Soetandyo Wignjosoebroto
Gurubesar Emeritus Universitas
Airlangga
Anggota Dewan Pakar Pemerintah Daerah
Propinsi Jawa Timur
Memperbincangkan soal pendidikan dan
kebijakan berikut implementasinya oleh para pejabat penyelenggara negara dalam urusan
pendidikan, manakala diwawas dari perspektif hak-hak asasi manusia, demi
tercegahnya kesalahpahaman dan distorsi konsep, orang harus memahami dan
menerima terlebih dahulu pengertian yang amat mendasar mengenai apa yang harus
disebut bersama sebagai hak-hak asasi manusia (HAM) itu, khususnya hak-hak yang
asasi di bidang pendidikan. Harus
ditegaskan terlebih dahulu, apakah hak-hak asasi yang relevan dengan soal
pendidikan ini adalah ‘hak untuk dididik, yang secara konseptual akan bisa
berarti teralihkannya hak dari anak muda ke pendidiknya, yang akan berarti juga
diperolehnya hak prerogatif orang-orang tua pendidik untuk mendidik)’? Ataukah hak atas pendidikan itu berhakikat
sebagai ‘hak individu untuk memperoleh kesempatan melakukan pencaharian yang
bebas guna mengembangkan dirinya, yang pada akhirnya akan membebaskan dirinya
itu dari segala bentuk kekurangan dan keterkungkungan’?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
itu dari sisi normatif dapatlah ditemukan dalam naskah Unesco Recommendation yang disepakatkan dalam pertemuannya di Paris
antara tanggal 17 Oktober sampai ke 23 November 1974. Dalam naskah rekomendasi ini ditemukan
pernyataan yang relevan dengan perbincangan kita kali ini, bahwa “negara-negera
anggota (PBB) wajib mengambil langkah-langkah untuk menjamin terintegrasikannya
asas-asas Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia sebagai bagian dari perkembangan
kepribadian setiap anak ….”.
Jawaban-jawaban juga dapat ditimba dari Convention on The Rights of The Childs yang disetujui oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 20 November 1989.
Uraian berikut ini tidak bermaksud untuk menyajikan rinci-rinci yang
dikandung dalam kedua naskah itu. Alih-alih, dan akan gantinya, uraian hendak
lebih mengedepankan argumentasi yang melandasi tesis bahwa pendidikan adalah
hak anak muda untuk memperoleh kebebasannya tatkala harus menghadapi masa
depannya, yang jauh membedakan diri dari masa lampau orang-orang tuanya.
Hak Atas Pendidikan
Sebagai Hak Yang Pada Hakikatnya
Merupakan Hak Manusia
Yang Asasi Untuk Berkebebasan
Dan/Atau Terbebaskan
Dari Segala Bentuk Keterkungkungan
Manakala layanan pendidikan harus
juga dibilangkan sebagai hak-hak asasi, maka orientasi kebijakan yang harus
diambil oleh pemerintah mestilah berbeda dengan kebijakan pemerintah yang
relevan dengan persoalan hak-hak sipil dan hak-hak politik dalam kehidupan
bernegara. Hak atas layanan pendidikan
sebagai hak asasi warga negara (di bidang ekonomi, sosial dan budaya) adalah
hak positif warga, yang berbeda dengan hak negatif mereka dalam urusan
kebebasan warga dan kebebasan berpolitik.
Hak positif adalah hak untuk menuntut pemerintah agar pemerintah secara
proaktif mengupayakan kondisi dan/atau fasilitas yang memungkinkan warga
masyarakat merealisasi hak-hak asasinya; sedangkan hak negatif adalah hak untuk
menuntut pemerintah agar pemerintah “angkat tangan” dari segala kemungkinan
untuk “turun tangan” (turut campur) dalam proses-proses politik warga (yang
dikhawatirkan akan mengancam kehidupan demokratik menjadi kehidupan otokratik).
Harus tetap diingat apabila orang
berbicara tentang hak-hak asasi manusia, maka yang sedang dibicarakan itu pada
asasnya adalah tak lain daripada perbincangan tentang hak kebebasan warga. Kalaupun dalam persoalan hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya (ialah HAM generasi kedua) ada tuntutan agar pemerintah
secara proaktif turun tangan untuk ikut memajukan dan melindungi hak, tidaklah
itu berarti bahwa hak-hak yang asasi itu menjadi dipindahtangankan ke tangan
para pejabat pemerintahan. Hak asasi
adalah hak yang diakui melekat pada diri manusia karena hakekat dan kodrat
manusia itu sebagai manusia, yang karena itu tak bisa dipindahtangankan (inalienable). Itulah hak – juga hak untuk memperoleh
pendidikan yang berhakikat sebagai hak untuk bertumbuhkembang sebagai makhluk
budaya – yang tak akan serta merta memberikan kekuasaan kepada pemerintah cq.
negara dan pejabatnya untuk mengintervensi kebebasan manusia yang warga negara
untuk memilih afiliasi-afiliasi kulturalnya melalui proses-proses
pendidikan. Pendidikan bagaimanapun juga
tetaplah berhakikat sebagai proses pembebasan kea rah kebebasan dan bukan
proses pengungkungan ke arah terkungkungan.,
.
Paradigma pendidikan modern dalam
kehidupan berbangsa dan kehidupan antar-bangsa adalah paradigma
kemanusiaan. Inilah paradigma – yang
boleh kita sebut ‘humanity’ dengan keyakinan akan kebenarannya yang
tercakup dalam pengertian ‘humanism’ – yang akan membawa konsekuensi
dalam memaknakan manusia dalam kehidupan bernegara bangsa. Manusia kini tidak lagi terkonsepkan sebagai
noktah-noktah yang tak signifikan kecuali manakala diintegrasikan sebagai
komponen suatu struktur. Manusia kini
ini mesti dikonsepkan sebagai individu-individu yang harus bebas dan dibebaskan
agar berdaulat, dan bukan hanya dijadikan anasir yang tak berwajah, tak bernama
dan tak bersuara (dan karena itu tak penting dan tak terlihat ) dalam suatu
fakta kehidupan yang selalu tergambar sebagai massa. Sebagai individu yang berdaulat, manusia
adalah makhluk penyandang hak-hak yang asasi dan kodrati, yang oleh karena
sifatnya yang ‘kodrati’ dan inheren pada kelahirannya sebagai manusia seutuhnya
itulah maka hak-hak itu tidaklah akan mungkin dialihkan (inalienable) dan diingkari lewat pelanggaran-pelanggaran (inviolable).
Itulah model manusia baru yang bukan lagi
hamba-hamba suatu kekuasaan, melainkan warga-warga bebas – dengan hak-haknya
untuk -- dalam suasana kebebasannya (berdasarkan hak-haknya sebagai warga
negara, ialah the civil rights) --
berpartisipasi dalam setiap proses politik (berdasarkan jaminan
hak-haknya yang asasi dibidang politik, ialah the political rights). Lebih dari itu, sebagai manusia yang bebas,
yang hanya bisa terikat berdasarkan kesepakatannya sendiri yang diambil secara
bebas, para warga inipun mesti terpandang sebagai warga-warga penyandang hak
asasi untuk memperoleh peluang – tanpa boleh dihalang-halangi oleh kekuatan
penguasa manapun, yang justru diwajibkan membantu – guna meningkatkan taraf
kesejahteraan (economic rights) demi tercapainya kehidupan yang lebih beradab dan bermartabat
di tengah masyarakatnya (social and economic rights)..
Maka di babakan wacana inilah pentingnya
pendidikan sebagai paradigma kemanusiaan ikut pula terkedepankan. Paradigma kemanusiaan akan berkonsekuensi
pada doktrin, konsep dan strategi pendidikan sebagai upaya yang sadar untuk
membantu terbebaskannya anak-anak manusia dari segala bentuk kekurangan dan
ketergantungan yang disebabkan oleh tak terbebaskannya potensi daya
penalarannya. Pendidikan berparadigma
kemanusiaan, yang memodelkan manusia bebas sebagai potensi kemajuan, adalah
pendidikan yang berstrategi akan membebaskan anak-anak manusia dari berbagai
bentuk kebutaan, bukan cuma buta huruf akan tetapi juga buta pengetahuan,
khususnya pengetahuan tentang hak-hak asasinya yang kodrati dan yang inviolable
serta inalienable itu. Lembaga
pendidikan – mulai dari yang dasar sampaipun yang lanjutan dan tinggi – adalah
lembaga pembebas, dan bukan lembaga perekrut hamba-hamba baru, yang manakala
telah berhasil dihegemoni akan bisa dipekerjakan oleh dan di bawah kepentingan
penguasa-penguasa baru, entah penguasa yang berkekuatan kapitalistik entah pula
penguasa yang berkekuatan birokratik.
Di Negeri-Negeri
Berkembangpun Hak Untuk Memperoleh Pendidikan
Haruslah Tak Dimaknakan
Sebagai Hak Pemerintah Untuk Memberikan Pen-
didikan, Yang Akan
Berarti Merupakan Kewajiban Setiap Anak Muda Untuk
Selalu Bersedia
Diajar/Dididik Menurut Program Sentralnya Suatu Rezim.
Di negeri-negeri berkembang ex-daerah
jajahan negeri-negeri Barat, seperti misalnya Indonesia, hak-hak sosial,
ekonomi dan budaya – dimana hak untuk memperoleh pendidikan tercakup – sebagai
hak-hak asasi warga masyarakat tidak mudah dipahami sebagai buah usaha suatu
perjuangan untuk memperoleh pembebasan.
Yang lebih gampang dipahami oleh massa awam di negeri-negeri ini ialah,
bahwa hak-hak itu bukanlah sekali-kali
merupakan manifestasi dari hak akan kebebasan yang kodrati, yang dengan
bertolak dari kebebasan itu manausia dapat mengekspresikan dirinya dalam banyak
hal untuk menemukan kesejahteraannya.
Dalam kehidupan yang masih kuat dihegemoni oleh tradisi patrimonialisme,
kesejahteraan amat lebih dilihat sebagai hasil kemurahan mereka yang
berkekuasaan. Kesejahteraan ekonomi,
sosial dan budaya lebih dimengerti sebagai produk yang terwujudnya bergantung
pada dan ditentukan oleh kuatnya semangat pemberian rasa “ayom dan ayem” para
pemimpin dan penguasa kepada para pendukung dan pengikutnya. Amal sedekah, pemberian bantuan (paringan!) atau subsidi itulah yang
cenderung lebih banyak ditunggu-tunggu sebagai sumber asal kesejahteraan
daripada hasil usaha atas dasar tanggungjawab pribadi yang berdasarkan hak-hak
yang asasi. Tak pelak pernyataan ini
berlaku juga dalam ihwal jasa layanan pendidikan.
Di tengah-tengah kenyataan seperti
itu, tiadanya kesadaran yang kuat tentang hak – yang asasi ataupun yang tak
asasi yang harus ditegakkan demi
terwujudnya kesejahteraan ekonomi dan demi kebebasan dalam kehidupan sosial dan
kultural – lalu mudah menjadikan massa awam lebih bertindak menggantungkan
nasib pada apapun yang dilakukan oleh para penguasa. Kalaupun telah ada jaminan konstitusional
yang objektif mengenai hak-hak asasi setiap warga negara untuk memperoleh
situasi yang kondusif guna melakukan usaha-usaha yang positif demi
tertingkatkannya kesejahteraan jasmani dan ruhani mereka masing-masing, juga
yang diperoleh lewat usaha pembelajaran, tidaklah itu semua menjadi bermakna bagi
mereka yang awam itu. Datangnya bantuan
dari pemerintah lebih banyak ditunggu dan dituntut daripada datangnya pengakuan
dan perlindungan hak untuk memperoleh kondisi yang kondusif bagi setiap usaha
untuk meningkatkan kesejahteraan dan rasa sejahtera lahir dan batin. Untuk maksud itu, kebanyakan massa rakyat
yang awam itu bahkan tidak pernah terkesan merisaukan soal apakah untuk
memperbesar kemungkinan pemerintah memberikan bantuan itu pemerintah mulai
mengingkari atau mengambil-alih hak-hak mereka yang asasi, tak kurang-kurangnya
juga dalam urusan pendidikan..
Di tengah kenyataan seperti itu,
menjadi tak serta merta gampanglah meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai
manifestasi kesadaran pemenuhan hak untuk memenuhi kebutuhan sosial dan
budayanya yang akan dicari dan diperoleh lewat proses pengembangan diri yang
disebut pendidikan diri. Gerakan massa
yang tengah ramai berlangsung dewasa ini pada umumnya juga tertengarai lebih
berkisar di seputar gugatan tiadanya lagi niat politik pemerintah untuk meneruskan
pemberian bantuan dan subsidi kepada rakyat di bidang apapun, tak
kurang-kurangnya juga dalam soal pemberian bantuan subsidi pendidikan. Setakat ini, gerakan massa masih sulit
dikembangkan menyusuri alur strategik yang lain, ialah gerakan untuk menyadari
hak, nota bene hak setiap warga negara untuk memperoleh suasana yang kondusif
untuk berusaha mengembangkan diri yang bermakna sebagai pembudayaan dan/atau
mengadabkan diri, untuk kemudian juga bisa menghindarkan diri dari berbagai
tindakan diskriminatif para pejabat pemerintahan
Maka, gampang atau tak gampang,
penegakan atau pemenuhan hak rakyat yang asasi untuk memperoleh peningkatan
kualitas hidup mereka di bidang ekonomi, sosial dan kultural harus dimulai dari
“dalam”. Prosesnya adalah proses
pendidikan. Inilah proses pendidikan
yang harus disadari sebagai proses pembelajaran, yang hak atasnya merupakan hak
melepaskan diri dari rasa ketergantungan, yang dalam hal harus dimengerti
sebagai hak untuk membebaskan diri dari masa lampaunya orang-orang tua guna
menemukan masa depannya sendiri yang memiliki idiom-idiom budaya masa mendatang
yang sudah barang pasti berbeda dari idiom-idiom masa lalu.
Di dalam kehidupan masa depan, baik
pada tataran nasional maupun tataran global, eksklusifitas-eksklusifitas yang
mewarnai kehidupan pranasional tidak hanya akan dipandang sebagai pelanggengan fragmentasi,
akan tetapi juga boleh dikhawatirkan akan mengganggu keutuhan masyarakat bangsa
dan kerukunan umat sedunia. Pada
akhirnya eksklusifitas yang mengundang fragmentasi seperti itu hanya akan
mengundang sikap saling mengucilkan dan menggangu keutuhan masyarakat sebangsa
dan antar-bangsa. Adalah hak anak-anak
muda yang asasi untuk menyiapkan masa depannya yang tidak terfragmentasi
demikian itu, ialah melalui proses-proses pendidikan dalam maknanya sebagai
proses-proses pembelajaran anak dan tidak melalui proses-proses pendidikan
dalam maknanya sebagai proses pengajaran oleh orang tua yang ingin
melanggengkan kehidupan masa lalu yang penuh fragmentasi dan chauvenisme..
Bagaimanapun juga, pendidikan dalam
maknanya sebagai refleksi hak anak muda yang asasi untuk menemukan masa
depannya sendiri haruslah dirupakan sebagai proses pengalaman belajar anak muda
untuk menyadari eksistensinya sebagai manusia seutuhnya dalam kehidupan masa
depan. Ialah masa yang sekalipun tetap
bersifat majemuk, banyak perbedaan ssosial dan budaya, namun bersifat ‘satu dan
sulit untuk di pisah-pisahkan (apalagi dipecah-pecah). Berparadigma seperti itu, memperbincangkan masalah-masalah lintas
tempat, lintas kelompok, dan lintas waktu. Sebagai bagian dari pendidikan
modern yang berorientasi ke hak dan kepentingan anak-anak muda, pendidikan yang dimaknakan sebagai
‘pendidikan kehidupan masa depan’ tidaklah begitu saja bisa diserahklan
sepenuhnya pada didaktik yang mendahulukan asas paedagogik, melainkan asas yang
andragogik itulah.
Asas andragogik akan memberikan
pengakuan hak-hak anak muda untuk berekspresi dan untuk menyatakan
pendirian-pendiriannya secara bebas dan demokratik. Kalau pemerintah sebagai representasi negara
akan menggariskan kebijakannya dan kemudian mengimplementasinya, apapun
dapatlah dilakukan olehnya untuk maksud itu.
Tapi satu yang mestinya tak akan dilakukan, ialah mengambil-alih hak
anak manusia yang asasi untuk mempersiapkan diri guna menyongsong masa
depannya, untuk kemudian menggantikannya dengan kewajiban si anak muda agar
menaati ajaran para pendidiknya untuk hidup berdasarkan kearifan-kearifan masa
lampau (yang mungkin saja sudah usang dan tak bisa lagi berfungsi untuk
kehidupannya di masa depan).
oOoOo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar