BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
memiliki nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa.
Pendidikan itu juga berupaya untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa tersebut.
Sebab lewat pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh
bangsa tersebut, karena itu pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know,
dan how to do, tetapi yang amat penting adalah how to be, bagaimana supaya how
to be, terwujud maka diperlukan transfer budaya dan kultur. Oleh karena demikian
pentingnya masalah yang berkenaan dengan pendidikan maka perlu diatur suatu
aturan yang baku mengenai pendidikan tersebut, yang dipayungi dalam system
pendidikan nasional. System pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang
terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan
lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.
APK
SMA/SMK/MA/SMAB/Paket C mengalami peningkatan, yaitu 49,01% pada tahun 2004
menjadi 64,28% pada tahun 2008, dan diperkirakan menjadi 68,20% pada tahun 2009
(Lihat Tabel 2.3). Disparitas APK SMA/SMK/MA/SMALB/Paket C antara kabupaten dan
kota menurun dari 33,1% pada tahun 2004 menjadi 30% pada tahun 2008 dan
diperkirakan turun menjadi 29,2% pada tahun 2009. Sementara itu, rerata nilai Ujian Nasional pada
jenjang ini menunjukkan peningkatan, dari 5,31 pada tahun 2004 menjadi 7,17
pada tahun 2008.
Program
pengembangan sekolah/madrasah bertaraf internasional (SBI) pada jenjang
pendidikan menengah telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Terlihat peningkatan jumlah sekolah
bertaraf internasional dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 telah terbentuk 259
SMA dan 300 SMK berstandar internasional atau dirintis berstandar
internasional. Hasil yang sama juga terjadi pada program sekolah/madrasah
berbasis keunggulan lokal. Hingga tahun 2008 telah dikembangkan sebanyak 100
SMA dan 341 SMK berbasis keunggulan lokal. Rasio jumlah siswa SMK:SMA dari
tahun ke tahun juga terus meningkat dari 30:70 pada tahun 2004 menjadi 49:51
menurut perhitungan sementara pada akhir bulan September 2009. Rasio kesetaraan
gender pada jenjang pendidikan menengah juga meningkat dari 93,8% pada tahun
2004 menjadi 95,6% pada tahun 2008, dan diperkirakan menjadi 95,9% pada tahun
2009. Sertifikat kompetensi yang diterbitkan juga senantiasa berhasil melampaui
target. Untuk tahun 2008 sertifikasi kompetensi pendidikan menengah akan
mencapai 675.000 lembar jauh melampaui target nasional 350.000 sertifikat.
Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
yaitu UU No. 20 Tahun 2003 pengganti dari UU No. 2 Tahun 1989. Undang-Undang
Dasar 1945 Bab XIII, Pasal 31 ayat (2), mengamanahkan bahwa pendidikan yang
dimaksud harus diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai “suatu
system pendidikan nasional”. System pendidikan nasional dilaksanakan secara
semesta, menyeluruh dan terpadu : semesta dalam arti terbuka bagi seluruh
rakyat dan berlaku di seluruh wilayah Negara; menyeluruh dalam arti kata
mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dan terpadu dalam arti
adanya saling terkait antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha
pembangunan nasional.
Visi Departemen Pendidikan Nasional 2010-2014: Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan
nasional untuk Membentuk Insan Indonesia yang Komprehansif.
Misi Depdiknas 2010-2014:
·
Meningkatkan
ketersediaan layanan pendidikan
·
Memperluas
keterjangkauan layanan pendidikan
·
Meningkatkan
kualitas/mutu relevansi layanan
pendidikan
·
Mewujudkan
kesetaraan dalam memperoleh layanan
pendidikan
·
Menjamin
kepastian memperoleh layanan pendidikan
TIGA PILAR PEMBANGUNAN PENDIDIKAN:
- Pemerataan dan perluasan akses pendidikan;
- Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan; dan
- Peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan.
Arah kebijakan peningkatan perluasan dan
pemerataan pendidikan dilaksanakan melalui antara lain penyediaan fasilitas
layanan pendidikan berupa pembangunan unit sekolah baru; penambahan ruang kelas
dan penyediaan fasilitas pendukungnya; penyediaan berbagai pendidikan
alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan perhatian khusus; serta penyediaan
berbagai beasiswa dan bantuan dana operasional sekolah yang dalam
pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan peran aktif masyarakat.
Lebih lanjut terungkap bahwa meskipun secara
nasional angka partisipasi pendidikan meningkat dari waktu ke waktu, namun jika
dilakukan perbandingan antarprovinsi, antarwilayah perdesaan dan perkotaan,
serta antarkelompok pengeluaran keluarga terlihat adanya kesenjangan yang cukup
besar antarkelompok tersebut. Partisipasi pendidikan khususnya jenjang menengah
keatas masih menunjukkan keragaman yang cukup besar antarprovinsi. Partisipasi
pendidikan penduduk yang tinggal di daerah perkotaan secara umum juga lebih
baik dibandingkan penduduk perdesaan. Lebih lanjut penduduk yang memiliki
status ekonomi lebih tinggi memiliki angka partisipasi sekolah yang lebih
tinggi dibanding dengan penduduk miskin Ditinjau dari akses pendidikan,
partisipasi pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuan masih
menunjukkan kesenjangan terutama pada jenjang pendidikan menengah keatas.
Disamping itu penjurusan pada pendidikan menengah
kejuruan menunjukkan masih terdapat stereotipi dalam sistem pendidikan di
Indonesia yang mengakibatkan tidak berkembangnya pola persaingan sehat menurut
gender. Berdasarkan kondisi tersebut, upaya peningkatan perluasan dan
pemerataan pendidikan harus memperhatikan keragaman yang ada sehingga
intervensi yang dilakukan benar-benar dapat meningkatkan partisipasi pendidikan
secara adil terutama bagi kelompok penduduk yang saat ini partisipasi
pendidikannya masih rendah.
Disamping
upaya memperluas akses dan pemerataan pendidikan, peningkatan kualitas
pendidikan juga terus mendapat perhatian besar. Kemampuan akademik dan
profesional serta jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan terus ditingkatkan.
Pendidikan lanjutan serta pendidikan dan latihan jangka pendek terus
dilaksanakan baik untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan
maupun untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar menurut bidang
studi.. Meskipun demikian, kondisi tersebut belum mencukupi untuk menyediakan
pelayanan pendidikan yang berkualitas.
Bahkan untuk jenjang pendidikan SMA-MA-SMK yang
menggunakan sistem guru mata pelajaran banyak pula terjadi ketidaksesuaian
antara pelajaran yang diajarkan dengan latar belakang pendidikan guru. Untuk
itu diperlukan jumlah dan kualitas pendidikan dan latihan bagi guru dan tenaga
kependidikan lainnya secara lebih memadai sehingga mereka mampu
menyelenggarakan proses belajar mengajar yang lebih berkualitas. Untuk menjawab
kurangnya jumlah guru pada semua jenjang pendidikan pada tahun 2003
direncanakan untuk dikaryakan sebanyak 190 ribu guru untuk sekolah umum dan
13,5 ribu guru untuk madrasah dan guru agama pada sekolah umum. Untuk meningkatkan
kesejahteraan guru, pada tahun 2002 tunjangan kependidikan bagi guru telah pula
ditingkatkan sebesar 50 persen. Selain itu telah disediakan pula berbagai
insentif bagi guru sekolah negeri dan swasta seperti tunjangan kelebihan jam
mengajar dan bantuan khusus guru yang secara keseluruhan diharapkan dapat
mendorong guru untuk tetap berkarya.
Arah kebijakan pendidikan untuk melakukan
pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum berupa
diversifikasi kurikulum untuk melayani keragaman peserta didik dan potensi
daerah, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional telah pula
dilaksanakan. Penambahan jam pelajaran untuk muatan lokal ditujukan untuk
mengakomodasi keragaman kebutuhan disetiap wilayah meskipun pelaksanaannya
masih belum optimal dan secara umum baru digunakan untuk pendidikan kesenian
lokal dan bahasa daerah. Kurikulum berbasis kompetensi yang dikembangkan
diharapkan dapat menjawab diversifikasi kebutuhan pembangunan. Reposisi
pendidikan kejuruan terus dilakukan untuk lebih menjamin kesesuaian atau
relevansi antara pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Bidang studi-bidang studi yang dinilai sudah tidak
sesuai dengan kebutuhan pembangunan terus direposisi menjadi bidang
studi-bidang studi yang memiliki prospek yang baik dalam dunia kerja Ditinjau
dari akses pendidikan, partisipasi pendidikan antara penduduk laki-laki dan
perempuan masih menunjukkan kesenjangan terutama pada jenjang pendidikan menengah
keatas. Disamping itu penjurusan pada pendidikan menengah kejuruan menunjukkan
masih terdapat stereotipi dalam sistem pendidikan di Indonesia yang
mengakibatkan tidak berkembangnya pola persaingan sehat menurut gender.
Berdasarkan kondisi tersebut, upaya peningkatan
perluasan dan pemerataan pendidikan harus memperhatikan keragaman yang ada
sehingga intervensi yang dilakukan benar-benar dapat meningkatkan partisipasi
pendidikan secara adil terutama bagi kelompok penduduk yang saat ini
partisipasi pendidikannya masih rendah. Disamping upaya memperluas akses dan
pemerataan pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan juga terus mendapat
perhatian besar. Kemampuan akademik dan profesional serta jaminan kesejahteraan
tenaga kependidikan terus ditingkatkan. Pendidikan lanjutan serta pendidikan
dan latihan jangka pendek terus dilaksanakan baik untuk meningkatkan kemampuan
manajerial dan kepemimpinan maupun untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
mengajar menurut bidang studi.. Meskipun demikian, kondisi tersebut belum
mencukupi untuk menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas.
Reposisi pendidikan kejuruan terus dilakukan untuk
lebih menjamin kesesuaian atau relevansi antara pendidikan dengan kebutuhan
dunia kerja. Bidang studi-bidang studi yang dinilai sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan pembangunan terus direposisi menjadi bidang studi-bidang studi yang
memiliki prospek yang baik dalam dunia kerja.
B.
Permasalahan
1. Bagaimana penyelenggaaran pendidikan
formal menengah saat ini apakah sudah sesuai dengan PP no 17 tahun 2010?
2. Kebijakan apa yang harus diambil oleh
pemerintah pusat, Pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan satuan pendidikan ?
3. Bagaimana implementasi yang dilaksanakan
di masing-masing tingkatan tersebut?
4. Program apa yang dilakukan agar tiga pilar
pembangunan pendidikan bisa tercapai sesuai dengan otonomi pendidikan?
C. Penyelenggaraan Pendidikan Formal Menengah
Berdasarkan PP
no 17, 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan Bab 1 pasal 1
dinyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan
komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur,
jenjang dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 76
menyatakan Pendidikan menengah adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan
formal yang merupakan lanjutan pendidik dasar berbentuk Sekolah Menengah Atas,
Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan atau
bentuk lain yang sederajat
1. Fungsi pendidikan menengah umum:
a. meningkatkan, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dankepribadian luhur;
b. meningkatkan, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air;
c. mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta mengekspresikan keindahan,
kehalusan, dan harmoni;
e. menyalurkan bakat dan kemampuan
di bidang olahraga, baik untuk kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi;
dan
f. meningkatkan kesiapan fisik dan
mental untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi dan/atau untuk
hidup mandiri di masyarakat.
2. Fungsi pendidikan
menengah kejuruan:
a. meningkatkan, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur;
b. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan
dan cinta tanah air;
c. membekali peserta didik dengan kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kecakapan kejuruan para profesi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat;
d. meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi
serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
e. menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang
olahraga, baik untuk kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f. meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk
hidup mandiri di masyarakat dan/ataumelanjutkan pendidikan ke jenjang
pendidikantinggi.
3. Tujuan Pendidikan menengah (pasal
77) membentuk peserta didik menjadi
mulia, dan berkepribadian luhur; b. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
c.sehat, mandiri, dan percaya diri; dan
d. toleran, peka sosial, demokratis, dan
bertanggungjawab.
Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Pasal 18 menyatakan bahwa jenjang
pendidikan menengah adalah sebagai berikut : (1) Pendidikan menengah merupakan
lanjutan pendidikan dasar. (2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan
menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. (3) Pendidikan menengah
berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang
sederajat. (4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Pada hakekatnya, Pendidikan
Menengah Keagamaan adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi lulusan Madrasah
Tsanawiyah atau Sekolah Lanjutan Pertama yang mengutamakan perluasan
pengetahuan khusus tentang ajaran agama Islam yang diajarkan untuk melanjutkan
pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dan untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam memasuki masyarakat kerja.
Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) adalah jenis
pendidikan menengah keagamaan yang mengutamakan penyiapan siswa dalam
penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama Islam dan khasanah,
Pemikiran Islam. Madrasah Aliyah Keagamaan merupakan bentuk satuan dari salah
satu jenis pendidikan menengah yang berlangsung selama tiga tahun dan
diselenggarakan dalam system Pondok Pesantren/berasrama (boarding school). Dedi
Hamid, Undang-Undang hal. 10 Departemen Agama RI, Peraturan Menteri Agama
RI Nomor 37 tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah Keagamaan.
4. Kurikulum Pendidikan Menengah
Kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan;
a. Peningkatan iman dan takwa; b.Peningkatan
akhlak mulia; c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. Keragaman
potensi daerah dan lingkungan; e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. Tuntutan
dunia kerja; g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. Agama;
i.Dinamika perkembangan global; dan j.Persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan. (UU Sisdiknas Pasal 36).
Kurikulum Pendidikan Menengah Wajib Memuat : a. Pendidikan Agama; b.Pendidikan
Kewarganegaraan; c.Bahasa; d. Matematika; e.Ilmu Pengetahuan Alam; f. Ilmu
Pengetahuan Sosial; g. Seni dan Budaya h.Pendidikan Jasmani dan Olahraga; i.Keterampilan/kejuruan;
dan j. Muatan Lokal. (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun
2003, Pasal 37) Dalam kurikulum yang
berorientasi pada pencapaian kompetensi, tujuan yang harus dicapai oleh siswa
dirumuskan dalam bentuk kompetensi. Dalam konteks pengembangan kurikulum, kompetensi adalah perpaduan dari
pengetahuan, keterampilan, nila, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak. Seseorang yang telah memiliki kompetensi dalam bidang
tertentu bukan hanya mengetahui, tetapi juga dapat memahami dan menghayati
bidang tersebut yang tercermin dalam pola perilaku sehari-hari.
5. Pencapaian Kompetensi Pendidikan Menengah Meliputi
:
- Kompetensi Lulusan yaitu kemampuan minimal yang harus dicapai oleh peserta didik setelah tamat mengikuti pendidikan pada jenjang atau satuan pendidikan tertentu. Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan, yakniarta : Departemen Agama, 1993)
- Pendidikan Menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, Wina Sanjaya, trategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidkan (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 68
- Akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
- Pendidikan Menengah Kejuruan yang terdiri atas SMK/MAK bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
- Komptensi Standar, yaitu kemampuan minimal yang harus dicapai setelah anak didik menyelesaikan suatu mata pelajaran tertentu pada setiap jenjang pendidikan yang diikutinya. Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP) terdiri atas kelompok-kelompok mata pelajaran: Agama dan Akhlak Mulia; Kewarganegaraan dan Kepribadian; Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; Estetika; Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan. Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP) dikembangkan berdasarkan tujuan dan cakupan muatan dan/ atau kegiatan setiap kelompok mata pelajaran, yakni: Kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Tujuan tersebut dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan. Kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani. Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan: mengembangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis peserta didik.
- Pada satuan pendidikan SMA/MA/SMALB/Paket C, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan Pada satuan pendidikan SMK/MAK, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan, kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan
- Pendidik pada pendidikan menengah menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Pasal 42, menyatakan bahwa : (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi. (3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan pemerintah Republik Indonesia tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 menyatakan bahwa : (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan / atau sertifikasi keahlian yang relevan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: a. Kompetensi pedagogic; b.Kompetensi kepribadian; c.Kompetensi professional; d. Kompetensi social. (4) Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan / atau sertifikasikeahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. (5) Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Peraturan pemerintah Republik Indonesia tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 29 menyatakan bahwa: (1) Pendidik pada SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat memiliki : a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)
BAB II
KEBIJAKAN
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
FORMAL
MENENGAH PADA ERA OTONOMI PENDIDIKAN
A. Kebijakan Otonomi Pendidikan
Pendidikan di dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003
disebutkan adalah hak dasar kemanusiaan yang harus dapat dinikmati secara layak
dan merata oleh setiap masyarakat. Pengertian hak dasar kemanusiaan yang termaktub dalam UU ini merupakan hak
asasi yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan
langgeng semenjak seseorang dilahirkan ke dunia. Hak asasi kemanusiaan ini
mengandaikan pemenuhannya hanya bisa dicapai dan terpenuhi dengan perlindungan,
penghormatan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun. Maka Negara sebagai institusi resmi wajib melaksanakannya,
memfasilitasi dan meniadakan segala penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang
bermutu, semestinya mampu dinikmati oleh semua elemen masyarakat bangsa
Indonesia. Kebijakan pendidikan di Indonesia semestinya mendukung atas
terjaminnya hak-hak asasi warganya utamanya dalam hal perolehan pendidikan
bermutu khususnya dalam konteks otonomi daerah.
Dalam konteks otonomi
daerah, pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah digagas dan diawali dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun
1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan
pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan
Bidang Pendidikan. Pelimpahan wewenang ini diteruskan dengan dikeluarkan UU
Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan
Pemerintahan Daerah yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan
perekonomian daerah, menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, trasparan
dan bertanggung jawab.
Adanya UU otonomi daerah
dan UU perimbangan keuangan pusat-daerah ini semakin membantu dan memberi
kesempatan kepada pemerintah daerah untuk seluas-luasnya mengelola pendidikan
sebaik mungkin. Secara eksplisit kewenangan dan alokasi dana pendidikan ini
disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
29: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN)
pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
Realisasi dari UU ini
tentunya mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang semakin meningkat
dan semakin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah dengan
legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam
berbagai tahap pembangunan pendidikan; sejak mulai tahap perumusan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan di daerah masing-masing
sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional. Pengaturan otonomi daerah dalam
bidang pendidikan secara tegas dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang
mengatur tentang pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Semua
urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan provinsi tersebut
sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.
Konsep pengelolaan pendidikan yang dituangkan
dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan
(pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena
pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekuensinya
pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun
(pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar, minimla pada jenjang pendidikan dasar tanpa
dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat
(pasal 34 ayat 2).
Dengan adanya otonomi penyelenggaraan pendidikan
dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab
bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46
ayat 1). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab
menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4)
Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 ("Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional") - (pasal 46 ayat 2).
Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang
diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2).
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan
prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam
memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah,
dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka
pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi,
transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2)
Meskipun terjadi otonomi pengelolaan pendidikan,
namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di
tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri
pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan
nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional
(pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan
fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi
tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan
yang berbasis keunggulan lokal.
Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal,
merupakan paradigma baru yang dimiliki oleh
masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus dibarengi
dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja
berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat
1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk
segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi
ahli dalam bidang tersebut. Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja
dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis.
Selain
(pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan
dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2).
Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau
guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk
mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12 ayat 1 huruf a
dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah,
yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang
mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal ( otonomi
pemerintahan daerah)
1. Faktor-faktor Pendorong Penerapan Otonomi Pendidikan
1. Adanya tuntutan orang tua, kelompok
masyarakat, para legistator, bisnis serta perhimpunan guru untuk turut ikut
serta mengontrol sekolah dan penilaian kualitas pendidikan.
2. Adanya anggapan bahwa struktur pendidikan
yang berpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi
siswa bersekolah.
3. ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk
merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beraneka
ragam
4. penampilan fisik sekolah dinilai tidak
memenuhi tutntutan baru dari masyarakat.
5. Tumbuhnya persaingan di dalam memperoleh
bantuan-bantuan pendanaan dan privatisasi.
2. Model Otonomi Pendidikan
Terdapat tiga model Otonomi Pendidikan, Yaitu:
1.
Manajemen Berbasis Lokasi
Pada
dasarnya model manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakan semua
urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah. Yang dikenal dengan manajemen
berbasis sekolah.
2.
Model Pengurangan Administrasi Pusat.
Pengurangan administrasi pusat diikuti
dengan meningkatkan wewengan dan urusan pada masing-masing daerah.
3.
Inovasi Kurikulum.
Inovasi
kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan kualitas dan prsamaan hak bagi
semua peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik
di daerah atau sekolah yang bervariasi.
3. Fungsi-fungsi Yang di Otonomikan Ke Sekolah
Fungsi-fungsi sekolah yang semula dikerjakan oleh pemerintah
pusat/Provinsi/ Dinas Pendidikan kota/kabupaten dapat dilakukan secara
profesional oleh sekolah adapun aspek-aspek yang dapat digarap oleh sekolah
dalam rangka MPMBS (Maanajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah).
1
Perencanaan dan evaluasi
Sekolah diberi
kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya (School-Based Plan), misalnya kebutuhan
meningkan mutu sekolah.
2
Pengelolaan kurikulum
Dalam
implementasinya sekolah mengembangkan dan memodifikasi isi kurikulum secara
nasional sesuai dengan kondisi dan karakteristik sekolah untuk mengembangkan
kurikulum muatan lokal misalnya adalah KTSP
3
Pengelolaan proses belajar mengajar
Proses
belajar mengajar disekolah disesuaikan dengan karakteristik siswa,
karakteristik guru, serta kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
4
Pengelolaan Ketenagaan
Pengelolaan
ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekruitmen,
pengembangan, hadiah dan sangsi, hubungan kerja, evaluasi kinerja tenaga kerja
sekolah. Kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen pegawai
negeri masih ditangani oleh pemerintah pusat.
5
Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaanmulai dari pengadaan,
pemeliharaan, perbaikan, penembangan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan
sekolah.
6
Pengelolaan Keuangan
Sekolah
diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan yang mendatangkan penghasilan
sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
7
Pelayanan siswa
Misalnya
Penerimaan siswa baru, pembinaan dan pembimbingan, beasiswa pendidikan.
8
Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Untuk menigkatkan keterlibatan,
kepedulian, kepemilikan serta dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral
dan finansial.
9
Pengelolaan Iklim Sekolah
Iklim
sekolah yang kondusif merupakan pra syarat terselenggaranya proses belajar
mengajar yang efektif sehingga mampu menumbuhkan semangat belajar siswa.
4. Peran Serta Masyarakat
Partisipasi masyarakat
tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah. Dewan pendidikan
adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli
terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri
yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta
tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan
pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan
memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana,
serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota
yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan
mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi
tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3).
5. Tantangan Globalisasi
Dalam
menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka harus ada
minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh
pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3)
Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan
sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan
pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan
jenis pendidikan (pasal 60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat)
dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik
(pasal 60 ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka
(pasal 60 ayat 3), sehingga semua pihak, terutama penyelenggara dapat
mengetahui posisi satuan pendidikannya secara transparan.
Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan
tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat
kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang
terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang
dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam mengantisipasi perkembangan global
dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan
dalam sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh
tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan,
yang berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang
tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat
1 dan 2)
B. Kebijakan Terjaminnya Mutu Pendidikan
Menengah Formal pada Otonomi Pendidikan
Pemerintah melalui program-program pendidikannya
sebenarnya telah berusaha untuk terus memperbaiki sistem pendidikan dan mutu
material (kurikulum) pendidikan di Indonesia. Usaha ini tercermin dalam berbagai perubahan
kurikulum yang pernah ada, mulai dari kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum
1984, Kurikulim 1994, KBK dan KTSP (Abd. Rachman Assegaf, 2005). Tampak sekali
hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memeperbaiki sistem dan mutu materi
pendidikan di Indonesia. Namun alih-alih mencapai sasaran, pembangunan
pendidikan melalui perubahan kurikulumnya ini nampak sekedar aksi trial-error
buah dari peralihan kepemimpinan di tingkat pemegang kuasa politik di
Indonesia. Usaha “uji coba” kurikulum ini melupakan subtansi dari tujuan
pendidikan yakni pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi hak setiap
warga negara. Pertanyaannya, bagaimanakah usaha menjawab kebutuhan pendidikan
ini sesuai dengan spirit kebutuhan daerah? Yang perlu diketahui bahwa otonomi
daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan ini dibangun atas dasar
filosofi bahwa masyarakat di setiap daerah merupakan fondasi yang kuat dalam
pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara nasional.
Sisi moralnya adalah bahwa orang-orang daerahlah
yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri.
Penyelenggaraan otonomi daerah semestinya mendorong terjadinya proses otonomi
pendidikan di tingkat daerah. Adanya Otonomi daerah dan otonomi penyelenggaraan
pendidikan daerah bertujuan agar pengelolaan dan menyelenggarakan pendidikan
lebih sesuai dengan konteks kebutuhan daerah yang bermutu dan adil.
Hasil dari otonomi pendidikan adalah out put yang
cerdas secara nasional dan arif dalam tingkatan lokal. Out put yang cerdas dan
arif ini secara umum akan membentuk tatanan kehidupan masyarakat yang lebih
baik, berhasil dan produktif sesuai dengan konteks dimana ia berada. Dan
melalui pendidikan yang mengerti lokalitas (yang sesuai dengan kebutuhan
daerah) menjadi satu-satunya media pembentuk masyarakat tamadun (beradap), yang
menjadikan manusia berada pada piramida tertinggi dalam pola relasi kehidupan
di dunia (khalifatullah fil Ardh) berguna dan bernilai sesuai dengan konteks
kedaerahan dan kebutuhan masyarakatnya.
Menurut pemikiran penulis, ada beberapa kebijakan yang
mesti terpenuhi dalam penyelenggaraan otonomi pendidikan, yaitu:
1.
Pemerintah
baik pusat/daerah, sebagai pengambil kebijakan pendidikan, sudah sepatutnya
menanggung biaya minimal pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah/madrasah
tingkat menengah dan lanjutan baik negeri maupun swasta yang diberikan secara
individual kepada siswa.
2.
Masyarakat
sebagai stakeholder pendidikan setempat semestinya berpartisipasi aktif dalam
perumusan kurikulum muatan lokal, yang akan membantu mendiagnosis
kebutuhan-kebutuhan pendidikan sesuai dengan konteks lokalitas.
3.
Sekolah-sekolah
baik negeri maupun swasta, hendaknya diberdayakan potensinya melalui bantuan
dan subsidi dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran siswa dan optimalisasi
daya tampung yang tersedia.
4.
Daerah-daerah
yang membutuhkan pembangunan gedung sekolah baru dan ruang kelas baru hendaknya
diprioritaskan untuk mendapatkan fasilitas tersebut.
5.
Memberikan
perhatian khusus bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, masyarakat
terpencil, kumuh dan masyarakat daerah yang sedang mengalami konflik dan
bencana alam; dengan memberikan beasiswa bantuan pendidikan kepada mereka.
6.
Penyebaran
guru secara merata dan adil ke seluruh wilayah
7.
Peningkatan
kualifikasi tenaga pendidik dan kependidikan
8.
Partisipasi
semua pihak untuk ikut serta menangani penuntasan kualitas pendidikan.
9.
Otonomi
daerah adalah kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk membangun dan
mengatur pendidikan sebaik dan sesuai dengan kebutuhan yang ada di daerah,
disesuaikan dengan potensi.
10.
Pemerintah
daerah sebagai pengambil kebijakan umum pendidikan harus memulainya dari adanya
political will yang kuat guna menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh
anak dan semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu sebagai
hak mereka. Peran ini bisa dilakukan melalui perumusan kebijakan umum,
pelayanan teknis, dan memonitor program secara regular akan kebutuhan
masyarakat yang terus.
11.
pemerintah
kabupaten/kota memiliki kewenangan yang lebih luas dalam membangun pendidikan
di masing-masing wilayah sejak dalam penyusunan rencana, penentuan prioritas
program serta mobilisasi sumberdaya untuk merealisasikan rencana yang telah
dirumuskan.
12.
otonomi
pendidikan telah pula dilaksanakan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah
yang memberikan wewenang yang lebih luas pada satuan pendidikan untuk mengelola
sumberdaya yang dimiliki termasuk mengalokasikannya sesuai dengan prioritas
kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
13.
Dana
dekonsentrasi telah mulai diberikan langsung kepada satuan pendidikan dalam
bentuk block grant yang diharapkan dapat
dikelola oleh setiap satuan pendidikan dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip
akuntabilitas, transparansi dan partisipatif.
14.
Penetapan
peran dan tanggungjawab yang lebih jelas masing-masing tingkat pemerintahan
perlu mendapat prioritas. Standar pelayanan minimal (SPM) perlu disusun untuk
menjadi acuan penyediaan layanan pendidikan pada setiap kabupaten/kota dengan
mengacu pada pedoman penyusunan SPM bagi provinsi yang tercantum dalam
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan
Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan
Menengah.
15.
Dalam
melaksanakan desentralisasi dan otonomi pendidikan, peran serta masyarakat
terus ditingkatkan. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 044/U/2002
tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah dikeluarkan sebagai landasan
hukum bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Dengan
menggunakan pendekatan sukarela (voluntarily basis) kabupaten/kota didorong
untuk membentuk dewan pendidikan yang dapat berperan sebagai (a) pemberi
pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di tingkat
kabupaten/kota; (b) pendukung baik secara finansial, pemikiran maupun tenaga
dalam penyelenggaraan pendidikan, (c) pengontrol dalam penerapan prinsip
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan pengeluaran pendidikan, dan
(d) mediator antara lembaga eksekutif, legislatif dan masyarakat dalam
pembangunan pendidikan.
16.
Peningkatan
partisipasi masyarakat yang dilaksanakan di bidang pendidikan telah
meningkatkan keterbukaan, akuntabilitas, dan efisiensi pembiayaan sebagai
bagian dari penerapan good governance bidang pendidikan. Oleh karena itu
partisipasi masyarakat perlu diperluas cakupannya sehingga masyarakat dapat
pula mengawasi pembangunan pendidikan baik dalam proses alokasi, pelaksanaan,
pelaporan dan pertanggungjawaban sesuai dengan kaidah-kaidah good governance.
Hal tersebut perlu diperkuat dengan tersusunnya berbagai kerangka peraturan (regulatory framework) yang mengatur
secara jelas dan terukur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
17.
Upaya
memberdayakan lembaga pendidikan menengah sebagai pusat pembudayaan nilai,
sikap dan kemampuan dilaksanakan melalui penerapan pendidikan kecakapan hidup (life skill education) yang ditujukan
untuk memfungsikan pendidikan dalam mengembangkan potensi manusiawi peserta
didik melaksanakan peranannya di masa datang. Kecakapan yang dikembangkan
meliputi antara lain mengenal diri, yang juga sering disebut kemampuan
personal, berfikir rasional, akademik, dan vokasional serta sosial. Melalui
pendidikan tersebut peserta didik diharapkan menjadi lebih beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjadi warga negara dan warga masyarakat yang
membangun, memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik, dan memiliki
kecakapan komunikasi dan empati sebagai dasar dalam menumbuhkan hubungan yang
harmonis dalam lingkungannya.
18.
Upaya peningkatan kecakapan vokasional atau
kejuruan peserta didik sehingga
lulusannya memiliki ketrampilan untuk bekerja. Dalam pelaksanaannya masih
dijumpai pendidikan kecakapan hidup yang terbatas pada ketrampilan vokasional
saja. Pelaksanaan konsep pendidikan kecakapan hidup perlu terus ditingkatkan
agar peserta didik benar-benar memperoleh kemampuan yang sesuai dengan masa
pertumbuhan dan kebutuhan untuk menjalani hidupnya sehari-hari.
BAB III
IMPLEMENTASI PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN
FORMAL MENENGAH
Langkah kebijakan penyelenggaraan pendidikan pada tahun 2010 diarahkan untuk:
(1) peningkatan perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dengan
mengutamakan upaya pencapaian target Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun
yang memberikan perhatian lebih besar pada kelompok miskin, penduduk yang
tinggal di daerah perdesaan, dan pada provinsi-provinsi atau kabupaten/kota dan
Kawasan Timur Indonesia yang memiliki partisipasi pendidikan dibawah rata-rata
nasional melalui antara lain penyediaan sarana dan prasarana pendidikan,
penyediaan berbagai pendidikan alternatif, beasiswa bagi masyarakat miskin, dan
bantuan biaya operasional pendidikan bagi sekolah miskin yang pelaksanaannya
tetap memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dan dengan melibatkan
partisipasi aktif masyarakat; (2) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan
yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat melalui antara lain peningkatan
kualitas dan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, penyediaan
sarana penunjang mutu pendidikan seperti buku dan peralatan pendidikan,
penyusunan standar pelayanan minimal sampai tingkat kabupaten/kota, reposisi
pendidikan kejuruan, penyempurnaan materi bahan ajar yang responsif gender; (3)
melanjutkan pembaharuan sistem pendidikan melalui antara lain pengembangan
kurikulum yang dapat melayani keberagaman peserta didik dan menjawab
diversifikasi jenis pendidikan secara profesional; (4) optimalisasi
desentralisasi dan otonomi pendidikan yang didukung dengan peningkatan
partisipasi aktif masyarakat antara lain melalui penerapan manajemen berbasis sekolah
dan pendidikan berbasis masyarakat serta melanjutkan pembentukan dewan
pendidikan dan komite sekolah Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan:
umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Pendidikan
nasional mempunyai misi sebagai berikut :
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. Membantu
dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini
sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. Meningkatkan
kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan
pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. Meningkatkan keprofesionalan dan
akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan
global;
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Jakarta : Durat Bahagia, 2003)
5. Memberdayakan
peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip
otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan visi dan misi pendidikan
nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Manusia Indonesia yang
ingin dibentuk tergambar dalam tujuan pendidikan nasional yang tercantum pada
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yakni ada delapan aspek penting dari pendidikan
nasional tersebut, yaitu :
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2. Berakhlak mulia
3. Sehat
4. Berilmu
5. Cakap
6.Kreatif
7.Mandiri
8. Menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Adapun strategi pembangunan pendidikan nasional
disebutkan dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang meliputi :
1. Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak
mulia;
2. Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis
kompetensi;
3. Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
4. Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi
pendidikan yang memberdayakan; 6
5. Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga
kependidikan;
6. Penyediaan sarana belajar yang mendidik
7.Pembiayaan pendidikan yang
sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
8.Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan
merata;
9.Pelaksanaan wajib belajar;
10.Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
11.Pemberdayaan peran masyarakat;
12.Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat;
dan
13.Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan
nasional.
A. Implementasi Strategis Pendidikan Nasional
Implementasi dari misi pendidikan nasional adalah tersedia
dan terjangkaunya layanan pendidikan menengah yang bermutu, relevan dan
berkesetaraan di semua provinsi, kabupaten dan kota, dicapai dengan menggunakan
strategi sebagai berikut.
1. Penyediaan
pendidik pendidikan menengah berkompeten yang merata di seluruh provinsi,
kabupaten, dan kota yang meliputi pemenuhan guru SMA/SMLB/SMK serta tutor Paket
C berkompeten;
2. Penyediaan manajemen SMA/SMLB/SMK serta Paket
C berkompeten yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota yang
meliputi pemenuhan kepala satuan pendidikan, pengawas, dan tenaga administrasi;
3.
Penyediaan dan pengembangan sistem pembelajaran, data dan informasi berbasis
riset, dan standar mutu pendidikan menengah, serta keterlaksanaan akreditasi
pendidikan menengah;
4.
Penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan sistem
pembelajaran SMA berkualitas yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan
kota;
5.
Penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan sistem
pembelajaran SMK berkualitas yang berbasis keunggulan lokal dan relevan dengan
kebutuhan daerah yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota;
6.
Penyediaan subsidi untuk meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan
SMA/SMLB/SMK berkualitas yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota;
7. Penyediaan subsidi
pembiayaan untuk penerapan sistem pembelajaran Paket C berkualitas yang merata
di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota.
Dalam melaksanakan program ini,
digunakan strategi sebagai berikut.
(1) Penyediaan dan peningkatan
sarana dan prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran SMA bermutu yang merata di
seluruh provinsi, kabupaten, dan kota
(2) Penyediaan dan peningkatan
sarana dan prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran SMK bermutu yang
berbasis keunggulan lokal dan relevan dengan kebutuhan daerah yang merata di
seluruh provinsi, kabupaten, dan kota
(3) Penyediaan
subsidi untuk meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan SMA/SMLB/SMK
bermutu yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota
Program ini dilakukan untuk
mendukung tujuan tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan menengah yang
bermutu, relevan, dan berkesetaraan di semua provinsi, Program
pendidikan menengah yang mencakup SMU, SMK dan MA ditujukan untuk (1)
memperluas jangkauan dan daya tampung SMU, SMK dan MA bagi seluruh masyarakat;
(2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok
yang kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dan
perkotaan kumuh, daerah bermasalah, masyarakat miskin, dan anak yang
berkelainan; (3) meningkatkan kualitas pendidikan menengah sebagai landasan
bagi peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi dan kebutuhan dunia kerja; (4) meningkatkan efisiensi pemanfaatan
sumberdaya pendidikan yang tersedia; (5) meningkatkan keadilan dalam pembiayaan
dengan dana publik; (6) meningkatkan efektivitas pendidikan sesuai dengan
kebutuhan kondisi setempat; (7) meningkatkan kinerja personel dan lembaga
pendidikan; (8) meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mendukung program
pendidikan; dan (9) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan
pendidikan.
B. Implementasi
Penyelenggagaraan Pendidikan Menengah pada Pemerintah Provinsi
1. Mengalokasikan
anggaran pendidikan 40 % agar sistem pendidikan nasional di provinsi yang
bersangkutan dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel sesuai
dengan kebijakan daerah bidang pendidikan.
2. Pemerintah provinsi mengarahkan, membimbing, menyupervisi,
mengawasi, mengoordinasi, memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan
penyelenggara,
satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan di
provinsi yang bersangkutan sesuai kebijakan daerah bidang pendidikan
3. Gubernur menetapkan
target tingkat partisipasi pendidikan pada jenjang menengah dan jenis pendidikan
yang harus dicapai pada tingkat provinsi.
4. Target tingkat
partisipasi pendidikan sebagaimana pemerintah provinsi mengutamakan perluasan
dan pemerataan akses pendidikan melalui jalur pendidikan formal.
5. Gubernur menetapkan
target tingkat pemerataan partisipasi pendidikan pada tingkat provinsi yang meliputi:
a. antarkabupaten; b. antarkota; c. antara kabupaten dan
kota; dan d. antara laki-laki
dan perempuan.
6. Gubernur menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta
didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya
tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, dan/atau
peserta didik di daerah khusus.
7. Gubernur
melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang pendidikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Pemerintah provinsi melakukan dan/atau memfasilitasi
penjaminan mutu pendidikan di daerahnya dengan berpedoman pada kebijakan nasional
pendidikan dan Standar Nasional Pendidikan.
9. Dalam
melaksanakan tugasnya sebagaimana pemerintah provinsi berkoordinasi dengan unit
pelaksana teknis pemerintah yang melaksanakan tugas penjaminan mutu pendidikan.
10.Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sebagaimana
dimaksud pemerintah provinsi mengoordinasikan dan memfasilitasi: a. akreditasi
program pendidikan; b. akreditasi satuan pendidikan; c. sertifikasi kompetensi peserta didik; d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.
11. Pemerintah provinsi menyelenggarakan,
mengakui,memfasilitasi, membina, dan melindungi program dan/atau satuan
pendidikan bertaraf internasional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
12. Pemerintah provinsi menyelenggarakan,
mengakui,memfasilitasi, membina, dan melindungi program dan/atau satuan
pendidikan yang sudah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan untuk
dirintis dan dikembangkan menjadi bertaraf internasional sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
13. Pemerintah provinsi memfasilitasi akreditasi internasional
program dan/atau satuan pendidikan
14. Pemerintah provinsi memfasilitasi sertifikasi internasional
pada program dan/atau satuan pendidikan
15. Pemerintah provinsi melakukan pembinaan berkelanjutan
kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk mencapai prestasi puncak di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau
olahraga pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, nasional,
dan internasional.
16. Untuk
menumbuhkan iklim kompetitif yang kondusif bagi pencapaian prestasi puncak pemerintah
provinsi menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi secara teratur dan berjenjang
kompetisi di bidang: a. ilmu
pengetahuan; b. teknologi; c. seni; dan/atau d. olahraga.
17. Pemerintah provinsi memberikan penghargaan kepada
peserta didik yang meraih prestasi puncak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
18. Gubernur menetapkan kebijakan tata kelola
pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas pengelolaan
pendidikan yang merupakan pedoman bagi: a. Semua jajaran pemerintah provinsi; b. Pemerintah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; c. Penyelenggara pendidikan yang didirikan
masyarakat di provinsi yang bersangkutan; d. Satuan atau program pendidikan di
provinsi yang bersangkutan; e. Dewan pendidikan di provinsi yang bersangkutan; f.
Komite sekolah atau nama lain yang sejenis di provinsi yang bersangkutan; g. Peserta didik di provinsi yang bersangkutan;
h. Orang tua/wali peserta didik di provinsi yang bersangkutan; i. Pendidik dan
tenaga kependidikan di provinsi yang bersangkutan; j. Masyarakat di provinsi
yang bersangkutan; dan k. pihak lain yang terkait dengan pendidikan di provinsi
19. Dalam menyelenggarakan dan mengelola sistem pendidikan
nasional di daerah, pemerintah provinsi mengembangkan dan melaksanakan sistem informasi
pendidikan provinsi berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
20. Memberikan
akses informasi administrasi pendidikan dan akses sumber pembelajaran kepada
satuan pendidikan pada semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan sesuai
kewenangan pemerintah provinsi
C. Implementasi Penyelenggaraan Pendidikan Menengah Terpadu di tingkat
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut akan
dilakukan berbagai kegiatan pokok yang dikelompokkan dalam 3 pokok kegiatan
yaitu:
(1) Upaya peningkatan
sistem pengelolaan terutama dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan;
(2) Upaya
peningkatan perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan;
(3) Upaya
peningkatan mutu pendidikan.
1. Upaya peningkatan sistem pengelolaan terutama
dalam pelaksanaan otonomi pendidikan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pokok
sebagai berikut:
a. Pemerintah Pusat dan Provinsi:
(1) Menyempurnakan konsep manajemen berbasis
sekolah dan masyarakat;
(2) Melanjutkan
sosialisasi, diseminasi, perintisan manajemen berbasis sekolah dan pendidikan
berbasis masyarakat;
(3)Merumuskan beberapa
alternatif upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan fasilitas pendidikan pada
jenjang pendidikan menengah;
(4) Melanjutkan upaya peningkatan kapasitas
pengelola pendidikan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota;
(5) Membentuk jaringan
komunikasi antar guru tingkat provinsi, nasional dan internasional sebagai
wahana tukar menukar informasi mengenai praktik-praktik terbaik proses
pembelajaran;
(6) Melanjutkan reorganisasi
dan restrukturisasi sistem penyelenggaraan sekolah luar biasa jenjang
pendidikan menengah;
(7) Melakukan advokasi dalam
rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan
termasuk dalam penyediaan fasilitas pelayanan pendidikan;
(8) Menyiapkan naskah
akademik dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan pendidikan menengah untuk
pelaksanaan UUSPN;
(9) Merumuskan peraturan
perundangan yang memudahkan dan meningkatkan efisiensi pembiayaan pembangunan
pendidikan yang melibatkan peran serta masyarakat;
(10) Menyusun sistem
pembiayaan pendidikan yang berkeadilan pada jenjang pendidikan menengah dengan
menerapkan sistem penghargaan dengan mempertimbangkan kemampuan fiskal daerah
dan kinerja bidang pendidikan;
(11) Penyempurnaan konsep
monitoring dan evaluasi pemanfaatan dana perbantuan untuk kabupaten/kota; dan
(12) Meningkatkan
pengawasan dan akuntabilitas kinerja Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan
pendidikan pada jenjang pendidikan menengah.
b. Kabupaten/Kota:
(1) Mengembangkan
organisasi pendidikan yang terintegrasi di kabupaten/kota untuk memperkuat
partisipasi masyarakat serta kerjasama dan koordinasi antar jenis dan jalur
pendidikan pada jenjang pendidikan menengah;
(2) Memperluas
pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dan
pendidikan berbasis masyarakat untuk jenjang
pendidikan menengah;
(3) Melanjutkan
upaya peningkatan partisipasi masyarakat.
(4) Upaya peningkatan mutu
pendidikan. masyarakat serta kerjasama dan koordinasi antar jenis dan jalur
pendidikan pada jenjang pendidikan menengah;
2. Upaya peningkatan perluasan dan pemerataan
pelayanan pendidikan
dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pokok sebagai berikut:
a. Pemerintah Pusat dan Provinsi:
(1) Memberikan dana perbantuan berbentuk hibah (block grant) kepada Kabupaten/Kota yang
ditujukan untuk meningkatkan partisipasi pendidikan baik penduduk laki-laki
maupun perempuan pada jenjang pendidikan menengah.
(2) Melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas bantuan yang diberikan untuk
peningkatan partisipasi pendidikan baik di tingkat kabupaten/kota, maupun
provinsi dan nasional.
b. Kabupaten/Kota:
(1)
Menambah ruang kelas baru dan unit sekolah/madrasah baru baik negeri maupun
swasta termasuk penyediaan guru secara selektif terutama di daerah-daerah
dengan jumlah penduduk usia jenjang pendidikan menengah yang masih banyak yang
belum tertampung;
(2)
Memperbaiki, merehabilitasi, dan merevitalisasi fasilitas pendidikan pada
jenjang pendidikan menengah
(3)
Menyelenggarakan pendidikan layanan khusus bagi peserta didik di daerah /atau
mengalami bencana alam dan bencana sosial sesuai dengan kondisi dan situasi
daerah;
(4)
Menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak-anak yang memiliki keunggulan dan
yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran khususnya yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau intelektual;
(5)
Melanjutkan program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu termasuk
beasiswa untuk menarik anak usia jenjang pendidikan menengah yang berada di
luar sistem sekolah baik yang belum bersekolah maupun yang putus sekolah dengan
tetap memberi perhatian pada keadilan dan kesetaraan gender;
(6)
Melakukan advokasi dan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat
tentang pentingnya pendidikan menengah;
(7)
Melanjutkan pemberian dana imbal swadaya bagi sekolah-sekolah negeri dan swasta
agar mampu berkembang dan mandiri; dan
(8)
Melaksanakan kegiatan lainnya sesuai peraturan yang berlaku untuk pendidikan menengah diluar wewenang Pusat dan
Provinsi.
3. Upaya
peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan pokok sebagai berikut:
a. Pemerintah Pusat dan Provinsi:
(1) Menata pelaksanaan kurikulum nasional
pendidikan menengah yang sesuai dengan kebutuhan nasional
(2) Melaksanakan
sosialisasi, asistensi dan evaluasi pelaksanaan kurikulum
(3) Melanjutkan penyusunan standar kompetensi
nasional berdasarkan bidang keahlian
(4) Penyempurnaan konsep reengineering
pendidikan kejuruan
(5) Melanjutkan penyempurnaan konsep pembelajaran
moral, keimanan dan ketaqwaan, budi pekerti, bahasa sastra dan pendidikan
lingkungan sesuai dengan kondisi setempat
(6) Melaksanakan bimbingan teknis penyusunan
standar pelayanan minimal jenjang pendidikan menengah untuk tingkat
kabupaten/kota
(7)
Menyempurnakan sistem penilaian
hasil akhir belajar siswa
(8) Melanjutkan penyusunan sistem sertifikasi
guru
(9)
Melanjutkan penyusunan sistem
penghargaan guru
(10) Menyelenggarakan pelatihan guru
jenjang pendidikan menengah di tingkat provinsi
(11)
Menyempurnakan standar kompetensi tenaga kependidikan jenjang pendidikan
menengah
(12) Menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan bagi tenagadan kepemimpinan
(13) Menyusun
sistem penilaian kinerja sekolah/madrasah
(14) Memberikan dana perbantuan dalam bentuk hibah
(block grant) yang ditujukan untuk peningkatan mutu pendidikan jenjang
pendidikan menengah, dan pelaksanaannya diutamakan dalam bentuk imbal swadaya
(15) Menyempurnakan
standar sistem pengujian, penilaian dan kelulusan;
(16) Menyempurnakan standar kompetensi dasar setiap
mata pelajaran pada jenjang pendidikan
menengah;
(17) Mengembangkan dan menyempurnakan
konsep pendidikan kecakapan hidup termasuk keterampilan vokasional bagi siswa
yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi;
(18) Melakukan
sosialisasi, asistensi dan evaluasi pelaksanaan kurikulum;
(19) Melaksanakan pengembangan
sekolah/madrasah model yang terstandar
(20) Melaksanakan promosi minat keilmuan
serta meningkatkan kreatifitas dan inovasi bagi guru melalui pelaksanaan
berbagai simposium, workshop, lomba dan pelatihan guru
(21) Menumbuhkan
minat siswa pada ilmu pengetahuan dan penelitian
(22) Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
berbagai kegiatan di atas berdasarkan indikator-indikator kualitas pendidikan.
b. Kabupaten/Kota:
(1) Melaksanakan reengineering dan
menyelenggarakan program studi daerah
setempat; Pemerintah Pusat dan Provinsi:
(2) Menata pelaksanaan kurikulum nasional pendidikan
menengah yang sesuai dengan kebutuhan nasional;
(3) Melaksanakan sosialisasi, asistensi
dan evaluasi pelaksanaan kurikulum;
(4) Melanjutkan penyusunan standar
kompetensi nasional berdasarkan bidang keahlian;
(5) Penyempurnaan
konsep reengineering pendidikan kejuruan;
(6) Melanjutkan penyempurnaan konsep
pembelajaran moral, keimanan dan ketaqwaan, budi pekerti, bahasa sastra dan
pendidikan lingkungan sesuai dengan kondisi setempat;
(7) Melaksanakan bimbingan teknis
penyusunan standar pelayanan minimal jenjang pendidikan menengah untuk tingkat
kabupaten/kota;
(8) Menyempurnakan sistem penilaian hasil akhir
belajar siswa;
(9) Melanjutkan
penyusunan sistem sertifikasi guru;
(10)
Melanjutkan penyusunan sistem
penghargaan guru;
(11)
Menyelenggarakan pelatihan guru jenjang pendidikan menengah di tingkat
provinsi;
(12) Menyempurnakan standar kompetensi
tenaga kependidikan jenjang pendidikan
menengah;
(13)
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kependidikan non guru
untuk bidang-bidang manajerial perencanaan dan kepemimpinan;
(14) Menyusun sistem penilaian kinerja
sekolah/madrasah;
(15) Memberikan dana perbantuan dalam bentuk hibah
(block grant) yang ditujukan untuk peningkatan mutu pendidikan jenjang
pendidikan menengah, dan pelaksanaannya diutamakan dalam bentuk imbal swadaya;
(16) Menyempurnakan standar sistem pengujian, penilaian
dan kelulusan;
(17) Menyempurnakan standar kompetensi dasar setiap
mata pelajaran pada jenjang pendidikan menengah;
(18) Mengembangkan dan menyempurnakan
konsep pendidikan kecakapan hidup termasuk keterampilan vokasional bagi siswa
yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi;
(19) Melakukan sosialisasi, asistensi dan evaluasi
pelaksanaan kurikulum;
(20) Melaksanakan pengembangan sekolah/madrasah
model yang terstandar;
(21) Melaksanakan promosi minat keilmuan
serta meningkatkan kreatifitas dan inovasi bagi guru melalui pelaksanaan
berbagai simposium, workshop, lomba dan pelatihan guru.
(22) Menumbuhkan minat siswa pada ilmu pengetahuan
dan penelitian
(23) Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
berbagai kegiatan di atas berdasarkan indikator-indikator kualitas pendidikan. Antara
lain:
(a) Optimalisasi dan mobilisai potensi SDM iptek
dalam melaksanakan kegiatan litbang, (b) peningkatan kualitas dan kuantitas SDM
iptek, dan (c) melakukan pelatihan bagi SDM iptek. Dalam rangka memperkuat kompetensi
inti lembaga riset, ilmu pengetahuan dan teknologi (riptek), dilakukan kegiatan
pokok: (a) penyusunan peta potensi dan kemampuan pusat-pusat penelitian dan
pengembangan, (b) peningkatan jumlah kerjasama lembaga riptek dengan departemen
teknis, dunia usaha, dan lembaga riset luar negeri, serta (c) mendorong
kegiatan yang memanfaatkan sarana dan prasarana iptek secara optima
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penyelenggaraan pendidikan menengah mengacu
pada sistem pendidikan nasional dan kajian empirik, ilmiah akan memberikan
model konsep yang relevan dan ideal, dengan orientasi utama penyelenggaraan
pendidikan menengah yang otonom dan efektif.
2. Pendidikan menengah merupakan bentuk
minimal dari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang harus terus
dikembangkan secara konseptual, strategi dan pengembangan implementasi pada
satuan pendidikan. Oleh sebab itu sangat diperlukan keterlibatan berbagai pihak
yang kompeten untuk mewujudkan hal tersebut.
3. Melalui Tiga Pilar Pembangunan: a). Pemerataan dan perluasan akses
pendidikan; b). Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran
pendidikan; dan c). Peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik
pengelolaan pendidikan. Upaya peningkatan perluasan dan pemerataan pendidikan
harus memperhatikan keragaman yang ada sehingga intervensi yang dilakukan
benar-benar dapat meningkatkan partisipasi pendidikan secara adil terutama bagi
kelompok penduduk yang saat ini partisipasi pendidikannya masih rendah.
B. Saran
1. Pemerintah daerah sebagai
pengambil kebijakan umum pendidikan harus memulainya dari adanya political
will yang kuat guna menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh lapisan
masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu sebagai hak mereka. Peran ini
bisa dilakukan melalui perumusan kebijakan umum, pelayanan teknis, dan
memonitor program secara regular akan kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang.
2. Perlu upaya riil peran serta masyarakat
secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan pendidikan menengah,
dapat dilakukan oleh individu, keluarga, kelompok profesi, lembaga sosial,
budaya dan keagamaan, serta sektor swasta yang meliputi dunia usaha dan
industri yang merupakan perwujudan tanggung jawab serta hak masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Andy Rames dan La Bakry. Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Jakarta: Gramedia, 2005.
Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: 2003.
Departemen Pendidikan Nasional. Peraturan
Penmerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: 2005.
Departemen Pendidikan Nasional. Peraturan
Mendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, Jakarta: 2006.
Departemen Pendidikan Nasional. Peraturan
Mendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang SKL, Jakarta: 2006.
Departemen Pendidikan Nasional. Peraturan
Mendiknas nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian, Jakarta: 2007.
Muhaimin. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan,
Jakarta : Prenada Media, 2004.
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional 2006.
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.17,2010. Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan, Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2010
Rosyada, Dede. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo,
2005.
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007.
Undang-Undang Otonomi
Daerah No.32 tahun 2004, Tentang
Pemerintahan Daerah. Jakarta: Fokus Media. 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar