Selasa, 22 Februari 2011

Psikolog: Anak Nakal Adalah Anak yang Cerdas

img
(Foto: thinkstock)

Oleh : Vera Farah Bararah

Jakarta, Orangtua kadang suka kesal atau marah-marah jika melihat anaknya selalu membuat masalah atau nakal. Namun psikolog mengungkapkan bahwa anak yang nakal adalah anak yang cerdas.

"Saat ini konsep kecerdasan sedang booming di masyarakat dan anak yang pintar selalu identik dengan anak yang jago matematika. Padahal anak yang cerdas itu adalah anak yang bisa menemukan hal-hal baru," ujar Efnie Indrianie, MPsi, seorang psikolog anak dari Psychobiometric dalam acara Inovasi Sidik Jari Cerdas Frisian Flag 2011 Bantu Ibu Berikan Stimulasi Optimal untuk si Kecil di Giggle FX Jakarta, Selasa (22/2/2011).

Psikolog yang akrab disapa Pipin ini menuturkan anak yang cerdas itu adalah anak yang suka membuat masalah, hal ini berarti anak tersebut memiliki kreativitas tinggi atau termasuk anak yang kreatif.

Anak yang kreatif umumnya bisa menemukan hal-hal baru atau berhasil menemukan suatu masalah, dan jika dilihat lebih jauh ke dalam otaknya maka sinapsis-sinapsis (pertemuan antara ujung saraf dengan saraf lainnya) akan terlihat ruwet.

Jika sinapsis di otak ruwet menandakan adanya koneksi yang bagus antara sel-sel saraf di otak, serta hal ini berarti anak mendapatkan stimulasi yang baik dalam perkembangan otaknya.

"Anak yang nakal atau usil itu karena tidak ada yang bisa dia kerjakan, jadinya ia malah jahil ke teman-temannya atau justru mencari-cari masalah," ujar psikolog yang menjadi Kepala Bidang Kajian Psikologi Perkembangan Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Pipin menuturkan dalam hal ini orangtua harus menyalurkan apa yang dimiliki oleh anaknya, misalnya menyediakan alat-alat atau sesuatu yang bisa dikerjakan untuk menyalurkan bakat kreativitas si anak.

Sisi kreativitas ini termasuk ke dalam salah satu soft skill yang dimiliki anak, selain kreativitas ada juga beberapa soft skill lainnya yang dimiliki oleh anak yaitu:
  1. Kepercayaan diri, ada anak yang memiliki kepercayaan diri tinggi, tapi ada juga yang memiliki demam panggung misalnya berani jika di dalam rumah tapi begitu di luar rumah atau bertemu dengan orang lain ia menjadi pendiam atau malu-malu.
  2. Kepedulian, ada anak yang memang sudah memiliki kepedulian sejak kecil. Misalnya ia hanya memiliki satu kue tapi temannya ada dua, maka dengan sendirinya ia akan membagi kue tersebut menjadi 3 lalu membagikan satu per satu ke teman-temannya.
  3. Inisiatif, ada anak yang memang diketahui memiliki inisiatif tinggi sehingga ia cenderung responsif.
  4. Kreativitas, ada anak yang diketahui memiliki kreativitas tinggi tapi ada juga yang tidak.
Sumber : http://health.detik.com/

Mahasiswa Boleh Bawa Senjata ke Kampus

Mahasiswa Boleh Bawa Senjata ke Kampus AP/Rocky Mountain News, Rodolfo Gonzalez/sa


MAYORITAS anggota legislatif Negara Bagian Texas sepakat memberikan hak kepada para mahasiswa dan dosen untuk membawa senjata api ke kampus. Aturan itu akan dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tengah digodok Senat.

Gubernur Texas yang berasal dari Partai Republik memberikan dukungannya terhadap RUU tersebut. Ia mengaku kerap membawa pistol ketika berolah raga di sekitar lingkungan rumah dengan dalih keamanan.

Para anggota dewan beralasan, korban kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di sejumlah kampus tidak akan berjatuhan jika saja para mahasiswa dan dosen memiliki senjata untuk melindungi diri. Mereka mencontohkan kasus penembakan massal yang menghebohkan di kampus Virginia Tech pada 2007.

Di negara bagian lain, semisal Utah, aturan serupa telah diberlakukan. Di Colorado, pemerintah setempat memberikan kebebasan kepada pihak kampus. (Mps/AP/I-5) 

Sekolah Swasta Dipinggirkan Pemerintah

Penulis: Ester Lince Napitupulu | Editor: Latief

 
KOMPAS.COM/ M LATIEF ILUSTRASI: 

Dengan kondisi ekonomi sekarang, masyarakat menarik anak-anaknya untuk sekolah ke sekolah negeri yang dibantu penuh oleh pemerintah.

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketika pemerintah terbatas pendanaannya dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah swasta berperan untuk ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Anehnya, saat merasa memiliki dana pendidikan yang semakin besar, pemerintah dengan gencar mempromosikan sekolah gratis, keberadaan sekolah-sekolah swasta justru dipinggirkan.

Kondisi tersebut terungkap dalam diskusi dan testimoni bertajuk "Ancaman Eksistensial Pendidikan Dasar di Perguruan Swasta". Diskusi dilaksanakan oleh Tim Advokasi untuk keadilan Pendidikan Dasar Anak Bangsa di Jakarta, Selasa (22/2/2011).

Sekolah-sekolah swasta saat ini mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 55 Ayat 4, khususnya untuk menghilangkan kata 'dapat' seperti yang tertulis di pasal itu. Dengan kata itu, pemerintah seolah-olah tidak berkewajiban membantu sekolah swasta.

Dalam diskusi itu terungkap, sekolah-sekolah swasta yang melayani pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu hingga menengah minim mendapatkan bantuan. Sertifikasi guru swasta dijatah dengan kuota yang lebih sedikit setiap tahunnya dibandingkan dengan guru PNS. Bantuan guru-guru PNS untuk sekolah swasta tidak ada lagi, bahkan di sejumlah daerah guru PNS yang masih ada di sekolah swasta dicabut.

Selain itu, akses pendanaan bagi sekolah swasta kecil untuk membantu peningkatan layanan pendidikan, misalnya rehabilitasi gedung sekolah dan penambahan sarana belajar, terbatas.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU) Marsyudi Suhud mengatakan, saat ini ada ribuan sekolah formal dan 21.000 pondok pesantren di bawah naungan NU. Sekolah swasta di bawah NU tersebut juga merasakan perbedaan perlakuan dari pemerintah dibandingkan dengan sekolah negeri.

Kenyataan itu didukung Machmud Masjkur dari Perguruan Salafiyah Pekalongan. Dengan kondisi ekonomi sekarang, masyarakat menarik anak-anaknya untuk sekolah ke sekolah negeri yang dibantu penuh oleh pemerintah.

"Sekolah swasta yang melayani anak-anak tidak mampu minim bantuan dalam banyak aspek," kata Marsyudi.
Suster Maria Bernardine dari Perguruan Santa Maria Pekalongan mengatakan, keluhan soal sikap pemerintah yang diskriminatif terhadap sekolah negeri-swasta terus mencuat sampai saat ini. Ini ternyata karena ada ketentuan dalam UU Sisdiknas yang mengatakan pemerintah dapat, bukan wajib, membantu sekolah swasta.
"Jadi, tidak ada kepastian bantuan untuk sekolah swasta dari pemerintah," kata Maria.

Darmaningtyas, pengamat pendidikan yang juga pengurus Perguruan Taman Siswa, menambahkan, sekolah-sekolah swasta yang melayani golongan rakyat kecil wajib memberikan dukungan pendanaan, terutama di jenjang pendidikan dasar. Hingga periode 1970-an, banyak sekolah swasta yang dibantu penuh oleh pemerintah, baik gedung, perangkat mebel, peralatan, maupun gurunya, yang dikenal dengan sekolah bersubsidi.

Menurut Darmaningtyas, ketika pemerintah punya uang untuk lebih memerhatikan pendidikan, yang diutamakan justru membangun sekolah-sekolah.

"Seharusnya, kan, bisa dengan memperkuat sekolah swasta yang ada, tetapi diberi subsidi sehingga tidak membenai masyarakat. Namun, kenyataannya sekolah swasta dibiarkan kalah bersaing dengan sekolah negeri yang dapat dukungan penuh dari pemerintah," ujar Darmaningtyas.

Peran sekolah swasta saat ini terus tergerus. Untuk tingkat SD, peran sekolah swasta sekitar 8 persen, SMP hanya 35 persen, sementara SMA mencapai sekitar 55 persen.

Pengurus PP Lembaga Pendidikan Maarif NU Masduki Baidlawi mengatakan, karena dukungan pada sekolah swasta akan membebani anggaran di APBN, pemerintah membuat aturan yang ambigu. Karena itu, kata "dapat" memberikan bantuan dalam Pasal 55 Ayat 4 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 harus dihilangkan supaya mengikat pemerintah harus juga memberi bantuan untuk sekolah swasta.

Guru adalah Agen Perdamaian

KOMPAS.com - Guru perlu aktif mempromosikan nilai-nilai kewarganegaraan, perdamaian, dan keberagaman. Sebab, guru mengemban misi menyiapkan generasi penerus bangsa yang bertanggung jawab. Guru juga harus membekali muridnya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup.
Hal itu merupakan bagian dari seruan bersama para pemimpin lembaga internasional untuk memperingati Hari Guru Internasional yang jatuh pada hari Selasa (5/10/2010).
Seruan bersama di Jakarta itu datang dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNESCO), Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), Program Pembangunan PBB (UNDP), Organisasi Buruh Internasional, dan Education International.
Para guru berperan untuk membangun harapan bangsa yang ingin memiliki generasi cinta damai dan hidup harmonis dalam keragaman. Sebab, banyak anak-anak saat ini mengalami trauma akibat menyaksikan kekerasan yang ekstrem, mengalami kehancuran rumah, dan kehilangan anggota keluarga.
Seruan dunia kepada guru itu, kata Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Suparman, amat relevan dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini. Guru perlu ikut aktif memulihkan kondisi sosial masyarakat dengan mengampanyekan penghentian segala bentuk kekerasan dan konflik. Di sekolah, guru harus menerapkan sikap antidiskriminasi dan memahami keberagaman.
Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, gesekan-gesekan sosial sering terjadi sebagai konsekuensi masyarakat Indonesia yang semakin tidak mengenal budaya Nusantara.
Pendidikan nasional tidak lagi memperkuat kebudayaan bangsa yang seharusnya diajarkan di sekolah. Ini terjadi karena pemerintah tak lagi menyatukan kedua unsur itu dalam satu departemen: pendidikan dan kebudayaan.
Tilaar menegaskan perlunya memperkuat pendidikan multikulturalisme di sekolah. Upaya itu penting untuk membentuk generasi muda yang mampu menghargai perbedaan budaya, agama, dan suku, serta keragaman lainnya.
”Pendidikan yang didesentralisasikan justru bisa mengancam. Bagaimana mau menyatukan bangsa Indonesia kalau guru terpaku di satu daerah. Ini karena guru sekarang jadi milik bupati atau wali kota,” katanya.
Setelah berbagai konflik melanda Indonesia berlatar belakang perbedaan agama dan suku, guru-guru mulai menyadari pentingnya membekali siswa dengan pendidikan damai. Pendidikan damai
Seperti di Sulawesi Tengah dan Maluku, guru-guru yang difasilitasi World Vision Indonesia melalui Wahana Visi Indonesia (WVI) mengembangkan pendidikan damai yang dinamakan pendidikan harmoni.
”Pendidikan harmoni merujuk dari pendidikan damai. Kami ingin memastikan nilai-nilai perdamaian, kemanusiaan, hak asasi manusia, multikulturalisme, dan perlindungan anak terintegrasi dalam kurikulum SD,” kata Frida Siregar, staf WVI untuk Pendidikan Damai Wilayah Sulawesi dan Maluku.
Pendidikan harmoni lahir dari semangat penyatuan dalam keberagaman. Kompetensi nilai harmoni yang dikembangkan adalah harmoni diri (tanggung jawab, keyakinan pada ajaran agama, kepercayaan); harmoni sesama (penghargaan, kejujuran, kepedulian); serta harmoni alam (ramah lingkungan, melindungi, kewarganegaraan).
Menurut Frida, dari hasil penelitian awal WVI di Palu dan Poso tahun 2009 ditemukan bahwa pemahaman akan perbedaan suku dan agama yang ada di masyarakat masih lemah. Masih ditemukan anak dengan agresivitas tinggi, rasa dendam, dan enggan berinteraksi dengan teman yang berbeda agama.
Di Palu, 35 persen anak menyatakan tidak mau berteman dengan mereka yang berbeda agama dan 14,2 persen tidak tahu. Di Poso, 10,8 persen anak tidak mau berteman dan 15 persen tidak tahu. (ELN)

Minggu, 13 Februari 2011

Woow… Inilah Mahasiswa Jenius Berumur 9 Tahun Asal Indonesia

March Boedihardjo, inilah prestasi yang luas biasa satu dari banyak mahasiswa keturunan Tionghoa yang lahir pada tahun 1998 di Hongkong. March Boediharjo dan keluarganya adalah orang Indonesia yang bermukim di Hongkong. Dan ketika tahun 2005, March dan keluarganya hijrah ke United Kingdom, ketika kakak laki-lakinya, Horatio Boediharjo yang saat itu berusia 14 tahun mendapat beasiswa di Oxford University, dalam program Phd, dan membuat ia menjadi salah satu siswa termuda di universitas itu.
Kedua anak keturunan Boediharjo ini memang menunujukantalenta lebih dalam bidang ilmu matematika, ayahnya memang sudah sejak kecil mengenalkan matematika kepada kedua anaknya ini, bahkan ketika makan pun yang mereka bicarakan adalah soal matematika. March menyelesaikan sekolah menengahnya di Inggris ketika ia dan keluarganya menemani kakaknya menempuh pendidikan di Ingris. Hebatnya, dia masuk dalam kelas akselerasi, sehingga hanya perlu waktu dua tahun menjalani pendidikan setingkat SMA itu. Hasilnya, dia mendapat dua nilai A untuk pelajaran matematika dan B untuk statistik.
Dia juga berhasil menembus Advanced Extension Awards (AEA), ujian yang hanya bisa diikuti sepuluh persen pelajar yang menempati peringkat teratas A-level. Dia lulus dengan predikat memuaskan. Dalam sejarah AEA, hanya seperempat peserta AEA yang bisa mendapat status tersebut. Ia juga mendapatkan 8 GCSEs dalam waktu yang sama dengan ketika ia mengikuti ujian A-level di Inggris. Setelah itu, ia pun mendaftarkan diri ke Baptist Hong Kong (HKBU), sebenarnya March sudah melamar ke beberapa universitas lain di Hong Kong. Di antaranya yaitu Universitas of Hong Kong, Hong Kong University of Science and Technology, dan Chinese University of Hong Kong. Namun, sayangnya universitas-universitas itu belum memberikan jawaban, aku ayah March.
Sebenarnya, March ingin menyusul kakaknya yang berusia 14 tahun yang melanjutkan pendidikan di Oxford University di Inggris, namun sayangnya keluarga mereka tidak punya cukup uang, waluapun ayahnya adalah seorang pengusaha karena biaya hidup di Inggris itu sangat mahal dan akhirnya March dan orang tuanya pun harus kembali ke Hongkong lagi meninggalkan kakaknya yang sedang menempuh pendidikan di Oxford.
Ia mencatatkan diri sebagai mahasiswa termuda di Universitas Baptist Hong Kong (HKBU). Di tahun-tahun pertamnya dia mengkritik bahwa pelajaran yang diajarkan terlalu mudah. Ia mendapatkan B+dan A- di hampir semua ujian matematika yang membuat ia masuk ke dalam daftar Dean, yaitu penghargaan bagi siswa yang memiliki IPK 3.00-3.49 dengan tidak ada nilai dibawah C. March juga akan memiliki gelar sarjana sains ilmu matematika sekaligus master filosofi matematika. Karena keistimewaannya itu, perguruan tinggi tersebut menyusun kurikulum khusus untuknya dengan jangka waktu penyelesaian lima tahun yaitu pada tahun 2010. Dia juga mengkritik bahwa ia tidak punya kesan baik terhadap rekan kuliahnya.
“Mereka tidak memberi tanggapan (di ruang kuliah). Mereka cuma mendengarkan dan satu sama lain tidak berinteraksi,” katanya.
Anak itu mengatakan rekannya di sekolah sebelumnya “ingin bermain”, tidak seperti mahasiswa perguruan tinggi.
Ketika ditanya tentang cara beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru, March mengaku tidak pernah cemas berhadapan dengan teman sekelas yang lebih tua darinya.”Ketika saya di Oxford, semua rekan sekelas saya berusia di atas 18 tahun dan kami kerap mendiskusikan tugas-tugas matematika,’’ kisahnya.
Seorang wartawan BBC di Hongkong, Vaudine England pernah mewawancarinya suatu saat dan ia berkata bahwa March Tian Boedihardjo tidak beda dengan bocah-bocah lain yang berusia 9 tahun, ia masih memiliki sisi kejenakaan khas anak-anak dan March juga mengaku bahwa selain ia hobi melahap dan mempelajari semua buku matematika miliknya, ia juga sangat senang bermain catur, monopoli, dan lego. (forum.vivanews.com)

10 Nasib Mahasiswa Tingkat Akhir


1. Rajin ke Perpustakaan
Mahasiswa tingkat akhir, pastinya disuruh banyak cari referensi, ntah itu jurnal ato skripsi dari alumni, n mau g mau mereka cari bahan di perpus kampus ato perpus daerah... Kalo yg awalnya mereka cuma sekali dalam 1 semester ke perpus, bisa dipastikan dengan adanya skripsi mereka harus ke perpus berkali-kali, biar dapet revisi banyak

2. Rajin Searching
Selain ke perpus, banyak mahasiswa yg diharuskan cari-cari bahan tambahan di internet, mau ga mau (pasti mau) mereka searching bisa sampe berjama-jam lamanya.. heheheh tp mungkin kebanyakan ngaskus & fesbuk ketimbang cari bahan.

3. Rajin beli kertas & tinta
Kalo yang ini pasti gan, mahasiswa pasti membutuhkan yg namanya kertas n tinta untuk ngeprint skripsi yg dah mereka buat... tp g jarang jg, mahasiswa jadi boros sama kertas, alasannya kalo tiap bab di konsulkan ke dosen, biasanya banyak yg dicoret2 dan harus ngulang lagi

4. Begadang
99% kemungkinan banyak mahasiswa yang begadang, apalagi kalo sudah masuk date line.. wuuiihh bisa ampe jam 2 malem, jam 3, jam 4 shubuh.. bahkan sampe g tidur

5. Makan ga teratur
Kadang terlalu sibuknya mahasiswa, dari kost, kampus, perpus, ketemu dosen dan blaa blaaa blaaaaa nyebabkan mereka makannya g teratur... pagi sarapan, siang ngemil doank, malem g makan, tp tengah malam sambil begadang mereka ngemil lagi

6. Duit cekak
cekak ato malah sama sekali kagak punya duit udah biasa di kalangan mahasiswa.. yaaapp jalan satu2nya adalah ngutang. udah g terhitung berapa banyak mahasiswa di indonesia yg ngutang untuk menutupi krisi di akhir semesternya.. mo minta kiriman ortu, malu karena bulan ini minta 2x... Kalo untuk tingkat akgir, ada juga yang ngadain riset ato analisa, n membutuhkan dana yg lumayan banyak... bisa jadi satu sampel analisa biaya peneliatian ampe 300 rbu, bayankan aja klo banyak sampel yg mesti diteliti... tambah bokek ajaa deh si mahasiswa

7. Nunggu Dosen Ampe Kering
Males banget ga sih, klo mesti nunggu dosen yang g pasti datengnya, ditelpon janjinya 1 ato 2 jam lagi ternyata setelah berjam2 g nongol juga.. ammmpooooonnn dahhhhh

8. Riset gagal
Disini parahnya gan, klo misalkan riset ato analisa gagal ditengah jalan ,apalgi kalo sudah didesak dosen untuk cepet selesai.. apa tambah g gondok kita... bayangkan berapa usaha yg kita lakukan, berapa duit yang kita keluarkan.. klo ngebayangin itu, naudzubillah... menyedihkan

9. D.O.W.N
jangan sampe ini terjadi sama Bro2 sekalian, ngerasa putus asa, n g ada semangatnya lagi, hal ini bisa terjadi karena :riset gagal, jenuh, ngeliat temennya sudah kelar, minder dll... ketika kita ngerasa down, cari variasi baru ato refresh kan pikiran sejenak untuk ninggalkan masalah skripsi.. yang penting cari suasana baru. Tp inget jangan terlalu kebawa enak, ntar skripsinya dilupaian berabe

10. Emosi Gak Stabil
Mungkin karena pengaruh suasana, mahasiswa kadang2 jadi emosional.. kadang marah2 g jelas, kadang nangis, kadang ngurung diri dikamar.. yaaacchh ngebayangin skripsi mereka yang g kelar.. memang g semua, tp pasti ada beberapa...

Perasaaan Lulus jika sukses skripsi:

Haisobat, Situs Belajar Interaktif untuk Anak

 Jika biaya kursus yang mahal tidak terjangkau, mereka dapat belajar secara mandiri.

PT Telkomsel baru saja menghadirkan website belajar interaktif terbaru bertajuk Haisobat.com yang merupakan media komunikasi berbasis Web untuk para pelajar dan anak muda.

Di dalam website tersebut, Telkomsel menyediakan menu yang dapat dimanfaatkan oleh anak muda untuk menambah wawasan maupun pengetahuan akademik.

"Website ini dibuat untuk memberi ruang bagi para siswa maupun guru untuk saling bertukar informasi tentang aktivitas masing-masing sekolah yang tergabung di Telkomsel School Community," kata Venusiana Papasi, Vice President Area Jabodatebek Jabar Telkomsel, di Jakarta, Sabtu 29 Januari 2011.

Di sisi konten akademik, Haisobat.com sementara ini menyediakan menu pembelajaran matematika yang meliputi Aljabar dan Trigonometri, yang mana keduanya dijabarkan dengan metode yang sangat sederhana dan menarik.

"Di sini para siswa dapat belajar interaktif tentang cara cepat mengerjakan soal beserta tips dan trik tertentu," ujar Venusiana. "Nantinya, kami akan mengembangkan konten ini ke disiplin ilmu lain seperti fisika, dan sebagainya. Sejauh ini baru tersedia matematika karena dianggap sebagai mata pelajaran inti yang bermanfaat untuk mengasah logika anak."

Venus juga mengatakan, kehadiran portal ini diharapkan dapat membantu para pelajar atau siswa yang merasa kurang mampu untuk mengikuti kursus lantaran biaya yang mahal.

"Mereka (para siswa) tidak perlu membeli buku pelajaran tambahan karena selain mahal ia juga gampang tercecer. Kini semua konten ada di Internet. Lengkap dengan soal-soal dan cara mengerjakannya. Nanti akan kami buatkan portal versi mobile supaya siswa lebih mudah mengaksesnya melalui ponsel," jelas dia.

Selain menu-menu pelajaran, Venus menjelaskan, Haisobat.com juga dilengkapi dengan menu-menu ringan sesuai minat para siswa, seperti fashion, musik, foto, video, blog, hingga programming. "80 persen konten di dalamnya adalah seputar akademik, sisanya adalah menu penunjang seperti minat," paparnya.

"Target segmennya adalah anggota komunitas Telkomsel School Community yang meliputi seluruh komunitas pelajar pengguna layanan Telkomsel. Karena ke depan, segmen komunitas akan menjadi segmen paling loyal ketimbang pelanggan biasa," tandas Venusiana. (umi)•

Sumber : VIVAnews

Minggu, 06 Februari 2011

Apa yang Salah dengan Pendidikan Indonesia?

Pada akhir abad ke-20, para gubernur Amerika Serikat (AS) menyatakan, perang bukan lagi di medan pertempuran, tetapi di ruang kelas.

Tetapi, pertarungan di ruang kelas tersebut belum terwujud di Indonesia. Pasalnya, pemerintah kita bukan hanya berbohong, tetapi tidak menjalankan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Hal tersebut disampaikan Guru besar emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Dr. H. Soedijarto, MA, dalam Diskusi Publik untuk Menganalisis Laporan ke Rumah Pengaduan Pembohongan Publik di Bidang Pendidikan yang diselenggarakan oleh Forum Rektor dan Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Kebohongan bekerja sama dengan Ma'arif Institute, hari ini.

Soedijarto memaparkan, salah satu kebohongan yang dilakukan pemerintah adalah tidak memenuhi amanat pasal 31 ayat (2) UUD 1945. "Pasal tersebut menyiratkan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan. Tapi kenyataannya, mengapa pemerintah justru hanya memberikan bantuan melalui bantuan operasional sekolah (BOS), bukannya mengusahakan pendidikan gratis?" kata Soedijarto di Kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jumat, (4/1/2011).

Hal lain yang dijamin konstitusi adalah setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan sesuai minat dan bakatnya. Tapi yang terjadi, selain ada sistem pendidikan nasional, tiap daerah juga mengusahakan sistem pendidikan sendiri-sendiri.

"Lantas soal biaya pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan nasional sekurang-kurangnya kita membutuhkan 20 persen dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN), bukan berarti mentok di angka itu. Tapi sebelumnya, pernahkah kita menghitung kebutuhan pendidikan?" ujar Soedijarto menggugat. 

Dia menyayangkan, tidak ada yang gelisah dengan permasalahan tersebut. Bahkan, para rektor pun hanya berdiam diri ketika pemerintah membolehkan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Padahal, sudah menjadi kewajiban pemerintahlah menyediakan biaya pendidikan.

"Di seluruh dunia, anggaran perguruan tinggi mencapai satu persen pendapatan domestik bruto (PDB). Indonesia baru 0,3 persen PDB. Karena itulah PTN boleh menyelenggarakan BHP. Tapi kenapa rektor tidak menuntut pemerintah?" Soedijarto menegaskan.

Dia juga mengkritik, tidak ada satu pun elit politik mengatakan pendidikan itu penting. "Padahal, Deng Xiao Ping mengatakan, pemimpin yang tidak menguasai pendidikan tidak pantas memimpin," ujarnya menambahkan.

Sumber : http://kampus.okezone.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *