Sabtu, 15 Desember 2012

MANAJEMEN ALHAMDULILLAH,



 Meraih sukses kehidupan dunia akhirat

Hakikat sukses
Sukses. Kata yang begitu akrab di telinga kita. Sebagai luapan atas kelahiran anak, kita sering mendengar oran mengatakan ”Alhamdulillah, anak saya lahir dengan sukses”, beranjak balita ucapan ini sering terlontar, “Alhamdulillah anak saya sukses diterima di TK itu”, dan seterusnya. Termasuk ketika sukses mendapatkan pekerjaan diperusahaan yang besar, ataupun ketika sukses membangun rumah dan mendapatkan mobil mewah.
Esensi kehidupan dibangun diatas definisi sukses yang sering kali berbasis pada  materi semata. Kesuksesan materi menjadi standar hidup kebanyakan manusia. Padahal, kesuksesan material akan berbahaya bagi seorang jika dibarengi dengan terjangkitnya penyakit jiwa yanbg bernama kesombongan. Biasanya penyakit kesombongan menempel dengan materialisme. Dan hampir semua manusia tak lepas dari penyakit kesombongan ini, kecuali hamba-hamba yang diselamatkan Alla.
Itulah gambaran sukses yang berkembang ditengah-tengah masyarakat saat ini. Persis seperti yang dialami pada zaman jahiliah saat Muhammad Saw. diutus menjadi rosul Saw. lebih dari 14 abad yang lalu. Ketika itu, sukses dikait-kaitkan dengan pencapaian dunia matei, seperti kemampuan bersyair, keturunan, suku, harta, takhta, dan wanita, tanpa ada sistem fitri yang mengaturnya. Semua cenderung berlandaskan hawa nafsu, bukan kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual yang memadai. Itulah suskses yang dibungkus dengan kebanggan semu.
Suskses dalam pandangan Al-Qur’an bisa terlihat dari spirit ayat-ayat tesebut:
Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kutunjukkan kalian pada suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian pada azab yang pedih?. Yaitu kamu beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya dan berjihad dijalan Alloh dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahuinya. (QS. Al-Shaff : 10-11)
Ini adalah suatu haru yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran (iman) mereka. Bagi meraka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Alloh ridho terhadapnya. Itulah kesuksesan yang paling besar. (QS. Al-Maidah : 119)
Brdasarkan wahyu dari segala sumber informasi, yakni Allah Swt., makna atau definisi sukses dari seorang anak manusia bukan hanya diukur dari pencapaian berbagai materi, pangkat dan kedudukan di dunia. Akan tetapi, sejauh mana ia berhasil manjalankan misi ibadah, dan visi kekhalifahan yang telah ditentukan olehTuhan.
Materi dengan segala fasilitas hidup yang diciptakan Allah Swt., didunia ini hanyalah sarana untuk merealisasakian misi ibadah dan visi khalifah, bukan sebagai tujuan hidup. Tujuan hidup didunia yang fana ini adalah kejhidupan abadi diakhirat kelak. Disanalah ditentukan manusia sukses atau tidak. Saat Allah Swt., menganugerahkan kepadanya surga dan terhindar dari neraka, itulah kesuksesan sesungguhnya, yaitu kesuksesan tanpa batas.

Pimpin Keyakinan Dengan Prinsip
Sukses atau kesuksesan itu berkaitan juga dengan keyakinan kita. Keyakinan (faith) adalah seperangkat prinsip dan nilai yang sekaligus menjadi misi suci hidup kita. Dan agar lebih optimalmembantu kita meraih sukses masa sekarangdan yang akan datang, tentunya kita harus memipin dan mengarahkan keyakina itu dengan psinsip. Yang dimaksud dengan prinsip dalam konteks ini bukan sebatas teori pemikiran, melainkan narasi nyata dari optimisme kita sebagai manusia. Segala sesuatu memang harus dimulai dari dan dengan keyakinan. Keyakinan akan memberikan kekuatan dalam kehidupan kita. Karena itu, ada 3 prinsip yang harus anda yakini. Yakni, yaitu prinsip manusia, prinsip alam, dan prinsip Tuhan.
Prinsip manusia akan mengajak memahami pilihan-pilihan dan membantu mengarahkan hidup kita untuk meraih sukses jangka panjang.
Prinsip alam akan mengajak kita melihat bagaimana bekerja dan memanfaatkan hukum alam yang ada untuk senantiasa menghadirkan keberuntungan dalam hidup. Alam memiliki seperangkat hukum yang mengikat makhluk di dalamnya. Hukum kekekalam enegi menjamin bahwa tidak ada energi di dunia ini yang sia-sia. Kita akan mendapat hasil yang sama dengan usaha yang kita lakukan.
Adapun dalam prinsip Tuhan, kita akan diajak kaitan erat antara Tuhan dan makhluk-Nya serta bagaimana bisa mengakses energi Tuhan untuk memperoleh kekuatan tanpa batas, sehingga kita menjadi orang yang berprestasi dan memiliki kebermanfaatan yang tinggi bagi lingkungan kita.
Ketiga prinsip keyakinan tadi pada gilirannya akan memberikan motivasi pada dirikita untuk bisa lebih berkembang. Bahkan spirit tiga prinsip keyakinan tadi akan terus menjadi jaminan terhadap kebersehajaan mental dan sosial kita. Dengan keyakinan yang rasional dan berkualitas, seluruh aktifitas hidup kita akan menjadi inspirasi terbaik bagi lingkungan kita. Itulah kerja yang sungguh-sungguh. Dan Al-Qur’an telah menegaskan bahwa siapa saja yang bekerja dengan penuh keyakinan (keusngguhan), maka ia akan bertemu dengan Tuhannya.

Prinsip Becermin untuk Manajmen Diri
Manusia sebagai makhluk Allah Swt., yang ditakdirkan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini dibekali keunikan-keunikan dibanding dengan makhluk lainnya. Karea itu, pengetahuan akan diri merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan kapasitas dirinya didalam kehidupan ini.
Dalam konteks etika sosial, misalnya, pengetahuan akan diri sesuatu yang sangat dibutuhkan. Kalau kita sakit ketika dipukul, jangan memukul orang lain. Kalau kita tidak suka dikhianati, jangan mengkhianati orang lain.
Begitulah pelajaran akan diri sendiri menjadi sangat penting dalam hidup dan kehidupan ini. Diri mita adalah cermin bai orang lainm, begitu juga sebaliknya. Tengggang rasa, empati, dan merasakan penderitaan orang lain merupakan bukti bahwa kesadaran diri kita semakin meluas. Sesama muslim, bahkan sesama manusia adalah ibarat satu tubuh. Ketika yang lain sakit, tentunya kitapun merasakannya.
Para CEO perusahaan-perusahaan besar, baik lokal maupun multinasional, merupakan orang yang selalu berusaha mengenal dirinya. Sekali dia lupa dirinya, maka tak lama lagi kariernya akan tenggelam. Mereka mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya, baik potensi yang berasal dari tubuh, akal, maupun jiwanya.
Proses pembacaan diri harus dilakukan dalam kerangka untuk pencapaian masa depan yang sukses. Pembacaan diri harus dilakukan sebelum menentukan visi yang akan diraih, sehingga impian yang ada bukan sekedar angan-angan kosong, melainkan berpijak pada kemampuan diri yang bisa terus dikembangkan.
Minimal ada dua tahapan dalam proses pembacaan diri. Pertama: membaca diri sebelum menentukan target dan impian yang akan dicapai. Kedua: membaca diri ketika sedang menjalani proses pencapaian taget itu sendiri.
Self Leadership Berbasis Quranic Spiritual Commitment
Membangun budaya kepemimpinan berbasis spiritualitas Al-Qur’an, setidaknya bisa ditransformasikan melalui semangat ayat-ayat berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang (1) membaca kitab Allah, (2) mendirikan sholat, (3) menfkahkan dari sebagian yang telah kami rizqikan kepada mereka, baik secara sembunyi atau terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan pernah merugi. (QS. Al-Fathir [35]:29).
Spirit ayat ini akan malendasi kualita kerja-kerja sosial dalam kehidupan. Semangat ayat ini menjadi bukti bahwa manusia memang bukan makhluk yang hanya memperkuat nialai vertikalitasnya, tetapi ia juga harus mampu melejitkan niali horizontalnya. Sebab mengingkari syukur kepada manusia, menurut agama adalah ingkar juga kepada Tuhannya.

Gambar berikut ini sebagai salah satu upaya melukiskan kaitan dasar spiritualitas dalam kehidupan.

Self Leadership
Membaca Kitab Allah                                                  Self Development        
Mendirikan Sholat                                                              Self Conciousness
Menafkahkan Sebagian Rizqi Allah                               Self Contribution


1.    Membaca Kitab Allah
Membaca kitab Allah Swt., merupakan aktifitas yang bukan sekedar memahami makna lahir dari teks-teks yang ada. Kitab Allah Swt., baik yang tertulis (ayat-ayat qauliyyah)  maupun yang berupa ayat semesta (kauniyyah) harus kita kaji dan dalami untuk proses kehidupan. Pembacaan atas kitab Allah Swt., menjadi sangat wajib karena disanalah lautan ilmu bisa kita dapatkan. Kita bisa merenungkan bahwa didalam kitab-Nya semua peroslan sudah tercakup.

2.    Mendirikan Sholat
Setelah kita membaca kitab Allah Swt., perintah yang selanjutnya adalah mendirikan sholat. Mendirikan sholat mempunyai makna filosofis bahwa ia bukan ritual belaka, melainkan bagaimana sholat bisa terimplementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan dalam keseharian.
Sholat merupakan latihan diri untuk terus menerus mengasah jiwa dan ruh kita agar bersih terang benderang, sehingga bisa tersingkap bahwa diri kita yang sebenarnya adalah makhluk spiritual. Makna kesadaran terdalam mendirikan sholat inilah yang saya sebut dalam gambar tadi sebagai proses self conciousness (kesadaran diri).

3.    Menafkahkan Sebagian Rizqi Allah Swt.
Perintah ketiga adalah menafkahkan sebagian rizqi Allah Swt., kita harus sadar bahwa pada hakikatnya, kekayaan dan rizqi Allah Swt., yang dikaruniakan kepada kita dalah milik Dia semata. Allah menitipkannya agar kita sebarkan kepada mereka yang berhak. Karenanya, proses yang ketiga ini saya sebut sebagai self contribution (kontribusi diri).

Panduan Manajemen Alhamdulillah

Strategi 1: Self Conciousness

Menjadi Manusia Berkesadaran: Ulul Albab
Salah satu ungkapan Al-Qur’an berkaitan dengan karaker manusia yang paling menggambarkan sinergi antara kompetensi dan akhlak terpuji adalah Karakter Ulul Albab. Karakter ini sama sekali tidak dilekatkan oleh Al-Qur’an kepada makhluk selain manusia, karena ia merupakan karakter khas khlaifah Tuhan dimuka bumi. Firman Allah Swt., seungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (ulil albab) (yaitu) orang-oranbg yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharakanlah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran [3]: 190-191).
Dari ayat ini jelaslah bahwa Ulul Albab adalah orang-orang yang senantiasa mengingat Tuhan dalam keadaan apapun, baik ketika senang maupun susah.selain itu, mereka juga senantiasa negoptimalkan akal budinya untuk mengamati, memikirkan, dan menelaah alam semesta ciptaan Tuhan, serta mampu memahami bahwa alam semesta itu tidak acak-acakan, tetapi teratur sesuai Sunnatullah. Gambaran ini menunjukan bahwa Ulul Albab adalah pribadi-pribadi yang mendapatkan dua karunia sekaligus, yaitu kecerdasan  dan keimanan atau karunia pikir dan karunia zikir.
Dalam tataran psikologi modern, Ulul Albab adalah pribadi-pribadi beriman yang mampu memfungsikan secara optimal potensi-potensi rasional (IQ), emosional (SQ). Mereka tidak saja mamou bersikap dan berpikir empiris, tetapi juga transendental serta mampu mewujudkan sebaik-baiknya hubungan dengan Tuhan hablun min Allah), hubungan antar pribadi (hablum min al-nas) termasuk hubungan dengan diri sendiri serta kepada alam sekitar.

Tidak Ada Kebetulan
Dalam sehari-hari kita sering kali menjumpai atau mengalami berbagai peristiwa yang seolah-olah itu merupakan sebuah kebetulan. Misalkan, tiba-tiba dalam perjalanan dinas kita bertemu dengan sahabat lama yan bertahun-tahun tidak ketemu, atau mendadak mendapat promosi jabatan tertentu tanpa disangka-sangka sebelumnya.
Kalau kita menyadari kebesaran dang keagungan-Nya, sebenarnya peristiwa-peristiwa yang seolah-olah kebetulan tersebut sejatinya “bukan kebetulan”. Kita harus mengimani bahwa hal itu memang skenario besar Tuhan dalam kehidupan ini. Sesungguhnya  Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Persoalan yang mengemuka adalah pesoalan-pesoalann yang muncul secara “kebetulan” itu membuat kita merasa tidak nyata. Ketika seperti inilah kita perlu mengedepankan 2 hal secara instan: ikhlas dan berbaik sangka. Melalui komitmen keikhlasan, kita akan lapang dada dan berprasangka baik kepada Allah atas apa yang terjadi dan kita alami. Sebab, Allah pasti Mahatahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
Kalau sudah sampai pada tahap ikhlas, kita tidak akan menganggap semua peristiwa sebagai sebuah kebetulan. Semua adalah rencana Allah untuk hamba-hamba-Nya yang sadar, dan semua merupakan pesan Allah yang harus kita baca.
Ketika hati telah terbuka, boleh jadi peristiwa-peristiwa yang kita sebut sebagai kebetulan itu justru jawaban dari isyarat Allah. Pada tahap inilah kita akan berkata dengan sepenuh kesadaran, sebagaimana ungkapan Al-Qur’an: “Robbana maa kholaqta haadzaa baathilaa” Wahai Allah, tidak ada ciptaan-Mu yang sia-sia.

Rasa Berlimpah
Kemampuan atau kapasitas mental yang diaktualisasikan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan berpikir “menang, menang, dan menang” dalam menjalin hubungan dengan orang lain. “Menang” disni tidak dapat diartikan sebagai perilaku gampang menyikat dan mengalahkan orang lain dengan seenaknya. Istilah menang ini berorientasi pada aktualisasi sikap positif dan empatik dalam diri ketika bersentuhan langsung dengan apa yang ada diluar diri kita, termasuk kerabat dan mitra kerja. Itulah yang dimaksud dengan mentalitas berlimpah (sense of abudance).
Pibadi yang memiliki rasa berlimpah akan melihat setiap kejadian sebagai peluang untuk memperbaiki diri. Sering kali, dalam pekerjaan,kita mendapat sumber daya yang terbatas. Mentalitas berlipah akan berkatan, “Alhamdulillah, anggaran terbatas, waktu mendesak, berarti kita harus lebih kreatif”. Atau, ketika menghadapi bos yang sulit, pribadi berlimpah akan menyikapi dengan perkataan, “Alhamdulillah ini kesempatan untuk belajar sabar dan mengasah keterampilan menjual”. Pribadi berlimpah hanya memiliki energi positif dan tidak ada tempat untuk energi negatif mengelih dan menyalahkan. Mentalitas berlimpah seperti itu akan menghasilkan karakter kepribadian berprinsip.

Memilih Respons Terbaik
Kita harus memilih sikap kita. Sikap terbaiklah yang harus kita pilih. Yakni, bagaimana kita selalu menjadikan pengalaman dan pengetahuan hidup untuk terus menerus memperbaiki kualitas diri kita. Inlah yabng mengantarkan kita menjadi pribadi yang unggul. Tidak pernah berkelu kesah pada diri sendiri, orang lain, atau bahka kepada Allah Swt. sekalipun kesalahan, kegagalan, penderitaan dan sejenisnya senantias ditempatkan sebagai ujian mengasah ketajaman hati dan kebesaran jiwa dalam memaksimalkan dinamika hidup.
Sikap kita mencerminkan bagaimana pola pikir dan kesadaran yang kita miliki. Dengan mengembil sikap yang terbaik dala hidup kesadaran dan pengetahuan kitapun akan memperoleh umpan balik berupa hkmah yang terus berlimpah dalam kehidupan ini.

Bersandar Hanya Kepada Allah
Ketika manusia dikaruniai akal dan hati, tentu akan sampai pada suat kesimpulan bahwa diri kita ini sebenarnya fana. Sebagai makhluk yang fana tentunya kita akan tetap bergantung kepada Tuhan Yang Mahakekal, bukan bergantung kepada orang lain. Kita harus selalu menyandarkan diri kepada Allah Swt., karena kita bukan apa-apa ditengah-tengah hamparan semesta yang luas ini. Kita tak lebuh percikan kecil dari potensi yang Allah hidangkan di muka bumi.
Ketika kita bersandar secara total kepada-Nya, maka Dia yang akan menggerakan seluruh kehidupan kita. Inilah salah satu kunci sukses manusia baik untuk kehidupan di dunia maupun untuk kehidupan di akhirat kelak.

Memungut  Hikah Dari Semua Peristiwa
Ketika kita menyadari bahwa setiap peristiwa yang datang kepada kita asalnya dari Allah Swt., dan akan kembali kepadaNya, hati ini sebenarnya menjadi lapang. Kita tidak mempunyai beban apapun, karena kjita sadar bahwa setiap peristiwa mengandung hikmah didalamnya. Bukan peristiwa yang mengubah seseorang , melainkan orang tersebut yang mengubah dirinya dengan mengambil suatu pelajaran dari kejadian itu.
Benar hal itu sering kali kita praktikan, tetapi kita harus terus belajar untuk bisa berma’rifat kepada Allah sehingga segala sesuatu bisa kita jalani dengan suka cita. Setiap detik kita dilimpahi hkmah. Ilmupun kita bertambah. Dan ketika kita mengeluh atas setiap paristiwa yang dialami, kita sendirilah yang menghijab datangnya hikmah yang sebenarnya berlimpah ruah dalam kehidupan ini.

Strategi 2: Self-Development (pengembangan Diri)

Be Proactive: Sebagai Agen dan Aktor Perubahan
Pribadi unggul adalah orang yang terus menerus mengambil peran dalam setiap kesempatan dimanapun dan apapun posisinya. Ia bukanlah objek yang terombang – ambing gelombang perubahan yang terjadi di lingkungannya. Ia mampu menjadi subjek perubahan.
Dalam lingkungan kelompoknyam, ia  mampu bergerak sebagai inisiator: agen dan aktor perubahan. Ia juga proaktif didalam meberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang ada. Ia aktif sebagai pemecah masalah (problem solver), bukan malah menjadi sumber masalah (problem makera). Inilah bukti bahwa adanya kualitas pengembangan diri dalam kehidupan seseorang.

4K: Komitmen, Kompeten, Konsisten, dan Konsekuen
Ketika seseorang ingin sukses dalam pengembangan dirinya, baik dalam persoalan bisnis ataupun lainnya, ia harus menjalankan 4K ini.
a.    Komitmen mengandung pengertian bahwa bisnis (misalnya) bukan haya dipertanggungjawabkan pengelolaannya, namun juga harus mempertanggungjawabkan.
b.    Kompeten seseorang harus mempunyai kemampuan dan keunggulan yang sesuai dengan bidang pekerjaan yang sedang ia geluti.
c.    Konsisten seseorang harus fokus terhadap bidang pekerjaan yang sedang digarapnya.
d.    Konsekuen dalam setiap pekerjaan kita harus siap dengan resiko yang nantinya akan kita temui baik dalam kondisi menguntungkan mauoun kondisi merugikan.

Menjadi Pendaki : Ikhtiar Tanpa Henti
Pendakian sebuah tujuan merupakan ikhtiar yang tiada henti dalam berbagai persoalan kehidupan. Mereka yang bermental pendaki akan selalu menjadikan segala rintangannya sebagai pendorong untuk mencapai kesuksesan dalam segala hal, terutama tujuan dan cita-citanya.
Proses pendakian memang akan dikacaukan oleh berbagai jalan penyelesaian yang beragam. Tapi percayalah, ketika sudah mantap dan teguh dan mantap dalam usaha mencapai visi, kita akan lebih fokus dalam memilih jalan mana yang bisa menghantarkan pencapaian cita-cita itu dengan benar.

Strategi 3 : Self-Contribution

Manusia Bernilai Tambah
Kalau kita renungkan secara mendalam, Tuhan yang Maha Pengasih berkehendak baik bagi kita. Semua bergantung kepada kita untuk meraih dan menikmatinya atau hanya berhenrti ditengah jalan. Seorang yang sukses adalah kalau ia berhasil membawa nilai tambah bagi dirinya sendiri dan juga berhasil membawa niali tambah bagi lingkungannya. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya, dengan makhluk hidup lainnya, bahkan dengan benda mati sekalipun.
Mereka yang sukses dan signifikan, adalah orang-orang yang pandai dan cerdas dalam memnfaatkan lingkungan secara fokus. Prinsip dasar hidup mereka adalah bersosialisasi membangun jejaring.

Team Player & Solution Finder
Kita tidak bisa menganggap bahwa suksesnya sebuah pekerjaan adalah hasilkerja keras kita sendiri. Semua pihak mempunya andil, berapapun kecilnya, sesuai dengan bidang yang ditanganinya masing-masing. Dalam sebuah tim kerja, pribadi yang selalu berpikir sukses tim dan bukan sukses dirinya sendiri, akan semakin meningkat nilai dirinya dimata anggota tim atau anggota lainnya, begitu pula sebaliknya.
Karena itu, dalam bekerja untuk mencapai hasil kita adalah sebuah tim. Dalam sebuah tim tentunya diperluakan solideritas, rasa hormat, dan kerja sama diantara para anggotanya. Solideritas diantara anggota tim akan memberiak jalan yang lebih mulus bagi tercapainya sebuah tujuan.
Dalam sebuah tim pula, kita semestinya menjaditeam player, yaitu aktor, dan kontributor keberhasilan tim sesuai peran dan tangung jawab kita. Pada saat yang sama juga bisa memberikan dan menemukan penyelesai solusi bagi masalaha anggota tim lainnya. Penyelesai solusi adalah orang yang berikhtiar mencari solusi dari sumber manapun, tidak semata-mata dari dirinya, selama bisa menjadi jawaban terbaik bagi persoalan anggota dan timnya.

Logis Tapi Empati
Dalam upaya pencapaian tujuan, hal yang perlu dilakukan juga adalah kita bersikap logis. Maksudnya, dalam membuat rencana kerja atau tahapan-tahapan pencapaian tujuan dilakuakan dengan menggunakan logika sehat, sehingga semua hal tersebut bisa kita kontrol dalam prosesnya. Selain dengan logis, disisi lain kita harus berrempati dengan pihak lain, atau juga bawahan kita. Sebab, yang kita hadap bukan mesin yang tidak mempunyai perasaan, melainkan orang-orang yang mempunyai perasaan.
Logis tetapi juga empati merupakan sebuah langkah yang bijak dalam bersikap. Jadi, kita tetap bersikap logis tanpa harus bersikap cuek terhadap lingkungan kita. Intinya, kita tifdak bisa mengunakan kaca mata kuda. Dalam setiuap tindakan kita yang logis haruslah menjaga kesantunan, menyenangkan, membangun rasa hormat, dan menjadi solusi bagi pelanggan, bawahan, atau rekan kerja kita.

Mnejadi Manusia Yang Signifikan
Manusia signifikan adalah manusia yang merasa sukses dan beruntung kalau membuat orang lain sukses. Mereka dalah orang-orang besar (great people) dan mulia. Orang-orang besar adalah mereka yang bersedia berkorban dan menunda kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang banyak. Sukses kita hari ini sesungguhnya adalah sukses perjuangan dan pengorbanan orangtua kita,vserta orang-orang jyabng membantu di sekitar kita.
Pemimpin yang signifikan adalah pemimpin yang dapat melahirkan kader-kader pengganti yang lebih baik dari dirinya. Tidak ada jalan pintas bagi manusia signifikan. Kebesaran dan kemuliaan bukan pemberian, tetapi buah atau hasil dari proses perjalanan yang teguh dan konsisten untuk memberi manfaat dan energi positif dimanapun dia berada.

PENUTUPAN

Menyikapi Setiap Kejadian dengan Bijak
Sikap terbaik yang harus kita lakukan adalah tetap berprasangka baik kepada Allah Swt., dalam segala sesuatu. Sebab, dari sikap itulah lahr motivasi dalam diri kita untuk bisa mencapai kesuksesan yang seharusnya. Berpikirlah positif bahwa segala sesuatu pasti menyimpan hikmah. Kita tidak perlu kecewa atas apa yang terjadi. Karena semua yang terjadi dalam hidup merupakan pelajaran bagi kita untuk terus mendaki kesuksesan yang menanti didepan kita.
Beberapa hal yang dapat dijadikan kunci meraih sukses antara lain....:

Berilmu Sebagai Setir
Berilmu berarti harus memperbanyak pengetahuan, meningkatkan keilmuan, dan mengelaborasi pengalaman. Dengan ilmu dan penglaman, segala persoalan akan lebih mudah dicarikan jalan keluarnya. Dengan ilmu pula, berbagai antisipasi bisa kita lakukan untuk menghadapi situasi yang mungkin saja terjadi. Seseorang yang berilmu akan memiliki kemampuan untuk mengerjakan bukan hanya hal-hal yang kecil, termasuk pekerjaan yang besar.
Disinilah ilmu berperan sebagai setir, yang akan mengarahkan setiap gerak langkah kita dalam meraih tujuan.

Bersyukur Sebagai Gas
Bersukur merupakan gas, yaitu media mengakselerasi motivasi dan tindakan untuk mencapai kesuksesan. Bersyukur berarti semakin mendidik diri kita untuk menjadi lebih ikhlas dan optimis dalam menggapai cita-cita. Orang yang jarang atau tidak bersyukur, berarti ia tidak mengerti dan tidak pula menghargai potensi dirinya.

Sabar Sebagai Rem
Bersabar merupakan kemampuan seseorang untuk bisa mengendalikan diri dari hasrat yang belebihan terhadap dunia, atau cobaan yang Allah berikan kepada kita. Sabar harus dijadikan rem bagi kita untuk bisa menahan keinginan berlebihan yang mungkin bisa menghancurkan jalan kesuksesan yang sedang dan akan kita rintis. Orang yang sabar adalah oran yang penuh ketelitian. Dari ketelitian dan kejelian, akan lahir kematangan. Dan dari kematangan, akan tumbuh subur keberhasilan.

sumber :MANAJEMEN ALHAMDULILLAH, Indra Utoyo, Mizan Bandung, Januari 2011, 142 Halaman

Selasa, 11 Desember 2012

PENDIDIKAN GENERASI MUDA DIPERBINCANGKAN SEBAGAI PROSES PEMBEBASAN (SEBUAH TINJAUAN DARI PERSPEKTIF HAK-HAK ASASI MANUSIA)

Oleh : Soetandyo Wignjosoebroto
Gurubesar Emeritus Universitas Airlangga
Anggota Dewan Pakar Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur 

            Memperbincangkan soal pendidikan dan kebijakan berikut implementasinya oleh para pejabat penyelenggara negara dalam urusan pendidikan, manakala diwawas dari perspektif hak-hak asasi manusia, demi tercegahnya kesalahpahaman dan distorsi konsep, orang harus memahami dan menerima terlebih dahulu pengertian yang amat mendasar mengenai apa yang harus disebut bersama sebagai hak-hak asasi manusia (HAM) itu, khususnya hak-hak yang asasi di bidang pendidikan.  Harus ditegaskan terlebih dahulu, apakah hak-hak asasi yang relevan dengan soal pendidikan ini adalah ‘hak untuk dididik, yang secara konseptual akan bisa berarti teralihkannya hak dari anak muda ke pendidiknya, yang akan berarti juga diperolehnya hak prerogatif orang-orang tua pendidik untuk mendidik)’?  Ataukah hak atas pendidikan itu berhakikat sebagai ‘hak individu untuk memperoleh kesempatan melakukan pencaharian yang bebas guna mengembangkan dirinya, yang pada akhirnya akan membebaskan dirinya itu dari segala bentuk kekurangan dan keterkungkungan’?

            Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dari sisi normatif dapatlah ditemukan dalam naskah Unesco Recommendation yang disepakatkan dalam pertemuannya di Paris antara tanggal 17 Oktober sampai ke 23 November 1974.  Dalam naskah rekomendasi ini ditemukan pernyataan yang relevan dengan perbincangan kita kali ini, bahwa “negara-negera anggota (PBB) wajib mengambil langkah-langkah untuk menjamin terintegrasikannya asas-asas Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia sebagai bagian dari perkembangan kepribadian setiap anak ….”.   Jawaban-jawaban juga dapat ditimba dari Convention on The Rights of The Childs yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989.  Uraian berikut ini tidak bermaksud untuk menyajikan rinci-rinci yang dikandung dalam kedua naskah itu. Alih-alih, dan akan gantinya, uraian hendak lebih mengedepankan argumentasi yang melandasi tesis bahwa pendidikan adalah hak anak muda untuk memperoleh kebebasannya tatkala harus menghadapi masa depannya, yang jauh membedakan diri dari masa lampau orang-orang tuanya.     

Hak Atas Pendidikan Sebagai Hak Yang Pada Hakikatnya

Merupakan Hak Manusia Yang Asasi Untuk Berkebebasan

Dan/Atau Terbebaskan Dari Segala Bentuk Keterkungkungan  

            Manakala layanan pendidikan harus juga dibilangkan sebagai hak-hak asasi, maka orientasi kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah mestilah berbeda dengan kebijakan pemerintah yang relevan dengan persoalan hak-hak sipil dan hak-hak politik dalam kehidupan bernegara.  Hak atas layanan pendidikan sebagai hak asasi warga negara (di bidang ekonomi, sosial dan budaya) adalah hak positif warga, yang berbeda dengan hak negatif mereka dalam urusan kebebasan warga dan kebebasan berpolitik.  Hak positif adalah hak untuk menuntut pemerintah agar pemerintah secara proaktif mengupayakan kondisi dan/atau fasilitas yang memungkinkan warga masyarakat merealisasi hak-hak asasinya; sedangkan hak negatif adalah hak untuk menuntut pemerintah agar pemerintah “angkat tangan” dari segala kemungkinan untuk “turun tangan” (turut campur) dalam proses-proses politik warga (yang dikhawatirkan akan mengancam kehidupan demokratik menjadi kehidupan otokratik).

            Harus tetap diingat apabila orang berbicara tentang hak-hak asasi manusia, maka yang sedang dibicarakan itu pada asasnya adalah tak lain daripada perbincangan tentang hak kebebasan warga.  Kalaupun dalam persoalan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ialah HAM generasi kedua) ada tuntutan agar pemerintah secara proaktif turun tangan untuk ikut memajukan dan melindungi hak, tidaklah itu berarti bahwa hak-hak yang asasi itu menjadi dipindahtangankan ke tangan para pejabat pemerintahan.  Hak asasi adalah hak yang diakui melekat pada diri manusia karena hakekat dan kodrat manusia itu sebagai manusia, yang karena itu tak bisa dipindahtangankan (inalienable).  Itulah hak – juga hak untuk memperoleh pendidikan yang berhakikat sebagai hak untuk bertumbuhkembang sebagai makhluk budaya – yang tak akan serta merta memberikan kekuasaan kepada pemerintah cq. negara dan pejabatnya untuk mengintervensi kebebasan manusia yang warga negara untuk memilih afiliasi-afiliasi kulturalnya melalui proses-proses pendidikan.  Pendidikan bagaimanapun juga tetaplah berhakikat sebagai proses pembebasan kea rah kebebasan dan bukan proses pengungkungan ke arah terkungkungan.,    .

            Paradigma pendidikan modern dalam kehidupan berbangsa dan kehidupan antar-bangsa adalah paradigma kemanusiaan.  Inilah paradigma – yang boleh kita sebut ‘humanity’ dengan keyakinan akan kebenarannya yang tercakup dalam pengertian ‘humanism’ – yang akan membawa konsekuensi dalam memaknakan manusia dalam kehidupan bernegara bangsa.  Manusia kini tidak lagi terkonsepkan sebagai noktah-noktah yang tak signifikan kecuali manakala diintegrasikan sebagai komponen suatu struktur.  Manusia kini ini mesti dikonsepkan sebagai individu-individu yang harus bebas dan dibebaskan agar berdaulat, dan bukan hanya dijadikan anasir yang tak berwajah, tak bernama dan tak bersuara (dan karena itu tak penting dan tak terlihat ) dalam suatu fakta kehidupan yang selalu tergambar sebagai massa.  Sebagai individu yang berdaulat, manusia adalah makhluk penyandang hak-hak yang asasi dan kodrati, yang oleh karena sifatnya yang ‘kodrati’ dan inheren pada kelahirannya sebagai manusia seutuhnya itulah maka hak-hak itu tidaklah akan mungkin dialihkan (inalienable) dan diingkari lewat pelanggaran-pelanggaran (inviolable).

     Itulah model manusia baru yang bukan lagi hamba-hamba suatu kekuasaan, melainkan warga-warga bebas – dengan hak-haknya untuk -- dalam suasana kebebasannya (berdasarkan hak-haknya sebagai warga negara, ialah the civil rights) --  berpartisipasi dalam setiap proses politik (berdasarkan jaminan hak-haknya yang asasi dibidang politik, ialah the political rights).  Lebih dari itu, sebagai manusia yang bebas, yang hanya bisa terikat berdasarkan kesepakatannya sendiri yang diambil secara bebas, para warga inipun mesti terpandang sebagai warga-warga penyandang hak asasi untuk memperoleh peluang – tanpa boleh dihalang-halangi oleh kekuatan penguasa manapun, yang justru diwajibkan membantu – guna meningkatkan taraf kesejahteraan (economic rights) demi tercapainya  kehidupan yang lebih beradab dan bermartabat di tengah masyarakatnya (social and economic rights)..

     Maka di babakan wacana inilah pentingnya pendidikan sebagai paradigma kemanusiaan ikut pula terkedepankan.  Paradigma kemanusiaan akan berkonsekuensi pada doktrin, konsep dan strategi pendidikan sebagai upaya yang sadar untuk membantu terbebaskannya anak-anak manusia dari segala bentuk kekurangan dan ketergantungan yang disebabkan oleh tak terbebaskannya potensi daya penalarannya.  Pendidikan berparadigma kemanusiaan, yang memodelkan manusia bebas sebagai potensi kemajuan, adalah pendidikan yang berstrategi akan membebaskan anak-anak manusia dari berbagai bentuk kebutaan, bukan cuma buta huruf akan tetapi juga buta pengetahuan, khususnya pengetahuan tentang hak-hak asasinya yang kodrati dan yang inviolable serta inalienable itu.   Lembaga pendidikan – mulai dari yang dasar sampaipun yang lanjutan dan tinggi – adalah lembaga pembebas, dan bukan lembaga perekrut hamba-hamba baru, yang manakala telah berhasil dihegemoni akan bisa dipekerjakan oleh dan di bawah kepentingan penguasa-penguasa baru, entah penguasa yang berkekuatan kapitalistik entah pula penguasa yang berkekuatan birokratik.

Di Negeri-Negeri Berkembangpun Hak Untuk Memperoleh Pendidikan
Haruslah Tak Dimaknakan Sebagai Hak Pemerintah Untuk Memberikan Pendidikan, Yang Akan Berarti Merupakan Kewajiban Setiap Anak Muda Untuk Selalu Bersedia Diajar/Dididik Menurut Program Sentralnya Suatu Rezim. 

Di negeri-negeri berkembang ex-daerah jajahan negeri-negeri Barat, seperti misalnya Indonesia, hak-hak sosial, ekonomi dan budaya – dimana hak untuk memperoleh pendidikan tercakup – sebagai hak-hak asasi warga masyarakat tidak mudah dipahami sebagai buah usaha suatu perjuangan untuk memperoleh pembebasan.  Yang lebih gampang dipahami oleh massa awam di negeri-negeri ini ialah, bahwa hak-hak  itu bukanlah sekali-kali merupakan manifestasi dari hak akan kebebasan yang kodrati, yang dengan bertolak dari kebebasan itu manausia dapat mengekspresikan dirinya dalam banyak hal untuk menemukan kesejahteraannya.  Dalam kehidupan yang masih kuat dihegemoni oleh tradisi patrimonialisme, kesejahteraan amat lebih dilihat sebagai hasil kemurahan mereka yang berkekuasaan.  Kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya lebih dimengerti sebagai produk yang terwujudnya bergantung pada dan ditentukan oleh kuatnya semangat pemberian rasa “ayom dan ayem” para pemimpin dan penguasa kepada para pendukung dan pengikutnya.  Amal sedekah, pemberian bantuan (paringan!) atau subsidi itulah yang cenderung lebih banyak ditunggu-tunggu sebagai sumber asal kesejahteraan daripada hasil usaha atas dasar tanggungjawab pribadi yang berdasarkan hak-hak yang asasi.  Tak pelak pernyataan ini berlaku juga dalam ihwal jasa layanan pendidikan.

Di tengah-tengah kenyataan seperti itu, tiadanya kesadaran yang kuat tentang hak – yang asasi ataupun yang tak asasi  yang harus ditegakkan demi terwujudnya kesejahteraan ekonomi dan demi kebebasan dalam kehidupan sosial dan kultural – lalu mudah menjadikan massa awam lebih bertindak menggantungkan nasib pada apapun yang dilakukan oleh para penguasa.  Kalaupun telah ada jaminan konstitusional yang objektif mengenai hak-hak asasi setiap warga negara untuk memperoleh situasi yang kondusif guna melakukan usaha-usaha yang positif demi tertingkatkannya kesejahteraan jasmani dan ruhani mereka masing-masing, juga yang diperoleh lewat usaha pembelajaran, tidaklah itu semua menjadi bermakna bagi mereka yang awam itu.  Datangnya bantuan dari pemerintah lebih banyak ditunggu dan dituntut daripada datangnya pengakuan dan perlindungan hak untuk memperoleh kondisi yang kondusif bagi setiap usaha untuk meningkatkan kesejahteraan dan rasa sejahtera lahir dan batin.  Untuk maksud itu, kebanyakan massa rakyat yang awam itu bahkan tidak pernah terkesan merisaukan soal apakah untuk memperbesar kemungkinan pemerintah memberikan bantuan itu pemerintah mulai mengingkari atau mengambil-alih hak-hak mereka yang asasi, tak kurang-kurangnya juga dalam urusan pendidikan..

Di tengah kenyataan seperti itu, menjadi tak serta merta gampanglah meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai manifestasi kesadaran pemenuhan hak untuk memenuhi kebutuhan sosial dan budayanya yang akan dicari dan diperoleh lewat proses pengembangan diri yang disebut pendidikan diri.  Gerakan massa yang tengah ramai berlangsung dewasa ini pada umumnya juga tertengarai lebih berkisar di seputar gugatan tiadanya lagi niat politik pemerintah untuk meneruskan pemberian bantuan dan subsidi kepada rakyat di bidang apapun, tak kurang-kurangnya juga dalam soal pemberian bantuan subsidi pendidikan.  Setakat ini, gerakan massa masih sulit dikembangkan menyusuri alur strategik yang lain, ialah gerakan untuk menyadari hak, nota bene hak setiap warga negara untuk memperoleh suasana yang kondusif untuk berusaha mengembangkan diri yang bermakna sebagai pembudayaan dan/atau mengadabkan diri, untuk kemudian juga bisa menghindarkan diri dari berbagai tindakan diskriminatif para pejabat pemerintahan

Maka, gampang atau tak gampang, penegakan atau pemenuhan hak rakyat yang asasi untuk memperoleh peningkatan kualitas hidup mereka di bidang ekonomi, sosial dan kultural harus dimulai dari “dalam”.   Prosesnya adalah proses pendidikan.  Inilah proses pendidikan yang harus disadari sebagai proses pembelajaran, yang hak atasnya merupakan hak melepaskan diri dari rasa ketergantungan, yang dalam hal harus dimengerti sebagai hak untuk membebaskan diri dari masa lampaunya orang-orang tua guna menemukan masa depannya sendiri yang memiliki idiom-idiom budaya masa mendatang yang sudah barang pasti berbeda dari idiom-idiom masa lalu.

            Di dalam kehidupan masa depan, baik pada tataran nasional maupun tataran global, eksklusifitas-eksklusifitas yang mewarnai kehidupan pranasional tidak hanya akan dipandang sebagai pelanggengan fragmentasi, akan tetapi juga boleh dikhawatirkan akan mengganggu keutuhan masyarakat bangsa dan kerukunan umat sedunia.  Pada akhirnya eksklusifitas yang mengundang fragmentasi seperti itu hanya akan mengundang sikap saling mengucilkan dan menggangu keutuhan masyarakat sebangsa dan antar-bangsa.  Adalah hak anak-anak muda yang asasi untuk menyiapkan masa depannya yang tidak terfragmentasi demikian itu, ialah melalui proses-proses pendidikan dalam maknanya sebagai proses-proses pembelajaran anak dan tidak melalui proses-proses pendidikan dalam maknanya sebagai proses pengajaran oleh orang tua yang ingin melanggengkan kehidupan masa lalu yang penuh fragmentasi dan chauvenisme.. 

            Bagaimanapun juga, pendidikan dalam maknanya sebagai refleksi hak anak muda yang asasi untuk menemukan masa depannya sendiri haruslah dirupakan sebagai proses pengalaman belajar anak muda untuk menyadari eksistensinya sebagai manusia seutuhnya dalam kehidupan masa depan.  Ialah masa yang sekalipun tetap bersifat majemuk, banyak perbedaan ssosial dan budaya, namun bersifat ‘satu dan sulit untuk di pisah-pisahkan (apalagi dipecah-pecah).  Berparadigma seperti itu,   memperbincangkan masalah-masalah lintas tempat, lintas kelompok, dan lintas waktu. Sebagai bagian dari pendidikan modern yang berorientasi ke hak dan kepentingan anak-anak muda,  pendidikan yang dimaknakan sebagai ‘pendidikan kehidupan masa depan’ tidaklah begitu saja bisa diserahklan sepenuhnya pada didaktik yang mendahulukan asas paedagogik, melainkan asas yang andragogik itulah.

            Asas andragogik akan memberikan pengakuan hak-hak anak muda untuk berekspresi dan untuk menyatakan pendirian-pendiriannya secara bebas dan demokratik.  Kalau pemerintah sebagai representasi negara akan menggariskan kebijakannya dan kemudian mengimplementasinya, apapun dapatlah dilakukan olehnya untuk maksud itu.  Tapi satu yang mestinya tak akan dilakukan, ialah mengambil-alih hak anak manusia yang asasi untuk mempersiapkan diri guna menyongsong masa depannya, untuk kemudian menggantikannya dengan kewajiban si anak muda agar menaati ajaran para pendidiknya untuk hidup berdasarkan kearifan-kearifan masa lampau (yang mungkin saja sudah usang dan tak bisa lagi berfungsi untuk kehidupannya di masa depan).



oOoOo



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *