Kamis, 24 Juli 2014

EMOSI, STRES DAN KESEHATAN



A.     PENDAHULUAN
Manusia memiliki emosi yang memicu timbulnya keresahan, kegelisahan, ketegangan, atau stres. Emosi bukanlah suatu hal yang buruk. Orang hidup adalah orang yang masih memiliki emosi karena emosi itu sendiri merupakan kumpulan perasaan yang ada dalam hati manusia. Ragam perasaan seperti gembira, sedih, takut, benci, cinta, dan marah merupakan bentuk emosi.
Stres adalah suatu kondisi yang dialami oleh manusia, berupa kumpulan-kumpulan gangguan fisik dan psikis, yang disebabkan ketidakmampuan manusia menghadapi tekanan-tekanan fisik dan terutama tekanan psikologis. Penyebab utama stres adalah perubahan yang drastis (ekstrim) dari suatu keadaan ke keadaan yang lain Ada stres tahap awal yang hanya menimbulkan kegugupan, kelesuan, keletihan atau otot punggung dan tengkuk kenceng-kenceng. Ada stres tahap gawat yang menimbulkan debaran jantung amat keras, sesak nafas, terengah-engah, badan gemetar, dingin, keringat bercucuran, bahkan pingsan. Salah satu dampak stres adalah depresi dengan gejala-gejala: gangguan tidur, rasa cemas, takut dan emosi yang melemah.
 Kata-kata “emosi”  sering dikaitkan atau diidentikan dengan  seseorang yang sedang marah atau   dengan orang yang pemarah. Pengertian tersebut secara awam dikenali dan dipakai oleh banyak orang.  Pengertian emosi  yang dikaitkan dengan marah, malah terkadang diidentikkan dengan sifat suku,  Emosi melekat pada setiap orang, namun apakah setiap orang pemarah? Emosi tidak sekedar menunjukkan orang yang pemarah apalagi merujuk kepada stereotip untuk suku tertentu.  Emotion, seperti dari asal kata bahasa Inggrisnya,  merujuk pada sesuatu dan perasaan yang sangat menyenangkan atau sangat mengganggu.   Emosi dipicu dari pandangan seseorang terhadap suatu kejadian,  Emosi berkaitan dengan sikap yang membuat efek membekas dan dirasakan terhadap suatu objek dapat bersifat positif atau negatif.  Pernyataan ini menyangkut pengertian emosi yang dirasakan oleh setiap orang.  Efek positif mendekatkan pada suatu objek dan efek negatif menjauhkan dari objek (Newcomb,dkk, 1981:91).
Kita semua kadang-kadang mengalami stress.  Masyarakat sekarang yang terpacu cepat menciptakan stres bagi banyak anggotanya.  Kita terus menerus  ditekan untuk mencapai lebih banyak dalam waktu yang semakin sedikit.  Polusi udara dan suara, kepadatan lalulintas, tindak kejahatan dan beban kerja yang berlebihan semakin sering datang dalam kehidupan kita sehari-hari.  Akhirnya, kita kadang-kadang mengalami peristiwa stres berat, seperti kematian orangtua atau bencana alam.  Pemaparan dengan stres dapat menyebabkan emosi yang menyakitkan, seperti kecemasan dan depresi.  Tetapi ini juga dapat menyebabkan penyakit fisik, baik ringan maupun parah.  Tetapi reaksi seseorang terhadap peristiwa stres sangat berbeda : sebagian orang yang menghadapi peristiwa stres  mengalami masalah psikologis atau fisik serius sedangkan orang lain yang berhadapan dengan peristiwa stres yang sama tidak mengalami masalah apa-apa dan bahkan mungkin merasa peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang menantang dan menarik.
Kesehatan atau sehat dikatakan adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tekanan-tekanan kehidupan. Jika demikian, orang yang sehat haruslah menemukan cara-cara untuk menjaga irama hidupnya, dengan menjaga agar stress itu berada pada keseimbangan yang positif.

B.     EMOSI
  1. Pengertian Emosi
Emosi memiliki jenis yang berbeda-beda. Emosi  terdiri dari  sedih, takut, jijik, sedih dan terkejut. Ragam emosi tidak memiliki acuan yang sama dan memiliki gradasi yang berbeda. Emosi bukanlah marah, melainkan marah adalah bagian dari emosi. Emosi berkembang karena motif dan derajat perasaan.

Menurut Richard G. Gerric dan Phillip G. Gimbardo dalam bukunya Psychology and Life hal 394 “ Emotion as a complex pattern of bodily and mental changes that includes psychological arrousal, feelings, cognitive processes, visible expressions ( face and posture) specific behavioural reactions made in respons to a situation perceived as personally significant. Dinyatakan bahwa emosi dianggap sebagai perubahan mental dan fisik secara komplek, termasuk gejala psikologi meliputi perasaan, proses kognitif, ekspressi yang terlihat, reaksi tingkah laku khusus yang yang terjadi dalam merespon situasi yang diterima secara signifikan. 

Menurut Carolyn Saarni (2002) dalam buku (Educational Psychology 2004 :79) dia mengatakan ” demonstrate emotional competence when we emerge from an emotion-eliciting encounter with a sense of having accomplished what we set out to do”  kita memperlihatkan perasaan emosi, ketika dihadapkan dengan suatu perasaan untuk memenuhi apa yang kita lakukan. 

Menurut Paul Eggen & Don Kauchak (Educational Psychology 2004 : 107-108 ) “ Emotion factors include, shame, the painful emotion aroused when people recognize that they have failed to act or think in ways they believe are good and guilt, the uncomportable feeling people get when they know they have caused distress for someone else. Although its unpleasant, experiencing shame and guilt indicates that moral development is advancing and future behaviour will improve (Damon,1988), Emphathy is the ability to experience the same emotion someone else his feeling. 2. Factor emosi meliputi perasaan malu, perasaan bersalah dan perasaan empati.

Charles Darwin dalam bukunya The Expression of Emotions in Man and Animal (1872-1965) Emotion evolved other important aspects of human and nonhuman structure and functions. Darwin juga berpandangan bahwa emosi merupakan warisan atau sesuatu yang memang sudah ada dan akan muncul ketika berhadapan dengan situasi kejadian tertentu yang terjadi di dunia.
  1. Komponen Emosi
Komponen emosi menurut Rita L. Atkinson, Edward Smith, Richard C. Atkinson dan Daryl J. Bem terdiri dari
  • Respon Tubuh Internal, terutama yang melibatkan sistem saraf otonomik
  • Keyakinan atau penilaian kognitif bahwa telah terjadi keadaan positif atau negatif tertentu.
  • Ekspresi wajah
  • Reaksi terhadap emosi

  1. Rangsangan dan Emosi
Jika kita mengalami suatu emosi yang kuat, seperti rasa takut atau marah, kita mungkin merasakan sejumlah perubahan pada tubuh, termasuk denyut jantung dan pernapasan yang cepat, rasa kering di tenggorokan dan mulut, berkeringat, gemeteran dan perasaan tertekan di lambung. Sebagian besar perubahan fisiologis yang terjadi selama rangsangan emosional terjadi akibat aktivasi cabang simpatik dan sistem saraf otonomik untuk mempersiapkan tubuh melakukan tindakan darurat. Sistem simpatik bertanggung jawab untuk terjadinya perubahan-perubahan berikut :
  1. Tekanan darah dan kecepatan denyut jantung meningkat;
  2. Pernafasan menjadi lebih cepat;
  3.  Pupil mata mengalami dilatasi;
  4. Keringat meningkat sementara sekresi saliva dan mukus menurun;
  5. Kadar gula darah meningkat untuk memberikan lebih banyak energi;
  6. Darah membeku lebih cepat untuk persiapan kalau-kalau terjadi luka;
  7. Motilitas saluran gastrointestinal menurun, darah dialihkan dari lambung dan usus ke otak dan otot rangka;
  8. Rambut di kulit menjadi tegak, menyebabkan ”merinding”
Sistem saraf simpatis mempersiapkan organisme untuk mengeluarkan energi. Saat emosi menghilang, sistem parasimpatik yaitu sistem penghemat energi mengambil alih dan mengembalikan organisme ke keadaan normalnya.

Aktivitas sistem saraf otonomik tersebut dipicu  oleh aktivitas di daerah otak tertentu, termasuk hipotalamus yang memiliki peranan penting dalam banyak motif biologis dan sistem limbik. Impuls dari area-area tersebut ditransmisikan ke nuklei di batang otak yang mengendalikan fungsi sistem saraf otonomik. Sistem otonomik kemudian bekerja langsung pada otot dan organ internal untuk menimbulkan beberapa perubahan tubuh yang dijelaskan sebelumnya, dan bekerja secara tidak langsung dengan menstimulasi hormon adrenal untuk menimbulkan perubahan tubuh lainnya.

Karakteristik untuk keadaan emosional seperti marah dan ketakutan, selama organisme harus bersiap-siap melakukan tindakan, misalnya untuk melawan dan melarikan diri. Beberapa respons yang sama juga terjadi selama pengalaman yang menyenangkan atau rangsangan seksual.  Tetapi, selama emosi seperti kesedihan atau dukacita, sebagian proses tubuh mungkin tertekan, atau menjadi lambat.

  1. Kognisi dan Emosi
Jika kita mengalami suatu peristiwa atau tindakan, kita menginterpretasikan situasi itu berkaitan dengan tujuan pribadi dan kesehatan kita. Hasil dari penilaian adalah keyakinan yang positif atau negatif (”Saya memenangkan pertandingan dan saya merasa bahagia” atau ”Saya gagal dalam ujian dan saya merasa sedih”).  Interpretasi ini dikenal sebagai penilaian kognitif, yang memiliki dua bagian tersendiri : proses penilaian dan keyakinan yang dihasilkannya.

  1. Ekspresi dan Emosi
Ekspresi wajah yang menyertai emosi jelas berfungsi mengkomunikasikan emosi tersebut.  Sejak publikasi buku klasik Charles Darwin pada tahun 1872, The Expression of Emotion in Man and Animals, para ahli psikologi menganggap komunikasi emosi memiliki fungsi penting, yang memiliki nilai kelangsungan hidup bagi spesies.  Jadi tampak ketakutan mungkin memperingatkan kepada lainnya akan adanya bahaya, dan menghayati bahwa seseorang sedang marah mengatakan kepada kita bahwa ia mungkin akan bertindak secara agresif.  Penelitian belum lama ini lebih luas dari tradisi Darwin, menyatakan bahwa selain fungsi komunikatifnya, ekspresi emosi berperan pada pengalaman subjektif emosi, sama seperti rangsangan dan penilaian.

  1. Reaksi dan Emosi
Seperti kita telah ketahui bahwa salah satu komponen utama suatu emosi adalah reaksi berada dalam suatu keadaan emosional.  Walaupun sebagian reaksi saat berada di dalam keadaan emosional adalah spesifik untuk emosi yang dialami seperti mendekati seseorang saat gembira atau menjauhkan diri jika takut, reaksi lain tampaknya berlaku pada emosi secara umum.  Jelasnya, berada dalam keadaan emosional : (a) dapat memberi kita energi atau mengganggu kita; (b) menentukan apa yang kita perhatikan dan pelajari; dan (c) menentukan pertimbangan apa yang kita gunakan dalam memandang dunia.

  1. Agresi dan Emosi
Emosi bukan hanya merupakan suatu reaksi umum, tetapi juga reaksi spesifik.  Kita mungkin tertawa saat kita gembira, menarik diri saat takut, menjadi agresif saat marah dan sebagainya.  Di antara reaksi emosional tipikal tersebut adalah agresi.

Perhatian khusus ini disebabkan sebagiannya karena kepentingan sosial agresi.  Pada tingkat masyarakat, pada masa di mana senjata nuklir masih tersebar luas, satu tindakan agresif dapat menimbulkan bencana besar.  Pada tingkat individual, banyak orang sering mengalami pikiran dan impuls agresif, dan bagaimana mereka menangani pikiran tersebut memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan mereka dan hubungan interpersonal.  Alasan lain mengapa ahli psikologi telah memfokuskan riset mereka kepada agresi adalah karena dua teori besar tentang perilaku sosial membuat asumsi yang sangat berbeda tentang sifat agresi.  Teori psikoanalitik Freud memandang agresi sebagai suatu dorongan, dan teori belajar-sosial memandang agresi sebagai respons yang dipelajari.  Riset tentang agresi membantu kita menilai teori yang saling bertentangan tersebut.

  1. STRES
1. Pengertian Stres
Sapolsky, seperti ditulis dalam buku Psychology and Life karangan Richard G. Gerricc dan Phillip G. Zimbardo (2005: 406)  menyatakan “stress is feling that you might report  for brief for period, you felt happiness, sadness, anger, astonish and so on that reported as a kind of background noise for much of day to day experience” stress adalah perasaan yang menggambarkan perasaan bahagia, terkejut dan lain-lain yang digambarkan sebagai jenis dari latar belakang gangguan atas banyaknya pengalaman secara terus menerus. Selanjutnya sapolsky menyatakan bahwa stress adalah pola  respon suatu organisma dalam membuat  stimulus yang mengganggu keseimbangan dan kemampuannya dalam mangatasinya.

 “…as an internal state which can be caused by physical demands on the body (disease conditions, exercise, extremes of temperature, and the like) or by environmental and social situations which are evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping” (Morgan & King, 1986: 321). Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, 1994). 

Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.

Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956).

  1. Karakteristik
Stres telah menjadi topik yang populer.  Media sering kali menyatakan perilaku atau penyakit yang tidak lazim pada manusia sebagai akibat dari stres atau nervous breakdown akibat stres.  Sebagai contoh, jika seorang selebritis mencoba bunuh diri, sering kali dikatakan ia mengalami tekanan dalam kehidupan bermasyarakatnya.  Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, siswa sering kali berbicara satu sama lain tentang tingkat stres.  ”Saya sangat tres!” merupakan ungkapan yang sering didengar.  Tetapi apa stres itu ?  Dalam pengertian umum, stres terjadi jika orang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai ancaman bagi kesehatan fisik atau psikologisnya.  Peristiwa tersebut biasanya dinamakan stresor, dan reaksi orang terhadap peristiwa tersebut dinamakan respon stres.

Tidak terhitung banyaknya peristiwa yang dapat menyebabkan stres.  Sebagian adalah perubahan besar yang mempengaruhi banyak orang seperti perang, kecelakaan nuklir, dan gempa bumi.  Peristiwa lain adalah perubahan besar dalam kehidupan seseorang seperti pindah ke tempat baru, pindah pekerjaan, menikah, kehilangan kawan, menderita penyakit serius.  Sumber stres dapat berada pada individu dalam bentuk motif atau keinginan yang bertentangan.  Peristiwa yang dirasakan sebagai stres biasanya masuk ke dalam salah satu kategori berikut : peristiwa traumatik di luar rentang pengalaman manusia yang lazim, peristiwa yang tidak dapat dikendalikan, peristiwa yang tidak dapat diperkirakan, peristiwa yang menantang batas kemampuan dan konsep diri kita, atau konflik internal.

  1. Reaksi Psikologis dan Fisiologis
Reaksi psikologis terhadap stres menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan (jika peristiwa menuntut, tetapi dapat ditangani) sampai emosi umum kecemasan, kemarahan, kekecewaan dan depresi.  Jika situasi stres terus terjadi, emosi kita mungkin berpindah bolak-balik di antara emosi-emosi tersebut, tergantung pada keberhasilan kita menyelesaikannya.

Reaksi fisiologis terhadap stres menyebabkan tubuh bereaksi terhadap stresor dengan memulai seurutan kompleks respons bawaan terhadap ancaman yang dihayati.  Jika ancaman dapat dipecahkan dengan segera, respons darurat tersebut menghilang, dan keadaan fisiologis kita kembali normal.  Jika situasi stres terus terjadi, timbullah respons internal yang lainnya saat kita berupaya beradaptasi dengan stresor kronis.

  1. Model Stress.
Cognitif Apraisal dari situasi stres, berinteraksi dengan stresor  dan sumber-sumber seperti psikal, personal dan sosial, yang berhubungan stresor. Setiap individu merespon pada tingkatan-tingkatan yang berbeda : seperti secara psikologi, behavior (tingkah laku), emosi dan kognitif 



  1. EMOSI, STRES DAN KESEHATAN
  1. Pengaruh Emosi dan Stres Terhadap Kesehatan
Kita telah melihat bahwa pemaparan dengan peristiwa stres dapat menimbulkan berbagai maslah fisik dan psikologis.  Tetapi bagaimana stres mempengaruhi kesehatan ?  Taylor (1986) telah menjelaskan empat jalur yang berbeda : jalur langsung, jalur interaktif, jalur perilaku sehat, dan jalur perilaku sakit.
a.    Jalur langsung
Respon fisiologis yang dialami tubuh saat menghadapi suatu stresor mungkin memiliki efek negatif dan langsung pada kesehatan fisik jika respon ini dipertahankan secara kronis.  Rangsangan berlebihan (overarousal) jangka panjang sistem simpatis atau sistem korteks adrenal dapat menyebabkan kerusakan pada arteri dan sistem organ.  Stres juga memiliki efek langsung pada kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan penyakit.
b.    Jalur interaktif
Seperti yang telah kita ketahui, tidak semua orang yang terpapar dengan situasi stres akan menjadi sakit.  Juga, tidak semua orang dengan sifat kepribadian maladaptif (tidak mampu mengekspresikan kemarahan) mengalami penyakit fisik atau psikologis.  Terdapat cukup banyak bukti bahwa penyalit akan muncul hanya jika situasi stres dan kepribadian berinteraksi satu sama lain, atau dengan kerentanan biologis yang telah ada sebelumnya (Cohen & Williamson, 1991).  Tipe model interaktif ini sering dinamakan sebagai model kerentanan stres, atau model diatesis stres. Diatesis adalah kerentanan atau predisposisi terhadap suatu penyakit.  Kerentanan menjadikan individu peka terhadap gangguan tertentu, tetapi hanya terjadi jika ia menemukan stres sehingga gangguan benar-benar berkembang.

c.    Jalur perilaku tidak sehat
Jika kita merasa stres, kita sering kali tidak memperhatikan diri kita sendiri secara baik.  Siswa yang mengikuti ujian begadang sepanjang malam, sering kali selama beberapa malam secara berturut-turut.  Mereka mungkin lupa makan, dan hanya mengudap junk-food. Banyak pria yang istrinya meninggal tidak tahu bagaimana memasak untuk diri sendiri, dan dengan demikian mungkin sedikit makan atau malahan tidak makan sama sekali.  Di dalam dukacitanya sebagian pria meningkatkan konsumsi alkohol dan merokok.  Orang dalam stres mungkin tidak melakukan kebiasaan olahraga normalnya. Masing-masing dari perilaku tidak sehat itu mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan penyakit dan fungsi umumnya, dan berperan dalam perkembangan penyakit.  Jadi, stres dapat secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan dengan menurunkan perilaku kesehatan positif dan meningkatkan perilaku negatif. 
d.    Jalur perilaku sakit
Model terakhir dalam hubungan stres-penyakit adalah model perilaku sakit.  Stresor menyebabkan sejumlah gejala yang tidak menyenangkan seperti gelisah, depresi, lelah, gangguan tidur, gangguan lambung.  Sebagian orang menginterpretasikan gejala tersebut sebagai gejala penyakit dan mencari bantuan medis.  Selanjutnya, perhatian yang mereka dapatkan dari profesional dapat memperkuat perilaku sakit tersebut, artinya mereka lebih sering untuk mencari perhatian medis untuk gejala stres mereka di kemudian hari.  Penerapan penting dari model perilaku sakit adalah bahwa laporan seseorang tentang penyakitnya mungkin tidak memberikan informasi akurat tentang penyakit aktualnya.  Orang yang mendapatkan penguatan untuk perilaku penyakitnya mungkin melaporkan lebih banyak penyakit dibandingkan yang sesungguhnya mereka derita.  Kemungkinan laporan individu tentang penyakitnya ini menjadikan penting bagi pemeriksa stres dan kesehatan untuk memasukkan penilaian kesehatan yang objektif.

  1. Bagaimana Menangani Emosi dan Stres
Emosi dan rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh situasi stres sangat tidak nyaman, dan ketidaknyamanan ini memotivasi individu untuk melakukan sesuatu guna menghilangkannya.  Proses yang digunakan oleh seseorang untuk menangani tuntutan yang menimbulkan stres dinamakan coping (kemampuan mengatasi masalah).  Kemampuan mengatasi masalah memiliki dua bentuk strategi yaitu, strategi terfokus masalah dan strategi terfokus emosi (Lazarus & Folkman, 1984).
Strategi terfokus masalah, orang dapat memfokuskan pada masalah atau situasi spesifik yang telah terjadi, sambil mencoba menemukan cara untuk mengubahnya atau menghindarinya di kemudian hari.
Strategi terfokus emosi, seseorang dapat memfokuskan diri untuk menghilangkan emosi yang berhubungan dengan situasi stres, walaupun situasi tersebut tidak dapat diubah.  Saat berhadapan dengan stres, sebagian besar orang menggunakan keduanya.

  1. HUBUNGAN EMOSI , STRESS DAN PENDIDIKAN
Adanya tugas sebagai guru di sekolah  dengan beban yang berat  bisa menimbulkan ketidakpuasan kerja guru.  Ini bisa terjadi disebabkan oleh faktor beban kerja guru yang berat tidak sebanding dengan besarnya gaji, kurangnya penghargaan dan pengakuan dari pimpinan, iklim organisasi yang tidak kondusif, adanya tekanan kerja (stres) yang timbul dari akibat pekerjaan di sekolah, dan penyebab lain. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan kinerja guru, antara lain: pengelolaan stress kerja, pengalaman kerja, keterampilan teknis, tingkat pendidikan pengetahuan administrasi pembelajaran, motivasi kerja, gaya kepemimpinan kepala sekolah, dan kecerdasan emosional. Tuntutan hidup demikian besar pada satu sisi, sementara pada sisi lain tanggung jawab dan beban moral yang dipikul sebagai  seorang pengajar dan  pendidik sangat besar sering mengakibatkan stres kerja/tekanan mental akibat dari kerja pada guru. Belum lagi jika guru menjadi sasaran kritik atas gagalnya suatu proses pendidikan yang dialami oleh anak didiknya. Tak jarang guru akhirnya  mengambil sikap apatis terhadap profesinya di tengah dilema tanggung jawab serta tuntutan sosial ekonomi.   

Stres kerja, oleh para ahli perilaku organisasi, telah dinyatakan sebagai agen penyebab dari berbagai masalah fisik, mental, bahkan output organisasi. Stres kerja tidak hanya berpengaruh terhadap individu, tetapi juga terhadap biaya organisasi dan industri. Banyak studi yang menghubungkan stres kerja dengan berbagai hal, misalnya stres kerja dihubungkan dengan kepuasan kerja, kesehatan mental, ketegangan, ketidak hadiran, dan sering juga dihubungkan dengan kinerja.  

Salah satu alasan penting mempelajari stres pada guru adalah bahwa berdasarkan pengalaman, stres pada guru dapat mempunyai efek yang merugikan pada diri guru, siswa dan lingkungan kerjanya. Stres tersebut dapat berbentuk kelelahan fisik, emosi sikap yang negatif terhadap siswa, dan keinginan untuk mengurangi tugas-tugas personal (Schwab dan Jackson, 1986). Konsekuensi dari kelelahan fisik dan emosi ini bisa berbentuk ketidakhadiran guru, sehingga bisa jadi mendorong ketidakhadiran siswa dan tidak adanya prestasi akademis.

Stres pada guru mungkin bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti tidak sabaran, baik dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswa di kelas, lekas marah, sensitif atau mudah tersinggung, bersikap apatis, kurang dapat konsentrasi dalam mengajar, pelupa, peka terhadap kritik yang ditujukan pada dirinya, atau bisa muncul efek organisatoris/ kelembagaan yaitu sering absen(tidak masuk) kerja dengan berbagai alasan. Menghindari tanggung jawab, produktivitas kerja/mengajar rendah atau turun, dan justru sering dihinggapi rasa benci terhadap pekerjaan sebagai gejala yang ekstrim.

Menurut Sullivan dan Bhagat (1992), dalam studi mereka mengenai stress kerja (yang diukur dengan role ambiguity, role conflict, dan role overload) dan kinerja, pada umumnya ditemukan bahwa stres kerja berhubungan secara negative dengan kinerja. Kerja guru merupakan kumpulan dari berbagai tugas untuk mencapai Tujuan pendidikan. Motivasi dalam menjalankan tugas merupakan aspek penting bagi kinerja atau produktivitas seseorang, ini disebabkan sebagian besar waktu guru digunakan untuk bekerja. Guru akan berusaha mencapai kinerja tertentu sesuai dengan yang dikehendaki sekolah, jika merasa senang dan puas dengan pekerjaannya. 

Setiap guru yang merasa puas akan bekerja pada tingkat kapasitas penuh. Keinginan yang timbul dalam diri guru untuk bekerja atau biasa disebut dengan motivasi kerja akan mendorong guru untuk selalu memberikan yang terbaik bagi sekolah tempat ia bekerja. Guru tersebut akan berusaha mencari cara  dan melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas kerja dan mutu sekolahnya. Guru yang termotivasi, tidak akan puas dengan apa yang didapat/dicapainya, dalam dirinya ada keinginan untuk meningkatkan apa yang sudah dicapai. Guru juga akan selalu berusaha terus untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dengan berusaha meningkatkan mutu secara terus-menerus maka berarti pula meningkatkan kinerja dari guru tersebut. Guru yang mempunyai motivasi kerja akan dapat meningkatkan kinerjanya.  
  1. KESIMPULAN
Baik kondisi emosi maupun stres berpengaruh terhadap kesehatan manusia, oleh karenanya tiap orang harus mampu mengantisipasinya dengan baik, sehingga kondisi kesehatannya tetap stabil tidak terpengaruh oleh faktor ekternal yang tidak menyenangkan.

Emosi memiliki jenis yang berbeda-beda. Emosi memiliki terdiri dari  sedih, takut, jijik, sedih dan terkejut. Ragam emosi tidak memiliki acuan yang sama dan memiliki gradasi yang berbeda. Emosi bukanlah marah, melainkan marah adalah bagian dari emosi. Emosi berkembang karena motif dan derajat perasaan. Emosi memiliki hubungan yangmempengaruhiterhadapkebudayaan.

Stres pada guru mungkin bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti tidak sabaran, baik dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswa di kelas, lekas marah, sensitif atau mudah tersinggung, bersikap apatis, kurang dapat konsentrasi dalam mengajar, pelupa, peka terhadap kritik yang ditujukan pada dirinya, atau bisa muncul efek organisatoris/ kelembagaan yaitu sering absen(tidak masuk) kerja dengan berbagai alasan. Menghindari tanggung jawab, produktivitas kerja/mengajar rendah atau turun, dan justru sering dihinggapi rasa benci terhadap pekerjaan sebagai gejala yang ekstrim.

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Rita L dkk. Pengantar Psikologi Jilid Dua. Tangerang : Interaksara.Cooper, C. L., & Payne, R. (1994). Causes, Coping & Consequences of Stress at Work. USA: John Wiley & Sons, Ltd.

Greenberg, J., & Baron, R. A. (1993). Behavior In Organizations: Understanding And Managing The Human Side Of Work. USA: Allyn & Bacon.

Morgan, C. T., King, R. A, & Weisz, J. R. (1986). Introduction to Psychology (7th ed.). New York: McGraw-Hill Book Co.

Newcomb, Turner, dan Converse. 1981. Psikologi Sosial. Bandung: CV. Dipenogoro. 

Selye, H. (1983). Selye’s Guide To Stress Research (vol. 3). New York: Van Nostrand Reinhold Company, Inc.

Woolfolk, Anita. 2004. Educational Psychology. USA : Ohio State University.
Gerring, Richard J & Philip G. Zimbardo. Psychology and life. Boston : Pearson.
Eggen, Paul & Don Kauchak. Educational Psychology : Windows on classrooms. New Jersey : Pearson.

Luthans, F. (1992). Organizational Behavior (6th ed.). Singapore: McGraw-Hill, Inc.

Mitchell, T. R., & Larson, J. R. (1987). People in Organizations: An Introduction to Organizational Behavior (3rd ed.). USA: McGraw-Hill, Inc.

Quick, J. C., & Quick, J. D. (1984). Organizational Stress And Preventive Management. USA: McGraw-Hill, Inc.
 
Rice, P. L. (1999). Stress and Health (3rd ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company.

Selye, H. (1956). The Stress of Life. New York : McGraw Hill.

Danandjaja, James. 1988. Antropologi Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Gerungan, W.A. 1996. Psikologi Sosial. Bandung. Eresco.
Mendatu, Achmanto. Apakah arti emosi? www.e-psikologi.com
Newcomb, Turner, dan Converse. 1981. Psikologi Sosial. Bandung: CV. Dipenogoro.
Rahmat. Memahami Sifat Marah. www.percikan-iman.com







Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *