Jumat, 22 Oktober 2010

Sekolah kejuruan pabrik kuli ?

Henry A Giroux (1993) pernah menyindir keberadaan sekolah-sekolah yang hanya sekadar sebagai “ham-ba” pabrik/industri. Tanpa disadari, institusi pendidikan telah melumpuhkan proses humanisasi anak didik lantaran hanya berjuang dalam dimensi ekonomi dan melupakan dimensi personal sebagai bagian dari integritas peserta didik.

Kondisi ini pun tak luput ketika kita memandang bagaimana pendidikan kejuruan (SMK) di negeri ini berjalan. Mengapa SMK? Tahun ini ada sebuah fenomena menarik. Di berbagai daerah di tanah air, sekolah menengah kejuruan (SMK) kebanjiran peminat. Karier yang tak jauh-jauh dari mekanik, tukang batu, tukang kayu, pelayan dan berbagai profesi tingkat dasar sebagai pekerja sedikit banyak telah membentuk citra bahwa sekolah di SMK itu tidak menjanjikan.

Fenomena SMK kebanjiran peminat tahun ini bisa jadi menjadi pertanda mulai memudarnya citra masyarakat tentang SMK sebagai lembaga pendidikan “kelas dua”. Memang harus diakui bahwa pendidikan kejuruan memiliki beberapa kelebihan. Pertama, lulusan dari institusi ini dapat mengisi peluang kerja pada dunia usaha/industri, karena terkait dengan satu sertifikasi yang dimiliki oleh lulusannya melalui Uji Kemampuan Kompetensi. Dengan sertifikasi tersebut mereka mempunyai peluang untuk bekerja.

Kedua, lulusan pendidikan menengah kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sepanjang lulusan tersebut memenuhi persyaratan, baik nilai maupun program studi atau jurusan sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan. Siswa SMK dalam berbagai ajang lomba keahlian berstandar internasional pun terhitung mampu bersaing dengan pelajar dari pendidikan kejuruan dari negara-negara lain. Contoh nyata, dalam ASEAN Skill Competition yang sudah enam kali diikuti siswa SMK Indonesia, prestasi Indonesia terus meningkat. Indonesia bahkan mampu meraih juara satu.

Di tingkat kompetensi keahlian kompetisi, Indonesia baru dua kali terlibat sebagai peserta. Dalam kompetisi di Jepang tahun lalu, Indonesia berada di posisi ke-21 dari 52 negara. Sebelumnya, Indonesia di posisi ke-44. Namun bukan berarti pendidikan kejuruan tak sepi masalah. Problem ketidakterkaitan (mismatch) antara SMK dan dunia usaha atau dunia industri adalah salah satunya. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, tidak semua SMK mencetak lulusan yang adaptif dengan dunia kerja. Hal ini disebabkan ketidaktersediaan fasilitas bengkel atau laboratorium kerja yang layak dan modern, serta membangun kerja sama yang kuat dengan dunia kerja. Kedua, dari aspek tenaga pengajar, banyak guru SMK yang ketinggalan dalam meng-update keahlian agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Akibatnya, banyak pendidikan di SMK yang dijalankan secara asal-asalan yang muaranya hanya menghasilkan lulusan tanpa kompetensi memadai. Ketiga, program-program yang dita-warkan SMK saat ini belum efektif dan efisien. Ini dapat dilihat dari kualitas lulusan yang belum mampu menjawab tantangan dunia industri.

Dengan kata lain, belum ada kesesuaian antara SMK dan industri. Melihat kondisi ini, mestinya pemerintah terus berbenah. Menentukan graduates absorbability priority/GAP adalah satu hal yang penting. Dengan langkah ini diperoleh informasi secara rinci perihal “mau diarahkan kemana/ke jenis lapangan pekerjaan apa” siswa-siswa kita selepas SMK.
 
Penjelasan ini dapat digunakan se-bagai acuan dalam membuat skala prioritas keterserapan tamatan. Walaupun hal ini sebenarnya telah ada dan menjadi grand strategy Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, namun sejalan dengan otonomi pendidikan, hal ini bisa saja dilakukan karena masing-masing daerah memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda satu dengan yang lainnya serta dinamisasi permintaan “pasar” terhadap lulusan SMK relatif cukup tinggi.

Dengan menentukan prioritas keterserapan tamatan lebih dini, pihak pengelola sekolah dapat dengan mudah mendisain sistem-sistem yang dibutuhkan untuk menjalankan program pendidikan dan pelatihannya sejak fase rekrutmen siswa baru hingga mereka tamat dari SMK tersebut.

Kepastian Karier
Perubahan pun perlu dilakukan pada sistem rekrutmen siswa baru SMK, mulai dari tahap promosi, pendaftaran hingga pada tahap seleksi. Tujuannya adalah agar pihak sekolah bisa memperoleh input yang memiliki kualitas ke-mampuan baik dari segi intelektual maupun finansial yang bisa diandalkan. Perlu diingat bahwa sistem rekrutmen tersebut tentu harus tetap mengacu kepada GAP yang telah didisain sebelumnya.
Dalam proses seleksi siswa baru diharapkan pengelola SMK tidak hanya menyeleksi kemampuan intelektual dan finansial calon siswa tetapi juga minat (keinginan dia setelah tamat SMK; mau bekerja atau melanjutkan studi) serta bakat yang dimiliki oleh anak tersebut. Ini merupakan awal dari program pemetaan, pengembangan dan penelusuran karier bagi setiap siswa pada saat masuk/rekrutmen sebagai siswa baru di SMK.
 
Dengan cara ini bisa diketahui dengan pasti apa yang dibutuhkan dan selayaknya diberikan bagi mereka sejak mulai duduk di bangku SMK. Bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk melanjutkan studi selepas SMK, pihak sekolah dapat memberikan penanganan khusus berupa kurikulum tambahan yang bisa mendukung keinginan mereka tersebut, selain pelajaran-pelajaran keahlian sesuai dengan jurusan mereka masing-masing.
 
Dengan menerapkan pendekatan di atas, pihak SMK akan mampu mendapatkan tidak hanya calon-calon siswa yang memiliki kemampuan intelektual yang bisa diandalkan, tetapi juga calon-calon siswa yang telah memperoleh kepastian akan karir mereka setelah menyelesaikan pendidikannya di SMK.
 
Alumni SMK adalah produk. Ia akan mengikuti sifat sebuah produk dalam suatu kancah perdagangan. Jika suatu produk hanya laku untuk konsumen kelas bawah, maka apresiasi yang muncul juga terbatas dari kalangan bawah, juga sebaliknya. Pertanyaannya, bagaimana produk-produk SMK dengan segala kekurangan dan kelebihannya “dipoles” sehingga bisa memiliki nilai ‘jual’ yang tinggi yang pada gilirannya mampu membentuk image yang cemerlang di dalam masyarakat kita?
 
Karena suka atau tidak, sadar atau tidak, saat ini kita sudah masuk pada sebuah era dimana image, trend, pride dan sejenisnya menjadi starting point yang sangat menentukan karakter masyarakat apakah akan memilih produk kita. Dengan demikian, SMK ke depan tak akan dipandang sekadar sebagai “pabrik kuli”.
Pemerhati kebijakan publik. 

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *