Pengertian
konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin
configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya
akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya
adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual
dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap
masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan
Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol
akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat
menciptakan konflik.
Perusahaan manapun pasti pernah mengalami konflik
internal. Mulai dari tingkat individu,
kelompok, sampai unit. .Mulai dari derajat dan lingkup konflik yang kecil
sampai yang besar. Yang relatif kecil seperti masalah adu mulut tentang pribadi
antarkaryawan, sampai yang relatif besar seperti beda pandangan tentang
strategi bisnis di kalangan manajemen.
Contoh lainnya dari konflik yang relatif besar yakni antara karyawan dan
manajemen. Secara kasat mata kita bisa
ikuti berita sehari-hari di berbagai media. Disitu tampak konflik dalam bentuk
demonstrasi dan pemogokan. Apakah hal
itu karena tuntutan besarnya kompensasi, kesejahteraan, keadilan promosi karir,
ataukah karena tuntutan hak asasi manusia karyawan.
Konflik itu sendiri merupakan proses yang dimulai bila satu pihak
merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif atau akan segera
mempengaruhi secara negatif. Faktor-faktor kondisi konflik (Robbins, Sthepen
,2003, Perilaku Organisasi):
- Harus dirasakan oleh pihak terkait
- Merupakan masalah persepsi
- Ada oposisi atau ketidakcocokan tujuan, perbedaan dalam penafsiran fakta, ketidaksepakatan pada pengharapan perilaku
- Interaksi negatif-bersilangan
- Ada peringkat konflik dari kekerasan sampai lunak.
Menurut Baden Eunson (Conflict Management,
2007,diadaptasi), terdapat beragam jenis konflik:
- Konflik vertikal yang terjadi antara tingkat hirarki,seperti antara manajemen puncak dan manajemen menengah, manajemen menengah dan penyelia, dan penyelia dan subordinasi. Bentuk konflik bisa berupa bagaimana mengalokasi sumberdaya secara optimum, mendeskripsikan tujuan, pencapaian kinerja organisasi, manajemen kompensasi dan karir.
- Konflik Horisontal, yang terjadi di antara orang-orang yang bekerja pada tingkat hirarki yang sama di dalam perusahaan. Contoh bentuk konflik ini adalah tentang perumusan tujuan yang tidak cocok, tentang alokasi dan efisiensi penggunaan sumberdaya, dan pemasaran.
- Konflik di antara staf lini, yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki tugas berbeda. Misalnya antara divisi pembelian bahan baku dan divisi keuangan. Divisi pembelian mengganggap akan efektif apabila bahan baku dibeli dalam jumlah besar dibanding sedikit-sedikit tetapi makan waktu berulang-ulang. Sementara divisi keuangan menghendaki jumlah yang lebih kecil karena terbatasnya anggaran. Misal lainnya antara divisi produksi dan divisi pemasaran. Divisi pemasaran membutuhkan produk yang beragam sesuai permintaan pasar. Sementara divisi produksi hanya mampu memproduksi jumlah produksi secara terbatas karena langkanya sumberdaya manusia yang akhli dan teknologi yang tepat.
- Konflik peran berupa kesalahpahaman tentang apa yang seharusnya dikerjakan oleh seseorang. Konflik bisa terjadi antarkaryawan karena tidak lengkapnya uraian pekerjaan, pihak karyawan memiliki lebih dari seorang manajer, dan sistem koordinasi yang tidak jelas.
a. pengertian konflik menurut beberapa ahli.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik
merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat
menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan
konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama
lain.
Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam
organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak
menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut
dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam
organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk
minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok
atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada
tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan
interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan
saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris
terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik
tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau
akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu
dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan.
Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau
lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules,
1994:249).Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui
perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama,
yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan,
keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat
(Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang
satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam
level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381)
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi
disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik
dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan
kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini
dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan
ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif,
merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence,
destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional
akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang –
orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi
karyawan.
Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View.
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang
wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai
sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi
pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu,
konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong
peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan
sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok
atau organisasi.
Pandangan interaksionis (The Interactionist View).
Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya
konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai,
dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak
inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan
pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam
kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi
dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern
(Current View):
Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap
bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan
organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya
disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi.
Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas
meminimalisasikan konflik.
Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini
disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan,
persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi
dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen
bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk
mencapai tujuan bersama.
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman,
konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan
kontemporer (Myers, 1993:234)
Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai
sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari
adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok
atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan,
agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar.
Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap
orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang
lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah
dihindari.
Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada
anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai
konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan
bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga
tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik
dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan
dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal
konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara
peningkatan kinerja organisa
B.
penyebab konflik
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan.Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang
memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata
ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya,
ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi
ada pula yang merasa terhibur.Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.Seseorang sedikit banyak akan
terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
Pemikiran dan
pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu
yang dapat memicu konflik.Perbedaan kepentingan antara individu atau
kelompok.Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang
atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh
masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari
kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani
menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk
membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan
kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan.
Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga
harus dilestarikan.
Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara
satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial
di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut
bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar
kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok
buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara
keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha
menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar
bidang serta volume usaha mereka.
c
. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi,
tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan
konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat
industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti
menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis
pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang
disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah
menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung
tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan
istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara
cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di
masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan
karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
d.
jenis-jenis konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 6 macam :
- Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
- Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
- Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
- Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
- Konflik antar atau tidak antar agama
- Konflik antar politik.
- konflik individu dengan kelompok
e.Akibat
konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
- meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
- keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
- perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
- kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
- dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang
berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema
dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap
hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai
berikut:
- Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
- Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
- Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
Cara
mengatasi konflik dalam perusahaaan
Didalam hubungan komunikasi di suatu lingkungan kerja
atau perusahaan konflik antar individu akan sering terjadi. Konflik yang sering
terjadi biasanya adalah karena masalah kominikasi yang kurang baik. Sehingga
cara mengatasi konflik dalam perusahaan harus benar-benar dipahami management
inti dari perusahaan, untuk meminimalisir dampak yang timbul.
Permasalahan atau konflik yang terjadi antara karyawan
atau karyawan dengan atasan yang terjadi karena masalah komunikasi harus di
antisipasi dengan baik dan dengan system yang terstruktur. Karena jika masalah
komunikasi antara atasan dan bawahan terjadi bias-bisa terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, misalnya mogok kerja, bahkan demo.
Sehingga untuk mensiasati masalah ini bias dilakukan
dengan berbagai cara.
1. Membentuk suatu system informasi yang terstruktur,
agar tidak terjadi kesalahan dalam komunikasi. Misalnya, dengan membuat papan
pengumungan atau pengumuman melalui loudspeaker.
2. Buat komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan
menjadi lancer dan harmonis, misalnya dengan membuat rapat rutin, karena dengan
komunikasi yang dua arah dan intens akan mengurangi masalah di lapangan
3. Beri pelatihan dalam hal komunikasi kepada atasan dan
karyawan, pelatihan akan memberikan pengetahuan dan ilmu baru bagi setiap
individu dalam organisasi dan meminimalkan masalah dalam hal komunikasi
Biasanya masalah timbul karena lingkungan yang kurang
kondusif di suatu perusahaan. Misalnya, kondisi cahaya yang kurang, atau
sirkulasi yang kurang baik, dan temperature ruangan yang tinggi sangat mungkin
untuk meningkatkan emosi seseorang, jadi kondisi dari lingkungan juga harus di
perhatikan
Konflik dalam perusahaan juga sering terjadi antar
karyawan, hal ini biasanya terjadi karena masalah diluar perusahaan, misalnya
tersinggung karena ejekan, masalah ide yang dicuri, dan senioritas. Perusahaan
yang baik harus bisa menghilangkan masalah senioritas dalam perusahaan. Hal ini
dapat meminimalisir masalah yang akan timbul, kerena dengan suasanya yang
harmonis dan akrab maka masalah akan sulit untuk muncul.
Faktor yang mendasari konflik buruh
Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena
kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem
kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa
berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan
kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan
tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja,
melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.
Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha
sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan
gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang
digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah
Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang
sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar
untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah
eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh.
Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme
tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan
sebagainya.
Jadi, masalah perburuhan akan selalu ada selama relasi
antara buruh dan pengusaha dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah
melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan
menghadapi provokasi kaum Sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya
sekedar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa
tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya
klaim bohong dan kosong.
Dalam perspektif politik ekonomi, kaum buruh selalu
berada dalam kungkungan nasib yang menyedihkan. Mereka berada dalam kekuasaan
dan kendali pemilik modal atau majikan. Di balik tenaga mereka yang mengalami
eksploitasi luar biasa, upah yang mereka nikmati kerap tidak cukup untuk
(sekadar) memenuhi kebutuhan pokok. Bahkan, tidak jarang upah hasil kerja
mereka sebulan penuh hanya cukup untuk bertahan hidup selama 10 hari. Di sisi
lain, mereka pun selalu berada dalam ancaman bayang-bayang PHK (pemutusan
hubungan kerja) secara sepihak dengan pesangon yang ala kadarnya.
Gambaran di atas merupakan realitas yang tidak bisa
dihindarkan kala paradigma ekonomi yang digunakan ialah paradigma
industrial-kapitalistik. Dalam paradigma industrial-kapitalistik ini, pemilik
modal (majikan) cenderung memposisikan buruh (pekerja) sebagai bagian dari
faktor produksi. Buruh kerapkali ditekan untuk bekerja tanpa mengenal lelah (tak
ubahnya sebuah mesin produksi), tetapi upah yang dibayarkan sangat rendah. Hal
ini tidak lepas dari prinsip ekonomi kapitalis itu sendiri bahwa untuk
mendapatkan profit (untung) sebesar-besarnya, maka biaya produksi harus ditekan
sekecil-kecilnya.
Dalam lingkungan negara yang menganut sistem
sekuler-kapitalisme, realitas semacam itu adalah sebuah keniscayaan. Ada
beberapa faktor yang dijadikan sebagai alat pembenar (legitimator) berkaitan
dengan eksploitasi buruh. Di antaranya:
- Tenaga buruh disamakan dengan faktor-faktor produksi lainnya.
- Nilai buruh disamakan dengan dinilai barang.
- Keberhargaan (martabat) buruh tidak lebih terhormat daripada alat/faktor produksi lainnya.
Karena itu, tidak aneh bila para majikan yang berwatak
kapitalis terus berburu tempat-tempat investasi untuk mengembangkan modal
(memupuk kekayaan?) di daerah-daerah yang taraf kehidupan masyarakatnya masih
rendah. Hal ini tidak lain karena ideologi para majikan tersebut lebih bersifat
sekuler-kapitalistis. Bagi mereka, keuntungan sebanyak-banyaknya merupakan
tujuan, meski untuk itu harus melanggar etika kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar