Rabu, 22 Juni 2016

RESUME BUKU : "DILEMA MANUSIA RASIONAL"


Bagian pendahuluan buku ini dibuat menarik dengan menampilkan surat Max Horkheimer kepada Hans, saudara sepupunya. Surat yang dibuat pada tanggal 11 Juli 1916 atau ketika Horkheimer berusia 21 tahun itu berisi tentang penderitaan Ny. Katharina Krammer, buruh wanita di pabriknya, yang tidak dapat bekerja lagi karena sakit ayan. Meski isi surat terdengar sederhana, namun melalui surat itu juga tersirat tentang kemarahan Horkheimer terhadap ketidak-adilan yang senantiasa melindas kehidupan sehari-hari orang-orang di sekelilingnya.

 Sejak masa mudanya, Horkheimer memang selalu menolak tatanan sosial yang dianggapnya tidak benar. Pemikiran inilah kelak ia wujudkan dalam pemikiran teoritisnya ketika ia menjadi Direktur Sekolah Frankfurt.
Max Horkheimer dilahirkan 14 Februari 1895 di Zuffenhausen – Jerman. Perkenalan Horkheimer pertama kali dengan filsafat adalah lewat buku filsuf pesimistis Schopenhauer berjudul Aphorisms on the Wisdom of Life yang dihadiahkan sahabatnya Friedrich Pollock. Tahun 1926, Horkheimer dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Frankfurt dengan pidato pengukuhan tentang Immanuel Kant, berjudul Kant’s Critique of Judgment. Idealisme Kant kelak juga amat mempengaruhi pemikiran Horkheimer.

Bulan Januari 1931, Horkheimer diangkat sebagai direktur baru Sekolah Frankfurt. Dan di bawah Horkheimerlah, Sekolah Frankfurt mengalami zaman keemasannya. Tahun 1933, anggota sekolah Frankfurt yang kebanyakan Yahudi berimigrasi ke luar negeri karena tekanan Nazi. Sekolah Frankfurt memindahkan pusatnya ke Amerika karena diperkenankan berafiliasi dengan Universitas Columbia.

Garis besar pemikiran Sekolah Frankfurt memang terletak dalam perspektif filosofis. Meski demikian Sekolah Frankfurt tidak menganggap remeh hal-hal empiris. Sosiologi kritis Sekolah Frankfurt ingin agar sosiologi tidak menjadi sekedar duplikat dari realitas sosial yang ditelitinya. Lebih dari itu, ia ingin menemukan essensi dari suatu realitas sosial.

 Sekolah Frankfurt

Istilah ”Sekolah Frankfurt” dipakai untuk menunjukkan sekelompok cendekiawan yang tergabung dalam Institut fur Sozialforschung (Institute for Social Research), yang didirikan di Frankfurt am Main, tahun 1923. Pelopor institut tersebut adalah Felix J. Weil yang ingin menghimpun cendekiawan-cendekiawan kiri untuk menyegarkan kembali ajaran Marx sesuai dengan kebutuhan saat itu. Anggota-anggota institut yang pertama adalah Friedrich Pollock, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, Erich Fromm, Karl August Wittfogel, Franz Neumann, Otto Kirchheimer, Leo Lowenthal, Walter Benjamin, dan Max Horkheimer sendiri. Adapun ajaran Sekolah Frankfurt lebih tepat disebut sosiologi politik dan teori kebudayaan daripada teori ekonomi politik. Dan untuk menyalurkan aspirasi para anggotanya, Horkheimer menerbitkan majalah berkala Zeitschrift fur Sozialforschung.

Sejak semula Sekolah Frankfurt menjadikan marxisme sebagai titik tolak pemikirannya. Namun Sekolah Frankfurt juga meletakkan dirinya dalam perspektif idealisme Jerman, yang dirintis Immanuel Kant (kritisisme) dan memuncak pada ajaran Hegel (dialektika). Dan ketika Horkheimer menjabat direktur, ia memasukkan ajaran Freud ke dalam pemikiran Sekolah Frankfurt. Meski hal tersebut dianggap melanggar keortodoksan marxisme, Horkheimer tetap beranggapan bahwa psikoanalisa Freud merupakan kebutuhan mendesak bagi teori kritis untuk menghadapi tantangan zaman modern di mana terjadi kapitalisme monopolis dan fasisme.

Filsafat kemanusiaan memang cukup mempengaruhi teori kritis Sekolah Frankfurt, namun tidak demikian dengan neo-positivisme yang pada waktu ittu subur berkembang. Aliran ini justru mendapat kecaman mereka, namun karena perlawanan inilah kita juga menjadi semakin tahu corak pemikiran Sekolah Frankfurt. Neo-positivisme (atau disebut juga: positivisme logis, empirisme logis, filsafat analitis, atau filsafat bahasa) adalah aliran yang mengarahkan perhatiannya pada bahasa sebagai obyek penyelidikan dan menganggap hal menciptakan kejelasan di bidang pemakaian bahasa sebagai sasaran aktivitas mereka.

Teori kritis sangat bertolak belakang terhadap neo-positivisme. Berdasarkan cara kerjanya yang dialektik, teori kritis tidak akan mendewakan ilmu pengetahuan dan memandangnya sebagai satu-satunya unsur yang menentukan kehidupan. Teori kritis menganggap ilmu pengetahuan sebagai salah satu unsur yang tidak dapat dilepaskan dari unsur lainnya, yang berkaitan satu sama lain secara dialektis. Teori kritis tidak netral seperti neo-positivisme tetapi berpihak pada nilai-nilai yang dianggap dapat menentang keadaan yang mapan, serentak mengusahakan bagaimana nilai-nilai itu dapat terwujud.

 Teori Emansipatoris

1. Teori Tradisional
Dalam pandangan tradisional, teori adalah jumlah keseluruhan dari proposisi-proposisi tentang suatu subyek. Adapun tujuan teori tradisional adalah membangun konsep-konsep umum mengenai semua hal. Ini nampak dalam cita-citanya yang selalu ingin meraih a universal systematic science. Konsep-konsep umum itu dipakai sebagai semacam peralatan teknis untuk menganalisa apa saja dan dapat digunakan pada setiap kesempatan. Dari sini terlihat bahwa teori tradisional bersifat netral, karena ia menyediakan diri hanya sebagai alat, yang siap pakai untuk menganalisa secara teknis setiap hal dan keadaan termasuk masyarakat.

Demikian ciri dan sifat teori tradisional. Ia netral terhadap fakta di luar dirinya. Ia berpijak hanya pada ilmu pengetahuan, dan ia memisahkan teori dan fakta karena memandang fakta hanya secara lahiriah. Oleh karena itu Horkheimer menuduh teori tradisional sebagai teori yang bersifat ideologis, berdasarkan tiga hal berikut: 1) Kenetralannya menjadi kedok pelestarian yang ada, 2) Teori tradisional berpikir secara ”ahistoris”, dan 3) Teori tradisional memisahkan teori dan praxis.

2. Teori Kritis
Horkheimer memperlihatkan bahwa teori tradisional telah gagal menjadi teori emansipatoris. Horkheimer bahkan menetapkan teori kritis sebagai teori yang bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian pula kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional tempat manusia dapat memuaskan semua kebutuhan dan kemampuannya. Intinya, ia hendak menjadikan teori kritis sebagai teori emansipatoris, dengan sifat dan cirinya yang diyakini Horkheimer mendukung hal itu, yaitu: 1) Teori kritis curiga dan kritis terhadap masyarakat, 2) Teori kritis berpikir secara ”historis”, dan 3) Teori kritis tidak memisahkan teori dan praxis.

Adapun keyakinan teori kritis bahwa semua keadaan dan masa depan sebenarnya tergantung pada manusia itu sendiri. Dengan wewenangnya manusia dapat merancang sejarah yang diinginkannya, mengatur hubungan kerja yang semestinya, membentuk masyarakat sesuai dengan rasionalitasnya. Dengan demikian sarjana tidak usah merasa asing dari alam lingkungannya. Seorang sarjana tidak perlu lagi mencari bentuk keaktifan lain di luar keaktifannya sebagai sarjana demi pengabdiannya kepada masyarakat: sebagai sarjana sekaligus ia juga warga negara karena masyarakat sudah benar-benar merupakan alam lingkungan yang diinginkannya.

Dilema Usaha Manusia Rasional: Terbenamnya Akal Budi Obyektif Dan Terbitnya Akal Budi Instrumentalis


Menurut Horkheimer, bahkan teori kritis yang baru disodorkannya tidak akan bisa membebaskan manusia dari keirasionalan masyarakat zaman ini. Menurut tahap pemikiran Horkheimer selanjutnya (tahap kedua), masyakarat modern sudah terlanjur merupakan suatu sistem tertutup dan total. Tertutup karena tidak mengijinkan usaha-usaha untuk membuka dan mempersoalkannya, artinya orang dalam setiap situasi dan hal apapun mau tak mau harus mengikuti hukum dan aturan main sistem itu. Total karena semua segi kehidupan individual maupun sosial sudah ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.

Horkheimer merumuskan dilema usaha rasional manusia itu sebagai terbenamnya akal budi obyektif ternyata harus dibayar dengan terbitnya akal budi yang melulu instrumentalis. Dalam karyanya Eclipse of Reason, Horkheimer menunjukkan di sana-sini bahwa usaha manusia rasional yang jaya ternyata menuntun manusia menuju kepada kehancurannya. Itulah inti kritik akal budi instrumentalis dari Horkheimer.

Menurut Horkheimer, akal budi subyektif adalah akal budi yang mengarah pada kegunaan. Pengertian akal budi subyektif berkembang subur dalam tradisi empirisme dengan ajarannya tentang self-preservation, di mana akal budi semata-mata dipakai sebagai sarana atau alat untuk memperhitungkan segala kemungkinan demi tercapainya tujuan dalam arti subyektif, yakni tujuan yang berguna bagi kepentingan subyek untuk mempertahankan dirinya.

Di samping formalisasi akal budi, Horkheimer juga menyebutkan salah satu sebab paling menyolok yang memudahkan pergeseran akal budi obyektif ke akal budi instrumentalis yakni perpisahan agama dan filsafat. Formalisasi akal budi dan perpisahan filsafat dari agama mesti dimengerti sebagai usaha manusia untuk mencapai pengertian rasional. Jadi pergeseran akal budi obyektif ke akal budi instrumentalis adalah usaha manusia rasional.

Di zaman ini juga lahir filsafat neo-Thomisme yang pragmatis dan neo-positivisme yang melulu instrumentalis. Kedua aliran yang saling bermusuhan ini mau ”menyelamatkan” manusia, tapi ternyata justru menceburkan manusia untuk tetap tenggelam dalam keirasionalan masyarakat zaman ini, sebab sebenarnya kedua aliran ini memperlihatkan sikap yang sama: menerima dan melestarikan masyarakat irasional dewasa ini.
Berdasarkan hal-hal di atas, Horkheimer beranggapan bahwa setiap kali manusia berusaha meraih pengertian rasional, saat itu juga ia menjadi irasional. Itulah dilema usaha manusia rasional menurut Horkheimer.

Dialektika Usaha Manusia Rasional: Usaha Manusia Rasional Adalah Mitos


Bab ini mencoba menjabarkan isi dari karya Horkheimer yang berjudul Dialectic of Enlightmen, yang digarapnya bersama Adorno pada tahun 1947. Di dalam karyanya ini, Horkheimer mencoba menjawab atas rentetan pertanyaan yang muncul, seperti kenapa dilema usaha manusia rasional itu terjadi? Kenapa makin manusia berusaha meraih pengertian rasional, makin ia menjadi irasional? Atau kenapa makin membebaskan diri dari ketakutan di luar dirinya demi kedaulautan dirinya, makin manusia dibelenggu oleh kekuatan di luar dirinya hingga kehilangan kedaulatan dirinya?

Mitos awalnya dimengerti sebagai percobaan manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya tentang alam semesta, termasuk dirinya sendiri. Dalam mitologi Yunani pertanyaan-pertanyaan manusia tentang kejadian alam semesta sudah dijawab, tapi jawaban itu diberikan justru dalam bentuk mitos, artinya suatu bentuk penjelasan yang sama sekali meloloskan diri dari setiap kontrol pihak rasio manusia. Jadi dalam pengertian itu mitos (bahasa Yunani: muthos) dilawankan dengan logos (akal budi, rasio).

Sejak semula usaha manusia rasional bermaksud untuk menghilangkan mitos. Tapi menurut Horkheimer, usaha manusia rasional takkan pernah berhasil menghilangkan mitos, malah secara niscaya usaha itu pasti akan mengakibatkan mitos. Sebab berdasarkan dialektika usaha manusia rasional sendiri, usaha manusia rasional adalah mitos. Hal ini disebabkan usaha manusia rasional tidak dapat berdiri sendiri, tidak otonom, tidak dapat mengenal dirinya sendiri: usaha manusia rasional itu terjadi, ada dan mengenal dirinya hanya berkat dan di dalam mitos. Dengan kata lain, usaha manusia rasional itu niscaya atau tidak dapat tidak adalah mitos sendiri.

Mitos selalu mengandung the idea of activity, yakni penghadiran kembali atau representasi dari yang ilahi. Dalam usaha manusia rasional juga ada semacam representasi, yakni daya guna ilmu pengetahuan. Horkheimer malah akan menunjukkan bahwa representasi itu mengandung pengertian rasional, sedangkan daya guna adalah mitos. Menurut Horkheimer, menjadi jelas bahwa mitos itu adalah usaha manusia usaha rasional sebab ia sesungguhnya dapat memahami adanya yang ilahi pada dirinya sendiri, bahkan jika tanpa representasi atau daya gunanya.

Dialektika usaha manusia rasional inilah yang membuat pemikiran Horkheimer menjadi pesimistis. Dalam Eclipse of Reason, pemikirannya seakan sudah diambang buntu ketika ia melihat bahwa usaha manusia rasional nampaknya gagal. Dalam Dialectic of Enlightenment, pemikirannya sudah benar-benar menemui jalan buntu karena ia membuktikan bahwa usaha manusia rasional niscaya gagal. Optimisme teori kritis tahap pertama pun ditinggalkannya.

Akhirulkalam


Pada bab ini merupakan kesimpulan dari Sindhunata mengenai pemikiran-pemikiran Horkheimer sendiri berkaitan dengan dilema usaha manusia rasional. Sindhunata selaku penulis buku ini, meski sangat menghargai jasa-jasa Horkheimer dalam usahanya membeberkan keirasionalan-keirasionalan masyarakat modern zaman ini, namun juga mengakui bahwa pemikiran Horkheimer yang pesimis pada tahap kedua terpaksa dinilai Sindhunata kurang memadai sebagai teori emansipatoris.

Tahapan kedua teori kritis Horkheimer yang terjerat dengan dialektika usaha manusia rasional dan yang bisa dituduh ”ideologis” itu menjauhkannya dari garis Hegelian-Marxis yang semula dijadikan dasar berpijak teori kritisnya. Pemikirannya pada tahap kedua ini menjadi konservatif dan spekulatif. Ia memang masih memakai kategori-kategori warisan Marx, seperti nilai tukar, pembagian kelas, komoditi dan sebagainya. Namun kategori-kategori tersebut diterangkannya secara amat spekulatif. Misalnya, ia menghubungkan nilai tukar dengan keirasionalan substitusi pada mitos.

Namun akhirnya, dialektika usaha manusia rasional dari Horkheimer biar bagaimanapun sudah membantu orang untuk mulai menyadari keirasionalan-keirasionalan zaman ini. Tapi kiranya orang tidak perlu pesimis karena dialektika usaha manusia rasional yang kokoh namun berakhir dengan jalan buntu itu. Sebaliknya orang mesti optimis karena masih ada dialektika masyarakat yang kiranya dapat diharapkan bakal membawa masyarakat menjadi makin rasional. Dialektika masyarakat inilah salah satu pegangan yang menjamin bahwa sebenarnya orang tak perlu khawatir akan dilema usaha manusia rasional.***

Sumber :
 Sindhunata, (1983). Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Pusat Pengembangan Etika Atmajaya dan PT Gramedia Jakarta mber :

MANAJEMEN PENGETAHUAN



Perkembangan dewasa ini menunjukan pada makin cepatnya perubahan dalam segala bidang kehidupan, akibat dari efek globalisasi serta perkembangan teknologi informasi yang sangat akseleratif. Kondisi ini jelas telah mengakibatkan perlunya cara-cara baru dalam menyikapi semua yang terjadi agar dapat tetap survive. Penekanan akan makin pentingnya kualitas SDM merupakan salah satu respon dalam menyikapi perubahan tersebut, dan ini tentu saja memerlukan upaya-upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan SDM.

Sehubungan dengan itu peran Ilmu pengetahuan menjadi makin menonjol, karena hanya dengan pengetahuanlah semua perubahan yang terjadi dapat disikapi dengan tepat. Ini berarti Pendidikan memainkan peran penting dalam mempersiapkan SDM yang berkualitas dan kompetitif. Ketatnya kompetisi secara global khususnya dalam bidang ekonomi telah menjadikan organisasi usaha memikirkan kembali strategi pengelolaan usahanya, dan SDM yang berkualitas dengan penguasaan pengetahuannya menjadi pilihan penting yang harus dilakukan dalam konteks tersebut

Pengetahuan telah menjadi sesuatu yang sangat menentukan, oleh karena itu perolehan dan pemanfaatannya perlu dikelola dengan baik dalam konteks peningkatan kinerja organisasi. Langkah ini dipandang sebagai sesuatu yang sangat strategis dalam menghadapi persaingan yang mengglobal, sehingga pengabaiannya akan merupakan suatu bencana bagi dunia bisnis, oleh karena itu diperlukan cara yang dapat mengintegrasikan pengetahuan itu dalam kerangka pengembangan SDM dalam organisasi.
Dari sinilah istilah manajemen pengetahuan berkembang sebagai suatu bagian penting dan strategis dalam pengelolaan SDM pada Perusahaan/organisasi.

Pengetahuan memang merupakan milik individu, namun dapat dimanfaatkan oleh organisasi dengan tetap memberikan otonomi pengembangannya pada individu tersebut. Dalam hubungan ini belajar dan pembelajaran menjadi kata kunci dalam peningkatan kapasitas pengetahuan, oleh karenanya menjadikan individu sebagai pembelajar merupakan kondisi yang diperlukan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kinerja organisasi melalui pengintegrasiannya dengan proses organisasi. Untuk itu organisasi perlu melakukan pengembangan dirinya menjadi organisasi pembelajar, sebab hanya dalam kondisi yang demikian individu/pegawai dapat benar-benar menjadi manusia pembelajar.

Suatu organisasi agar dapat mencapai visi dan misinya harus mengelola pengetahuan yang dimilikinya dengan baik agar dapat bersaing dengan organisasi yang lain. Salah satu cara tersebut adalah dengan menerapkan manajemen-pengetahuan atau KM. Tidak terkecuali TNI AD sebagai organisasi, untuk menghadapi persaingan dan tuntutan yang semakin tinggi memerlukan penerapan manajemen pengetahuan agar selalu dapat menjawab setiap tuntutan tugas.

Sebelum memahami konsep manajemen pengetahuan ini ada beberapa istilah yang harus dipahami yaitu : data, informasi, pengetahuan, jenis pengetahuan, dan manajemen pengetahuan itu sendiri. Di samping itu perlu pula memahami proses pembentukan pengetahuan dari data, informasi, kemudian menjadi pengetahuan.
  • Data adalah kumpulan angka atau fakta objektif mengenai sebuah kejadian (bahan mentah informasi).
  • Informasi adalah data yang diorganisasikan/diolah sehingga mempunyai arti. Informasi dapat berbentuk dokumen, laporan ataupun multimedia.
  • Pengetahuan (knowledge) adalah kebiasaan, keahlian/kepakaran, keterampilan, pemahaman, atau pengertian yang diperoleh dari pengalaman, latihan atau melalui proses belajar. Istilah ini sering kali rancu dengan Ilmu Pengetahuan (science). Ilmu Pengetahuan adalah ilmu yang teratur (sistematik) yang dapat diuji atau dibuktikan kebenarannya; sedangkan pengetahuan belum tentu dapat diterapkan, karena pengetahuan sebuah organisasi sangat terkait dengan nilai, budaya, dan kondisi dari organisasi tersebut.
  • pengetahuan.
  • mengenal bahwa perkembangan manajemen pengetahuan sangat berguna
Learning Organization
Pentingnya Learning Organization telah lama menjadi konsern para akhli organisasi, terutama semenjak terbitnya buku karya Peter Senge “The Fifth Discipline” pada tahun 1990, disamping itu organisasi-organisasi baik organisasi bisnis maupun non bisnis juga telah mencoba mengembangkan konsep tersebut dalam upaya menjadikan organisasi mereka kompetitif, dan dalam konteks itulah manajemen pengetahuan menjadi amat penting, karena dengan pengelolaan yang tepat dapat menjadi suatu kekuatan kompetitif yang tangguh yang diperlukan sekali dalam perkembangan global dewasa ini. Berikut ini akan dikemukakan makna manajemen pengetahuan dengan menggunakan rujukan utama buku yang ditulis oleh Christina Evans berjudul Managing for Knowledge, HR’s Strategic Role.

Alvin Toffler membagi sejarah peradaban manusia dalam tiga gelombang yaitu era pertanian, era industri dan era informasi. Dalam era pertanian faktor yang menonjol adalah Muscle (otot) karena pada saat itu produktivitas ditentukan oleh otot. Dalam era industri, faktor yang menonjol adalah Machine (mesin), dan pada era informasi faktor yang menonjol adalah Mind (pikiran, pengetahuan). Pengetahuan sebagai modal mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan kemajuan suatu organisasi. Dalam lingkungan yang sangat cepat berubah, pengetahuan akan mengalami keusangan oleh sebab itu perlu terus menerus diperbarui melalui proses belajar.

Pengetahuan, menurut Davenport merupakan perpaduan yang cair dari pengalaman, nilai, informasi kontekstual, dan kepakaran yang memberikan kerangka berfikir untuk menilai dan memadukan pengalaman dan informasi baru. Ini berarti bahwa pengetahuan berbeda dari informasi, informasi jadi pengetahuan bila terjadi proses-proses seperti pembandingan, konsekwensi, penghubungan, dan perbincangan. Pengetahuan dapat dibagi ke dalam empat jenis yaitu
  1. Pengetahuan tentang sesuatu;
  2. Pengetahuan tentang mengerjakan sesuatu,;
  3. Pengetahuan menjadi diri sendiri; dan
  4. Pengetahuan tentang cara bekerja dengan orang lain. Sedang tingkatan pengetahuan dapat dibagi tiga yaitu :
  • Mengetahui bagaimana melaksanakan;
  • Mengetahuai bagaimana memperbaiki; dan
  • Mengetahui bagaimana mengintegrasikan.
Meskipun diakui bahwa teknologi berperan penting dalam mengelola pengetahuan, namun hal itu bukanlah suatu solusi total. Menurut Rob Van der Spek dan Jan Kingma (1999) strategi organisasi dalam mengelola pengetahuan hendaknya mencakup/memperhatikan dua bidang yaitu :
  • Eksploitasi dan aplikasi pengetahuan yang ada,
  • Menciptakan pengetahuan baru, termasuk membangun kapabilitas menciptakan pengetahuan baru yang lebih cepat dibanding masa lalu
Oleh karena itu penggunaan teknologi bukanlah segalanya, penggunaan teknologi perlu dilakukan secara hati-hati dan bijaksana. Ada beberapa tip penting untuk para praktisi berkaitan dengan penggunaan teknologi yaitu :
  • Fahami nilai informasi yang dimiliki
  • Jadilah pengelola yang lebih baik dalam mengelola informasi
  • Sederhanakanlah
  • Perlakukan mengelola pengetahuan sebagai tugas yang dapat dialihkan, oleh karenanya diperlukan alokasi waktu
  • Sediakan alat-alat dasar dan latihlah orang cara menggunakannya
  • Kaji kemungkinan mengadaptasi sistem yang ada untuk menyediakan pengetahuan tepat waktu pada saatnya
  • Yakinlah bahwa sistem manajemen pengetahuan merupakan kebutuhan nyata
  • Cobakan sistem baru pada kelompok kecil yang representatif sebelum menerapkannya lebih luas
  • Belajarlah dari kesalahan orang lain
  • Yakinlah bahwa sistem manajemen pengetahuan berinteraksi dengan sistem yang ada
Dalam konteks tersebut penggunaan teknologi harus diarahkan pada upaya untuk menghubungkan orang-orang dalam organisasi agar kinerja organisasi makin efektif, untuk itu pilihan teknologi harus mengacu pada kepentingan tersebut.

Dengan demikian dapatlah difahami bahwa upaya membangun pendidikan pada setiap negara menjadi perhatian penting dengan kapabilitasnya masing-masing, yang jelas pendidikan diyakini sebagai upaya yang strategis dalam menghadapi ketatnya persaingan di era global. Pada dasarnya Pendidikan merupakan investasi dalam modal manusia (human Capital), dan modal manusia bisa dibentuk dan ditingkatkan kualitasnya melalui pendidikan, tanpa pendidikan adalah tidak mungkin modal manusia dapat berkembang.

Menurut Jac Fitz-enz (2000: xiii) dalam dunia bisnis Human
Capital merupakan kombinasi faktor-faktor berikut:
  • The traits one brings to the job : intelligence, energy, a generally positive attitude, reliability, commitment.
  • One’s ability to learn : aptitude, imagination, creativity, and what is often called “street smart”, savvy (or how to get things done)
  • One’s motivation toshare information and knowledge team spirit and goal orientation
Kutipan di atas menunjukan bahwa human capital merupakan kombinasi faktor-faktor yang sangat diperlukan dalam kehidupan social ekonomi masyarakat, sehingga apabila seseorang mempunyai faktor-faktor tersebut maka peranannya akan terus meningkat, dan inipun akan punya dampak ekonomi baik bagi individu maupun masyarakat, apalagi dalam konteks ekonomi yang berbasis pengetahuan.

Sementara itu menurut Mark L. Leengnick Hall (2003:45-46) yang mengutip beberapa pengertian, human capital diartikan sebagai berikut :
  • Human capital is “the knowledge, skills, and capabilities of individual that have economic value to an organization (Bohlander, Snell, & Sherman, 2001)
  • Human capital is “the collective value of an organization’s know-how. Human capital refers to the value, usually not reflected in accounting system, which results from the investment an organization must make to recreate the knowledge in its employees (Cortada & Woods, 1999)
  • Human capital is ”all individual capabilities, the knowledge, skills, and experience of the company’s employees and managers” (Edvinsson & Malone, 1997)
Dari tiga pengertian di atas nampak sekali adanya kesamaan esensi yang menunjukan bahwa modal manusia itu merupakan sesuatu yang melekat dalam diri individu, dan hal inipun tidak berbeda dengan pengertian yang dikemukakan oleh Jac Fitz-entz. Disamping itu hal yang cukup menonjol dari definisi di atas adalah dimensi ekonomi yang menjadi acuan kebermanfaatannya.

Dengan memahami dua konsep tersebut yaitu pendidikan dan human capital dapatlah difahami bahwa kemampuan-kemampuan yang ada pada manusia (human capital) pada dasarnya adalah merupakan hasil dari suatu proses pendidikan, pendidikan merupakan upaya untuk membentuk human capital yang berkualitas, dengan human capital yang berkualitas maka kehidupan ekonomi akan makin meningkat yang berarti ekonomi akan tumbuh dan berkembang sehingga pembangunan ekonomi dapat semakin cepat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Manajemen Pengetahuan

Kehidupan di jaman informasi dimana pengetahuan dipandang sebagai aset bisnis strategis memerlukan upaya pengelolaan pengetahuan agar dapat mendorong bagi perkembangan bisnis. Aset pengetahuan mencaku
p:
  1. Aset structural
  2. Merek
  3. Hubungan dengan pelanggan
  4. Hak paten
  5. Produk
  6. Proses operasi
  7. Aset manusia yang mencakup
  8. Pengalaman pegawa
  9. Keterampilan pegawa
  10. Hubungan personal
Pengetahuan telah menjadi aset bisnis utama didorong oleh perubahan-perubahan dalam bidang teknologi dan dalam bisnis global. Perubahan ini telah menjadikan orientasi manajemen SDM yang menitik beratkan pada tangible asset bergeser pada perhatian yang lebih menitik beratkan pada intangible asset. Hal ini juga berarti bahwa comparative advantage yang berbasis Sumberdaya Alam dalam bisnis bergeser pada competitive advantage yang berbasis kualitas SDM, dan dalam konteks inilah pengetahuan menjadi aset yang sangat penting dalam pengelolaan/manajemen SDM.

Dengan pemahaman pengetahuan seperti itu, maka manajemen pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut: “proses menterjemahkan pelajaran yang dipelajari, yang ada dalam diri/pikiran seseorang menjadi informasi yang dapat digunakan setiap orang”. Dalam konteks ini profesional SDM memandang manajemen pengetahuan sebagai menjamin penngetahuan yang diperoleh dikembangkan bersama dengan orang lain dalam organisasi. Dengan demikian, pengetahuan yang dimiliki organisasi secara penuh tersedia melalui penyediaan lingkungan yang tepat, budaya, struktur dan
 proses guna memotivasi dan mendorong sharing pengetahuan pada setiap tingkat dalam organisasi. Jadi tema utama dari manajemen pengetahuan adalah sebagai berikut :
  • Pembelajaran
  • Pengembangan/sharing
  • Penempatan orang di tempat yang tepat dan waktu yang tepa
  • Pembuatan keputusan yang efektif
  • Kreativitas
  • Membuat pekerjaan jadi lebih mudah
  • Mendorong tumbuhnya bisnis baru dan nilai bisnis
Adapun tahapan perkembangan manajemen pengetahuan dalam organisasi adalah sebagai berikut :
  • Knowledge-chaotic (tak sadar konsep, tak ada proses informasi, dan tak ada sharing informasi)
  • Knowledge-aware (sadar akan kebutuhan manajemen pengetahuan, adabeberapa proses manajemen pengetahuan, ada teknologi, ada isu tentang sharing informasi)
  • Knowledge-enabled (memanfaatkan manajemen pengetahuan, mengadopsi standar, isu-isu berkaitan dengan budaya dan teknologi)
  • Knowledge-managed (kerangka kerja yang terintegrasi, merealisasikan manfaat, isu-isu pada tahap sebelumnya teratasi)
  • Knowledge-centric (manajemen pengetahuan merupakan bagian dari misi, nilai pengetahuan diakui dalam kapitalisasi pasar, manajemen pengetahuan terintegrasi dalam budaya)
Bagi organisasi yang ingin menerapkan manajemen pengetahuan dalam organisasinya perlu menyadari pertama, bahwa pengetahuan ada pada orang dan bukan pada sistem, meskipun sistem punya data dan informasi yang dapat membantu proses pengetahuan. Kedua, penciptaan pengetahuan merupakan proses sosial, tercipta melalui interaksi antara individu-individu dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Uuntuk menjadikan manajemen pengetahuan menjadi bagian dari organisasi, diperlukan pergeseran peran dari manajemen dengan orientasi SDM yang operasional/tradisional menjadi orientasi SDM yang strategis. Adapun perbedaan antara yang tradisional (manajemen personalia) dengan Manajemen SDM adalah sebagai berikut :

Karakteristik perang manajemen personel/tradisional
  • Reaktif
  • Advokasi pegawai
  • Unit kerja/task force
  • Fokus pada isu operasional
  • Isu kualitatif
  • Stabilitas
  • Solusi taktis
  • Integritas fungsi
  • Orang sebagai beban/biaya
Karakteristik Perang Manajemen Sumberdaya Manusia (SDM)
  • Proaktif
  • Parner bisnis
  • Fokus pada tugas dan pemberdayaan
  • Fokus pada isu strategis
  • Isu kuantitatif
  • Perubahan konstan
  • Solusi startegis
  • Multi fungsi
  • Orang sebagai aset
Dalam mengimplementasi Manajemen pengetahuan, diperlukan SDM yang tidak hanya kompeten, tapi juga dapat menunjukan/mendemonstrasikan sikap sebagai
  • Mentransformasikan pengetahuan ke dalam tindaka
  • Membuat pilihan berdasar informasi tentang bagaimana berinvestasi dalam praktek SDM untuk menjamin hasil bisnis
  • Berhubungan dengan rekan profesi SDM dan manajer garis dengan penuh keyakinan bahwa dia punya sesuatu yang bernilai untuk ditawarkan
  • Menunjukan keyakinan, kepastian, pengambilan resiko, dan berorientasi tindakan 
Membangun Budaya yang berpusat pada pengetahuan

Organisasi perlu terus mengembangkan manajemen pengetahuan sampai dapat mencapai tahapan terakhir yaitu knowledge-centric organization. Dalam kondisi ini organisasi mampu menciptakan pengetahuan (knowledge-creating organization) yang mempunyai prinsip-prinsip (Charles Leadbeater) sebagai berikur :
  • Cellular - punya struktur organisasi yang adaptif tidak kaku
  • Self-managing - individu dan tim mengelola diri untuk membukan inovasi dan kreativitas.
  • Entrepreneurial - kewirausahaan yang mendorong pada kemampuan individu dalam memanfaatkan peluang bagi pertumbuhan dan perubahan
  • Equitable membership and reward - mengembangkan sistem reward yang adil yang dapat menumbuhkan rasa keanggotaan
  • Deep knowledge reservoirs - punya kapabilitas dengan fokus pada keakhlian spesialist ketimbang generalis
  • The holostic company - memanfaatkan aset pengetahuan yang berada di luar struktur organisasinya
  • Collaborative leadership - berorientasi pada kerjasama untuk mengarahkan, menginformasikan nilai dan mendorong memberdayakan yang lain dalam mengelola bisnis
Uraian di atas pada dasarnya menggambarkan tentang komponen-komponen kunci dari budaya yang berpusat pada pengetahuan, dimana di dalamnya mesti ada nilai-nilai yang jelas, prilaku pengetahuan, tempat kerja yang menumbuhkan energi, mendorong kreativitas untuk terus berkembang, serta mendukung kerjasama dan mengakui dan menghargai perbedaan. Dan semua ini bisa nyambung dalam kepemimpinan fasilitatif (fasilitative leadership) yang mampu mendorong, memampukan, dan mendukung penciptaan dan sharing pengetahuan dalam organisasi.

Sampai dengan tahun 1980-an, organisasi dikelola dengan menggunakan prinsip manajemen ilmiah dari Taylor, dimana struktur organisasi bersifat kaku dan sangat mempertahankan jalur komando, manajer bekerja untuk mengontrol bawahan agar bekerja dengan benar dan tepat waktu sesuai yang direncanakan, pimpinan puncak sangat berkuasa dan pemisahan antara atasan dan bawahan sangat tegas.
Kondisi ini jelas tidak dapat dipertahankan dalam organisasi dewasa ini yang menuntut fleksibilitas dan kemampuan merespon perubahan dengan cepat. Untuk itu diperlukan perubahan dalam mengelola organisasi agar manajemen pengetahuan dapat berjalan dengan efektif.

Dalam organisasi yang berbasis pengetahuan, fleksibilitas merupakan hal yang penting, untuk dapat merespon dengan cepat perubahan yang terus menerus terjadi, oleh karena itu organisasi perlu memberi otonomi agar dapat mendorong lahirnya inovasi. Organisasi yang demikian menurut Bhrami (1996) memerlukan karakteristik sebagai berikut :
  • Multiple centers (banyak pusat)
  • Diverse structure (struktur yang beragam)
  • Multiple alliance (aliansi jamak
  • Cosmopolitant mindsets (pola fikir kosmopolitan)
  • Emphasis on flexibility (menekankan fleksibilitas)
Pada saat pengetahuan menjadi asit binis utama, maka diperlukan adanya pegawai yang khusus menangani masalah ini, Chief Knowledge Officers (CKO) yang bertugas mengembangkan hubungan dengan infrastruktur, proses, dan budaya dari managemen pengetahuan dalam organisasi, dengan rincian tanggungjawab sebagai berikut :
  • Mengidentifikasi dan memprioritaskan perubahan yang perlu dibuat untuk mendorong/meningkatkan informasi dan pengetahuan organisasi
  • Melaksanakan proses, infrastruktur dan prosedur organisasi guna memampukan terbangunnya dan digunakannya secara efektif basis pengetahuan perusahaan.
  • Mendorong/memberdayakan seluruh staf berpartisipasi dalam membangun, menggunakan dan melindungi basis pengetahuan organisasi
  • Mengidentifikasi dan mengintegrasikan pelayanan lain yang mendukung bagi sistem managemen pengetahuan organisasi.
Karena dalam manajemen pengetahuan sangat diperlukan kecepatan dalammengakses informasi, maka diperlukan juga pegawai yang khusus menangani masalah informasi ini.

Dalam organisasi yang berpusat pada pengetahuan, setiap individu dalam organisasi perlu terus belajar dan sharing pengetahuan tersebut dengan individu lain dalam organisasi, karena semua lapisan dalam organisasi mempunyai peran penting dalam mengembangkan basis pengetahuan organisasi.
Hal itu perlu disadari mengingat banyak pemimpin bisnis yang percaya bahwa dalam era persaingan ekonomi global, mereka perlu punya kemampuan mengkapitalisasi atas dasar skala ekonomi, sumberdaya dan bakat yang tersedia dalam perusahaan sekaligus mengembangkan organisasi yangbersifat fleksibel dan otonom. Satu hal yang penting dalam upaya tersebut adalah menjamin bahwa setiap orang dalam organisasi memainkan perannya dalam mengembangkan, sharing, dan menggunakan pengetahuan.

 Peran SDM dalam membangun budaya yang berpusat pada pengetahuan

Sumberdaya manusia memegang peranan penting dalam membangun budaya yeng berpusat pada pengetahuan (knowledge-centric culture), dalam hubungan ini yang pelu diperankan oleh SDM untuk menambah nilai adalah sebagai berikut (Linda Holbeche) :
  • Fokus pada pembentukan struktur yang tepat
  • Mengembangkan kepemimpinan fasilitatif
  • Membangun infrastruktut teknologi informasi
  • Membina hubungan dengan pemasok.
Bidang lain yang dapat memberi pengaruh besar adalah memampukan budaya pengetahuan, serta dapat menjadi katalis perubahan budaya, disamping itu SDM hendaknya membenatu membangun infrastruktur yang dapat diterapkan dan memerlukan ketrampilan, ini dapat dilakukan dalam konteks perlu adanya struktur dan desain organisasi, karir dan struktur karir, manajemen kinerja, mengembangkan fokus belajar bagi organisasi, dan perencanaan suksesi.

Dengan demikian SDM mempunyai peran penting dalam mendorong perkembangan organisasi menuju organisasi yang berpusat pada pengetahuan, melalui pembentukan budaya organisasi yang mendukung pembangunan dan sharing pengetahuan. Secara spesifik SDM dapat menambah nilai dengan mengambangkan program kesadaran akan pengetahuan, baik sebagai aktivitas terpisah atau dengan mengintegrasikannya dengan program pengembangan organisasi yang ada, dalam hubungan ini perlu dikomunikasikan tentang bagaimana organisasi membangun kapabilitas manajemen pengetahuannya, menjamin kepemimpinan yang tepat dan menerima dukungan pengembangan, dan juga hal-hal yang berkaitan dengan dukungan untuk membangun budaya yang mendorong pembelajaran terus menerus.

 Belajar dalam ekonomi pengetahuan

Dalam era ekonomi global dewasa ini tak ada satupun kepastian, karena kepastian itu adalah perubahan, tanpa kemampuan untuk belajar terus menerus, maka SDM akan selalu ketinggalan, dalam kondisi yang demikian, program pelatihan pegawai menurut Reg Revans (1998) tidak dapat mengembangkan pegawai dalam lingkungan yang berubah sangat cepat, oleh karena itu diperlukan juga program pengembangan bukan hanya pelatihan, pengembangan berbeda dengan pelatihan, pengembangan mencakup :
  • Motivasi diri dan pemikiran orang tentang dirinya
  • Pendekatannya lebih holistik, dengan memperhatikan seluruh/segala situasi
  • Melihat kebutuhan jangka panjang
  • Tak ada jawaban benar ataupun salah.
Sementara pelatihan mencakup :
  • Lebih spesifik dan berhubungan dengan kebutuhan belajar sekarang
  • Menghasilkan perluasan akan kemampuan yang ada
  • Dilakukan untuk anda dan kepada anda (kurang terarah pada yang dilatih)
Oleh karena itu dalam pengembangan SDM diperlukan pendekatan yang integral yang berfokus pada praktek serta mencari pengungkit untuk mendukung belajar. Dalam hal ini diperlukan pembelajaran dalam praktek kehidupan sehari-hari, dan untuk mendorong pembelajaran tersebut ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan yaitu:

  • Pertemuan tim
  • Pertemuan dan perbincangan informa
  • Kerja tim lintas sektoral
  • Melalui siklus manajemen proyek
  • Komunitas pelaksana
  • Mengikuti kegiatan di ruang fisik yang didalamnya terjadi belajar
  • Memfasilitasi belajar melalui pemikiran informal dan ruang pembelajara
  • Membangun lingkungan belajar untuk memfasilitasi eksperimen dan bermain
  • Membangun budaya mentoring
Untuk mendapat kesuksesan dalam bisnis perusahaan menyadari akan perlunya organisasi yang responsif dan fleksibel namun tetap dapat berkelanjutan, dan hal ini jelas memerlukan perubahan budaya. Dalam hal ini ada lima hal penting yang strategis untuk perubahan yaitu :
  • Modal pemikiran - kemampuan menerapkan ide secara bebas dalam perusahaan
  • Mindset - kemampuan menangani hal rumit, dan dapat bertindak dalam ketidakpastian
  • Diversity - pendekatan dilakukan dengan bervariasi dengan perspektif yang bervariasi pula
  • Budaya mentoring - kualitas kemembantuan dalam hubungan antar orang dalam perusahaan
  • Akuntabilitas bersama - punya penekanan yang tepat pada pengawasan seraya memberi kebebasan orang bereksperimen dalam mengembangkan dengan berkonsultasi pada fihak lain
Dalam hal belajar, perusahaan, organisasi perlu juga belajar dari fihak/organisasi/perusahaan lain misalnya melalui benchmarking, atau belajar langsung dari spesialis organisasi lain.

Semua itu pada dasarnya merupakan upaya untuk menjadikan organisasi dapat belajar untuk kepentingan pengembangan organisasi usahanya, memang upaya pencarian dalam menciptakan ruang belajar baru makin meningkat, demikian juga upaya memaksimumkan kesempatan belajar dalam praktek kehidupan sehari-hari. Semua itu merupakan langkah penting dalam mengembangkan manajemen pengetahuan dalam manajemen SDM, dan hal tersebut akan membantu membangun dan mengembangkannya melalui kesiapan untuk terjadinya perubahan budaya, yakni budaya yang berpusat pada pengetahuan.

 Motivasi belajar diantara pekerja pengetahuan

Penjelasan sebelumnya lebih menekankan pada aspek organisasi dari belajar, belajar juga mempunyai dimensi personal yang berkaitan dengan motivasi. Terdapat dua pendorong belajar bagi profesional independen
yaitu:
  • Kebutuhan belajar yang diidentifikasi sendiri - belajar yang didasarkan pada kebutuhan sendiri seperti untuk karir pribadinya
  • Kebutuhan belajar yang diidentifikasi oleh orang lain - belajar untuk memenuhi kualifikasi formal berkaitan dengan pekerjaan tertentu
Dalam melakukan pembelajaran profesional SDM mengelola belajarnya melalui beberapa pendekatan yang umumnya bersifat informal yaitu:
  • Belajar dengan dan dari profesional  lain melalui pekerjaan spesifik tertentu.
  • Belajar melalui observasi dari pekerjaan profesional lain
  • Belajar dengan dan dari profesional lain melalui jejaring kerja
  • Belajar melalui kegiatan menghasilkan pengetahuan eksplisit
  • Belajar melalui proyek atau kegiatan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
  • Belajar melalui refleksi kritis
Dimensi motivasi dalam belajar memegang peran penting karena hal itu dapat menjadi pendorong untuk belajar, sementara caranya belajar akan  ditentukan oleh pilihan yang dirasa paling tepat sesuai dengan keinginan SDM itu sendiri.

Pentingnya Manajemen Pedidikan

Orientasi studi
manajemen pendidikan masih cenderung melihat sesuatu yang tampak di mata (tangible), kurang memperhatikan sesuatu yang tidak kelihatan (intangible) seperti nilai, tradisi dan norma yang menjadi budaya organisasi, dan ada di dalam sebuah organisasi. Beberapa tahun terakhir orang hanya beranggapan bahwa strategi, struktur, dan sistem adaah fokus dan faktor yang menjadi pendorong kusuksesan organisasi. Namun menurut Ouchi (1983) dan Key (1999) menyatakan bahwa kesuksesan organisasi justru terletak pada budaya organisasi yang meliputi nilai, tradisi, norma, yang direkat oleh kepercayaan, keakraban dan tanggung jawab yang menentukan kesuksesan organisasi.Sedangkan menurut Basri (2004) menyatakan bahwa budaya organisasi dapat dijadikan sebagai kekuatan organisasi apabila budaya organisasi tersebut dikelola dengan baik.

Untuk dapat mengelola budaya organisasi diperlukan pimpinan yang transformatif, memahami filosofi organisasi, mampu merumuskan visi, misi organisasi, dan menerapkannya melalui proses perencanaan organisasi.Dalam tulisan ini akan diulas secara ringkas manajemen pendidikan dilihat dari perspektif nilai dan budaya organisasi, walaupun banyak hal yang bisa dilihat dari sudut padang berbeda.
Pendekatan nilai dan budaya organisasi ini cenderung lebih mempengaruhi dalam pengambilan keputusan.

Organisasi lembaga pendidikan adalah suatu organisasi yang unik dan kompleks karena lembaga pendidikan tersebut merupakan suatu lembaga penyelenggara pendidikan. Tujuannya antara lain adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyaraat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, memperkya khanazah ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.Demikian komleksnya organisasi tersebut, maka dalam memberikan layanan pendidikan kepada siswa khususnya dan masyarakat pada umumnya organisasi perlu dikelola dengan baik. Oleh sebab itu lembaga pendidikan perlu menyadari adanya pergeseran dinamika internal (perkembangan dan perubahan peran) dan tuntutan eksternal yang semakin berkembang.

Menurut Jacques (1952) yang dikutip Hasri (2004), budaya organisasi didefinisikan sebagai berikut:“the culture of the factory is its customary and traditional way of thinking and doing of things, which shared to a greater or lesser degree by all its member, and which new members must learn, and at least partially accept, in order to be accepted into service in the firm” Sedangkan menurut Manan (1989) ada tujuh karakteristik budaya dasar yang bersifat universal yaitu: Kebudayaan itu dipelajari bukan bersifat instingtif- Kebudayaan itu ditanamkan Kebudayaan itu bersifat gagasan (idetional0, kebiasaan-kebiasaan kelompok yang dikonsepsikan atau diungkapkan sebagai norma-norma ideal atau pola perilaku- Kebudayaan itu sampai pada suatu tingkat meuaskan individu, memuaskan kebutuhan biologis dan kebutuhan ikutan liannya Kebudayaan itu bersifat integratif.
Selalu ada tekanan ke arah konsistensi dalam setiap kebudayaan Kebudayaan itu dapat menyesuaikan diri.

Schein (1985) memberi definisi bahwa budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang telah ditemukan suatu kelompok, ditentukan, dan dikembangkan melalui proses belajar untuk menghadapi persoalan penyesuaian (adaptasi) kelompok eksternal dan integrasi kelompok internal.Pendapat lain tentang budaya organisasi menyatakan bahwa budaya organisasi mengacu pada suatu sistem pemaknaan bersama yang dianut oleh anggota organisasi dalam bentuk nilai, tradisi, keyakinan (belief), norma, dan cara berpikir unik yang membedakan organisasi itu dari organisasi lainnya (Ouchi, 1981).Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi di lembaga pendidikan adalah pemaknaan bersama seluruh anggota organisasi di suatu lembaga pendidikan yang berkaitan dengan nilai, keyakinan, tradisi dan cara berpikir unik yang dianutnya dan tampak dalam perilaku mereka, sehingga membedakan antara lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya.

Kesimpulan

Akhirnya SDM perlu mengembangkan minat, pemahaman dan keakhlian dalam menerapkan peralatan temasuk yang bersifat teknologi untuk membantu mereka mencapai tujuan manajemen pengetahuan strategis organisasi. Ini berarti bahwa SDM perlu melakukan investasi untuk perkembangan dirinya sendiri, dan kini waktunya telah tiba bagi SDM untuk menunjukan kapabilitas dan memerankan model prilaku yang dibutuhkan untuk survive dalam ekonomi pengetahuan.

Belajar dalam era pengetahuan seperti sekarang ini sangatlah berbeda dengan belajar di masa lalu. Saat ini kita dituntut untuk belajar baik sendiri maupun bersama dengan cepat, mudah dan gembira, tanpa memandang waktu dan tempat. Hal ini mendorong berkembangnya konsep organisasi belajar (learning organization) yang menyatukan antara proses belajar dan bekerja. Disisi lain pengetahuan yang melekat pada anggota suatu organisasi juga perlu diuji, dimutahirkan, ditransfer, dan diakumulasikan, agar tetap memiliki nilai. Hal ini menyebabkan para pakar manajemen mencari pendekatan untuk mengelola pengetahuan yang sekarang dikenal dengan manajemen-pengetahuan atau knowledge management (KM).

Dengan demikian disamping lembaga pendidikan perlu mengaplikasikan manajemen pengetahuan dimana pembelajaran menjadi hal yang penting di dalamnya, juga harus menjadikan peserta didiknya menjadi manusia pembelajar yang akan tetap mampu dalam menghadapi perubahan yang terus bergerak dengan cepat. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa pendidikan yang dilakukan di sekolah dalam arti transfer ilmu pengetahuan tidak akan memadai untuk menghadapi kecepatan perubahan, oleh karena itu peserta didik mesti dibina menjadi orang yang selalu belajar sehingga dapat terus adaptif dan antisipatif terhadap perubahan, sehingga perubahan yang terjadi dapat memberi manfaat bagi kehidupannya.

Daftar Pustaka

-----------, 2006. Undang Undang No.14 tahun 2005 pendidikan nasional
Indonesia , Jakarta: Depdiknas RI

-----------, 2003. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 manajemen
pendidikan , Jakarta: Depdiknas RI

-----------,2002. Masalah manajemen pendidikan di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan Ditjen Dikdasmen - Dik menum.

Wanto
,  2005. Manajemen dan Pendidikan, Surabaya; Tabloid Nyata IV Desember

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *