Minggu, 04 Juni 2017

POTRET PERNIKAHAN NABI




Kebutuhan  akan  pernikahan adalah sebuah  masalah  klasik  siapapun tak dapat menyangkalnya, kecuali kala sisi-sisi kenormalan dan kewajaran  dibunuh pada jiwa manusia. Karena itu, maka  Nabi  menjelaskan secara gamblang,

Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku (menikah, beristirahat malam dan tidak berpuasa dahr, yakni setiap hari tanpa henti), maka ia bukanlah umatku...
Beliau juga menegaskan,
“Tidak ada hidup kependetaan dalam Islam” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan beberapa perawi lain)

Nabi sungguh mengecam orang yang enggan menikah, yang berniat menjomblo seumur hidup atau dalam watu yang lama tanpa jelas akan berhhenti melajang. Menikah bukan sekadar tuntutan fitrah dalam Islam, tapi juga sunnah Rasulullah yang membedakan budaya dari sebagian kalangan kafir, sejenis kependetaan yang memandang menikah sebagai penghalang menuju pendekatan diri kepada Alloh, sehingga menikah membawa misi yang sangat kuat untuk mendobrak budaya itu dan membumihanguskannya dari seluruh generasi Islam.

Pernikahan di mata Rasulullah tentu sarat makna dan tujuan. Itu bisa kita pahami dari berbagai Hadist dan ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang keutamaan menikah dalam Islam. Tetapi yang ditegaskan di sini adalah sudut pandang  khusus tentang pernikahan  yang membedakan, antara sudut pandang Islam dan sudut pandang manusia. Yakni, bahwa menikah itu bukan hanya diakui sebagai kebutuhan manusia yang memiliki banyak keutamaan, perwujudan ibadah non madhah sepertihalnya aktivitas makan dan minum,namun juga sunnah. Sesuatu yang disebut sunnah, akan memiliki nilai tersendiri, dari sesuatu yang sekadar disebut ibadah. Karena pada hakikatnya aktivitas seorang muslim tidak lepas dari lingkaran ibadah.
Oleh karena itu, di dalam pernikahan terkandung nilai ibadah sebagaimana yang telah Rasulullah  sabdakan. Maka seseorang dapat diharapkan lebih mendekatkan dirinya pada Alloh dan lebih giat lagi dalam beribadah sebagaimana setelah ia menikah. Selain itu, setiap hal yang berkaitan dengan  proses, alasan dan perjalanan menuju pernikahan yang pernah dilakukan Nabi SAW semasa hidup beliau, akan menjadi potret implementasi salah satu sunnah beliau yang sudah tentu sarat dengan keteladanan.

Ada banyak rumor negatif seputar pernikahan yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW, yang berkembang luas di kalangan para orientalis dan musuh Islam, sebagai salah satu alasan mendiskreditkan kedudukan Rasulullah SAW. Semua itu tidak lepas dari misi mereka yang ingin mencari-cari celah kelemahan Islam yang disertai ketidaktahuan mereka akan pengetahuan Islam. Padahal setiap pernikahan beliau dengan para Ummul Mukminin mengandung keutamaan yang hanya dimiliki oleh beliau, mengingat bahwa kehidupan Nabi –hingga hal-hal terkecil dalam rumah tangga beliau- adalah teladan bagi par umatnya.



Sebagaimana firman Alloh SWT yang artinya,

“Dalam diri Rasulullah, terdapat suri tauladan yang baik bag kalian, yakni bagi orang yang selalu mengharapkan rahmat Alloh dan hari akhirat dan dia banyak menyebut Alloh.” (Q.S Al-Ahzaab: 21)

Semua hikmah rahasia dan pelajaran di balik setiap pernikahan Nabi itulah yang akhirnya menjadi potret dari sudut pandang Nabi terhadap pernikahan yang memiliki dimensi khusus, yang tak akan tersentuh oleh kecerdasan manusia biasa. Karena beliau hidup dan beraktivtas di bawah bimbingan wahyu Alloh yang memuat nilai kebenaran mutlak.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya,
“Ia (Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wassalam) tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu, semata-mata, ia hanya berbicara dengan wahyu (Al-Quran) yang disampaikan kepadanya”
(Q.S An-Najm: 3-4)

Seperti diucapkan Aisyah, Ummahatul Mukminin,
“Akhlak beliau adalah Al-Quran itu sendiri.2

Hal itu sesuai dengan jaminan dalam Al-Quran:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
(Q.S Al-Qalam: 4)

B.   Pernikahan Nabi Dengan Lebih Dari Empat Istri

Para ulama sepakat bahwa dalam syari’at ada beberapa hal-hal yang khushushiyyahatau pengkhususan bagi Nabi SAW. Diantara itu ada yang merupakan kelebihan beban, seperti sholat malam yang hukummnya wajib bagi Rasulullah SAW saja, sementara bagi ummatnya hukumnya sunnah, dan ada juga yang sifatnya keringanan bagi beliau, seperti menikah lebih dari empat istri. Meski mufakat, tapi realistis ini sering dipandang oleh  sebagian kalangan orientalis dan sejarawan non Muslim sebagaii sikap ‘Aji Mumpung’, karena beliau sebagai nabi dan pemimpin umat. Padahal, umumnya pernikahan itu berdasarkan perintah Alloh, dan berdasarkan hikmah-hikmah kenabian lain yang sangat jelas tergambarkan  dalam catatan riwayat-riwayat sejarah yang sah dari diri beliau, dan perikehidupan beliau seutuhnya sebagai manusia, sebagai suami, sebagai ayah, serta sebagai Nabi dan Rasul.
Adapun jumlah wanita yang dinikahi oleh Rasulullah SAW, para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan sembilan, sepuluh, sebelas atau lebih. Namun yang jelas perbedaan itu mengacu pada beberapa hal berikut:

1.  Perbedaan definisi ‘Menikah’. Apakah hanya nikah dengan wanita sebagai istri saja, atau termasuk juga mengggauli budak wanita yang dihalalkan dalam Islam tanpa mengambilnya sebagai istri.
2.  Adanya istri Nabi yang sebagian namanya tidak dimasukkan dalam kategori Ummahatul Mukminin, bukan karena ketidakutamaannya namun pernikahannya yang begitu singkat dengan Nabi, karena keburu wafat. Atau karena mereka adalah mantan hamba sahaya yang dimerdekakan oleh Nabi kemudian beliau menikahinya sebagai istri, bukan sebagai selir.

Riwayat yang sering digunnakan untuk  menjelaskan pernikahan Nabi dengan para Ummahatul Mukminin adalah sebagai berikut:

“Dari Abu Umamah Al Bahili diriwayatkan sebuah hadist , dari ayahnya, bahwa sang ayah menuturkan:
“Di Mekah, Nabi SAW menikah dengan:
1.    Khadijah binti Khuwailid, seorang janda yang sebelumnya memiliki suami bernama Atiq bin ‘Aidz Al-Makhzuumi.
2.    Masih di Mekah, beliau menikah dengan Aisyah, dan tidak pernah menikah lagi dengan perawan selain Aisyah.
3.    Saat tiba di Al-Madinah, beliau menikahi Hafshah binti Umar bin Al-Khattab, yang juga seorang janda, dan suaminya terdahulu bernama Khunais bin Hudzaafah As-Sahmi.
4.    Lalu beliau menikahi Saudah binti Zum’ah, yang juga seorang janda, mantn istri dari Sakan bin Amru, saudara dari Amir bin Luayy.
5.    Kemudian beliau menikah dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, yang merupakan jandan dari Ubaidillah bin Jahys.
6.    Setelah itu beliau menikahi Ummu Salamahbinti Umayyah yang nama sebenarnya adalah Hindun, mantan istri dari Abu Salamah bin Abdil Asad bin Abdil Uzza.
7.    Kemudian beliau menikah dengan Zainab binti Jahsyi, janda dari pria bernama Zaid bin Haritsah.
8.    Setelah itu beliau menikahi Maimunah binti Al-Harits
9.    Lalu beliau menikahi tawanannya, Juwairiyyah binti Harits bin Abi Dhiraar dari Bani Mushthaliq, bani Khuzaa’ah dalam sebuah peperangan di mana beliau berhasil menghancurkan berhala Manaat, perang al Muraisi’.
10. Beliau juga menawan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab dari Bani Nadhir. Keduanya tawanan hak yang beliau peristri.
11. Lalu beliau menjadikan Raihanah sebagai selir (digauli karena ia budak wanita, tanpa dijadikan istri), kemudian beliau memerdekakannya sehingga Raihanah kembali kepada keluarganya. Di tengah itulah Raihanah mulai mengamalkan hijab.
12. Beliau juga menggauli sebagai selir dan kemudian menceraikan kembali Al’Aliyyah binti Zhabyaan.
13. Hal yang sama beliau lakukan terhadap saudari Bani Amru bin Kilaab
14. Hal yang sama lagi beliau lakukan terhadap saudari Bani Al-Jun Al-Kindiyyah, karena ia memiliki sakit kusta.
15. Ada lagi istri yang beliau nikahi secara wajar, Zainab binti Khuzaimah Al-Hilaaliyah, saat itu beliau masih hidup. Selanjutnya terdengar bahwa Aliyyah binti Zhabyaan menikah sebelim Alloh mengharamkan Nabi menikah dengan wanita lain lagi, dengan sepupunya sendiri dan memiliki anak darinya.

Ibnu Hajar menjelaskan,
“Nabi SAW pernah menggauli istri-istrinya sehari semalam sekaligus, sementara mereka berjumlah sebelas.Namun Said meriwayatkan dari Qatadah, bahwa Anas meriwayatkan hadist yang menceritakan kalau istri Nabi berjumlah Sembilan. Mereka adalah:
1.          Aisyah binti Abu Bakar
2.          Hafshah binti Umar
3.          Ummu Salamah binti Abi Umayyah
4.          Zainab binti Jahsyi
5.          Ummu habibah binti Abu Sufyan
6.          Saudah binti Zum’ah
7.          Juairiyyah binti Al-Harits
8.          Shafiyyah binti Huyayy
9.    Zainab bintu Khuzaimah yang dikenal dengan sebutan Ummul Masaakin atau Maimunah binti Al-Harits

Karena Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia sebelum Rasulullah, sementara maimunah adalah istri yang terakhir kali beliau nikahi.Demikian juga, bila dikatakan bahwa Zainab termasuk istri beliau, sementara Maimunah tidak.Kalau Zainab wafat, maka belum termasuk Sembilan bila mMaimunah tidak ikut serta.Itulah yang relevan dengan riwayat Sa’id. Adapun dua wanita tambahannya adalah seperti disebut di hadist Hisyam: Mariah Al-Qibthiyyah dan Raihanah An-Nadhiriyyah. Keduanya sesungguhnya adalah hamba sahaya , namun disebut ‘istri Nabi SAW’, dalam ungkapan umum saja. Setelah beliau wafat, yang tersisa adalah sembilan istri, dengan Mariah sebagai tambhannya. Di masa hidup beliau sendiri, istri beliau yang wafat adalah Zainab, setelah Khadijah tentunya…..5

Maka, memang ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi menikahi tiga belas orang istri, termasuk Zainab binti Khuzaimah, karena menyertakan juga Mariah dan Raihanah.Wallahu A’lam.6


C.   Pernikahan Rasulullah Dengan Khadijah Binti Khuwailid

Rasulullah pertamakali menikah pada usia 25 tahun (sebelum diangkat menjadi Nabi) dengan seorang janda bernama Khadijah binti Khuwailid, seorang pedagang kaya. Pertemuan Rasulullah dengan Khadijah binti Khuwailid terjadi saat beliau untuk kedua kalinya pergi berdagang ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah binti Khuwailid bersama pelayan Khadijah yang bernama Maisarah dengan system perdagangan qiraadh.Singkat cerita di luar perkiraan manusia waktu itu, akhirnya Rasulullah pun menikahi Khadijah.Saat itu Khadijah berusia 40 tahun sementara Rasulullah 25 tahun.
Kita semua tahu, bahwa dalam kacamataIslam , wanita bisa dinikahi karena beberapa alas an:
1.    Karena kecantikannya
2.    Karena keturunannya (termasuk juga akhlak dan karakter kepribadiannya)
3.    Karena kekayaannya
4.    Karena agamanya.

Islam menganjurkan agar seseorang mencari keberuntungan sejati engan memprioritaskan agamanya.

“Menanglah dengan memilih agamanya, maka “taribat yadaaka”(dirimu akan selamat dari cela”


a.  Keteguhan dam Kecintaan Khadijah Pada Nabi
Saat menetapkan tekad menikahi Khadijah, Nabi SAW sudah mengetahui kualitas agamanya. Hal itu terbukti , bahwa memang Khadijah adalah pribadi yang memiliki kualitas agama yang bagus. Bahkan saat beliau diangkat sebagai nabi, dan saat orang-orang nyaris mustahil mempercayai pengakuan beliau, khadijah justru memberikan persaksian hebat atas kebenaran klaim beliau itu.Rasulullah SAW sendiri sangat membanggakan keteguhan sikap Khadijah tersebut.

“Khadijah beriman ketika orang-orang kafir kepadaku, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dan dia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang memblokadeku”

Sebagai istri, khadijah memiliki kepribadian yang kuat dalam agamanya.Slain karena keimanannya yang hadir dalam dirinya, di saat harta keimanan begitu mahalnya, Khadijah bahkan bisa member support dan peneguhan pada diri Rasulullah.Hal tersebut terbukti saat pertamakali Rasulullah menerima wahyu di Gua Hira. Rasulullah yang menggigil sepulang dari Gua Hira bercerita tentang apa yang baru saja menimpanya, namun  Khadijah justru meneguhkan sikap beliau.

“Bergembiralah. Sama sekali tidak mungkin Alloh menghinakan dirimu, sama sekali tidak mungkin selama-lamanya. Karena engkau bisa menyambung tali silaturrahim, selalu berkata jujur, selalu mengemban amanah, suka menolong orang-orang yang  kesusahan, dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran.”

Usia yang lebih itu memberikan kedewasaan yang lebih mumpuni, sehingga Khadijah tak hanya mampu menerima keberadaan suaminya yang saat itu diutus oleh Alloh sebagai Rasul-Nya, tapi bahkan mampu memberikan dorongan moril kepada beliau, justru saat beliau sendiri merasa khawatir dan sedikit bimbang. Itu akan sulit dilakukan bila usia Khadijah saat itu masih sangat muda, apalagi jauh di bawah Rasulullah.

D.   Pernikahan Rasulullah Dengan Aisyah Binti Abu Bakar

Saat disebut ‘istri Rasulullah’ maka yang terbayang oleh kebanyakan kaum muslimin adalah wanita yang satu ini, Aisyah Radhiallahu’anha.Wanita suci, yang memang dipilih oleh Alloh untuk menjadi pendampingi Nabi-Nya yang mulia.Jelas, dia adalah wanita dengan segala kemuliaan yang dimilikinya.

a.  Berbagai Pendapat Tentang Umur Aisyah
Pernikahan Nabi SAW dengan Aisyah, secara lahiriah terkesan berkebalikan 180 derajat dengan pernikahan beliau dengan Khadijah. Ketika menikahi Khadijah, usia beliau jauh lebih muda di bawah istrinya, saat menikahi Aisyah justru sebaliknya, perbedaan usia  Aisyah jauh berada di bawah usia beliau.
Pernikahan antara beliau dengan Aisyah sempat menjadi gonjang-ganjing di kalangan orientalis dan musuh-musuh Islam yang memendam kedengkian terhadap kebenaran Islam. Mereka berusaha mengambil celah-celah halus seputar proses dan perjalanan pernikahan tersebut, yang menurut sebagian mereka, di luar kewajaran.
Riwayat paling populer di kalangan juru dakwah muslim di tanah air, dan itu juga tercatat dalam sebagian buku sejarah yang akrab dengan para penuntut ilmu negeri ini, seperti Husnul Yaqin, bahwasannya Aisyah menikah dalam usia 7-9 tahun.
Menurut At-thabari, Aisyah dipinang pada usia 7 tahun. Kemudian berumah tangga di usia 9 tahun.

b.    Hikmah Pernikahan Nabi Dengan Aisyah
Bagi pemerhati hadist-hadist Nabi, tentu sudah menjadi hal yang sangat akrab saat disebutkan dalam banyak hadist, “Diriwayatkan dari Aisyah,” “Aku perna bertanya kepada Aisyah,” “Aisyah menceritakan,” dan kalimat-kalimat serupa dalam berbagai persoalan. Bukan hanya persoalan rumah tangga, namun soal berwudhu, sholat, --termasuk bacaan tahiyyat--, sholat malam Rasulullah, buang hajat, jihad, warisan dn berbagai persoalan lainnya.
Maka, salah satu hikmah dan pelajaran dari pernikahan nabi dengan Aisyah adalah hal yang menjadi kekhususan beliau, yakni menempatkan Aisyah sebagai narator hadist yang sangat spresifik.Jumlah hadist-hadist yang diriwayatkan Aisyah memang lebih sedikit –namun tidak terpaut banyak—disbandingkan dengan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Namun, banyak hadist-hadist Aisyah yang nyaris hanya bisa dilakukan oleh Aisyah sendiri. Seperti hadist Aisyah yang paling popular mengenai adab dan etika nabi dalam berhubungan suami istri,

“Bila seseorang sudah berada di antara empat cabang tubuh istrinya, lalu ia melakukan ‘kerja yang melelahkan’ terhadap istrinya itu, ia sudah wajib mandi”

Aisyah juga menceritakan detail-detail perilaku keseharian Nabi ketika di rumah, mulai dari apa yang pertamakali dilakukan oleh Nabi,saat beliau masuk ruma 

E.   Pernikahan Rasulullah Dengan Saudah

Masa sepeninggal Khadijah adalah ujian terberat bagi Rasulullah. Tahun wafatnya sang istri dikenal sebagai ‘Tahun Berkabung’. Saat itu jiwa beliau terguncang. Hanya keimanan dalam dada beliau dan misi agung sebagai Rasul, yang membuat beliau masih mampu membangun ketegaran dalam dirinya.keguncangan itu wajar karena Khadijah bukan saja sebagai istri  yang setia mendampingi beliau dalam susah dan senang, namun juga penyokong utama dakwah dan risalah kenabian beliau di masa-masa tersulit dalam hidupnya. Maka, sungguh merupakan hikmah yang besar, bila Alloh menganugerahkan  kepada beliau istri lain, sebagai pendamping beliau, yang akan mampu meredam segala kedukaan itu, dan menjadi salah satu Ummahatul Mukminin yang penuh kemuliaan. Akan bagus, kalau pendampingnyajuga wanita yang tahu  bagaimana rasanya kesepian ditinggal  wafat pasangan yang sangat dicintainya. Bersamanya, Rasulullah bisa berbagi rasa.Siapakah wanita yang layak mendapatkan tempat seperti itu?

Tersebutlah satu nama mulia yang tak lepas dari roda pedati kehidupan Rasulullah, mengisi kekosongan jiwa beliau setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid. Ya, dia adalah Ummul Mukminin Saudah binti Zam’ah bin Qais bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Wadd bin Nashr bin Malik bin Hasl bin ‘Amir bin Lu’ai bin ghalib bAl Quraisyiyyah Al ‘Amiriyyah yang memiliki kun’yah ummul Aswad. Ibunya adalah Asy-Syamus binti Qais bin Zaid bin ‘Amr bin Labid bin Khaddasy bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Adi bin An Najjar.

Bersama suaminya, As-Sakran bin ‘Amr Al ‘Amimy, Saudah binti Zam’ah menyongsong cahaya iman yang menyemburat dari risalah Rasulullah. Wlau untuk itu, ia harus menanggung pelbagai derita dan penyiksaan dari orang-orang musyrikin yang berniat mereka mengembalikan mereka ke dalam kemusyrikan. Saat siksaan dan himpitan makin hebat itu bertambah berat, Saudah dan suaminya pun berangkat berhijrah dalam barisan delapan orang sahabat Rasulullah.Mereka meninggalkan negerinya, mengarungi dahsyatnya gelombang lautan, secara menakjubkan menempuh penderitaan demi penderitaanuntuk menyelamatkan agama mereka, hingga tibalah mereka di bumi Habasyah.Namun taki berapa lama, muhajirin (para pehijrah) Habasyah ini kembali ke negeri mereka.Sekembalinya mereka dari Habasyah ke Mekkah, As-Sakran bin ‘Amr meninggal dunia. Baru saja berakhir yang ia rasakan akibat keterasingan mereka di bumi yang jauh dari tanah kelahiran, Saudah binti Zam’ah sudah harus pula kehilangan suami tercinta tercinta. Yah, kini dia hidup menjanda.

Sementara itu Rasulullah juga tengah merasakan hal yang samaakibat kehilangan wanita yang telah menemaninya dalam masa-masa kesulitan di awal kenabiannya. Namun, kemudian ada seorang sahabat wanita, Khaulah binti Hakim As-Sulamiyah, berusaha mengetuk pintu hati Rasulullah dengan maksud mempertemukan beliau dengan Saudah binti Zam’ah.Singkat cerita hati Rasulullah pun tersentuh dengan penderitaan Saudah, seorang janda yang mengalami hal yang sama dengan diri beliau. Maka pada tahun kesepuluh setelah beliau diangkat sebagai Nabi, rasulullah pun menikah dengan Saudah.Di masa itu pula beliau melaksanakan akad nikahnya dengan Aisyah binti Abu Bakar Asg-Shiddiq.Saudah meminta kepada Hathib bin ‘Amr Al ‘Amiry, salah seorang sahabat dari kaumnya yang pernah turut dalam perang Badr dan juga ikut berhijrah ke Habasyah untuk menikahkannya.pernikahan Rasulullah denga Saudah member gambaran kehidupan mukmin dengan mukminah yang Alloh berikan anugrah keindahan hidup, di usia yang cukup senja. Rasulullah berbahagia dengan Saudah, dan tentu saja demikian pula kebalikannya, Saudah di sisi rasulullah.Terbukti, bahwa beliau mampu bertahan hidup lama dengan Saudah, menanti Aisyah agar siap hidup berumah tangga secara sempurna bersama beliau dan juga Saudah.
Seorang diri Saudah menemani rasulullah selama tiga tahun lebih lamanya hingga tiba saat Aisyah menyusul hadir dalam rumah tangga Rasulullah di Madina.Yakni tiga tahun setelah akad nikah dilangsungkan. Bersama istrinya itu kemudian Rasulullah mengalami masa-masa sulit, termasuk saat akan melaksanakan hijrah besar ke kota Al-madinah yang kala itu masih bernama Yatsrib.

F.    Pernikahan Rasulullah Dengan Ummu Habibah

Tiada pernah terlintas di dalam pikiran Abu Sufyan bin Harab –yang kala itu masih seorang kafir penentang risalah Islam—akan ada orang Quraisy yang berani keluar dari gengaman kekuasaannya, terutama mengenai soal-soal yang sangat prinsipil. Karena, dia adalah penguasa dan pemimpin kota Mekah kala itu. Segala peraturan yang digariskannya harus dilaksanakan dengan patuh.
Tetapi –Masya Alloh- putrinya sendiri, Ramlah alias Ummu Habibah, telah mematahkan kekuasaan dan kepemimpinan tersebut secara terang-terangan. Ramlah keluar dari agama berhala yang dianut bapaknya, lalu ia dan suaminya, Ubaidullah bin Jahsy, beriman kepada Alloh Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, serta membenarkan kerasulan Nabi-Nya, Muhammad bin Abdullah. Abu Sufyan telah berusaha dengan segala kekuasaan dan kekuatannya untuk mengembalikan Ramlah ke agama nenek moyangnya, menyembah berhala.Namun, usahanya sia-sia dan tidak pernah berhasil.Ramlah sangat kuat dan kokoh untuk digoyahkan keimanannya oleh “angin putting beliung” dan badai kemarahan Abu Sufyan.

Siapakah Ramlah? Siapakah Ummu Habibah itu?Ia adalah seorang wanita yang akhirnya menjadi Ummahatul Mukminin –semoga Alloh senantiasa meridhainya-

a.    Sedikit, Tentang Ummu Habibah
Ummu Habibah dilahirkan tigha belas tahun sebelum kerasulan Muhammad, dengan nama Ramlah binti Shakar  bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan kun’yah Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Amdi Syams, yang tidak lain adalah bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan. Semenjak kecil, Ummu Habibah dikenal memiliki kepribadian yang kuat, fasih dalam berbicara, sangat cerdas, selain itu ia juga dikenal sangat cantik.ketika usia Ramlah cukup matang untuk menikah, Ubaidillah bin jahsy mempersuntingnya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah dikenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahim AS.Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala.Ramlah sadar dirinya telah menikah dan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti nkaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung.Di dalam hatinya terbesit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim AS.
Sementara itu, di mekah berkembang pesat berita tentang Muhammad membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda sekali dengan agama orang Quraisy pada umumnya.Mendengar kabar itu, Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu.Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
Dengan keadaan Islam yang semakin pesat membuat orang Quraisy gerah dan memerangi Islam, hal ini mengakibatkan banyaknya kaum Muslimin hijrah. Akhirnya Ramlah dan suaminya hijrah ke Habasyah dan tinggal beberapa tahun di sana. Selama beberapa tahun Ubaidillah melihat tidak ada perubahan dalam Islam dan yang ia lihat adalah Islam tidak akan maju, dengan keadaan ini Ubaidillah goyah imannya dan hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.

Ummu Habibah mengatakan bahwa ia memimpikan sesuatu,
“Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku tekejut dan berkata, ‘Demi Alloh, keadannya telah berubah”

Pagi harinya Ubaidillah berkata, “Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daropada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri memeluknya, setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.”
Aku berkata, “Sungguhkah hal itu baik bagimu?” Kemudian aku ceritakan perihal mimpiku. Namun, ia tidak memperdulikannya. Akhirnya Ubaidillah gemar berjudi dan meminum minuma  keras.
Melihat suaminya yang murtad, Ummu habibah merasa jengah dan malu terhadap kaum muslimin ingin keluar dari nnegeri Habasyah. Namun, tidak ada pilihan lain baginya selain ke Mekah. Padahal orangtuanya (Abu Sufyan) sedang gencar menyerang kaum muslimin di Mekah.Akhirnya setelah sempat kembali ke Mekah, ummu habibah pun kembali lagi ke habasyah dengan menanggung derita berkepanjangan dan menanti takdir Alloh.

b.    Potret Pernikahan Nabi Dengan Ummu Habibah
Sebagaimana pernikahan beliau dengan istri-istrinya yang lain. Pernikahan beliau dengan Ummu Habibah sarat mengandung makna, hikmah dan pelajaran. Salah satu yang terpenting diantaranya adalah dengan menciptakan pukulan hebat terhadap musuh Alloh, termasuk Abu Sofyan yang kala itu masih kafir, dengan menikahi salah seorang putrid dari tetua mereka yang amat mereka hormati.
Rasulullah mendengar kabar tentang Ummu Habibah saat beliau tengah memantau kondisi ummatnya yang berada di Habasyah.Hati beliau terketuk untuk menikahinya setelah mengetahui kederita yang ditanggung Ummu Habibah atas kemurtadan suaminya, Ubaidillah.Kemudian Rasulullah mengirim utusannya untuk melamar dan menikahkan saat itu juga Ummu Habibah. Dengan kata lain rasulullah SAW menikahkan jarak jauh Ummu Habibah.

G.   Pernikahan Rasulullah Dengan Hafshah Binti Umar

Namanya hafshah binti Umar bin Al-Khattab bin Nufa’il bin Abdil Qurasyiyyah Al-Adawiyyah. Dia memang putri dari khalifah Umar bin Khattab. Ibunya bernama Zainab bintu Madhun. Adapun hafshah dilahirkan lima tahun sebelum masa Rasulullah diangkat sebagai Nabi.  Hafshah merangkai hidup dalam ikatan pernikahan dengan Khumais bin Huzafah as sahmi. Suaminya tersebut dikenal sebagai seorang sahabat yang mulia yang turut terjun dalam perang Badar. Akan tetapi, kebahagiaan dari pernikahan ituu harus berakhir. Khumais menderita luka parah pada perang Uhud dan akhirnya meninggal dunia sebagai syahid, di Madinah. Hari-hari terus berganti, dan dilalui Hafshah seorang diri, tanpa sang suami di sisinya. Kesedihan tak bisa disebunyikan dari wajahnya. Khalifah Umar terus memperhatikan putrinya yang sedang bersedih sehingga hatinya menjadi pilu. Dia ingin mengusir sedih di hati putrinya tersebut dengan mencarikan pendamping hidup. Lantas terlintas di pikiran, yakni sahabatnya yang mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Setelah masa iddah Hafshah usai, Umar pun bergegas menemui Abu Bakar. Saat itu diceritakanlah semua peristiwa yang menima puterinya, dan kemudian ia menawarkan kepada Abu bakar untuk menikahi puttri tercintanya. Akan tetapi tanpa dinyata, Abu bakar enggan memberikan jawaban. Umar tentu saja kecewa dan langsung meninggalkan Abu Bakar. Dari situ kemudian Umar menemui sahabat yang lain, yakni Utsman bin Affan yang juga baru saja kehilangan kekasihnya, Ummu Kultsum, putri Rasulullah. Tapi, seperti halnya Abu Bakar, Umar menceritakan tentang puterinya dan menawarkan Utsman untuk menikahi dengan putrinya. Utsman terdiam, dan enggan memberikan jawaban, “Kurasa, aku tidak ingin menikah dulu hari-hari ini.” Umar pun kecewa
Dengan hati yang dirundung kegelisahan, akhirnya Umar menemui Rasulullah dan diungkapkanlah segala yang dialaminya. Rasulullah tersenyum simpul dan berkata, “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Utsman, begitupun Utsman akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Hafshah.”
Dallam riwayat lain, disebutkan bahwa Rasulullah berkata kepada Umar, “Kemungkinan Alloh akan mencarikan menantu bagimu yang lebih baik daripada Utsman..”
Tak disangka, Rasulullah justru meminang Hafshah. Sungguh tak terkira, betapa gembiranya Umar melihat kenyataan itu. Seusai menikahkan Rasulullah dengan putrinya, umar mendatangi Abu Bakar untuk mengabarkan peristiwa besar yang dia alami sebagai suatu kemuliaan dari Alloh diiringi dengan permintaan maaf. Abu Bakar tersenyum mendengar pernyataan Umar.

H.   Pernikahan Rasulullah Dengan Zainab Binti Jahsy

Pernikahan Nabi SAW dengan Zainab binti Jahsy –seperti pernikahan beliau dengan Aisyah- sering disalah tafsirkan oleh sebagian orang-orang picik. Bahkan kalangan orientalis yang tidak bertanggungjawabmengumbar kisah pernikahan beliau dengan Zainab sebagai gambaran dari watak beliau –wal iyadzu billah-yang mereka tuduh sebagai mata keranjang, tak bisa melihat wanita cantik, bahkan istri dari budaknya sendiri pun dikawini juga.
Tuduhan-tuduhan itu jelas tidak berdasar sama sekali, dan hanya berpangkal dari rasa benci dan kedengkian mereka terhadap Islam. Karena mereka tak mampu mendapatkan sedikitpun kekurangan dari ajaran-ajaran Islam, mereka berusaha memalsukan sejarah, atau memandang sejarah itu dengan sudut pandang yang sempit, dan penuh kepicikan.

Perkawinan Zainab dan Rasulullah adalah berdasarkan perintah Alloh:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang telah Alloh limpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Alloh”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Alloh akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Alloh-lah yang lebih berhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin (untuk mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya, sehingga ketetapan Alloh itu pasti terjadi.”
(Q.S. Al Ahzab: 37)

Nabi amat mengkhawatirkan perceraian antara Zaid dan Zainab. Kalau bukan karena perintah Alloh, tentu beliau tak akan menikahi Zainab, meski misalnya keduanya juga bercerah.
Sebagian kalangan orientalis menyebut kisah-kisah palsu seputar sebab turunnya ayat ini. Coba saja saimak salah satu ungkapan sebagian mereka, dalam menuturkan berbagai riwayat oplosan yang mmencampuradukkan antata hak dan fiksi.
“Tidak cukup mengawini wanita-wanita yang tidak bersuami, bahkan ia (Muhammad jatuh cinta kepada Zainab binti jahsy yang masih terikat istri denganZaid bin Haritsa sebagai mantan budak.soalnya tidak lain karena ia pernah singgahdi rumah Zaid ketika Zaid kebetidak berada di tempat iti, lalu kedatangannya disambut oleh Zainab.tatkala itu, ia sedang mengenakan pakaian yang memperlihatkan kecantikannya, dan sungguhkecantikan ini sangat mempengaruhi hatinya. Waktu itu puls Rasulullah pula berkata “Maha Suci Alloh yang telah dapat membalikkan hati manusia!
Sungguh keji atas apa yang orang-orang kafir tuduhkan terhadap Nabi Muhammad mengenai pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy. Bahwasannya Nabi SAW melakukan hal apapun tidak berdasarkan hawa nafsunya, apa-apa yang beliau lakukan adalah murni semata-mata karena kekhususan yang telah Alloh berikan kepada beliau, sehingga membedakan beliau dengan manusia kebanyakan. Hal ini juga tak lepas dari kisah-kisah pernikahan beliau dengan istri-istrinya, ini adalah perintah Alloh sendiri agar Rasulullah menikahi mereka. Selain itu dengan kasus pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti jahsy, sesungguhnya Rasulullah telah menahan Zaid untuk menceraikan istrinya karena beliau tahu bahwa setelah selesai urusan Zaid dan ZAinab, maka Alloh akan menikahkan beliau dengan Zainab.


sumber : 
Potret Pernikahan Nabi “Menyelami Hikmah Dibalik Pernikahan Rasulullah”, Abu Umar Basyir Pustaka Iltizam, solo, 2008.

Revolusi Cara Belajar

Judul buku    : Revolusi Cara Belajar, Rizem Aizid, DIVA Press (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2016, 148 halaman; 14 x 20 cM


Di dalam buku ini, diulas mengenai para imam yang pernah menjadi imam di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Adapun ulasan mengenai mereka adalah tentang dua hal, yakni biografi dan cara belajarnya.

1. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

   A. Biografi Singkat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
          Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi. Seorang orang ulama besar asal Minangkabau, Indonesia, yang menetep di Makkah dan menjadi imam Masjidil Haram bagi penganut Mazhab Syafi’i. Ia lahir pada hari Senin, 6 Dzulhijjah 1276 H yang bertepatan dengan tahun 1860 Masehi, di Koto Tua-Balai Gurah IV, Angkek Candung, Agam, Sumatera Barat. Karena hampir seluruh hidup dihabiskan di Makkah, ia pun meninggal dunia di kota suci tersebut pada hari yang sama dengan hari lahirnya, yakni hari Senin, 8 Jumaidil Awal 1334 H yang bertepatan dengan tahun 1916 M.

   B. Cara Belajar Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

   1. Belajar Ilmu Umum dan Ilmu Agama Sekaligus
          Dua ilmu yang dimaksud adalah ilmu umum dan ilmu agama. Dengan mempelajari keduanya secara bersamaan, makan pengetahuan yang diperoleh akan seimbang. Ilmu agama yang dimaksud disini adalah ilmu yang paling mendasar dalam agama, yakni Alqur’an.
          Mempelajari  ilmu agama disamping ilmu umum termasuk salah satu anjuran Rasulullah Saw. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.:

          “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR.Ibnu Majah).

Lalu, kapan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi          mempelajari dua ilmu ini sekaligus? Yaitu sewaktu ia masih kecil. Saat masih berada di tanah kelahiranyya, ia sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek school dan tamat 1871 M. Di samping belajar pendidikan formal yang dikelola oleh Belanda tersebut, ia juga mempelajri mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari ayahnya, yaitu Syekh Abdul Lathif. Nah, dari sang ayah pula, ia belajar menghafal Alqur’an dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Ia tidak meninggalkan ilmu umum karena ilmu agama, dan tidak meninggalkan ilmu agama karena ilmu umum. Tetapi, ia mempelajari keduanya secara bersamaan. Hasilnya, ia pun tidak hanya hafal Alquran sejak kecil dan menguasai dasar-dasar ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu pengetahuan.
  
2. Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri Cina
Dalam menuntut ilmu kita dianjurkan melakukan perjalanan jauh. Maksudnya, kita diperintahkan agar tidak hanya menuntut ilmu di satu tempat-tempat kelahiran saja, tetapi juga ke tempat-tempat lain di luar kelahiran kita. Cara belajar Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang kedua adalah melakukan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu. Ia tetap melakukan perjalanan panjang dari Minangkabau hingga Mekkah meskipun jaraknya tidaklah dekat demi menuntut ilmu.
  
3. Menyempatkan Diri Pergi ke Toko Buku
Cara belajar Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang ketiga adalah selalu menyempatkan diri ke toko buku, sesibuk apa pun ia. Dan mengunjungi toko buku termasuk salah satu kebiasaannya sejak muda.

Jangan pernah lelah dan malas untuk mengunjungi toko buku. Tidak peduli apakah sedang memiliki uang untuk membeli buku atau tidak, yang penting dengan mengunjungi toko buku dan membaca, kita akan memperoleh wawasan luas.
  
4. Mencari Guru Sebanyak Mungkin
Cara belajar Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang keempat adalah mencari guru sebanyak-banyaknya. Semakin banyak guru, maka akan semakin baik bagi pengembangan wawasan dan pengetahuan kitaJadi, bila ingin memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas, maka bergurulah kepada banyak guru.

  5. Belajar dengan Semangat dan Kesungguhan
Cara belajar Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang kelima adalah belajar dengan semangat dan kesungguhan yang tinggi. Tentu, tanpa semangat dan kesungguhan dalam belajar, kita tidak akan memperoleh apa-apa kecuali kesia-siaan belaka. Sebab, belajar tidak dilandasi oleh niat yang sungguh-sungguh dan semangat yang kuat, tidak akan membekas di dalam hati dan pikiran.

2. Syekh Ali bin Abdu Rahman al-Hudzaifi

   A. Biografi Singkat Syekh Ali bin Abdu Rahman al-Hudzaifi
          Nama lengkapnya adalah Syekh Ali bin Abdu Rahman bin Ali bin Ahmad al-Hudzaifi, atau cukup dipanggil Syekh Alia.Syekh Alia dilahirkan dalam keluarga shalih, pada 1 Rajab 1366 H, yang bertepatan pada tanggal 22 Mei 1947 M. Ayahnya merupakan imam sekaligus khatib di militer.

   B. Cara Belajar Syekh Ali bin Abdu Rahman al-Hudzaifi

1. Mengawali Pelajaran dari Kampung
Guru alifnya dikampung tempat kelahirannya mengajari Syekh Ali membaca Alqur’an sampai ia mampu menghafalnya.
  
2. Mengawali Hafalan Alqur’an dengan Mengkhatamkan Lebih Dulu
Syekh Ali tidak langasung menghafalkan Alqur’an, melainkan memulainya dari tingkat yang paling dasar, yakni membaca hingga khatam. Tidak hanya itu, ia juga sudah memulai hafalannya sejak kecil.
 
 3. Belajar di Sekolah Agama
Dalam menuntut ilmu, Syekh Ali belajar di sekolah-sekolah keagamaan atau yang biasa disebut madrasah. Hampir semua pendidikannya dilakukan di sekolah keagamaan tersebut.
  
4. Menuntut Ilmu Setinggi Langit
Meskipun Syekh Ali telah menjadi seorang guru yang mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus, tetapi keinginannya masih sangat kuat untuk terus menimba ilmu. Terbukti, setamat dari Ma’had “Ilmi, ia melanjutkan pendidikannya Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Riyadh dengan masuk Fakultas Syariah. Setelah tamat dari Universitas dan menjadi guru, ia masih terus melanjutkan studinya.
  
5. Berguru Qira’ah pada Qari’ Besar
Hal ini tentu sangat bermanfaat baginya dan merupakan salah satu jalan yang mengantarkannya menjadi salah satu jalan yang mengantarkannya menjadi salah satu qari’ terbaik di Arab Saudi.

3. Syekh Shalah bin Muhammad al-Budair

A. Biografi Singkat Syekh Shalah bin Muhammad al-Budair
Wikipedia mencatat bahwa dilahirkan pada tahun 1390 H di kota Hofuf, Provinsi Al-Ahsa, Arab Saudi. Ia anak pertama. Ia bersaudara dengan Syekh Nabeel.

 B. Cara Belajar Syekh Shalah bin Muhammad al-Budair
   1. Sudah Mempelajari Alqur’an sejak Kecil
       Dengan mempelajari Alqur’an sejak kecil, ia berhasil menjadi imam pada usia 16 tahun.
   2. Terus Memperdalam Ilmu
          Meskipun Syekh Shalah telah menjadi imam sejak usia 16 tahun, tetapi hal itu tidak membuatnya puas dengan ilmu yang dimilikinya. Ia terus memperdalam ilmunya, terutama dalam bidang Alqur’an.

4. Syekh Abdurrahman as-Sudais

   A. Biografi Singkat Syekh Abdurrahman as-Sudais
Syekh Abdurrahman as-Sudais dilahirkan pada 10 Februari 1960 di Riyadh, sebuah kota yang dijuluki kota yang bersih di Arab Saudi. Ia menjadi penghafal Alqur’an pada usia cukup muda, yakni 12 tahun.

   B. Cara Belajar Syekh Abdurrahman as-Sudais

1. Memulai Hafalan Sejak Kecil
Dengan memulai menghafal sejak kecil, ia pun berhasil menghafalkan Alqur’an 30 juz pada usia yang terbilang sangat muda, yaitu 12 tahun.

2. Menuntut Ilmu Setinggi Langit
Dalam hal ini, meskipun cita-cita utama Syekh Abdurrahman as-Sudais adalah menjadi imam Masjidil Haram dan seorang qari’, tetapi ia tidak melupakan pendidikannya. Ia memahami betul pentingnya pendidikan.

3. Belajar kepada Banyak Ulama

4. Fokus pada Cita-Cita
Dengan fokus pada cita-cita, kita dapat menggapainya di kemudian hari. Dan, hal itulah yang dibuktikan oleh imam Masjidil Haram yang satu ini.
  
5. Membaca
Sejak kecil hingga sekarang, ia tidak pernah berhenti membaca Alqur’an. Selain itu, yang menjadi motivasinya untuk terus membaca Alqur’an adalah karena dalam membacanya terdapat pahala yang besar.
  
6. Merenungkan Kandungan Alqur’an
Merenungkan kandungan atau makna dari ayat-ayat Alqur’an yang dibaca termasuk salah satu cara untuk bisa menghafalnya dengan mudah.
  
7. Mengamalkan Alqur’an
Dengan mengamalkan ilmu yang kita pelajari, maka pemahaman kita terhadap ilmu tersebut akan menjadi sempurna dan semakin kuat melekat dalam pikiran. Mengamalkan Alqur’an yang dimaksud di sini adalahmengamalkan nilai-nilai Alqur’an agar bisa hidup di tengah-tengah masyarakat.

5. Syekh Saud al-Shuraim

    A. Biografi Singkat Syekh Saud al-Shuraim
Nama lengkapnya adalah Syekh Saud bin Ibrahim bin Muhammad al-Shuraim. Gelarnya adalah Asy-Syekh. Ia lahir pada 19 Januari 1964. Keluarganya berasal dari Haraqees, dari Bani Zaid, Arab Saudi. Ia termasuk salah satu imam dan khatib di Masjidil Haram.

   B. Cara Belajar Syekh Saud al-Shuraim

1. Mempelajari Alqur’an sejak Kecil
          Dengan memulai belajar menghafal sejak kecil, ia sudah bisa hafal Alqur’an ketika masih muda. Ini dapat menjadi pengajaran bagi kita, terutama orang tua, dalam mendidik anak, bahwa usia muda merupakan usia yang sangat tepat dalam mendidik anak. Dalam hal menghafal Alqur’an pun, anak akan sangat mudah menghafal ketika masih kecil.

2. Melakukan Muraja’ah
Muraja’ah pada dasarnya adalah mengulang. Biasanya, muraja’ah dilakukan setelah seseorang menghafal ayat-ayat dan membagi ayat-ayat yang telah dihafal tersebut menjadi beberap kelompok untuk kemudian diulang kembali (muraja’ah).
   3. Tidak Melupakan Pendidikan Formal
   4. Berguru Kepada Banyak Ulama

6. Syekh Abdullah Awad al-Juhani

   A. Biografi Singkat Syekh Abdullah Awad al-Juhani
Syekh Abdullah Awad al-Juhani adalah imam di empat masjid besar dan utama di Arab Saudi, yakni Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjid Quba, dan Masjid Qiblatain. Diketahui bahwa ia lahir pada tahun 1396 H/1976 M di Madinah. Keluarganya berasal dari Jaheenah.

   B. Cara Belajar Syekh Abdullah Awad al-Juhani
   1. Belajar Alqur’an Sejak Usia Muda
   2. Tidak Melupakan Pendidikan
   3. Mengambil Pelajaran dari Banyak Syekh

7. Syekh Maher al-Muaiqly

   A. Biografi Singkat Syekh Maher al-Muaiqly
          Syekh Maher al-Muaiqly dilahirkan di Madinah al-Munawarah. Di kota nabi itulah, ia tumbuh dan besar hingga memegang posisi imam Masjid Nabawi. Ia diangkat sebagai imam Masjidil Haram pada tahun 1428 H.

   B. Cara Belajar Syekh Maher al-Muaiqly

          Mengenai cara belajar Syekh Maher al-Muaiqly, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi lainnya. Sebagai seorang imam dan qari’ terbaik, Syekh Maher al-Muaiqly juga tidak lupa mempelajari ilmu-ilmu selain Alqur’an.

8. Syekh Saleh al-Taleb     

  A. Biografi Singkat Syekh Saleh al-Taleb
Nama lengkapnya adalah Saleh bin Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad bin Nashir al-Taleb. Dengan gelar Asy-Syekh, ia biasa dipanggil Syekh Saleh al-Taleb. Diketahui bahwa Saleh al-Taleb lahir pada tahun 1393 H. Ia diangkat dan ditetapkan sebagai imam Masjidil Haram pada tahun 1423 H.

   B. Cara Belajar Syekh Saleh al-Taleb
1. Belajar Alqur’an sejak Kecil
2. Belajar Kepada Banyak Syekh. Berkat bimbingan dan ajaran dari para gurunya, ia dapat menjadi seorang ulama (Syekh) terkenal, tidak hanya di Arab Saudi, tetapi juga ke seantero dunia Islam melalui suara merdunya saat melantunkan ayat-ayat suci Alqur’an.

9. Syekh Khalid al-Ghamidi

   A. Biografi Singkat Syekh Khalid al-Ghamidi
Syekh Khalid al-Ghamidi dilahirkan pada 19 Mei tahun 1967 atau 1387 H di kota Damman, Mantiqah Syarqiah, Makkah. Ia diangkat dan ditetapkan sebagai Imam Masjidil Haram pada bulan Dzulhijah tahun 1428 H. Namun ia tidak mengimami kecuali pada bulan Muharram tahun berikutnya (1429 H).

   B. Cara Belajar Syekh Khalid al-Ghamidi
   1. Bersungguh-sungguh dalam Belajar Alqur’an
Syekh Khalid al-Ghamidi baru mendalami bacaan Alqur’an sejak tahun 1990. Kemudian, di tahun itu pula, ia telah menghafal 30 juz. Nah ini menjadi bukti bahwa Syekh Khalid al-Ghamidi tidak menghafal Alquran sejak kecil. Keberhasilan itu diraih karena Syekh Khalid al-Ghamidi bersungguh-sungguh dalam mempelajari Alqur’an.
   2. Menamatkan Pendidikan formal Terlebih Dahulu
   3. Cinta Pada Pelajaran

Menurut Syekh Khalid al-Ghamidi untuk menguasai suatu ilmu, kita harus mencintainya terlebih dahulu. Hal ini sejalan dengan pepatah, tidak kenal maka tidak sayang. Tanpa dilandasi rasa cinta, kita tidak mungkin dapat belajar dengan sungguh-sungguh.

10. Syekh Faisal Jamil Ghazzawi

   A. Biografi Singkat Syekh Faisal Jamil Ghazzawi
Nama lengkapnya adalah Faisal bin Jamil bin Hasan Ghazzawi dengan gelar Syekh di depannya. Ia lebih akrab dipanggil Faisal Ghazawi. Lahir pada tanggal 27 Dzulhijah 1385 H. Ia diangkat menjadi imam di Masjidil Haram pada bulan Rajab tahun 1428 H.

B. Cara Belajar Syekh Faisal Jamil Ghazzawi
Karena sangat minim literatur yang mengungkap tentang sejarah hidupnya, tidak banyak referensi untuk menjelaskan cara belajar yang dilakukan oleh Syekh Faisal Jamil Ghazzawi sejak kecil. Akan tetapi, sebagaimana para imam Masjidil haram pada umumnya, Syekh Faisal Jamil Ghazzawi sudah memulai pelajaran Alqur’an sejak kecil. Ini adalah salah satu cara belajar yang umum dilakukan oleh para imam Masjidil Haram.

11. Syekh Adil Kalbani

   A. Biografi Singkat Syekh Adil Kalbani.
Mengenai imam Masjidil Haram yang satu ini, disebut-sebut ia adalah imam Masjidil Haram pertama yang berasal dari golongan kulit hitam sejak September 2008 lalu. Nama lengkapnya adalah Ali bin Salim bin Sa’id al-Kalbanin dan lebih dikenal dengan nama Adil Kalbani. Lahir di Riyadh pada 25 Ramadhan 1378 H yang bertepatan dengan tanggal 3 April 1959 M.

   B. Cara Belajar Syekh Adil Kalbani
   1. Belajar dari Banyak Syekh
   2. Tekun dalam Belajar.   Ketekunan termasuk salah satu unsur penting dalam suatu proses pendidikan. Dengan tekun belajar, seseorang akan dapat menggapai kesuksesan dengan mudah. Maka dari itu, bila kita ingin sukses dalam hal apa pun, baik pendidikan, bisnis, politik, maupun sosial, kita harus menjadi pribadi yang tekun.

12. Syekh Ali Jaber

   A. Biografi Singkat Syekh Ali Jaber
 Nama lengkapnya adalah Ali Saleh Muhammad Ali Jaber. Ia termasuk salah satu imam di Masjid Nabawi dan juga (kini) imam di beberapa masjid di Indonesia. Ia lahir di Madinah pada tanggal 3 Shafar 1396 H yang bertepatan dengan tanggal 3 Februari tahun 1976 M.

  B. Cara Belajar Syekh Ali Jaber
1. Menempuh Dua Pendidikan Sekaligus
Hal ini termasuk salah satu cara atau metode belajar yang digunakannya dalam rangka menguasai berbagai macam ilmu (formal dan nonformal), khususnya yang berkaitan dengan ilmu agama Islam.

 2. Melakukan Mulazamah Alqur’an
Mulazamah artinya menemani, tinggal bersama, atau kedekatan. Kata ini biasa digunakan oleh para ulama untuk menggambarkan seorang murid yang belajar dan tinggal bersama dengan gurunya. Dalam bahasa sederhananya di negeri kita, mulazamah dapat disebut sebagai Pondok Pesantren, tempat murid tinggal bersama gurunya di Pesantren untuk menimba ilmu.

   3. Mempelajari Allqur’an sejak Kecil
   4. Belajar dengan Tekun dan Bersungguh-sungguh
   5. Mengulang Hafalan dalam Shalat Sunnah. Selain dengan melalui shalat sunnah, Syekh Ali Jaber juga memberikan tips cara lain yang dapat dilakukan untuk menjaga hafalan, yakni dengan membacanya sesaat sebelum tidur.
 6. Belajar kepada Banyak Syekh

13. Syekh Umar bin Muhamad as-Sabil

A. Biografi Singkat Syekh Umar bin Muhamad as-Sabil
Nama lengkapnya adalah Umar bin Muhamad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz as-Sabil. Ia adalah putra dari Muhammad bin Abdullah as-Sabil yang juga seorang imam di Masjidil Haram. Lahir pada bulan Ramadhan tahun 1377 H di Al-Bukairiyah, Provinsi Qasim. Ia wafat pada bulan Muharram 1423 H.

   B. Cara Belajar Syekh Umar bin Muhamad as-Sabil
Satu hal yang pasti mengenai cara belajar Syekh Umar bin Muhamad as-Sabil adalah berguru atau belajar kepada banyak guru. Artinya tidak menimba ilmu pada satu guru saja dan di satu tempat, tetapi kepada banyak guru sekaligus.

14. Syekh Muhammad al-Subayyil

   A. Biografi Singkat Syekh Muhammad al-Subayyi
Nama lengkap imam Syekh Muhammad al-Subayyil adalah Muhammad bin Abdullah al-Subayyil dengan gelar Syekh di depan namanya. Lahir di kawasan Buayriyah al-Qasimi pada tahun 1926. Ia wafat pada tanggal 17 Desember 2012 lalu. Ia adalah seorang imam Masjidil Haram yang menjabat posisi tersebut selama 43 tahun lamanya. Ia pertama kali diangkat menjadi imam Masjidil Haram pada tahun 1965.

   B. Cara Belajar Syekh Muhammad al-Subayyil
Cara belajar Syekh Muhammad al-Subayyil hampir sama dengan para imam lainnya, yaitu belajar agama Islam dan Alqur’an sejak kecil.

15. Syekh Abdul Aziz bin Shalih ash-Shalih

   A. Biografi Singkat Syekh Abdul Aziz bin Shalih ash-Shalih.
Nama lengkapnya adalah Syekh Abdul Aziz bin Shalih bin Abdurrahman Alu Shalih. Ia adalah salah seorang mantan imam Masjid Nabawi dan Kepala Pengadilan Tinggi Provinsi Madinah. Ia dilahirkan di Al-Mujamma’ah, Najd, pada tahun 1329 H yang bertepatan dengan tahun 1911 M.

   B. Cara Belajar Syekh Abdul Aziz bin Shalih ash-Shalih

   1. Belajar Alqur’an sejak Kecil
   2. Belajar dengan Intensif
   3. Belajar dengan Bersungguh-sungguh

16. Syekh Baleelah

A. Biografi Singkat Syekh Baleelah
Nama lengkapnya adalah Bandar bin Abdul Aziz Baleelah. Ia adalah imam Masjidil Haram yang baru. Selain menjabat sebagai imam Masjidil Haram, ia juga seorang asisten proffesor di Universitas Taif.

   B. Cara Belajar Syekh BaleelahCara belajar Syekh Baleelah hampir sama dengan para imam lainnya. Salah satunya adalah dengan menuntaskan semua jenjang pendidikan dari mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.


17. Syekh Muhammad Ayyub

   A. Biografi Singkat Syekh Muhammad Ayyub
 Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad Ayyub bin Muhammad Yusuf bin Sulaiman Umar. Ia dilahirkan di Makkah pada tahun 1372 H yang bertepatan dengan tahun 1952 M.

   B. Cara Belajar Syekh Muhammad Ayyub

   1. Belajar Alqur’an sejak Kecil
   2. Mengikuti Pendidikan Formal
   3. Belajar kepada Banyak 

Analisis Buku

          Buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh berbagai macam kalangan. Di dalam buku ini banyak pelajaran mengenai cara atau metode belajar dalam Islam yang dapat diambil dan dijadikan sebagai motivasi. Selain itu, buku ini sangat penting bagi orang tua dalam mengajarkan putra dan putrinya yang bercita-cita menjadi imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
          Di buku ini, kita bisa mengetahui seperti apa cara belajar para Syekh atau Imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dengan demikian bisa dijadikan sebagai cara belajar dalam menuntut ilmu.
          Buku ini  memang tidak terlalu tebal, namun keberkahannya luar biasa.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *