sudah menjadi kewajiban pemerintahlah menyediakan biaya pendidikan.
"Di seluruh dunia, anggaran perguruan tinggi mencapai satu persen pendapatan domestik bruto (PDB). Indonesia baru 0,3 persen PDB. Karena itulah PTN boleh menyelenggarakan BHP. Tapi kenapa rektor tidak menuntut pemerintah?" Soedijarto menegaskan.
Dia juga mengkritik, tidak ada satu pun elit politik mengatakan pendidikan itu penting. "Padahal, Deng Xiao Ping mengatakan, pemimpin yang tidak menguasai pendidikan tidak pantas memimpin," ujarnya menambahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar