Kebutuhan akan
pernikahan adalah sebuah
masalah klasik siapapun tak dapat menyangkalnya, kecuali
kala sisi-sisi kenormalan dan kewajaran dibunuh pada jiwa manusia. Karena itu,
maka Nabi menjelaskan secara gamblang,
“Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku
(menikah, beristirahat malam dan tidak berpuasa dahr, yakni setiap hari tanpa
henti), maka ia bukanlah umatku...”
Beliau
juga menegaskan,
“Tidak ada hidup kependetaan dalam Islam” (HR.
Ahmad, Ibnu Majah, dan beberapa perawi lain)
Nabi sungguh mengecam
orang yang enggan menikah, yang berniat menjomblo
seumur hidup atau dalam watu yang lama tanpa jelas akan berhhenti melajang.
Menikah bukan sekadar tuntutan fitrah
dalam Islam, tapi juga sunnah Rasulullah yang membedakan budaya dari sebagian
kalangan kafir, sejenis kependetaan yang memandang menikah sebagai penghalang
menuju pendekatan diri kepada Alloh, sehingga menikah membawa misi yang sangat
kuat untuk mendobrak budaya itu dan membumihanguskannya dari seluruh generasi
Islam.
Pernikahan di mata
Rasulullah tentu sarat makna dan tujuan. Itu bisa kita pahami dari berbagai
Hadist dan ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang keutamaan menikah dalam
Islam. Tetapi yang ditegaskan di sini adalah sudut pandang khusus tentang pernikahan yang membedakan, antara sudut pandang Islam
dan sudut pandang manusia. Yakni, bahwa menikah itu bukan hanya diakui sebagai
kebutuhan manusia yang memiliki banyak keutamaan, perwujudan ibadah non madhah sepertihalnya aktivitas makan dan
minum,namun juga sunnah. Sesuatu yang disebut sunnah, akan memiliki nilai
tersendiri, dari sesuatu yang sekadar disebut ibadah. Karena pada hakikatnya
aktivitas seorang muslim tidak lepas dari lingkaran ibadah.
Oleh karena itu, di
dalam pernikahan terkandung nilai ibadah sebagaimana yang telah Rasulullah sabdakan. Maka seseorang dapat diharapkan
lebih mendekatkan dirinya pada Alloh dan lebih giat lagi dalam beribadah
sebagaimana setelah ia menikah. Selain itu, setiap hal yang berkaitan
dengan proses, alasan dan perjalanan
menuju pernikahan yang pernah dilakukan Nabi SAW semasa hidup beliau, akan
menjadi potret implementasi salah satu sunnah beliau yang sudah tentu sarat
dengan keteladanan.
Ada banyak rumor negatif seputar pernikahan yang pernah dilakukan oleh
Nabi SAW, yang berkembang luas di kalangan para orientalis dan musuh Islam,
sebagai salah satu alasan mendiskreditkan kedudukan Rasulullah SAW. Semua itu
tidak lepas dari misi mereka yang ingin mencari-cari celah kelemahan Islam yang
disertai ketidaktahuan mereka akan pengetahuan Islam. Padahal setiap pernikahan
beliau dengan para Ummul Mukminin mengandung
keutamaan yang hanya dimiliki oleh beliau, mengingat bahwa kehidupan Nabi
–hingga hal-hal terkecil dalam rumah tangga beliau- adalah teladan bagi par
umatnya.
Sebagaimana firman Alloh
SWT yang artinya,
“Dalam diri Rasulullah,
terdapat suri tauladan yang baik bag kalian, yakni bagi orang yang selalu
mengharapkan rahmat Alloh dan hari akhirat dan dia banyak menyebut Alloh.” (Q.S
Al-Ahzaab: 21)
Semua hikmah rahasia dan
pelajaran di balik setiap pernikahan Nabi itulah yang akhirnya menjadi potret
dari sudut pandang Nabi terhadap pernikahan yang memiliki dimensi khusus, yang
tak akan tersentuh oleh kecerdasan manusia biasa. Karena beliau hidup dan
beraktivtas di bawah bimbingan wahyu Alloh yang memuat nilai kebenaran mutlak.
Alloh Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman yang artinya,
“Ia (Rasululloh
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam) tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu,
semata-mata, ia hanya berbicara dengan wahyu (Al-Quran) yang disampaikan
kepadanya”
(Q.S An-Najm: 3-4)
Seperti diucapkan
Aisyah, Ummahatul Mukminin,
“Akhlak beliau adalah
Al-Quran itu sendiri.2”
Hal itu sesuai dengan
jaminan dalam Al-Quran:
“Dan sesungguhnya kamu
benar-benar berbudi pekerti yang agung”
(Q.S Al-Qalam: 4)
B.
Pernikahan Nabi Dengan Lebih Dari Empat Istri
Para ulama sepakat bahwa
dalam syari’at ada beberapa hal-hal yang khushushiyyahatau
pengkhususan bagi Nabi SAW. Diantara itu ada yang merupakan kelebihan beban,
seperti sholat malam yang hukummnya wajib bagi Rasulullah SAW saja, sementara
bagi ummatnya hukumnya sunnah, dan ada juga yang sifatnya keringanan bagi
beliau, seperti menikah lebih dari empat istri. Meski mufakat, tapi realistis
ini sering dipandang oleh sebagian
kalangan orientalis dan sejarawan non Muslim sebagaii sikap ‘Aji
Mumpung’, karena beliau sebagai nabi dan pemimpin umat. Padahal,
umumnya pernikahan itu berdasarkan perintah Alloh, dan berdasarkan
hikmah-hikmah kenabian lain yang sangat jelas tergambarkan dalam catatan riwayat-riwayat sejarah yang
sah dari diri beliau, dan perikehidupan beliau seutuhnya sebagai manusia,
sebagai suami, sebagai ayah, serta sebagai Nabi dan Rasul.
Adapun jumlah wanita
yang dinikahi oleh Rasulullah SAW, para ulama berbeda pendapat mengenai hal
ini. Ada yang mengatakan sembilan, sepuluh, sebelas atau lebih. Namun yang
jelas perbedaan itu mengacu pada beberapa hal berikut:
1. Perbedaan definisi ‘Menikah’. Apakah hanya nikah dengan
wanita sebagai istri saja, atau termasuk juga mengggauli budak wanita yang
dihalalkan dalam Islam tanpa mengambilnya sebagai istri.
2. Adanya istri Nabi yang sebagian namanya tidak dimasukkan
dalam kategori Ummahatul Mukminin,
bukan karena ketidakutamaannya namun pernikahannya yang begitu singkat dengan
Nabi, karena keburu wafat. Atau karena mereka adalah mantan hamba sahaya yang
dimerdekakan oleh Nabi kemudian beliau menikahinya sebagai istri, bukan sebagai
selir.
Riwayat yang sering digunnakan untuk menjelaskan pernikahan Nabi dengan para Ummahatul Mukminin adalah sebagai
berikut:
“Dari Abu Umamah Al
Bahili diriwayatkan sebuah hadist , dari ayahnya, bahwa sang ayah menuturkan:
“Di Mekah, Nabi SAW menikah dengan:
1. Khadijah
binti Khuwailid, seorang janda yang sebelumnya memiliki suami bernama Atiq bin
‘Aidz Al-Makhzuumi.
2. Masih
di Mekah, beliau menikah dengan Aisyah, dan tidak pernah menikah lagi dengan
perawan selain Aisyah.
3. Saat
tiba di Al-Madinah, beliau menikahi Hafshah binti Umar bin Al-Khattab, yang
juga seorang janda, dan suaminya terdahulu bernama Khunais bin Hudzaafah
As-Sahmi.
4. Lalu
beliau menikahi Saudah binti Zum’ah, yang juga seorang janda, mantn istri dari
Sakan bin Amru, saudara dari Amir bin Luayy.
5. Kemudian
beliau menikah dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, yang merupakan jandan dari
Ubaidillah bin Jahys.
6. Setelah
itu beliau menikahi Ummu Salamahbinti Umayyah yang nama sebenarnya adalah
Hindun, mantan istri dari Abu Salamah bin Abdil Asad bin Abdil Uzza.
7. Kemudian
beliau menikah dengan Zainab binti Jahsyi, janda dari pria bernama Zaid bin
Haritsah.
8. Setelah
itu beliau menikahi Maimunah binti Al-Harits
9. Lalu
beliau menikahi tawanannya, Juwairiyyah binti Harits bin Abi Dhiraar dari Bani
Mushthaliq, bani Khuzaa’ah dalam sebuah peperangan di mana beliau berhasil
menghancurkan berhala Manaat, perang al Muraisi’.
10. Beliau
juga menawan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab dari Bani Nadhir. Keduanya
tawanan hak yang beliau peristri.
11. Lalu
beliau menjadikan Raihanah sebagai selir (digauli karena ia budak wanita, tanpa
dijadikan istri), kemudian beliau memerdekakannya sehingga Raihanah kembali
kepada keluarganya. Di tengah itulah Raihanah mulai mengamalkan hijab.
12. Beliau
juga menggauli sebagai selir dan kemudian menceraikan kembali Al’Aliyyah binti
Zhabyaan.
13. Hal
yang sama beliau lakukan terhadap saudari Bani Amru bin Kilaab
14. Hal
yang sama lagi beliau lakukan terhadap saudari Bani Al-Jun Al-Kindiyyah, karena
ia memiliki sakit kusta.
15. Ada
lagi istri yang beliau nikahi secara wajar, Zainab binti Khuzaimah
Al-Hilaaliyah, saat itu beliau masih hidup. Selanjutnya terdengar bahwa Aliyyah
binti Zhabyaan menikah sebelim Alloh mengharamkan Nabi menikah dengan wanita
lain lagi, dengan sepupunya sendiri dan memiliki anak darinya.
Ibnu Hajar menjelaskan,
“Nabi SAW pernah menggauli
istri-istrinya sehari semalam sekaligus, sementara mereka berjumlah
sebelas.Namun Said meriwayatkan dari Qatadah, bahwa Anas meriwayatkan hadist
yang menceritakan kalau istri Nabi berjumlah Sembilan. Mereka adalah:
1.
Aisyah binti Abu
Bakar
2.
Hafshah binti Umar
3.
Ummu Salamah binti
Abi Umayyah
4.
Zainab binti Jahsyi
5.
Ummu habibah binti
Abu Sufyan
6.
Saudah binti Zum’ah
7.
Juairiyyah binti
Al-Harits
8.
Shafiyyah binti
Huyayy
9.
Zainab bintu Khuzaimah
yang dikenal dengan sebutan Ummul Masaakin atau Maimunah binti Al-Harits
Karena Zainab binti Khuzaimah
meninggal dunia sebelum Rasulullah, sementara maimunah adalah istri yang
terakhir kali beliau nikahi.Demikian juga, bila dikatakan bahwa Zainab termasuk
istri beliau, sementara Maimunah tidak.Kalau Zainab wafat, maka belum termasuk
Sembilan bila mMaimunah tidak ikut serta.Itulah yang relevan dengan riwayat
Sa’id. Adapun dua wanita tambahannya adalah seperti disebut di hadist Hisyam:
Mariah Al-Qibthiyyah dan Raihanah An-Nadhiriyyah. Keduanya sesungguhnya adalah
hamba sahaya , namun disebut ‘istri Nabi SAW’, dalam ungkapan umum saja.
Setelah beliau wafat, yang tersisa adalah sembilan istri, dengan Mariah sebagai
tambhannya. Di masa hidup beliau sendiri, istri beliau yang wafat adalah
Zainab, setelah Khadijah tentunya…..5
Maka, memang ada riwayat yang
menyebutkan bahwa Nabi menikahi tiga belas orang istri, termasuk Zainab binti
Khuzaimah, karena menyertakan juga Mariah dan Raihanah.Wallahu A’lam.6
C.
Pernikahan
Rasulullah Dengan Khadijah Binti Khuwailid
Rasulullah pertamakali menikah
pada usia 25 tahun (sebelum diangkat menjadi Nabi) dengan seorang janda bernama
Khadijah binti Khuwailid, seorang pedagang kaya. Pertemuan Rasulullah dengan
Khadijah binti Khuwailid terjadi saat beliau untuk kedua kalinya pergi
berdagang ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah binti Khuwailid bersama
pelayan Khadijah yang bernama Maisarah dengan system perdagangan qiraadh.Singkat
cerita di luar perkiraan manusia waktu itu, akhirnya Rasulullah pun menikahi
Khadijah.Saat itu Khadijah berusia 40 tahun sementara Rasulullah 25 tahun.
Kita semua tahu, bahwa dalam
kacamataIslam , wanita bisa dinikahi karena beberapa alas an:
1.
Karena
kecantikannya
2.
Karena keturunannya
(termasuk juga akhlak dan karakter kepribadiannya)
3.
Karena kekayaannya
4.
Karena agamanya.
Islam menganjurkan agar
seseorang mencari keberuntungan sejati engan memprioritaskan agamanya.
“Menanglah dengan memilih agamanya, maka “taribat
yadaaka”(dirimu akan selamat dari cela”
a. Keteguhan dam Kecintaan Khadijah Pada
Nabi
Saat menetapkan tekad menikahi
Khadijah, Nabi SAW sudah mengetahui kualitas agamanya. Hal itu terbukti , bahwa
memang Khadijah adalah pribadi yang memiliki kualitas agama yang bagus. Bahkan
saat beliau diangkat sebagai nabi, dan saat orang-orang nyaris mustahil
mempercayai pengakuan beliau, khadijah justru memberikan persaksian hebat atas
kebenaran klaim beliau itu.Rasulullah SAW sendiri sangat membanggakan keteguhan
sikap Khadijah tersebut.
“Khadijah beriman ketika orang-orang kafir kepadaku,
dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dan dia membantuku dengan
hartanya ketika orang-orang memblokadeku”
Sebagai istri, khadijah
memiliki kepribadian yang kuat dalam agamanya.Slain karena keimanannya yang
hadir dalam dirinya, di saat harta keimanan begitu mahalnya, Khadijah bahkan
bisa member support dan peneguhan pada diri Rasulullah.Hal tersebut
terbukti saat pertamakali Rasulullah menerima wahyu di Gua Hira. Rasulullah
yang menggigil sepulang dari Gua Hira bercerita tentang apa yang baru saja
menimpanya, namun Khadijah justru
meneguhkan sikap beliau.
“Bergembiralah. Sama sekali
tidak mungkin Alloh menghinakan dirimu, sama sekali tidak mungkin
selama-lamanya. Karena engkau bisa menyambung tali silaturrahim, selalu berkata
jujur, selalu mengemban amanah, suka menolong orang-orang yang kesusahan, dan memperjuangkan nilai-nilai
kebenaran.”
Usia yang
lebih itu memberikan kedewasaan yang lebih mumpuni, sehingga Khadijah tak hanya
mampu menerima keberadaan suaminya yang saat itu diutus oleh Alloh sebagai
Rasul-Nya, tapi bahkan mampu memberikan dorongan moril kepada beliau, justru
saat beliau sendiri merasa khawatir dan sedikit bimbang. Itu akan sulit
dilakukan bila usia Khadijah saat itu masih sangat muda, apalagi jauh di bawah
Rasulullah.
D.
Pernikahan
Rasulullah Dengan Aisyah Binti Abu Bakar
Saat disebut ‘istri Rasulullah’
maka yang terbayang oleh kebanyakan kaum muslimin adalah wanita yang satu ini,
Aisyah Radhiallahu’anha.Wanita suci, yang memang dipilih oleh Alloh untuk
menjadi pendampingi Nabi-Nya yang mulia.Jelas, dia adalah wanita dengan segala
kemuliaan yang dimilikinya.
a. Berbagai Pendapat Tentang Umur Aisyah
Pernikahan Nabi SAW dengan
Aisyah, secara lahiriah terkesan berkebalikan 180 derajat dengan pernikahan
beliau dengan Khadijah. Ketika menikahi Khadijah, usia beliau jauh lebih muda
di bawah istrinya, saat menikahi Aisyah justru sebaliknya, perbedaan usia Aisyah jauh berada di bawah usia beliau.
Pernikahan antara beliau dengan
Aisyah sempat menjadi gonjang-ganjing di kalangan orientalis dan musuh-musuh
Islam yang memendam kedengkian terhadap kebenaran Islam. Mereka berusaha
mengambil celah-celah halus seputar proses dan perjalanan pernikahan tersebut,
yang menurut sebagian mereka, di luar kewajaran.
Riwayat paling populer di kalangan
juru dakwah muslim di tanah air, dan itu juga tercatat dalam sebagian buku
sejarah yang akrab dengan para penuntut ilmu negeri ini, seperti Husnul Yaqin,
bahwasannya Aisyah menikah dalam usia 7-9 tahun.
Menurut At-thabari, Aisyah
dipinang pada usia 7 tahun. Kemudian berumah tangga di usia 9 tahun.
b.
Hikmah
Pernikahan Nabi Dengan Aisyah
Bagi pemerhati hadist-hadist
Nabi, tentu sudah menjadi hal yang sangat akrab saat disebutkan dalam banyak
hadist, “Diriwayatkan dari Aisyah,” “Aku perna bertanya kepada Aisyah,” “Aisyah
menceritakan,” dan kalimat-kalimat serupa dalam berbagai persoalan. Bukan hanya
persoalan rumah tangga, namun soal berwudhu, sholat, --termasuk bacaan
tahiyyat--, sholat malam Rasulullah, buang hajat, jihad, warisan dn berbagai
persoalan lainnya.
Maka, salah satu hikmah dan
pelajaran dari pernikahan nabi dengan Aisyah adalah hal yang menjadi kekhususan
beliau, yakni menempatkan Aisyah sebagai narator hadist yang sangat spresifik.Jumlah
hadist-hadist yang diriwayatkan Aisyah memang lebih sedikit –namun tidak
terpaut banyak—disbandingkan dengan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Namun,
banyak hadist-hadist Aisyah yang nyaris hanya bisa dilakukan oleh Aisyah
sendiri. Seperti hadist Aisyah yang paling popular mengenai adab dan etika nabi
dalam berhubungan suami istri,
“Bila seseorang sudah berada di antara empat cabang
tubuh istrinya, lalu ia melakukan ‘kerja yang melelahkan’ terhadap istrinya
itu, ia sudah wajib mandi”
Aisyah juga menceritakan
detail-detail perilaku keseharian Nabi ketika di rumah, mulai dari apa yang
pertamakali dilakukan oleh Nabi,saat beliau masuk ruma
E.
Pernikahan
Rasulullah Dengan Saudah
Masa sepeninggal Khadijah
adalah ujian terberat bagi Rasulullah. Tahun wafatnya sang istri dikenal
sebagai ‘Tahun Berkabung’. Saat itu jiwa beliau terguncang. Hanya keimanan
dalam dada beliau dan misi agung sebagai Rasul, yang membuat beliau masih mampu
membangun ketegaran dalam dirinya.keguncangan itu wajar karena Khadijah bukan
saja sebagai istri yang setia
mendampingi beliau dalam susah dan senang, namun juga penyokong utama dakwah
dan risalah kenabian beliau di masa-masa tersulit dalam hidupnya. Maka, sungguh
merupakan hikmah yang besar, bila Alloh menganugerahkan kepada beliau istri lain, sebagai pendamping
beliau, yang akan mampu meredam segala kedukaan itu, dan menjadi salah satu Ummahatul
Mukminin yang penuh kemuliaan. Akan bagus, kalau pendampingnyajuga wanita
yang tahu bagaimana rasanya kesepian
ditinggal wafat pasangan yang sangat
dicintainya. Bersamanya, Rasulullah bisa berbagi rasa.Siapakah wanita yang
layak mendapatkan tempat seperti itu?
Tersebutlah satu nama mulia
yang tak lepas dari roda pedati kehidupan Rasulullah, mengisi kekosongan jiwa
beliau setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid. Ya, dia adalah Ummul Mukminin
Saudah binti Zam’ah bin Qais bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Wadd bin Nashr bin Malik
bin Hasl bin ‘Amir bin Lu’ai bin ghalib bAl Quraisyiyyah Al ‘Amiriyyah yang
memiliki kun’yah ummul Aswad. Ibunya adalah Asy-Syamus binti Qais bin
Zaid bin ‘Amr bin Labid bin Khaddasy bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Adi bin An
Najjar.
Bersama suaminya, As-Sakran bin
‘Amr Al ‘Amimy, Saudah binti Zam’ah menyongsong cahaya iman yang menyemburat
dari risalah Rasulullah. Wlau untuk itu, ia harus menanggung pelbagai derita
dan penyiksaan dari orang-orang musyrikin yang berniat mereka mengembalikan
mereka ke dalam kemusyrikan. Saat siksaan dan himpitan makin hebat itu
bertambah berat, Saudah dan suaminya pun berangkat berhijrah dalam barisan
delapan orang sahabat Rasulullah.Mereka meninggalkan negerinya, mengarungi
dahsyatnya gelombang lautan, secara menakjubkan menempuh penderitaan demi
penderitaanuntuk menyelamatkan agama mereka, hingga tibalah mereka di bumi
Habasyah.Namun taki berapa lama, muhajirin (para pehijrah) Habasyah ini
kembali ke negeri mereka.Sekembalinya mereka dari Habasyah ke Mekkah, As-Sakran
bin ‘Amr meninggal dunia. Baru saja berakhir yang ia rasakan akibat
keterasingan mereka di bumi yang jauh dari tanah kelahiran, Saudah binti Zam’ah
sudah harus pula kehilangan suami tercinta tercinta. Yah, kini dia hidup
menjanda.
Sementara itu Rasulullah juga
tengah merasakan hal yang samaakibat kehilangan wanita yang telah menemaninya
dalam masa-masa kesulitan di awal kenabiannya. Namun, kemudian ada seorang
sahabat wanita, Khaulah binti Hakim As-Sulamiyah, berusaha mengetuk pintu hati
Rasulullah dengan maksud mempertemukan beliau dengan Saudah binti Zam’ah.Singkat
cerita hati Rasulullah pun tersentuh dengan penderitaan Saudah, seorang janda
yang mengalami hal yang sama dengan diri beliau. Maka pada tahun kesepuluh
setelah beliau diangkat sebagai Nabi, rasulullah pun menikah dengan Saudah.Di
masa itu pula beliau melaksanakan akad nikahnya dengan Aisyah binti Abu Bakar
Asg-Shiddiq.Saudah meminta kepada Hathib bin ‘Amr Al ‘Amiry, salah seorang
sahabat dari kaumnya yang pernah turut dalam perang Badr dan juga ikut
berhijrah ke Habasyah untuk menikahkannya.pernikahan Rasulullah denga Saudah
member gambaran kehidupan mukmin dengan mukminah yang Alloh berikan anugrah
keindahan hidup, di usia yang cukup senja. Rasulullah berbahagia dengan Saudah,
dan tentu saja demikian pula kebalikannya, Saudah di sisi rasulullah.Terbukti,
bahwa beliau mampu bertahan hidup lama dengan Saudah, menanti Aisyah agar siap
hidup berumah tangga secara sempurna bersama beliau dan juga Saudah.
Seorang diri Saudah menemani
rasulullah selama tiga tahun lebih lamanya hingga tiba saat Aisyah menyusul
hadir dalam rumah tangga Rasulullah di Madina.Yakni tiga tahun setelah akad
nikah dilangsungkan. Bersama istrinya itu kemudian Rasulullah mengalami
masa-masa sulit, termasuk saat akan melaksanakan hijrah besar ke kota
Al-madinah yang kala itu masih bernama Yatsrib.
F.
Pernikahan
Rasulullah Dengan Ummu Habibah
Tiada
pernah terlintas di dalam pikiran Abu Sufyan bin Harab –yang kala itu masih
seorang kafir penentang risalah Islam—akan ada orang Quraisy yang berani keluar
dari gengaman kekuasaannya, terutama mengenai soal-soal yang sangat prinsipil.
Karena, dia adalah penguasa dan pemimpin kota Mekah kala itu. Segala peraturan
yang digariskannya harus dilaksanakan dengan patuh.
Tetapi
–Masya Alloh- putrinya sendiri, Ramlah alias Ummu Habibah, telah
mematahkan kekuasaan dan kepemimpinan tersebut secara terang-terangan. Ramlah
keluar dari agama berhala yang dianut bapaknya, lalu ia dan suaminya,
Ubaidullah bin Jahsy, beriman kepada Alloh Yang Maha Esa, tiada sekutu
bagi-Nya, serta membenarkan kerasulan Nabi-Nya, Muhammad bin Abdullah. Abu
Sufyan telah berusaha dengan segala kekuasaan dan kekuatannya untuk
mengembalikan Ramlah ke agama nenek moyangnya, menyembah berhala.Namun,
usahanya sia-sia dan tidak pernah berhasil.Ramlah sangat kuat dan kokoh untuk
digoyahkan keimanannya oleh “angin putting beliung” dan badai kemarahan Abu
Sufyan.
Siapakah
Ramlah? Siapakah Ummu Habibah itu?Ia adalah seorang wanita yang akhirnya
menjadi Ummahatul Mukminin –semoga Alloh senantiasa meridhainya-
a.
Sedikit, Tentang Ummu Habibah
Ummu
Habibah dilahirkan tigha belas tahun sebelum kerasulan Muhammad, dengan nama
Ramlah binti Shakar bin Harb bin
Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan kun’yah Abu Sufyan.
Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Amdi Syams, yang tidak
lain adalah bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan. Semenjak kecil,
Ummu Habibah dikenal memiliki kepribadian yang kuat, fasih dalam berbicara,
sangat cerdas, selain itu ia juga dikenal sangat cantik.ketika usia Ramlah
cukup matang untuk menikah, Ubaidillah bin jahsy mempersuntingnya, dan Abu
Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah dikenal sebagai pemuda yang teguh
memegang agama Ibrahim AS.Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta
berjanji untuk memerangi agama berhala.Ramlah sadar dirinya telah menikah dan
seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti nkaumnya yang membuat dan
menyembah patung-patung.Di dalam hatinya terbesit keinginan untuk mengikuti
suaminya memeluk agama Ibrahim AS.
Sementara
itu, di mekah berkembang pesat berita tentang Muhammad membawa agama baru,
yaitu agama Samawi yang berbeda sekali dengan agama orang Quraisy pada
umumnya.Mendengar kabar itu, Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya
memeluk agama baru itu.Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam
bersamanya.
Dengan
keadaan Islam yang semakin pesat membuat orang Quraisy gerah dan memerangi
Islam, hal ini mengakibatkan banyaknya kaum Muslimin hijrah. Akhirnya Ramlah
dan suaminya hijrah ke Habasyah dan tinggal beberapa tahun di sana. Selama
beberapa tahun Ubaidillah melihat tidak ada perubahan dalam Islam dan yang ia
lihat adalah Islam tidak akan maju, dengan keadaan ini Ubaidillah goyah imannya
dan hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu
Habibah mengatakan bahwa ia memimpikan sesuatu,
“Aku
melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku tekejut dan
berkata, ‘Demi Alloh, keadannya telah berubah”
Pagi
harinya Ubaidillah berkata, “Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama
yang lebih baik daropada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri
memeluknya, setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama
Nasrani.”
Aku
berkata, “Sungguhkah hal itu baik bagimu?” Kemudian aku ceritakan perihal
mimpiku. Namun, ia tidak memperdulikannya. Akhirnya Ubaidillah gemar berjudi
dan meminum minuma keras.
Melihat
suaminya yang murtad, Ummu habibah merasa jengah dan malu terhadap kaum
muslimin ingin keluar dari nnegeri Habasyah. Namun, tidak ada pilihan lain
baginya selain ke Mekah. Padahal orangtuanya (Abu Sufyan) sedang gencar
menyerang kaum muslimin di Mekah.Akhirnya setelah sempat kembali ke Mekah, ummu
habibah pun kembali lagi ke habasyah dengan menanggung derita berkepanjangan
dan menanti takdir Alloh.
b.
Potret Pernikahan Nabi Dengan Ummu Habibah
Sebagaimana
pernikahan beliau dengan istri-istrinya yang lain. Pernikahan beliau dengan
Ummu Habibah sarat mengandung makna, hikmah dan pelajaran. Salah satu yang
terpenting diantaranya adalah dengan menciptakan pukulan hebat terhadap musuh
Alloh, termasuk Abu Sofyan yang kala itu masih kafir, dengan menikahi salah
seorang putrid dari tetua mereka yang amat mereka hormati.
Rasulullah
mendengar kabar tentang Ummu Habibah saat beliau tengah memantau kondisi
ummatnya yang berada di Habasyah.Hati beliau terketuk untuk menikahinya setelah
mengetahui kederita yang ditanggung Ummu Habibah atas kemurtadan suaminya,
Ubaidillah.Kemudian Rasulullah mengirim utusannya untuk
melamar dan menikahkan saat itu juga Ummu Habibah. Dengan kata lain rasulullah
SAW menikahkan jarak jauh Ummu Habibah.
G. Pernikahan Rasulullah
Dengan Hafshah Binti Umar
Namanya hafshah binti Umar bin Al-Khattab bin
Nufa’il bin Abdil Qurasyiyyah Al-Adawiyyah. Dia memang putri dari khalifah Umar
bin Khattab. Ibunya bernama Zainab bintu Madhun. Adapun hafshah dilahirkan lima
tahun sebelum masa Rasulullah diangkat sebagai Nabi. Hafshah merangkai hidup dalam ikatan
pernikahan dengan Khumais bin Huzafah as sahmi. Suaminya tersebut dikenal
sebagai seorang sahabat yang mulia yang turut terjun dalam perang Badar. Akan
tetapi, kebahagiaan dari pernikahan ituu harus berakhir. Khumais menderita luka
parah pada perang Uhud dan akhirnya meninggal dunia sebagai syahid, di Madinah.
Hari-hari terus berganti, dan dilalui Hafshah seorang diri, tanpa sang suami di
sisinya. Kesedihan tak bisa disebunyikan dari wajahnya. Khalifah Umar terus
memperhatikan putrinya yang sedang bersedih sehingga hatinya menjadi pilu. Dia
ingin mengusir sedih di hati putrinya tersebut dengan mencarikan pendamping
hidup. Lantas terlintas di pikiran, yakni sahabatnya yang mulia, Abu Bakar
Ash-Shiddiq.
Setelah masa iddah
Hafshah usai, Umar pun bergegas menemui Abu Bakar. Saat itu diceritakanlah
semua peristiwa yang menima puterinya, dan kemudian ia menawarkan kepada Abu
bakar untuk menikahi puttri tercintanya. Akan tetapi tanpa dinyata, Abu bakar
enggan memberikan jawaban. Umar tentu saja kecewa dan langsung meninggalkan Abu
Bakar. Dari situ kemudian Umar menemui sahabat yang lain, yakni Utsman bin
Affan yang juga baru saja kehilangan kekasihnya, Ummu Kultsum, putri
Rasulullah. Tapi, seperti halnya Abu Bakar, Umar menceritakan tentang puterinya
dan menawarkan Utsman untuk menikahi dengan putrinya. Utsman terdiam, dan
enggan memberikan jawaban, “Kurasa, aku tidak ingin menikah dulu hari-hari
ini.” Umar pun kecewa
Dengan hati yang dirundung kegelisahan, akhirnya
Umar menemui Rasulullah dan diungkapkanlah segala yang dialaminya. Rasulullah
tersenyum simpul dan berkata, “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih
baik daripada Utsman, begitupun Utsman akan menikah dengan orang yang lebih
baik daripada Hafshah.”
Dallam riwayat lain, disebutkan bahwa Rasulullah
berkata kepada Umar, “Kemungkinan Alloh akan mencarikan menantu bagimu yang
lebih baik daripada Utsman..”
Tak disangka, Rasulullah justru meminang Hafshah.
Sungguh tak terkira, betapa gembiranya Umar melihat kenyataan itu. Seusai
menikahkan Rasulullah dengan putrinya, umar mendatangi Abu Bakar untuk
mengabarkan peristiwa besar yang dia alami sebagai suatu kemuliaan dari Alloh
diiringi dengan permintaan maaf. Abu Bakar tersenyum mendengar pernyataan Umar.
H. Pernikahan Rasulullah
Dengan Zainab Binti Jahsy
Pernikahan Nabi SAW dengan Zainab binti Jahsy
–seperti pernikahan beliau dengan Aisyah- sering disalah tafsirkan oleh sebagian
orang-orang picik. Bahkan kalangan orientalis yang tidak
bertanggungjawabmengumbar kisah pernikahan beliau dengan Zainab sebagai
gambaran dari watak beliau –wal iyadzu
billah-yang mereka tuduh sebagai mata keranjang, tak bisa melihat
wanita cantik, bahkan istri dari budaknya sendiri pun dikawini juga.
Tuduhan-tuduhan itu jelas tidak berdasar sama
sekali, dan hanya berpangkal dari rasa benci dan kedengkian mereka terhadap
Islam. Karena mereka tak mampu mendapatkan sedikitpun kekurangan dari
ajaran-ajaran Islam, mereka berusaha memalsukan sejarah, atau memandang sejarah
itu dengan sudut pandang yang sempit, dan penuh kepicikan.
Perkawinan Zainab dan Rasulullah adalah
berdasarkan perintah Alloh:
“Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata kepada orang yang telah Alloh limpahkan nikmat kepadanya dan kamu
(juga)telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah
kepada Alloh”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Alloh akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Alloh-lah yang lebih berhak
kamu takuti. Maka tatkala Zaid mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin (untuk mengawini) istri-istri dari anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada istrinya, sehingga ketetapan Alloh itu pasti terjadi.”
(Q.S. Al Ahzab: 37)
Nabi amat mengkhawatirkan perceraian antara Zaid
dan Zainab. Kalau bukan karena perintah Alloh, tentu beliau tak akan menikahi
Zainab, meski misalnya keduanya juga bercerah.
Sebagian kalangan orientalis menyebut kisah-kisah
palsu seputar sebab turunnya ayat ini. Coba saja saimak salah satu ungkapan
sebagian mereka, dalam menuturkan berbagai riwayat oplosan yang
mmencampuradukkan antata hak dan fiksi.
“Tidak cukup mengawini wanita-wanita yang tidak
bersuami, bahkan ia (Muhammad jatuh cinta kepada Zainab binti jahsy yang masih
terikat istri denganZaid bin Haritsa sebagai mantan budak.soalnya tidak lain
karena ia pernah singgahdi rumah Zaid ketika Zaid kebetidak berada di tempat
iti, lalu kedatangannya disambut oleh Zainab.tatkala itu, ia sedang mengenakan
pakaian yang memperlihatkan kecantikannya, dan sungguhkecantikan ini sangat
mempengaruhi hatinya. Waktu itu puls Rasulullah pula berkata “Maha Suci Alloh
yang telah dapat membalikkan hati manusia!
Sungguh keji atas apa yang orang-orang kafir
tuduhkan terhadap Nabi Muhammad mengenai pernikahan beliau dengan Zainab binti
Jahsy. Bahwasannya Nabi SAW melakukan hal apapun tidak berdasarkan hawa
nafsunya, apa-apa yang beliau lakukan adalah murni semata-mata karena
kekhususan yang telah Alloh berikan kepada beliau, sehingga membedakan beliau
dengan manusia kebanyakan. Hal ini juga tak lepas dari kisah-kisah pernikahan
beliau dengan istri-istrinya, ini adalah perintah Alloh sendiri agar Rasulullah
menikahi mereka. Selain itu dengan kasus pernikahan Rasulullah dengan Zainab
binti jahsy, sesungguhnya Rasulullah telah menahan Zaid untuk menceraikan
istrinya karena beliau tahu bahwa setelah selesai urusan Zaid dan ZAinab, maka
Alloh akan menikahkan beliau dengan Zainab.
sumber :
Potret Pernikahan Nabi “Menyelami Hikmah Dibalik Pernikahan Rasulullah”, Abu Umar Basyir Pustaka Iltizam, solo, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar