Rabu, 17 Juli 2013

GAGASAN TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MEMBANGUN BUDAYA DAN PERADABAN BANGSA (Telah atas Filsafat Pendidikan Ibn Khaldun)*



Oleh: Dalmeri**

Abstrak
Ibn Khaldun menempatkan agama sebagai daya pemersatu dan sumber kekuatan dalam kehidupan sosial yang hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Agama menjadi fondasi dalam membangun budaya dan peradaban bangsa atau kerajaan, sebab agama mempersatukan dan membuat kehidupan sosial menjadi lebih dinamis, serta membuat bangsa tak terkalahkan. Tanpa agama, suatu kelompok hanya mempunyai persatuan alamiah melalui rasa solidaritas kelompok yang menyebabkan setiap stakeholdernya bertindak bersama guna mencapai keunggulan. Pendidikan karakter yang didasarkan pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran agama akan berpengaruh dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik serta membangun budaya dan peradaban suatu bangsa. Fungsi agama dalam kehidupan manusia sangat besar dan bervariasi. Agama tidak hanya dipakai oleh manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang sifatnya sesuai dengan ajaran-ajaran dari agama yang bersangkutan sehingga menjadi kehidupan manusia lebih beradab, dan agama tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur dari ajaran agama itu sendiri, sebab hal itu akan menghancurkan peradaban manusia. Tulisan ini berupaya untuk menganalisis gagasan pendidikan karakter untuk membangun budaya dan peradaban bangsa sebuah telaah terhadap filsafat pendidikan Ibn Khaldun.

Kata-kata Kunci: Pendidikan karakter, agama, budaya, filsafat pendidikan.

A.  Pendahuluan

Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter inipun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Undang Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan hal ini, maka pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun ruhani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun agar peradaban suatu bangsa dapat ditegakkan. Peradaban dan budaya suatu bangsa Indonesia memiliki ciri tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan juga mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata.
Didin Hafidhuddin dalam Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Agama mengemukakan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah usaha dan upaya bersama yang dilakukan secara sadar, serius, dan sungguh-sungguh dalam rangka membangun watak dan karakter peserta didik secara komprehensif.[1] Selaras dengan hal ini Konfrensi internasional pertama tentang pendidikan Islam di Mekkah yang diadakan pada tahun 1977 memberikan rekomendasi bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah:
Education should aim at the balanced growth of the total personality of man, through the training of man’s spirit, intellect the rational itself, feelings and bodily senses ..... both individually and collectively and motivate all these aspect toward goodness and attainment of perfection ….. these at complete submission to Allah on the level of the individual, community at large ……,[2] (Pendidikan karakter akan menumbuhkan kepribadian manusia secara totalitas mencakup seperti semangat, kecerdasan, perasaan dan sebagainya, baik dalam kehidupan pribadinya, masyarakatnya untuk melakukan kebaikan dan kesempurnaan, serta dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT, melalui tindakan pribadi, masyarakat, maupun kemanusiaan secara luas).

Dengan demikian, pendidikan karakter itu berdasarkan pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran agama. Fungsi agama dalam kehidupan manusia sangat besar dan bervariasi. Agama tidak hanya dipakai oleh manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang sifatnya sesuai dengan ajaran-ajaran dari agama yang bersangkutan, tetapi juga sering dipergunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan agama itu sendiri.
Pemakaian agama sebagai alat legitimasi biasanya muncul pada bangsa-bangsa yang tidak homogen secara agama. Gejala seperti ini akan muncul ke permukaan apabila kepercayaan-kepercayaan yang berbeda mengenai realitas yang tertinggi (ultimate) masuk ke dalam arena politik, mereka mulai bertikai dan makin jauh dari sikap kompromi. Berdasarkan kenyataan ini ada kecenderungan pada masyarakat modern yang secular, seperti di negeri-negeri Barat untuk memisahkan agama dari kehidupan, kendati di beberapa tempat lainnya diakui pula adanya pemikiran-pemikiran, praktik-praktik, dan pranata-pranata keagamaan tetap merupakan pusat kehidupan.[3]
Dari aspek ilmu-ilmu sosial, fenomena agama dalam konteks sosial politik memiliki keterkaitan dengan kekuasaan serta legitiasi dalam wacana politik, kenyataan ini bisa disebut sebagai realitas interaksi agama melalui pendidikan karakter dalam kehidupan sosial maupun politik. Wacana mengenai hal ini merupakan isu yang sarat kontroversi baik di kalangan para pemikir Barat maupun pemikir Muslim, lebih-lebih lagi ketika isu tersebut masuk dalam kehidupan masyarakat empirik. Di dunia intelektual Muslim wacana ini secara konfrehensif pernah dikemukakan oleh ‘Abd ar-Rahman Ibn Khaldun.[4]
Ibn Khaldun menempatkan agama sebagai daya pemersatu yang akan membentuk karakter manuisa, serta sumber kekuatan kehidupan sosial maupun politik. Baginya agama lebih merupakan landasan pembangunan budaya dan peradaban bangsa dan kerajaan, sebab ia mempersatukan semua stakeholder dalam kehidupan sosial dan membuat bangsa tak terkalahkan.[5] Tanpa agama, suatu kelompok hanya mempunyai persatuan alamiah melalui rasa kelompok yang menyebabkan setiap anggotanya bertindak bersama guna mencapai keunggulan. Berkaitan dengan hal ini, Ibn Khaldun mengemukakan:
Warna keagamaan benar-benar menjauhkan rasa saling cemburu dari iri hati di antara bangsa yang mempunyai rasa kelompok yang sama, dan menyebabkan mereka menyatu dalam kebenaran. Di satu pihak, bila seke-lompok orang yang memiliki satu warna keagamaan dapat mencapai satu pendapat yang benar dalam menghadapi segala persoalan, tak seorang pun dapat menahan mereka. Sebab sudut pandang mereka satu dan tujuan mereka pun merupakan kesepakatan bersama, mereka rela mati untuk tujuan-tujuannya. Di lain pihak, anggota dinasti yang mereka serang mungkin lebih banyak dari jumlahnya. Namun, golongan tersebut mempunyai tujuan-tujuan yang berbeda. Mereka mempunyai tujuan-tujuan yang sesat dan bercerai-berai, lantaran takut mati. Karena itu, perlawanan mereka tidak berarti bagi orang yang memiliki warna keagamaan, sekaligus jumlah mereka lebih besar. Mereka dikuasai kelompok kecil yang memiliki warna keagamaan itu, dan dalam tempo singkat disapu habis, hingga lenyap.[6]

Jadi, pendidikan karakter merupakan suatu keniscayaan yang sudah lama menjadi problem di kalangan pemikir Islam seperti Ibn Khaldun. Bagi seorang Muslim, pemisahan antara agama dari kehidupan sosial terutama dalam dunia pendidikan sejak awal tidak dikenal, karena agama secara langsung memasuki dan mengatur berbagai aspek kehidupan sosial manusia. Bagaimana konsep pendidikan karakter yang dapat membangun budaya dan peradaban bangsa? Tulisan ini berupaya untuk menganalisis gagasan pendidikan karakter untuk membangun budaya dan peradaban bangsa dalam perspektif filsafat pendidikan Ibn Khaldun.

B.  Sketsa tentang Kehidupan Ibn Khaldun
Ibn Khaldun lahir pada tanggal 27 Mei 1332 M. atau 1 Ramadhan 723 H. di Tunisia.[7] Dia berasal dari sebuah keluarga yang terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan maupun politik.[8] Pendidikan pertama diperoleh dari bapaknya, kemudian ia dikirim orang tuanya untuk belajar ilmu hadis kepada Syam ad-Din Abu ‘Abd Allah al-Wadiyasyi (1274-1348 M./665-739 M.) dan mendalami ilmu fiqh kepada beberapa ahli fiqh (fuqaha’) terkemuka seperti Muhammad Ibn ‘Abd as-Salam al-Hawwari (1278-1349 M./669-738 H.) dan Abu Muhammad Ibn ‘Abd al-Muhaimin al-Hadhrami (1277-1349 M./668-738 H.). Di samping itu, Ibn Khaldun juga mempelajari ilmu-ilmu yang bernuansa filosofis, misalnya teologi, logika (mantiq), ilmu-ilmu kealaman, matematika dan astronomi kepada Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn Ibrahim al-Abili (1282-1356 M./673-745 H.) seorang ulama yang sangat menguasai ilmu filsafat dan ilmu-ilmu rasional yang begitu dikagumi Ibn Khaldun.[9]
Pada usia yang masih relatif muda, sekitar 18 tahun, Ibn Khaldun telah menguasai beberapa disiplin ilmu keislaman yang klasik, termasuk ilmu-ilmu rasional yang bernuansa kefilsafatan. Meski demikian, semua ini tidak membuat dia puas dan berusaha untuk memperluas wawasannya dengan mempelajari disiplin ilmu lain seperti ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi dan lain sebagainya.[10] Dengan kapasitas intelektual yang dimilikinya inilah menyebabkan dia mempunyai perdekatan yang berbeda ketika menganalisa gejala sosial yang terjadi pada manusia dan masyarakat yang akan memunculkan ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis.[11] Pada aspek inilah letak kelebihan dan sekaligus kekurangan Ibn Khaldun. Pengetahuannya yang luas dan bercorak ensiklopedis, namun demikian, dalam sejarah ia tidak dikenal sebagai orang yang menguasai suatu bidang disiplin ilmu.
Memasuki usianya yang ke-20 tahun, Ibn Khaldun menghentikan kegiatan studinya dan ikut aktif dalam kehidupan politik yang penuh dengan pergolakan yang mewarnai kawasan Barat Muslim termasuk Tunisia tempat kelahirannya, yang berujung pada hancurnya Dinasti al-Muwahhidun (akhir abad VII H.) serta berdirinya beberapa dinasti-dinasti kecil. Di Tunisia terdapat Dinasti Bani Hafs (1228-1574 M./619-965 H.), di Tlemcen dan Barbaria Tengah (Aljazair sekarang) berdiri Dinasti Bani ‘Abd al-Wad, di Fez dan Maroko terdapat Dinasti Bani Marin (1269-1420 M./660-811 H.). Di antara ketiga dinasti tersebut, Dinasti Bani Marin merupakan dinasti yang paling kuat. Wilayah kekuasaannya semakin bertambah luas dari waktu ke waktu, terutama ketika dinasti itu diperintah oleh Sultan Abu al-Hasan yang berkuasa di Fez pada tahun 1330 M./731 H. Pada masa kekuasaan-nya ia menyerang kota-kota sekitar Gibraltar dan merampasnya dari penguasa Kristen di tahun 1346 M./743 H. Kemudian ia memperluas kekuasaannya ke arah Timur dengan menduduki Tlemcen dan seluruh Barbaria Tengah pada tahun 1346 M./747 H. yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Dinasti Bani ‘Abd al-Wad. Kemudian tahun 1347 M./748 H. Sultan Abu al-Hasan berhasil menguasai Tunisia setelah merebutnya dari kekuasaan Bani Hafs.[12] Dalam suasana pertarungan politik itulah wilayah sekitar Afrika Utara diserang oleh wabah penyakit menular yang melanda seluruh dunia Islam dari Samarkand sampai ke Mauritania. Wabah penyakit itu tidak hanya melanda kawasan Timur melainkan juga sampai ke Italia dan sebagian besar wilayah Eropa termasuk Spanyol. Dalam bencana tersebut Ibn Khaldun kehilangan kedua orang tua dan saudaranya, demikian pula guru-gurunya, serta sebagian besar penduduk Tunisia menjadi korban.[13]
Setelah berjangkitnya wabah penyakit menular tersebut, Sultan Abu al-Hasan meninggalkan kota Tunisia pada tahun 1349 M./750 H. dengan sejumlah penduduk, para ulama dan para sastrawan menuju kota Fez di Maroko untuk menyelamatkan diri.[14] Kendati demikian, dia tetap melakukan berbagai penaklukan untuk memperluas kekuasaan Bani Marin. Pada saat itu wilayah kekuasaan dinasti ini sudah meliputi Maroko, Barbaria Tengah dan Tunisia. Dengan begitu Dinasti Bani Marin telah berhasil melenyapkan Dinasti Bani Hafs dan Dinasti Bani al-Wad.
Peristiwa yang sangat menyeramkan ini ternyata berimplikasi pada terhentinya semua kegiatan yang berhubungan dengan pendidikannya. Dengan perasaan yang sangat menyedihkan karena kehilangan orang-orang yang begitu dicintai dan dihormatinya, tidak memungkinkan baginya untuk melanjutkan studinya sebagaimana ketika orang tuanya masih hidup. Kondisi inilah yang merubah jalan hidupnya untuk beralih kepada aktivitas politik.
Dengan demikian, Ibn Khaldun sudah mulai menancapkan niatnya untuk mengikuti jejak leluhurnya yang sebagian besar berkiprah dalam dunia politik. Meski demikian, kiprahnya sebagai tokoh politik member inspirasi baginya untuk meletakan konsep sosial sebagai dasar pemikirannya di bidang filsafat yang membuat ia dikenal sebagai filosof dan juga sebagai seorang sosiolog yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan. Abuddin Nata dalam Filsafat Pendidikan Islam menyatakan bahwa perhatian Ibn Khaldun terhadap pendidikan terlihat dari pengalamannya sebagai yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.[15]

C.  Konsep Dasar dan Tujuan Pendidikan Karakter Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun melihat manusia sebagai seorang Muslim dan telah mempunyai dasar untuk pemhaman tentang ajaran Islam yang akan membentuk karakternya, karena itu konsepnya tentang kemanusiaan merupakan hasil dari derivikasi upaya intelektulanya untuk membuktikan dan memahami asumsi yang terdapat dalam Al-Quran melalui gejala dan aktivitas kemanusiaan.[16] Ibn Khaldun memandang bahwa Allah SWT telah membedakan manusia dengan binatang karena kemampuannya untuk berpikir. Binatang hanya bertindak berdasarkan insting, persepsinya berpencar-pencar,[17] sedangkan manusia mampu menentukan suatu rentetan kausal secara teratur dan dapat mengatur tindakan-tindakannya secara tertib.[18]
Ibn Khaldun menjelaskan bahwa kemampuan berpikir yang dimiliki manusia baru merupakan potensi akan menjadi aktual setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan di dalam dirinya, dimulai dari kemampuan membedakan (tamyiz). Pencapaian setelah itu didapat oleh manusia adalah akibat dari persepsi sensual dan kemampuan berpikirnya. Pikiran dan pandangannya manusia dicurahkan untuk mencari hakikat kebenaran. Karena itu, manusia juga akan memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang bermanfaat bagi essensi dan eksistensinya. Akhirnya, upaya mencari pengetahuan tentang hakikat sesuatu menjadi suatu kebiasaan dalam dirinya, kebiasaan itu disebut oleh Ibn Khaldun sebagai Malakah.
Khazanah ilmu pengetahuan timbul melalui malakah karena dengannya manusia mampu mengenali gejala dan hakikat segala sesuatu. Setelah itu, jiwa manusia akan tertarik untuk mendalami ilmu tersebut sehingga ia membutuhkan orang lain untuk melepaskan dahaga keingintahuannya. Dari sinilah timbul pengajaran (ta’lim) yang merupakan hal alami di tengah umat manusia.[19] Karena itu, Ibn Khaldun melihat pendidikan sebagai usaha transformatif potensialitas (attaqah al-quswa) manusia yang bertujuan mengoptimalkan pertumbuhkan dan perkembangannya yang akan membentuk budaya dan peradaban suatu bangsa. Pendidikan harus diletakkan sebagai bagian integral dari pembangunan budaya dan peradaban (al-umran) karena budaya dan peradaban sendiri dibangun berdasarkan pendidikan.[20] Pendidikan juga merupakan sarana bagi manusia mengetahui hukum-hukum Allah SWT yang telah disyariatkan atasnya dan menggapai ma’rifat dengan menjalankan praktek-praktek ibadah.
Secara ringkas Syed Omar bin Syed Agil dalam Philosophy of Education in Prolegomena Ibn Khaldun menjelaskan sebagai berikut:
In order to understand his views on education, it is imperative that Ibn Khaldun’s elucidation of knowledge and intellect and the function of the soul is explicated. His elucidation of the significance of the soul in relation to knowledge is remarkable. Although in the Prolegomena he explicates that the soul is the source of good and evil deeds, he also suggests that it is a centre for acquiring and storing of knowledge. Man is able to think and engage in perception through the powers of the soul. The soul influences the body through action and perception. When a man is frequently exposed to a body of knowledge it gets imprinted in the soul and becomes a habit that will not easily disappear. His intelligence is enhanced with the greater exposure of knowledge and crafts to the soul.[21]

Ibn Khaldun berpandangan bahwa perbendaharaan ilmu manusia tercakup pada jiwa manusia itu sendiri. Allah menciptakan persepsi yang bermanfaat baginya untuk berpikir dan memperoleh pengetahuan ilmiah.[22] Manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan melalui naluri yang ditanamkan Allah dalam akal, apabila tujuan esensial mereka dalam penyelidikannya itu adalah mencari kebenaran serta menggantungkan diri pada rahmat Allah.[23] Ibn Khaldun memandang kebenaran yang hakiki bersumber dari Allah SWT. Kebenaran bukan hanya ada di dalam realita, melainkan ada kebenaran hakiki (haq-al yakin) yang datang dari Ilahi. Meskipun demikian, pengetahuan yang mungkin didapat manusia dari penyelidikannya hanya sebatas ‘ain al-yaqin atau lebih tinggi lagi yang dapat dicapai manusia adalah ilm al-yaqin meskipun mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai yang haq al-yakin.[24]
Ibn Khaldun melihat ada kawasan lain selain akal dan indera untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu persepsi Supernatural-Ilahiah. Di atas alam manusia, ada alam spiritual yang dapat dibuktikan dengan pengaruh-pengaruhnya terhadap manusia dengan kekuatan persepsi dan kehendak yang diberikan kepadanya. Esensi alam spiritual yang merupakan persepsi murni dan pemikiran absolut disebut alam ruh. Upaya untuk mencapai alam tersebut, jiwa manusia suatu waktu harus bisa melepaskan diri dari ikatan fisik atau kemanusiaannya agar bisa menjadi bagian dari malaikat dan pada saat yang sama sifat kemanusiaan pun akan kembali lagi. Keadaan seperti ini hanya dapat dicapai melalui latihan rohani (riyadlah); seperti zikir, puasa dan bertahajud, sehingga Allah akan mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya (Ibn Khaldun, 1989: 528).

D.  Pendidikan Karakter untuk Membangun Budaya dan Peradaban Bangsa
Pendidikan karakter sebenarnya bukanlah hal baru dalam sistem pendidikan di Indonesia, sejak lama pendidikan karakter ini telah menjadi bagian penting dalam misi kependidikan nasional walaupun dengan penekanan dan istilah yang berbeda. Wacana urgensi pendidikan karakter kembali menguat dan menjadi bahan perhatian sebagai respons atasberbagai persoalan bangsa terutama masalah dekadensi moral seperti korupsi, kekerasan, perkelahian antar pelajar, bentrok antar etnis dan perilaku seks bebas yang cenderung meningkat. Fenomena tersebut menurut H.A.R Tilaar merupakan salah satu ekses dari kondisi masyarakat yang sedang berada dalam masa transformasi sosial menghadapi era globalisasi (H.A.R Tilaar 1999: 3).
Sesungguhnya pendidikan karakter merupakan sebuah program kurikuler telah dipraktekan pada beberapa negara. Sebuah studi yang dilakukan oleh J. Mark Halstead dan Monica J. Taylor menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter terpuji telah dikembangkan di sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan karakter berdasarkan nilai-nilai tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
to build on and supplement the values children have already begun to develop by offering further exposure to a range of values that are current in society (such as equal opportunities and respect for diversity); and to help children to reflect on, make sense of and apply their own developing values (Halstead dan Taylor, 2000: 169).

Pembangunan karakter budaya dan peradaban suatu bangsa harus dilengkapi dengan nilai-nilai yang telah dimiliki anak agar berkembang sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga hidup dalam masyarakat, serta agar anak mampu merefleksikan, peka, dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan karakter tidak bisa berjalan sendirian. Karakter warga negara yang baik merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara manapun di dunia. Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara menunjukkan bahwa pembentukan karakter warga negara yang baik tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan kewarganegaraan itu sendiri (Kerr, 1999; Cholisin, 2004; Samsuri, 2004, 2009).
Pada era Orde Baru pembentukan karakter warga negara nampak ditekankan kepada mata pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di era pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan karakter pun ada upaya untuk ”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan di samping Pendidikan Agama.
Robertson dalam Globalization: Social Theory and Global Culture, menyatakan era globalisasi ini akan melahirkan global culture (which) is encompassing the world at the international level. Dengan adanya globalisasi problematika ‎menjadi sangat kompleks. Globalisasi disebabkan perkembangan ‎teknologi, kemajuan ekonomi dan kecanggihan sarana informasi. Kondisi tersebut diatas telah ‎membawa dampak positif sekaligus dampak negatif bagi bangsa indonesia, Kebudayaan negara-negara Barat ‎yang cenderung mengedepankan rasionalitas, mempengaruhi negara-negara Timur termasuk ‎Indonesia yang masih memegang adat dan kebudayaan leluhur yang menjunjung nilai-nilai ‎tradisi dan spiritualitas keagamaan.
Kenyataan di atas menjadi tantangan terbesar bagi dunia pendidikan saat ini. Proses pendidikan sebagai upaya mewariskan nilai-nilai luhur suatu bangsa yang bertujuan melahirkan generasi unggul secara intelektual dengan tetap memelihara kepribadian dan identitasnya sebagai bangsa. Pada aspek inilah letak esensial pendidikan yang memiliki dua misi utama yaitu “transfer of values” dan juga “transfer of knowledge”. Pendidikan hari ini dihadapkan pada situasi dimana proses pendidikan sebagai upaya pewarisan nilai-nilai lokal di satu sisi menghadapi derasnya nilai global. Kondisi demikian menurut Tilaar (1999: 17) membuat pendidikan hari ini telah tercabik dari keberadaannya sebagai bagian yang terintegrasi dengan kebudayaannya (H.A.R Tilaar 1999: 17). Gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut, yaitu: Pertama, kebudayaan telah dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan kesenian, tarian tradisional, kepurbakalaan termasuk urusan candi-candi dan bangunan-bangunan kuno, makam-makam dan sastra tradisional. Kedua, nilai-nilai kebudayaan dalam pendidikan telah dibatasi pada nilai-nilai intelektual belaka. Ketiga, nilai-nilai agama bukanlah urusan pendidikan tetapi lebih merupakan urusan lembaga-lembaga agama”.
Gambaran tersebut menjadi dasar untuk memperhatikan pentingnya pembangunan karakater (Character building) manusia indonesia yang berpijak kepada khazanah nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Koentjaraningrat memberikan jalan bagaimana agar gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan ini dapat segera teratasi, ia menyarankan pentingnya kembali merumuskan kembali tujuh unsur universal dari kebudayaan, antara lain: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, keseniaan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Kebudyaan yang menjadi alas pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan. Dengan demikian, kebudayaan yang dimaksud adalah kebudyaan yang riil yaitu budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan Indonesia. Sedangkan pendidikan mempunyai arah untuk mewujudkan keperluan perikehidupan dari seluruh aspek kehidupan manusia dan arah tujuan pendidikan untuk mengangkat derajat dan harkat manusia.

E.  Pendidikan Karakter Berbasis Budaya dan Strategi Pengembangannya
Pendidikan karakter berbasis budaya, kebudayaan dimaknai sebagai sesuatu yang diwariskan atau dipelajari, kemudian meneruskan apa yang dipelajari serta mengubahnya menjadi sesuatu yang baru, itulah inti dari proses pendidikan. Apabila demikian adanya, maka tugas pendidikan sebagai misi kebudayaan harus mampu melakukan proses; pertama pewarisan kebudayaan, kedua membantu individu memilih peran sosial dan mengajari untuk melakukan peran tersebut, ketiga memadukan beragam identitas individu ke dalam lingkup kebudayaan yang lebih luas, keempat harus menjadi sumber inovasi sosial.
Tahapan tersebut diatas, mencerminkan jalinan hubungan fungsional antara pendidikan dan kebudayaan yang mengandung dua hal utama, yaitu : Pertama, bersifat reflektif, pendidikan merupakan gambaran kebudayaan yang sedang berlangsung. Kedua, bersifat progresif, pendidikan berusaha melakukan pembaharuan, inovasi agar kebudayaan yang ada dapat mencapai kamajuan. Kedua hal ini, sejalan dengan tugas dan fungsi pendidikan adalah meneruskan atau mewariskan kebudayaan serta mengubah dan mengembangkan kebudayaan tersebut untuk mencapai kemajuan kehidupan manusia.
Dengan demikian, urgensi pendidikan karakter itu dimana proses pendidikan merupakan ikhtiar pewarisan nilai-nilai yang ada kepada setiap individu sekaligus upaya inovatif dan dinamik dalam rangka memperbaharui nilai tersebut ke arah yang lebih maju lagi. Karena itu, pendidikan karakter merupakan goalendingdari sebuah proses pendidikan. Karakter adalah buah dari budi nurani. Budi nurani bersumber pada moral. Moral bersumber pada kesadaran hidup yang berpusat pada alam pikiran. Moral memberikan petunjuk, pertimbangan, dan tuntunan untuk berbuat dengan tanggung jawab sesuai dengan nilai, norma yang dipilih. Dengan demikian, mempelajari karakter tidak lepas dari mempelajari nilai, norma, dan moral.
Sejatinya karakter sesuatu yang potensial dalam diri manusia, ia kemudian akan aktual dikala terus menerus dikembangkan, dilatih melalu proses pendidikan.Mengingat banyak nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam pendidikan karakter, kita bisa mengklasifikasikan pendidikan karaktertersebut ke dalam tiga komponen utama yaitu:
1.    Keberagamaan; terdiri dari nilai-nilai (a). Kekhusuan hubungan dengan tuhan; (b). Kepatuhan kepada agama; (c). Niat baik dan keikhlasan; (d). Perbuatan baik; (e). Pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.
2.    Kemandirian; terdiri dari nilai-nilai (a). Harga diri; (b). Disiplin; (c). Etos kerja; (d). Rasa tanggung jawab; (e). Keberanian dan semangat; (f). Keterbukaan; (g). Pengendalian diri.
3.    Kesusilaan terdiri dari nilai-nilai (a). Cinta dan kasih sayang; (b). kebersamaan; (c). kesetiakawanan; (d). Tolong-menolong; (e). Tenggang rasa; (f). Hormat menghormati; (g). Kelayakan/ kepatuhan; (h). Rasa malu; (i). Kejujuran; (j). Pernyataan terima kasih dan permintaan maaf (rasa tahu diri). (Megawangi, 2007)
Megawangi juga telah menyusun kurang lebih ada 9 karakter mulia yang harus diwariskan yang kemudian disebut sebagai 9 pilar pendidikan karakter, yaitu : a). Cinta tuhan dan kebenaran; b). Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian; c). Amanah; d). Hormat dan santun; e). Kasih sayang, kepedulian dan kerjasama; f) percaya diri, kreatif dan pantang menyerah; g). Keadilan dan kepemimpinan; h). Baik dan rendah hati; i). Toleransi dan cinta damai. (Elmubarok, 2008: 111).
Pola pengajaran terhadap nilai-nilai tersebut di atas, sebagaimana dikemukan oleh Lickona memberikan penjelasan ada tiga komponen penting dalam membangun pendidikan karakater yaitu moral knowing(pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral) dan moral action(perbuatan bermoral). Ketiga hal tersebut dapat dijadikan rujukan implementatif dalam proses dan tahapan pendidikan karakater. Selanjutnya, kira-kira misi atau sasaran apa saja yang harus dibidik dalam pendidikan karakter? Pertama kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, danpada tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga diadapat memfungsi akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, afektif, yangberkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadiseseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan aktion, perbuatan, perilaku, dan seterusnya.
Jadi, apabila disinkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa darimemiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut dan selanjutnya berprilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apayang disikapinya. Pendidikan karakter, adalah meliputi ketiga aspek tersebut. Seseorangmesti mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Selanjutnya bagaimana seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana seseorang sampai ketingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan. pada tingkat berikutnya bertindak, berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, sehingga muncullah akhlak dan karakter mulia.
Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan jenis pendidikan yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki integritas moral yang mampu direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan. Adapun tujuan Pendidikan Karakter sebagaimana yang diungkapkanoleh Ki Hajar Dewantoro adalah “ngerti-ngerasa-ngelakoni” (menyadari,menginsyafi dan melakukan). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa Pendidikan Karakter adalah bentuk pendidikan dan pengajaran yang menitikberatkan pada prilaku dan tindakan siswa dalam mengapresiasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai karakter ke dalam tingkah laku sehari-hari.
Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka pendidikan karakter adalah hasil dari tindakan moral, maka pendekatan pendidikan moral dapat digunakan untuk pendidikan karakter. Untuk memahami tentang karakter maka pahamilah berbagai hal yang berhubungan dengan konsep moral yang harus diajarkan kepada para peserta didik melalui pengejaran yang baik. Terkait dengan metode pengajaran menurut Ibn Khaldun merupakan suatu keterampilan atau skill (sina’ah). Keterampilan dalam aspek sains-pengetahuan yang beragam, serta penguasaan atas pengetahuan tersebut merupakan akibat dari kebiasaan. Kebiasaan tersebut memungkinkan pemiliknya untuk menguasai semua prinsip dasar dan kaidah-kaidah ilmu tersebut dan akhirnya dapat digunakan untuk memahami permasalahan dan menguasai prinsip-prinsipnya dengan lebih mendetail (Ibn Khaldun, 1989: 534-535). Potensi intelek manusia juga bekerja secara bertahap seperti yang telah dijelaskan di awal.

F.   Penutup
Indonesia adalah negeri dengan penduduk keempat terbesar di dunia dan hidup di wilayah benua maritime yang sangat kaya dari semua aspeknya. Jika pembangunan budaya dan peradabannya tidak tertinggal, maka bersamaan dengan terus meningkatnya kualitas sumber daya manusia di seluruh dunia, sudah tentu pada saatnya Indonesia akan berkembang menjadi salah satu kiblat peradaban umat manusia. Pendidikan karakter memerlukan upaya-upaya pencerahan dalam membentuk kepribadian, watak, dan karakter generasi muda sekarang agar menghasilkan insan-insan unggulan di segala bidang.
Pola pendidikan karakter untuk membangun budaya dan peradaban bangsa memerlukan strategi pembangunan pendidikan nasional yang dinamis dan responsif terhadap tuntutan kebutuhan demikian itu. Strategi pendidikan nasional yang kita praktikkan sekarang memerlukan reformasi yang mendasar dan bahkan boleh jadi bersifat radikal sehingga dapat membuka optimisme ke arah perbaikan yang berarti di masa mendatang.
Melalui gagasan yang digali dari filsafat pendidikan Ibn Khaldun akan memberi harapan, kiranya kaum cerdik cendekia dan khususnya para ahli pendidikan dapat memikirkan pelbagai altenatif solusi dalam memperbaiki sistem pendidikan nasional kita dan kinerja lembaga-lembaga pendidikan dalam arti sempit, dan integrasi sistem pendidikan dalam arti luas dengan melibatkan semua actor dan factor yang berpengaruh terhadap pembentukan karakter bangsa.
Ibn Khaldun berhasil mendudukan secara proporsional ilmu-ilmu naqliah dengan aqliah. Hal itu dikarenakan beliau adalah seorang filosof yang orisinil dalam filsafat Islam, dan mampu menyingkirkan pengaruh-pengaruh filsafat yunani dalam pemikirannya. Dalam pemikiran tentang pendidikan, beliau tidak membagi ilmu menjadi fardhu Ain dan fardhu kifayah. Bagi Ibn Khaldun, penguasaan terhadap kedua jenis ilmu tersebut sangatlah penting. Ilmu-ilmu aqliyah menurutnya harus memperoleh porsi seimbang sebagaimana ilmu-ilmu naqliah.
Pemikiran terakhir ini menjadi poin penting lainnya dari pemikiran Ibn Khaldun yang dapat memecahkan prolematika pendidikan akibat adanya dikotomik ilmu dalam penyelenggaraan program-program pendidikan. Usaha-usaha perbaikan yang telah dilakukan oleh sebagian umat Islam dengan membuka sekolah-sekolah Islam terpadu, madrasah serta pesantren yang membekali peserta didiknya dengan ilmu-ilmu aqliah dan naqliah, perlu mendapat dukungan berbagai pihak terutama pemerintah sebagai pemegang otoritas. Karena itu, produk pendidikan yang dihasilkan adalah sosok manusia unggul dalam ilmu pengetahuan, lurus dalam pemikiran dan akidahnya, serta memiliki akhlakul qarimah. Manusia-manusia semacam inilah yang nantinya mampu menghidupkan tradisi keilmuan di kalangan masyarakat muslim yang berujung pada kelahiran kembali peradaban Islam. Inilah sebab mengapa Ibn Khaldun menempatkan pendidikanan sebagai bagian integral dari pembangunan budaya dan peradaban (al-umran).

Jakarta                                                                                                                     Dalmeri

 

DAFTAR PUSTAKA


Agil, Syed Omar bin Syed, Philosophy of Education in Prolegomena Ibn Khaldun, Universiti Tun Abdul Rajak. UNITAR E-JOURNAL Vol. 4, No. 1, January 2008. http://ejournal.unitar.edu.my, 22 November 2009.
Ahmad, Anis, Educational Thought of Ibn Khaldun, Journal of the Pakistan Historical Society, Vol.XVI., Karachi, 1968.
Alam, Manzoor. “Ibn Khaldun on the Origin, Growth and Decay of Cities.” Encyclopaedie Survei of Islmic Culture. Vol. V. 1997.
Alavi, Zianuddin, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, Bandung : Penerbit Angkasa, 2003.
Al-Azmeh, Aziz. Ibn Khaldun. London and New York: Routledge. 1990.
Alberta Education. (2005). The Heart of Matter: Character and Citizenship Education in AlbertaSchool. Alberta: Alberta Education, Learning and Teaching Resources Branching, Minister of Education
Ali, A. Mukti. Ibn Khaldun dan Asal-usul Sosiologi. Yogyakarta: Yayasan Nida. 1970.
Baali, Fuad dan Ali Wardi. Ibn Khaldun and Islamic Thought Styles: A Social Perspective. Boston: Massachussetts G.K. Hall and co. 1981.
Baali, Fuad. Society, State, and Urbanism: Ibn Khaldun’s Sociological Thought. Albany: State University of New York Press. 1988.
Berkowitz, Marvin W. dan Bier, Mellinda C. (2005). What Works in Character Education: A Research-driven Guide for Educators. Washington:Character Education Partnership
Character Education Partnership. (2003). Character Education Quality Standards. Washington:Character Education Partnership
Cheddadi, Abdesselam, Ibn Khaldun, Paris: UNESCO International Bureau of Education, 2000.
Cholisin. (2004). “Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter Kewarganegaraan,” Jurnal Civics, Vol. 1, No. 1, Juni, pp. 14-28
Curriculum Corporation. (2003). The Values Education Study: Final Report. Victoria: Australian Government Dept. of Education, Science and Training.
Halstead, J. Mark dan Taylor, Monica J. (2000). “Learning and Teaching about Values: A Review of Recent Research.” Cambridge Journal of Education. Vol. 30 No.2, pp. 169-202.
Kerr, D. (1999). “Citizenship Education in the Curriculum: An International Review,” The School Field. Vol. 10, No. 3-4
Khaldun, Ibn, Muqaddimah, cetakan kedelapan, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008.
--       Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in Orientalism. London: Third World Center for Research and Publishing, 1981.
 --      Ibn Khaldun: An Essay in Reinterpretation. London: Frank Cass and Company. 1982.
 --      Ibn Khaldun: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Firdaus. T.t.
Kirschenbaum, Howard. (2000).”From Values Clarification to Character Education: A Personal Journey.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 4-20
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokoknya, Jakarta : Kalam Mulia, 2006.
Samsuri. (2004).Civic Virtues dalam Pendidikan Moral dan Kewarganegaraan di Indonesia Era Orde Baru” Jurnal Civics, Vol. 1, No. 2, Desember.
Samsuri. (2007). Civic Education Berbasis Pendidikan Moral di China.” Acta Civicus, Vol. 1 No. 1, Oktober.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Walidin, Warul, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun: Perspektif Pendidikan Modern, Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003.
Williams, Mary M. (2000). “Models of Character Education: Perspectives and Developmental Issues.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 32-40.


*Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dan Workshop Pendidikan Karakter yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Manajemen Pendidikan (IKA-MP) Program Doktor Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ), tanggal 26-27 Juni 2013.


**Dalmeri adalah mahasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.


_________________________
[1]Didin Hafidhuddin dalam Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Agama, makalah yang disampaikan dalam Workshop Nasional Standarisasi MPK-PAI Jakarta 13 Agustus 2009, hlm. 1.


[2]Ibid.
[3]Bryan R. Wilson, Religion in Secular Society, (London: Penguin Books, 1969), hlm. 9.
[4]Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought Styles: A Social Perspective, (Boston: Massachussetts G.K. Hall and co., 1981), hlm. 9.
[5]Barbara F. Stowasser, “Religion and Political Development: Some Ideas on Ibn Khaldun and Machiavelli”, dalam Occasional Papers Series, Center for Comparative Arab Studies, Georgetown University, Januari, 1983, hlm. 2.
[6]Ibn Khaldun, The Muqaddimah: an Introduction to History, alih bahasa Franz Rosenthal, (New York: Bollingen, 1958), vol. I, hlm. 320.
[7]Muhammad Talbi, “Ibn Khaldun”, The Encyclopaedia of Islam, Vol. III, hlm. 825. Bandingkan dengan Hasan Saab, “Ibn Khaldun”, Encyclopedia of Philosophy, Vol. IV. hlm. 107.
[8]Fuad Baali, Society State, and Urbanism: Ibn Khaldun’s Sociological Thought (New York: State University of New York Press, 1988), hlm. 1. Lihat juga S. Dabydeen, “Ibn Khaldun: An Interpretation”, The Islamic Quarterly, Vol. XIII, Nomor 2, 1969, hlm. 79.
[9]‘Abd al-Rahman Ibn Khaldun (selanjutnya disebut Ibn Khaldun) At-Ta’arif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan, editor Muhammad Ibn Tawit at-Tanji (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), jilid III, hlm. 481-483. Lihat juga A. Mukti Ali, Ibn Khaldun dan Asal-usul Sosiologi (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), hlm. 16-17.
[10]Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundations of the Science of Culture (Chicago: University of Chicago Press, 1964), hlm. 27-29.
[11]Ann K. S. Lambton, State and Government in Medieval Islam: An Introduction to the Study of Islamic Political Theory, The Jurists (Oxford: Oxford University Press, 1985), hlm. 152. Bandingkan dengan Heinrich Simon, Ibn Khaldun’s Science of Human Culture, alih bahasa Fuad Baali (Lahore: S.HLM. Muhammad Ashraf, 1978), hlm. 9.
[12]‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun: Riwayat dan Karyanya, alih bahasa Akhmadi Thoha (Jakarta: Grafiti, 1985), hlm. 21-22. Lihat juga A. Mukti Ali, op.cit., hlm. 17-18.
[13]Ibn Khaldun menyebutkan peristiwa itu dengan rasa duka yang mendalam: “Ketika usiaku semakin dewasa dan bersemangat dalam menuntut ilmu pengetahuan dengan cara berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, tiba-tiba wabah penyakit menular menyerang semua orang, para ulama yang menjadi guruku, serta kedua orang tuaku wafat karena serangan wabah penyakit tersebut. Keterangan lebih lanjut lihat Ibn Khaldun, op.cit., hlm. 481-490.
[14]‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, op.cit., hlm. 19-22.
[15]Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 223.
[16]Ibid., hlm. 224.
[17] Ibn Khaldun, Muqaddimah, cetakan kedelapan, Jakarta : Pustaka Firdaus,2008, hlm. 525.
[18] Ibid., hlm. 528.

[19] Ibid., hlm. 534.
[20] Walidin Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun, hlm. 105-107.
[21]Syed Omar bin Syed Agil, Philosophy of Education in Prolegomena Ibn Khaldun, (Kualalumpur: Universiti Tun Abdul Rajak, 2009), hlm. 24.
[22] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 742.
[23] Ibid,. hlm. 755.
[24] Ibid., hlm. 217.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *