Oleh: Tony Simbolon
Akhir-akhir ini para pakar pendidikan sibuk mencari konsep
reformasi pendidikan.Bahkan pemerintah melalui Departemen Penidikan Nasional
sampai membentuk sebuah komite yaitu Komite Reformasi Pendidikan. Komite
tersebut tugas utamanya adalah melaksanakan revisi undang-undang No. 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam era keterbukaan/era reformasi,
bidang pendidikan tidak luput dalam ambil bagian mereformulasikan konsep
pendidikan, sebab selama ini ada anggapan bahwa pelaksanaan pembangunan
pendidikan telah mengalami deviasi. Sampai seberapajauh deviasi itu dapat
diluruskan kembali?.Tentunya harus terlebih dahulu mengetahui di mana letak
permasalahan bidang pendidikan selama ini.
Ada tiga hal permasalahan. bidang pendidikan yang sampai saat ini
belum teratasi. Pertama, rendahnya tingkat sumber daya manusia Indonesia yang
dibuktikan dengan data studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human
Development Indeks Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data
tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara. Kedua, cerminan sikap atau
watak manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung
nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab (sikap kedewasaan).
Ketiga, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga
kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan
kurang terwujud. Padahal salah satu tujuan pendidikan adalah untuk memandirikan
peserta didik khususnya dalam hal ekonomi. Dengan demikian dia mampu survive
dalam kehidupannya yang akhirnya akan mempunyai kehormatan diri di
tengah-tengah masyarakatnya. Sebab orang yang tidak mampu mandiri dalam hal
ekonomi alias menganggur bukanlah orang yang mempunyai kehormatan diri.
Ketiga hal di atas, merupakan sasaran yang harus diwujudkan dalam
pembangunan pendidikan melalui perspektif persekolahan. Kenyataannya ketiga hal
tersebut sejak Indonesia merdeka sampai saat ini belum dapat diwujudkan secara
optimal. Berangkat dari konteks ini, maka perspektif/kerangka persekolahan
sebagai ujung tombak pembangunan pendidikan merupakan sesuatu prioritas yang
harus dipikirkan dalam merencanakan formula reformasi pendidikan. Sekolah
sebagai salah satu lembaga pendidikan merupakan lembaga strategis di dalam
mewujudkan tujuan pendidikan. Dengan demikian, sekolah mau tidak. mau menjadi
pusat perhatian oleh seluruh elemen bangsa untuk dikaji kembali baik
perencanaannya, pelaksanaannya, dan pengawasannya. Hal ini, dikarenakan segala
kebijakan di bidang pendidikan muara pelaksanaannya berada di sekolah, sehingga
maju mundurnya kualitas pendidikan tergantung dari sejauhmana pengelolaan
sekolah dilakukan baik yang menyangkut sarana dan prasarana, seperti gedung
sekolah, kurikulum, guru, dan lingkungan sekitarnya.
Di dalam pengelolaan sekolah bukan hanya guru dan kepala sekolah
yang ikut andil. Akan tetapi, peranan para pejabat yang duduk di birokrasi
pendidikanpun yang note bene arsitek pendidikan harus ikut bertanggungjawab
jika terjadi kemunduran pendidikan. Keberhasilan para pejabat di birokrat bukan
hanya diukur dari keberhasilan proyek yang dikelolanya dan bukan pula diukur
dari ludesnya anggaran yang dikelola tepat waktu, tetapi yang lebih penting adalah
sejauhmana kebijakan yang dikeluarkan. Dengan itu mempunya dampakdalam
mengembangkan dan memajukansekolah yang wujudnyatanya adalah tercapainya ketiga
indikator di atas. Dengan demikian, akan melahirkan anggota masyarakat yang
berkualitas sebagai hasil pendidikan.
Pada dasarnya ketiga indikator di atas merupakan sari misi
pendidikan yang tertulis dalam GBHN 1999 yang menyatakan bahwa misi pendidikan
adalah untuk memperteguh akhlak/budi pekerti, bertanggung jawab, bermoral,
kreatif/inovatif, berdisiplin, berwawasan kebangsan, cerdas, dan memiliki iptek
serta memiliki keterampilan. Jika misi ini tercapai, maka SDM yang berkualitas
akan terwujud, dan inilah idealisme pendidikan yang harus menjadi acuan
reformasi pendidikan saat ini. Sebagai konsekuensinya adalah perlunya
mereformasi pendidikan khususnya dalam kerangka persekolahan.
Adapun yang menjadi permasalahan adalah satuan pendidikan manakah
yang harus direformasi agar misi ini dapat tercapai? Apakah sejak pendidikan
dasar (SD plus SLTP), pendidikan menengah (SMU atau SMK), atau termasuk
pendidikan tinggi? Jawabannya tentunya di setiap jenjang pendidikan harus
melakukan reformasi baik reformasi pengelolaannya dalam artian manajemen
sekolah dan juga reformasi terhadap oknum pengelolanya (subjek). Selain itu
perlu juga kita angkat persoalan apakah setiap jenjang pendidikan harus
mencapai ketiga misi itu? Jawabannya adalah setiap penyelesaian jenjang
pebndidikan baik pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi harus mencapai
ketiga hal tersebut sesuai dengan porsi masing-masing jenjang pendidikan.
Misalnya, jika seseorang telah menyelesaikan jenjang pendidikan dasar dan
karena sesuau hal tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih
tinggi. Dengan demikian orang tersebut telah memiliki pengetahuan dan
keterampilan serta sikap/etika yang dapat diaplikasikan untuk bekerja atau
menjadi seorang karyawan? Hal inilah salah satu yang perlu dikaji dalam
membuatkonsep reformasi pendidikan. Sebab dewasa ini data anak yang putus
sekolah baik pendidikan dasar dan pendidikan menengah cukup besar, baik di
pedesaan maupun di perkotaan dan semuanya tidak mampu mandiri secara ekonomi
alias menganggur. Dan pada dasarnya tidak semua peserta didik akan dicetak
menjadi sarjana. Oleh karena itu, perlu ada konsep pendidikan yang beraneka
ragam sesuai dengan kebutuhan.
Produk pendidikan saat ini
Sampai saat ini kenyataan menunjukan bahwa secara umum tujuan dari
masing-masing J'enjang pendidikan belum terwujud secara optomal. Hal ini
terindikasi dari hal-hal berikut. Pertama, banyaknya pengangguran baik yang
mengantongi ijazah pendidikan dasar sampai yang bergelar sarjana akibat
minimnya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga tidak layak jual
baik dalam pasar domestik terlebih-lebih dalam pasar global. Kedua, rendahnya
akhlak dan moral yang indikasinya adalah maraknya kasus seks dan narkoba serta
tindak kekerasan di kalangan siswa atau mahasiswa, kurangnya etika sopan
santun, lemahnya disiplin serta rasa tanggung jawab yang indikasinya adalah
sulitnya diatur/ditertibkan, yang paling serius adalah terkikisnya rasa
persaudaraan berbangsa (nasionalisme) yang cenderung menuju sukuisme,
daerahisme, agamaisme, yang akhirnya bermuara pada konplik horisontal dan
disihtegrasi bangsa. Ketiga, adalah rendahnya aspek pengetahuan yang
indikasinya selain hasil studi UNDP di atas, juga terindikasi dari nilai
ebtanas murni setiap tahun, yang jika patokan kelulusan adalah NEM diperkirakan
jumlah siswa yang lulus sangat sedikit.
Perspektif Sekolah
Variabel-variabel apa yang menyebabkan hal ini terjadi. Jawabannya
tentunya adalah sebagai berikut. Pertama, sejauh mana sekolah memegang prinsip
kejujuruan pendidikan? Secara umum pelaksanaan pendidikan kita. belum memegang
prinsip kejujuran, ketegasan, dan penuh rasa tanggung jawab serta sportifitas
yang tinggi, baik oleh subjek pendidikan itu sendiri maupun oleh objek
pendidikan. Contoh nyata masih maraknya lembaga pendidikan yang dengan sangat
mudah mengeluarkan ijazah atau gelartanpa melalui proses pendidikan yang sangat
ketat (istilah kasarnya adalah jual beli gelar atau ijazah). Akibat hal ini,
maka tidak heran jika seseorang sarjana yang baru bekerja dan baru memimpin
proyek melaksanakan pekerjaanya secara tidak jujur alias korupsi. Hal ini
adalah masih berlakunya sistem pengkatrolan nilai baik dalam kenaikan kelas
maupun dalam pelulusan. Dengan demikian tidak heran para generasi muda saat ini
cenderung belajar santai atau memilih hidup santai atau tidak mau bekerja
keras, sehingga lebih condong melaksanakan hal-hal yang gampang mencari duit
seperti pengedar narkoba. Inilah resiko apabila pendidikan telah mengabaikan
nilai-nilai kejujuran.
Kedua, adalah sejauh mana sekolah menyelenggarakn fungsi sekolah
dengan baik? Kita tahu bahwa sekolah mempunyai multi fungsi, yaitu lembaga
transfer iptek, lembaga penanaman berbagai nilai-nilai sosiokultural,
nilai-nilai budi pekerti dan sikap/watak (caracter building), dan lembaga
pemberi keterampilan. Saat ini lembaga sekolah hanya berfungsi sebagai tempat
pengajaran belaka beraneka mata pelajaran dan itu pun tidak terlaksana dengan
baik akibat kurangnya profesionalisme guru. Hilangnya sebagian fingsi sekolah
dari multi fungsi menjadi mono fungsi merupakan masalah yang perlu diantisipasi
dalam reformasi pendidikan.
Sekolah dewasa ini seolah-olah hanya berfungsi sebagai lembaga
pengajaran. Fungsi edukasi dan pelatihan sementara kurang ditinjolkan. Minimnya
pemberian aspek keterampilan bagi anak didik khususnya keterampilan yang dapat
dikembangkan untuk terjun ke dunia kerja atau berwirausaha apabila mengalami
drop out turut memperparah kelemahan dunia sekolah. Selama ini keterampilan
yang diberikan di sekolah hanyalah keterampilan yang bersifat mendukung mata
pelajaran tertentu. Misalnya, keterampilan praktikum fisika, biologi, dan lain
sebagainya. Jika di sekolah diberikan keterampilan beternak ayam, bertani
kedelai, dan lain sebagainya yang sesuai dengan potensi daerah setempat, maka
apabila si anak didik mengalami drop out, dia akan memiliki keterampilan untuk
bekerja sehingga kebermaknaan sekolah dapat dirasakan. Untuk itu perlunya
kembali dipikirkan keberadaan lembaga pendidikan kejuruan setingkat SLTP bagi
anak didik yang kemungkinan tidak akan meneruskan jenjang sekolahnya. Atau
perlu mengkaji kembali materi dan struktur kurikulum untuk memenuhi hal itu.
Selain itu masalah yang paling serius adalah menjamurnya sekolah swasta atau
perguruan tinggi swasta yang sejenis. Sekolah atau PTS itu mutunya masih
diragukan yang nota bene cenderung mengarah ke bisnis turut andil dalam
memperburuk citra pendidikan di masyarakat yang banyak mencetak alumni-alumni
yang tak terdidik. Walaupun telah ada upaya untuk pembinaan melalui akreditasi,
namun hasilnya belum memuaskan dan tidak pernah disosialisasikan sehingga
masyarakat kurang mengetahui. Oleh karena itu tidak jarang masyarakat selalu
bertanya-tanya mana sekolah yang baik dan bermutu dan mana sekolah yang kurang
baik.
Untuk mengantisipasi mutu lulusan, khususnya yang berkaitan dengan
aspek sikap dan moral, maka dalam pelulusan juga perlu dipertimbangkan penilaian
watak sehingga suatu lulusan mencerminkan manusia-manuasia yang berbudi
pekerti. Dewasa ini telah turut diperhitung-kan penilaian budi pekerti dalam
kelulusan siswa yang didasarkan kepada SK Dirjen Dikdasmen No. 64/C/KEP/2000.
Hal itu, suatu kemajuan walaupun sebenarnya sangat sulit dilakukan secara
objektif karena hasil penilaian setiap guru terhadap nilai budi pekerti seorang
anak relatif berbeda. Untu itu, perlu ada pedoman yang lebih terperinci dan
siap untuk dioperasikan tanpa pemahaman yang berbeda.
Ketiga, yang menjadi masalah utama dalam mereformasi pendidikan
adalah bagaimana manjemen sekolah dapat ditata dengan baik dan dilaksanakan
secara sungguh-sungguh serta diawasi secara ketat. Semua usaha itu perlu
dituangkan dalam peraturan perundangan, sehingga ketiga aspek hasil pendidikan
yaitu manusia yang berpengetahuan, berketerampilan, serta memiliki berbagai
nilai dapat dicapai. Untuk penataan ini diperlukan pendalaman atau suatu kajian
sebelum dituangkan dalam suatu kebijakan.
Kinerja Guru, kepala Sekolah, dan Pengawas
Pelaku-pelaku utama di sekolah seperti kepala sekolah, guru, dan
pengawas merupakan penentu keberhasilan sekolah itu sendiri. Sejauh mana
kinerja mereka tersebut sebagai tenaga kependidikan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya? Sejauh mana sarana dan prasarana belajar seperti kurikulum,
fasilitas pendidikan, sistem evaluasinya, dan proses belajar mengajarnya untuk
mendukung pencapaian tujuan pendidikan yang telah digariskan? Kedua hal ini
merupakan kerangka persekolahan yang harus dipikirkan kembali dalam mereformasi
pendidikan. Apabila membicaraka kinerja, kita tentunya akan menbicakan apa
tugas dan fungsi masing-masing petugas tersebut. Di samping itu, bagaimana
dedikasi dan keprofesionalan masing-masing petugas dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
Di dalam menjalankan tugas, kepala sekolah adalah seorang pemimpin
atau seorang manager yang perlu mengetahui fungsi-fungsi manajemen. Kepala
sekolah harus membuat suatu perencanaan sekolah setiap tahunnya. Perencanaan
program sekolah tersebut yang menyangkut tujuan yang dicapai, materi belajar
baik yang bersifta akademis maupun yang bersifat praktis, serta perencanaan
tenaga pendidik baik yang ada maupun yang harus dikontrak dari luar seperti
tenaga pengajar keterampilan. Kemudian kepala sekolah perlu melakukan
pengawasan atau penilaian serta pengendalian terhadap seluruh kegiatan di
sekolah sesuai dengan program yang telah ditentukan setiap harinya. Misalnya
jika seorang guru kurang disiplin, kurang memberikan pananaman nilai-nilai atau
urang menguasai ilmu yang diajarkan, maka kepala sekolah perlu mengambil
tindakan perbaikan. Kepala sekolah dapat juga melakukan pertemuan setiap
harinya setelah jam sekolah selesai untuk membicarakan berbagai hal sebagai
pelaksanaan tugas supervisi. Akan tetapi, yang terjadi selama ini, jarang
dilaksanakan atau dapat dikatakan tidak pernah dilakukan sehingga sekolah
berjalan monoton.
Guru sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas fungsi sekolah adalah
seorang yang profesioanal. Artinya seorang guru dituntut untuk dapat
melaksanakan tugas pengajaran, dan edukasi. Di dalam melaksanakan tugas
pengajaran, guru harus menguasai ilmu yang diajarkan, menguasai berbagai metode
pengajaran, dan mengenal anak didiknya baik secara lahiriah atau batiniah
(memahami setiap anak). Dalam pengenalan anak, guru dituntut untuk mengetahui
latar belakang kehidupan anak, lingkungan anak, dan tentunya mengetahui
kelemahan-kelemahan anaksecara psikologis. Untuk itu, guru harus dapat menjadi
seoranag "dokter" yang dapat melakukan "diagnosa" untuk
menemukan kelemahan-kelemahan si anak sebelum mengajarkan ilmu yang telah
dikuasainya. Setelah itu, baru dia akan memilih metode atau mengulangi sesuatu
topik sebagai dasar untuk memudahkan pemahaman si anak terhadap ilmu yang akan
diajarkan. Misalnya seorang guru matematika akan mengaJ'arkan topik pangkat
bilangan, tentunya guru harus mengetahui sejauh mana anak telah menguasai
konsep perkalian. Dengan demikian, seorang guru dalam menjalankan tugasnya
harus mampu; (1) berkomunikasi dengan baik terhadap siapa audiensnya, (2)
melakukan kajian sederhana khususnya dalam pengenalan anak, (3) menulis hasil
kajiannya, (4) menyiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan persiapan
mengajarnya termasuk sipa tampil menarik dan bertingkah laku sebagai guru,
menguasai ilmunya dan siap menjawabsetiap pertanyaan dari anak didiknya, (5)
menyajikan/,\meramu materi ajar secara konkrit (metode pengajaran), (6)
menyusun dan melaksanakan materi penilaian secara objektif sesuai dengan
taksonomi Bloom dan mengoreksinya setiap harinya, dan lain sebagainya. Untu
itu, dituntut kreatifitas guru, keprofesionalan guru, memegang etika guru dan
tentunya dedikasi yang tinggi untuk melaksanakan tugas keguruannya. Jika hal
ini dilakukan oleh masing-masing guru maka benarlah bahwa pekerjaan guru adalah
pekerjaan profesional yang tak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain.
Melihat tugas-tugas guru di atas, seorang guru pekerjaannya cukup
banyak dan tentunya jam kerja guru di sekolah minimal mulai pukul 7 pagi sampai
pukul 4 sore. Apakah ini tetap dilaksanakan guru-guru di Indonesia dari guru 3D
sampai perguruan tinggi? Kenyataan menunjukkan sejak dulu sampai sekarang bahwa
tugas keguruan dalam proses belajar mengajar hanyalah berbicara di depan kelas,
kemudian mencatat atau mendiktekan apa yang diucapkan oleh guru. Kalau demikian
halnya, maka pekerjan seperti itu dapat dilakukan oleh semua orang yang tidak
pernah mengalami pendidikan khusus. Suasana pengejaran ini membuat suasana yang
menoton dan kan membosankan anak didik. Apabila bel berbunyi tanda pergantian
sesion mengajar, maka selesailah tugas keguruannya. Wajarlah apabila kualitas out put pendidikan saat
ini masih tergolong rendah.
Untuk mengetahui sejauh mana sekolah menjalankan tugasnya, maka
peran pengawas sangat vital. Pengawas merupakan jembatan bagi para decition
maker yang ada di birokrat untuk memberikan bahan masukan dalam pengambilan
kebijakan khususnya yang bersifat teknis. Pengawasan yang dilakukan oleh
pengawasan mencakup hal-halyang teknis dan administratif sesuai dengan
kebijakan yang telah dikeluarkan dan tentunya yang masih berlaku. Namun tidak
jarang para pengawas kurang aktif mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut.
Sebut saja contoh bahwa di dalam tahun ajaran baru, sesuai dengan salah satu SK
Dirjen Dikdasmen, pihak sekolah tidak boleh memaksakan menjual buku dari
kakaknya atau saudaranya.Akan tetapi, sering terjadi pihak sekolah seakan
memaksakan penjualan buku yang sangat memberatkan para orang tua khususnya,
dalam masa krisis ini. Padahal pemerintah telah menyediakan buku paket yang
siap dipakai di sekolah, Oleh sebab itu, peran pengawas di dalam menjalankan
tugasnya perlu dipertanyakan.
Pengawas jarang mencari data/masukan khususnya dari masyarakat
dalam menyikapi pelaksanaan sekolah. Pengawas hanya datang menemui kepala
sekolah kemudian berbincang-bincang sebentar di ruang kepala sekolah entah apa
yang diperbincangkan kemudian pergi meninggalkan sekolah itu. Seharusnya
pengawas aktif selain mencari data kepada kepala sekolah juga perlu menanyakan
guru-guru atau anak murid serta orang tua dan khususnya melihat bagaimana
pelaksanaan proses belajar mengajar terjadi serta bagaimana sarana dan
prasarana sekolah dan lain sebagainya. Pengawas hanya melaksanakan tugas-tugas
semacam kunjungan rutin ke sekolah sehingga pengawas hanya berhubungan dengan
kepala sekolah sementara hal yang bersifat teknis pengajaran jarang diawasi.
Para kepala sekolah sering menganggap bahwa para pengawas adalah dewa yang
harus disembah, sehingga acapkali kepala sekolah memberikan pelayanan lebih
untukdipersembahkan kepadanya sehingga hasil laporanpengawasannya selalu
baik-baik saja.
Inilah sebagian gambaran/perspektif persekolahn di Indonesia yang
perlu mendapat perhatian dalam mereformulasikan konsep pendidikan di masa
datang. Semogra tulisan ini dapat dijadikan bahan masukan bagi para pakar
pendidikan dalam membuat konsep reformasi pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar