Minggu, 04 Juni 2017

POTRET PERNIKAHAN NABI




Kebutuhan  akan  pernikahan adalah sebuah  masalah  klasik  siapapun tak dapat menyangkalnya, kecuali kala sisi-sisi kenormalan dan kewajaran  dibunuh pada jiwa manusia. Karena itu, maka  Nabi  menjelaskan secara gamblang,

Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku (menikah, beristirahat malam dan tidak berpuasa dahr, yakni setiap hari tanpa henti), maka ia bukanlah umatku...
Beliau juga menegaskan,
“Tidak ada hidup kependetaan dalam Islam” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan beberapa perawi lain)

Nabi sungguh mengecam orang yang enggan menikah, yang berniat menjomblo seumur hidup atau dalam watu yang lama tanpa jelas akan berhhenti melajang. Menikah bukan sekadar tuntutan fitrah dalam Islam, tapi juga sunnah Rasulullah yang membedakan budaya dari sebagian kalangan kafir, sejenis kependetaan yang memandang menikah sebagai penghalang menuju pendekatan diri kepada Alloh, sehingga menikah membawa misi yang sangat kuat untuk mendobrak budaya itu dan membumihanguskannya dari seluruh generasi Islam.

Pernikahan di mata Rasulullah tentu sarat makna dan tujuan. Itu bisa kita pahami dari berbagai Hadist dan ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang keutamaan menikah dalam Islam. Tetapi yang ditegaskan di sini adalah sudut pandang  khusus tentang pernikahan  yang membedakan, antara sudut pandang Islam dan sudut pandang manusia. Yakni, bahwa menikah itu bukan hanya diakui sebagai kebutuhan manusia yang memiliki banyak keutamaan, perwujudan ibadah non madhah sepertihalnya aktivitas makan dan minum,namun juga sunnah. Sesuatu yang disebut sunnah, akan memiliki nilai tersendiri, dari sesuatu yang sekadar disebut ibadah. Karena pada hakikatnya aktivitas seorang muslim tidak lepas dari lingkaran ibadah.
Oleh karena itu, di dalam pernikahan terkandung nilai ibadah sebagaimana yang telah Rasulullah  sabdakan. Maka seseorang dapat diharapkan lebih mendekatkan dirinya pada Alloh dan lebih giat lagi dalam beribadah sebagaimana setelah ia menikah. Selain itu, setiap hal yang berkaitan dengan  proses, alasan dan perjalanan menuju pernikahan yang pernah dilakukan Nabi SAW semasa hidup beliau, akan menjadi potret implementasi salah satu sunnah beliau yang sudah tentu sarat dengan keteladanan.

Ada banyak rumor negatif seputar pernikahan yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW, yang berkembang luas di kalangan para orientalis dan musuh Islam, sebagai salah satu alasan mendiskreditkan kedudukan Rasulullah SAW. Semua itu tidak lepas dari misi mereka yang ingin mencari-cari celah kelemahan Islam yang disertai ketidaktahuan mereka akan pengetahuan Islam. Padahal setiap pernikahan beliau dengan para Ummul Mukminin mengandung keutamaan yang hanya dimiliki oleh beliau, mengingat bahwa kehidupan Nabi –hingga hal-hal terkecil dalam rumah tangga beliau- adalah teladan bagi par umatnya.



Sebagaimana firman Alloh SWT yang artinya,

“Dalam diri Rasulullah, terdapat suri tauladan yang baik bag kalian, yakni bagi orang yang selalu mengharapkan rahmat Alloh dan hari akhirat dan dia banyak menyebut Alloh.” (Q.S Al-Ahzaab: 21)

Semua hikmah rahasia dan pelajaran di balik setiap pernikahan Nabi itulah yang akhirnya menjadi potret dari sudut pandang Nabi terhadap pernikahan yang memiliki dimensi khusus, yang tak akan tersentuh oleh kecerdasan manusia biasa. Karena beliau hidup dan beraktivtas di bawah bimbingan wahyu Alloh yang memuat nilai kebenaran mutlak.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya,
“Ia (Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wassalam) tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu, semata-mata, ia hanya berbicara dengan wahyu (Al-Quran) yang disampaikan kepadanya”
(Q.S An-Najm: 3-4)

Seperti diucapkan Aisyah, Ummahatul Mukminin,
“Akhlak beliau adalah Al-Quran itu sendiri.2

Hal itu sesuai dengan jaminan dalam Al-Quran:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
(Q.S Al-Qalam: 4)

B.   Pernikahan Nabi Dengan Lebih Dari Empat Istri

Para ulama sepakat bahwa dalam syari’at ada beberapa hal-hal yang khushushiyyahatau pengkhususan bagi Nabi SAW. Diantara itu ada yang merupakan kelebihan beban, seperti sholat malam yang hukummnya wajib bagi Rasulullah SAW saja, sementara bagi ummatnya hukumnya sunnah, dan ada juga yang sifatnya keringanan bagi beliau, seperti menikah lebih dari empat istri. Meski mufakat, tapi realistis ini sering dipandang oleh  sebagian kalangan orientalis dan sejarawan non Muslim sebagaii sikap ‘Aji Mumpung’, karena beliau sebagai nabi dan pemimpin umat. Padahal, umumnya pernikahan itu berdasarkan perintah Alloh, dan berdasarkan hikmah-hikmah kenabian lain yang sangat jelas tergambarkan  dalam catatan riwayat-riwayat sejarah yang sah dari diri beliau, dan perikehidupan beliau seutuhnya sebagai manusia, sebagai suami, sebagai ayah, serta sebagai Nabi dan Rasul.
Adapun jumlah wanita yang dinikahi oleh Rasulullah SAW, para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan sembilan, sepuluh, sebelas atau lebih. Namun yang jelas perbedaan itu mengacu pada beberapa hal berikut:

1.  Perbedaan definisi ‘Menikah’. Apakah hanya nikah dengan wanita sebagai istri saja, atau termasuk juga mengggauli budak wanita yang dihalalkan dalam Islam tanpa mengambilnya sebagai istri.
2.  Adanya istri Nabi yang sebagian namanya tidak dimasukkan dalam kategori Ummahatul Mukminin, bukan karena ketidakutamaannya namun pernikahannya yang begitu singkat dengan Nabi, karena keburu wafat. Atau karena mereka adalah mantan hamba sahaya yang dimerdekakan oleh Nabi kemudian beliau menikahinya sebagai istri, bukan sebagai selir.

Riwayat yang sering digunnakan untuk  menjelaskan pernikahan Nabi dengan para Ummahatul Mukminin adalah sebagai berikut:

“Dari Abu Umamah Al Bahili diriwayatkan sebuah hadist , dari ayahnya, bahwa sang ayah menuturkan:
“Di Mekah, Nabi SAW menikah dengan:
1.    Khadijah binti Khuwailid, seorang janda yang sebelumnya memiliki suami bernama Atiq bin ‘Aidz Al-Makhzuumi.
2.    Masih di Mekah, beliau menikah dengan Aisyah, dan tidak pernah menikah lagi dengan perawan selain Aisyah.
3.    Saat tiba di Al-Madinah, beliau menikahi Hafshah binti Umar bin Al-Khattab, yang juga seorang janda, dan suaminya terdahulu bernama Khunais bin Hudzaafah As-Sahmi.
4.    Lalu beliau menikahi Saudah binti Zum’ah, yang juga seorang janda, mantn istri dari Sakan bin Amru, saudara dari Amir bin Luayy.
5.    Kemudian beliau menikah dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, yang merupakan jandan dari Ubaidillah bin Jahys.
6.    Setelah itu beliau menikahi Ummu Salamahbinti Umayyah yang nama sebenarnya adalah Hindun, mantan istri dari Abu Salamah bin Abdil Asad bin Abdil Uzza.
7.    Kemudian beliau menikah dengan Zainab binti Jahsyi, janda dari pria bernama Zaid bin Haritsah.
8.    Setelah itu beliau menikahi Maimunah binti Al-Harits
9.    Lalu beliau menikahi tawanannya, Juwairiyyah binti Harits bin Abi Dhiraar dari Bani Mushthaliq, bani Khuzaa’ah dalam sebuah peperangan di mana beliau berhasil menghancurkan berhala Manaat, perang al Muraisi’.
10. Beliau juga menawan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab dari Bani Nadhir. Keduanya tawanan hak yang beliau peristri.
11. Lalu beliau menjadikan Raihanah sebagai selir (digauli karena ia budak wanita, tanpa dijadikan istri), kemudian beliau memerdekakannya sehingga Raihanah kembali kepada keluarganya. Di tengah itulah Raihanah mulai mengamalkan hijab.
12. Beliau juga menggauli sebagai selir dan kemudian menceraikan kembali Al’Aliyyah binti Zhabyaan.
13. Hal yang sama beliau lakukan terhadap saudari Bani Amru bin Kilaab
14. Hal yang sama lagi beliau lakukan terhadap saudari Bani Al-Jun Al-Kindiyyah, karena ia memiliki sakit kusta.
15. Ada lagi istri yang beliau nikahi secara wajar, Zainab binti Khuzaimah Al-Hilaaliyah, saat itu beliau masih hidup. Selanjutnya terdengar bahwa Aliyyah binti Zhabyaan menikah sebelim Alloh mengharamkan Nabi menikah dengan wanita lain lagi, dengan sepupunya sendiri dan memiliki anak darinya.

Ibnu Hajar menjelaskan,
“Nabi SAW pernah menggauli istri-istrinya sehari semalam sekaligus, sementara mereka berjumlah sebelas.Namun Said meriwayatkan dari Qatadah, bahwa Anas meriwayatkan hadist yang menceritakan kalau istri Nabi berjumlah Sembilan. Mereka adalah:
1.          Aisyah binti Abu Bakar
2.          Hafshah binti Umar
3.          Ummu Salamah binti Abi Umayyah
4.          Zainab binti Jahsyi
5.          Ummu habibah binti Abu Sufyan
6.          Saudah binti Zum’ah
7.          Juairiyyah binti Al-Harits
8.          Shafiyyah binti Huyayy
9.    Zainab bintu Khuzaimah yang dikenal dengan sebutan Ummul Masaakin atau Maimunah binti Al-Harits

Karena Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia sebelum Rasulullah, sementara maimunah adalah istri yang terakhir kali beliau nikahi.Demikian juga, bila dikatakan bahwa Zainab termasuk istri beliau, sementara Maimunah tidak.Kalau Zainab wafat, maka belum termasuk Sembilan bila mMaimunah tidak ikut serta.Itulah yang relevan dengan riwayat Sa’id. Adapun dua wanita tambahannya adalah seperti disebut di hadist Hisyam: Mariah Al-Qibthiyyah dan Raihanah An-Nadhiriyyah. Keduanya sesungguhnya adalah hamba sahaya , namun disebut ‘istri Nabi SAW’, dalam ungkapan umum saja. Setelah beliau wafat, yang tersisa adalah sembilan istri, dengan Mariah sebagai tambhannya. Di masa hidup beliau sendiri, istri beliau yang wafat adalah Zainab, setelah Khadijah tentunya…..5

Maka, memang ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi menikahi tiga belas orang istri, termasuk Zainab binti Khuzaimah, karena menyertakan juga Mariah dan Raihanah.Wallahu A’lam.6


C.   Pernikahan Rasulullah Dengan Khadijah Binti Khuwailid

Rasulullah pertamakali menikah pada usia 25 tahun (sebelum diangkat menjadi Nabi) dengan seorang janda bernama Khadijah binti Khuwailid, seorang pedagang kaya. Pertemuan Rasulullah dengan Khadijah binti Khuwailid terjadi saat beliau untuk kedua kalinya pergi berdagang ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah binti Khuwailid bersama pelayan Khadijah yang bernama Maisarah dengan system perdagangan qiraadh.Singkat cerita di luar perkiraan manusia waktu itu, akhirnya Rasulullah pun menikahi Khadijah.Saat itu Khadijah berusia 40 tahun sementara Rasulullah 25 tahun.
Kita semua tahu, bahwa dalam kacamataIslam , wanita bisa dinikahi karena beberapa alas an:
1.    Karena kecantikannya
2.    Karena keturunannya (termasuk juga akhlak dan karakter kepribadiannya)
3.    Karena kekayaannya
4.    Karena agamanya.

Islam menganjurkan agar seseorang mencari keberuntungan sejati engan memprioritaskan agamanya.

“Menanglah dengan memilih agamanya, maka “taribat yadaaka”(dirimu akan selamat dari cela”


a.  Keteguhan dam Kecintaan Khadijah Pada Nabi
Saat menetapkan tekad menikahi Khadijah, Nabi SAW sudah mengetahui kualitas agamanya. Hal itu terbukti , bahwa memang Khadijah adalah pribadi yang memiliki kualitas agama yang bagus. Bahkan saat beliau diangkat sebagai nabi, dan saat orang-orang nyaris mustahil mempercayai pengakuan beliau, khadijah justru memberikan persaksian hebat atas kebenaran klaim beliau itu.Rasulullah SAW sendiri sangat membanggakan keteguhan sikap Khadijah tersebut.

“Khadijah beriman ketika orang-orang kafir kepadaku, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dan dia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang memblokadeku”

Sebagai istri, khadijah memiliki kepribadian yang kuat dalam agamanya.Slain karena keimanannya yang hadir dalam dirinya, di saat harta keimanan begitu mahalnya, Khadijah bahkan bisa member support dan peneguhan pada diri Rasulullah.Hal tersebut terbukti saat pertamakali Rasulullah menerima wahyu di Gua Hira. Rasulullah yang menggigil sepulang dari Gua Hira bercerita tentang apa yang baru saja menimpanya, namun  Khadijah justru meneguhkan sikap beliau.

“Bergembiralah. Sama sekali tidak mungkin Alloh menghinakan dirimu, sama sekali tidak mungkin selama-lamanya. Karena engkau bisa menyambung tali silaturrahim, selalu berkata jujur, selalu mengemban amanah, suka menolong orang-orang yang  kesusahan, dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran.”

Usia yang lebih itu memberikan kedewasaan yang lebih mumpuni, sehingga Khadijah tak hanya mampu menerima keberadaan suaminya yang saat itu diutus oleh Alloh sebagai Rasul-Nya, tapi bahkan mampu memberikan dorongan moril kepada beliau, justru saat beliau sendiri merasa khawatir dan sedikit bimbang. Itu akan sulit dilakukan bila usia Khadijah saat itu masih sangat muda, apalagi jauh di bawah Rasulullah.

D.   Pernikahan Rasulullah Dengan Aisyah Binti Abu Bakar

Saat disebut ‘istri Rasulullah’ maka yang terbayang oleh kebanyakan kaum muslimin adalah wanita yang satu ini, Aisyah Radhiallahu’anha.Wanita suci, yang memang dipilih oleh Alloh untuk menjadi pendampingi Nabi-Nya yang mulia.Jelas, dia adalah wanita dengan segala kemuliaan yang dimilikinya.

a.  Berbagai Pendapat Tentang Umur Aisyah
Pernikahan Nabi SAW dengan Aisyah, secara lahiriah terkesan berkebalikan 180 derajat dengan pernikahan beliau dengan Khadijah. Ketika menikahi Khadijah, usia beliau jauh lebih muda di bawah istrinya, saat menikahi Aisyah justru sebaliknya, perbedaan usia  Aisyah jauh berada di bawah usia beliau.
Pernikahan antara beliau dengan Aisyah sempat menjadi gonjang-ganjing di kalangan orientalis dan musuh-musuh Islam yang memendam kedengkian terhadap kebenaran Islam. Mereka berusaha mengambil celah-celah halus seputar proses dan perjalanan pernikahan tersebut, yang menurut sebagian mereka, di luar kewajaran.
Riwayat paling populer di kalangan juru dakwah muslim di tanah air, dan itu juga tercatat dalam sebagian buku sejarah yang akrab dengan para penuntut ilmu negeri ini, seperti Husnul Yaqin, bahwasannya Aisyah menikah dalam usia 7-9 tahun.
Menurut At-thabari, Aisyah dipinang pada usia 7 tahun. Kemudian berumah tangga di usia 9 tahun.

b.    Hikmah Pernikahan Nabi Dengan Aisyah
Bagi pemerhati hadist-hadist Nabi, tentu sudah menjadi hal yang sangat akrab saat disebutkan dalam banyak hadist, “Diriwayatkan dari Aisyah,” “Aku perna bertanya kepada Aisyah,” “Aisyah menceritakan,” dan kalimat-kalimat serupa dalam berbagai persoalan. Bukan hanya persoalan rumah tangga, namun soal berwudhu, sholat, --termasuk bacaan tahiyyat--, sholat malam Rasulullah, buang hajat, jihad, warisan dn berbagai persoalan lainnya.
Maka, salah satu hikmah dan pelajaran dari pernikahan nabi dengan Aisyah adalah hal yang menjadi kekhususan beliau, yakni menempatkan Aisyah sebagai narator hadist yang sangat spresifik.Jumlah hadist-hadist yang diriwayatkan Aisyah memang lebih sedikit –namun tidak terpaut banyak—disbandingkan dengan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Namun, banyak hadist-hadist Aisyah yang nyaris hanya bisa dilakukan oleh Aisyah sendiri. Seperti hadist Aisyah yang paling popular mengenai adab dan etika nabi dalam berhubungan suami istri,

“Bila seseorang sudah berada di antara empat cabang tubuh istrinya, lalu ia melakukan ‘kerja yang melelahkan’ terhadap istrinya itu, ia sudah wajib mandi”

Aisyah juga menceritakan detail-detail perilaku keseharian Nabi ketika di rumah, mulai dari apa yang pertamakali dilakukan oleh Nabi,saat beliau masuk ruma 

E.   Pernikahan Rasulullah Dengan Saudah

Masa sepeninggal Khadijah adalah ujian terberat bagi Rasulullah. Tahun wafatnya sang istri dikenal sebagai ‘Tahun Berkabung’. Saat itu jiwa beliau terguncang. Hanya keimanan dalam dada beliau dan misi agung sebagai Rasul, yang membuat beliau masih mampu membangun ketegaran dalam dirinya.keguncangan itu wajar karena Khadijah bukan saja sebagai istri  yang setia mendampingi beliau dalam susah dan senang, namun juga penyokong utama dakwah dan risalah kenabian beliau di masa-masa tersulit dalam hidupnya. Maka, sungguh merupakan hikmah yang besar, bila Alloh menganugerahkan  kepada beliau istri lain, sebagai pendamping beliau, yang akan mampu meredam segala kedukaan itu, dan menjadi salah satu Ummahatul Mukminin yang penuh kemuliaan. Akan bagus, kalau pendampingnyajuga wanita yang tahu  bagaimana rasanya kesepian ditinggal  wafat pasangan yang sangat dicintainya. Bersamanya, Rasulullah bisa berbagi rasa.Siapakah wanita yang layak mendapatkan tempat seperti itu?

Tersebutlah satu nama mulia yang tak lepas dari roda pedati kehidupan Rasulullah, mengisi kekosongan jiwa beliau setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid. Ya, dia adalah Ummul Mukminin Saudah binti Zam’ah bin Qais bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Wadd bin Nashr bin Malik bin Hasl bin ‘Amir bin Lu’ai bin ghalib bAl Quraisyiyyah Al ‘Amiriyyah yang memiliki kun’yah ummul Aswad. Ibunya adalah Asy-Syamus binti Qais bin Zaid bin ‘Amr bin Labid bin Khaddasy bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Adi bin An Najjar.

Bersama suaminya, As-Sakran bin ‘Amr Al ‘Amimy, Saudah binti Zam’ah menyongsong cahaya iman yang menyemburat dari risalah Rasulullah. Wlau untuk itu, ia harus menanggung pelbagai derita dan penyiksaan dari orang-orang musyrikin yang berniat mereka mengembalikan mereka ke dalam kemusyrikan. Saat siksaan dan himpitan makin hebat itu bertambah berat, Saudah dan suaminya pun berangkat berhijrah dalam barisan delapan orang sahabat Rasulullah.Mereka meninggalkan negerinya, mengarungi dahsyatnya gelombang lautan, secara menakjubkan menempuh penderitaan demi penderitaanuntuk menyelamatkan agama mereka, hingga tibalah mereka di bumi Habasyah.Namun taki berapa lama, muhajirin (para pehijrah) Habasyah ini kembali ke negeri mereka.Sekembalinya mereka dari Habasyah ke Mekkah, As-Sakran bin ‘Amr meninggal dunia. Baru saja berakhir yang ia rasakan akibat keterasingan mereka di bumi yang jauh dari tanah kelahiran, Saudah binti Zam’ah sudah harus pula kehilangan suami tercinta tercinta. Yah, kini dia hidup menjanda.

Sementara itu Rasulullah juga tengah merasakan hal yang samaakibat kehilangan wanita yang telah menemaninya dalam masa-masa kesulitan di awal kenabiannya. Namun, kemudian ada seorang sahabat wanita, Khaulah binti Hakim As-Sulamiyah, berusaha mengetuk pintu hati Rasulullah dengan maksud mempertemukan beliau dengan Saudah binti Zam’ah.Singkat cerita hati Rasulullah pun tersentuh dengan penderitaan Saudah, seorang janda yang mengalami hal yang sama dengan diri beliau. Maka pada tahun kesepuluh setelah beliau diangkat sebagai Nabi, rasulullah pun menikah dengan Saudah.Di masa itu pula beliau melaksanakan akad nikahnya dengan Aisyah binti Abu Bakar Asg-Shiddiq.Saudah meminta kepada Hathib bin ‘Amr Al ‘Amiry, salah seorang sahabat dari kaumnya yang pernah turut dalam perang Badr dan juga ikut berhijrah ke Habasyah untuk menikahkannya.pernikahan Rasulullah denga Saudah member gambaran kehidupan mukmin dengan mukminah yang Alloh berikan anugrah keindahan hidup, di usia yang cukup senja. Rasulullah berbahagia dengan Saudah, dan tentu saja demikian pula kebalikannya, Saudah di sisi rasulullah.Terbukti, bahwa beliau mampu bertahan hidup lama dengan Saudah, menanti Aisyah agar siap hidup berumah tangga secara sempurna bersama beliau dan juga Saudah.
Seorang diri Saudah menemani rasulullah selama tiga tahun lebih lamanya hingga tiba saat Aisyah menyusul hadir dalam rumah tangga Rasulullah di Madina.Yakni tiga tahun setelah akad nikah dilangsungkan. Bersama istrinya itu kemudian Rasulullah mengalami masa-masa sulit, termasuk saat akan melaksanakan hijrah besar ke kota Al-madinah yang kala itu masih bernama Yatsrib.

F.    Pernikahan Rasulullah Dengan Ummu Habibah

Tiada pernah terlintas di dalam pikiran Abu Sufyan bin Harab –yang kala itu masih seorang kafir penentang risalah Islam—akan ada orang Quraisy yang berani keluar dari gengaman kekuasaannya, terutama mengenai soal-soal yang sangat prinsipil. Karena, dia adalah penguasa dan pemimpin kota Mekah kala itu. Segala peraturan yang digariskannya harus dilaksanakan dengan patuh.
Tetapi –Masya Alloh- putrinya sendiri, Ramlah alias Ummu Habibah, telah mematahkan kekuasaan dan kepemimpinan tersebut secara terang-terangan. Ramlah keluar dari agama berhala yang dianut bapaknya, lalu ia dan suaminya, Ubaidullah bin Jahsy, beriman kepada Alloh Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, serta membenarkan kerasulan Nabi-Nya, Muhammad bin Abdullah. Abu Sufyan telah berusaha dengan segala kekuasaan dan kekuatannya untuk mengembalikan Ramlah ke agama nenek moyangnya, menyembah berhala.Namun, usahanya sia-sia dan tidak pernah berhasil.Ramlah sangat kuat dan kokoh untuk digoyahkan keimanannya oleh “angin putting beliung” dan badai kemarahan Abu Sufyan.

Siapakah Ramlah? Siapakah Ummu Habibah itu?Ia adalah seorang wanita yang akhirnya menjadi Ummahatul Mukminin –semoga Alloh senantiasa meridhainya-

a.    Sedikit, Tentang Ummu Habibah
Ummu Habibah dilahirkan tigha belas tahun sebelum kerasulan Muhammad, dengan nama Ramlah binti Shakar  bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan kun’yah Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Amdi Syams, yang tidak lain adalah bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan. Semenjak kecil, Ummu Habibah dikenal memiliki kepribadian yang kuat, fasih dalam berbicara, sangat cerdas, selain itu ia juga dikenal sangat cantik.ketika usia Ramlah cukup matang untuk menikah, Ubaidillah bin jahsy mempersuntingnya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah dikenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahim AS.Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala.Ramlah sadar dirinya telah menikah dan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti nkaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung.Di dalam hatinya terbesit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim AS.
Sementara itu, di mekah berkembang pesat berita tentang Muhammad membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda sekali dengan agama orang Quraisy pada umumnya.Mendengar kabar itu, Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu.Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
Dengan keadaan Islam yang semakin pesat membuat orang Quraisy gerah dan memerangi Islam, hal ini mengakibatkan banyaknya kaum Muslimin hijrah. Akhirnya Ramlah dan suaminya hijrah ke Habasyah dan tinggal beberapa tahun di sana. Selama beberapa tahun Ubaidillah melihat tidak ada perubahan dalam Islam dan yang ia lihat adalah Islam tidak akan maju, dengan keadaan ini Ubaidillah goyah imannya dan hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.

Ummu Habibah mengatakan bahwa ia memimpikan sesuatu,
“Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku tekejut dan berkata, ‘Demi Alloh, keadannya telah berubah”

Pagi harinya Ubaidillah berkata, “Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daropada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri memeluknya, setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.”
Aku berkata, “Sungguhkah hal itu baik bagimu?” Kemudian aku ceritakan perihal mimpiku. Namun, ia tidak memperdulikannya. Akhirnya Ubaidillah gemar berjudi dan meminum minuma  keras.
Melihat suaminya yang murtad, Ummu habibah merasa jengah dan malu terhadap kaum muslimin ingin keluar dari nnegeri Habasyah. Namun, tidak ada pilihan lain baginya selain ke Mekah. Padahal orangtuanya (Abu Sufyan) sedang gencar menyerang kaum muslimin di Mekah.Akhirnya setelah sempat kembali ke Mekah, ummu habibah pun kembali lagi ke habasyah dengan menanggung derita berkepanjangan dan menanti takdir Alloh.

b.    Potret Pernikahan Nabi Dengan Ummu Habibah
Sebagaimana pernikahan beliau dengan istri-istrinya yang lain. Pernikahan beliau dengan Ummu Habibah sarat mengandung makna, hikmah dan pelajaran. Salah satu yang terpenting diantaranya adalah dengan menciptakan pukulan hebat terhadap musuh Alloh, termasuk Abu Sofyan yang kala itu masih kafir, dengan menikahi salah seorang putrid dari tetua mereka yang amat mereka hormati.
Rasulullah mendengar kabar tentang Ummu Habibah saat beliau tengah memantau kondisi ummatnya yang berada di Habasyah.Hati beliau terketuk untuk menikahinya setelah mengetahui kederita yang ditanggung Ummu Habibah atas kemurtadan suaminya, Ubaidillah.Kemudian Rasulullah mengirim utusannya untuk melamar dan menikahkan saat itu juga Ummu Habibah. Dengan kata lain rasulullah SAW menikahkan jarak jauh Ummu Habibah.

G.   Pernikahan Rasulullah Dengan Hafshah Binti Umar

Namanya hafshah binti Umar bin Al-Khattab bin Nufa’il bin Abdil Qurasyiyyah Al-Adawiyyah. Dia memang putri dari khalifah Umar bin Khattab. Ibunya bernama Zainab bintu Madhun. Adapun hafshah dilahirkan lima tahun sebelum masa Rasulullah diangkat sebagai Nabi.  Hafshah merangkai hidup dalam ikatan pernikahan dengan Khumais bin Huzafah as sahmi. Suaminya tersebut dikenal sebagai seorang sahabat yang mulia yang turut terjun dalam perang Badar. Akan tetapi, kebahagiaan dari pernikahan ituu harus berakhir. Khumais menderita luka parah pada perang Uhud dan akhirnya meninggal dunia sebagai syahid, di Madinah. Hari-hari terus berganti, dan dilalui Hafshah seorang diri, tanpa sang suami di sisinya. Kesedihan tak bisa disebunyikan dari wajahnya. Khalifah Umar terus memperhatikan putrinya yang sedang bersedih sehingga hatinya menjadi pilu. Dia ingin mengusir sedih di hati putrinya tersebut dengan mencarikan pendamping hidup. Lantas terlintas di pikiran, yakni sahabatnya yang mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Setelah masa iddah Hafshah usai, Umar pun bergegas menemui Abu Bakar. Saat itu diceritakanlah semua peristiwa yang menima puterinya, dan kemudian ia menawarkan kepada Abu bakar untuk menikahi puttri tercintanya. Akan tetapi tanpa dinyata, Abu bakar enggan memberikan jawaban. Umar tentu saja kecewa dan langsung meninggalkan Abu Bakar. Dari situ kemudian Umar menemui sahabat yang lain, yakni Utsman bin Affan yang juga baru saja kehilangan kekasihnya, Ummu Kultsum, putri Rasulullah. Tapi, seperti halnya Abu Bakar, Umar menceritakan tentang puterinya dan menawarkan Utsman untuk menikahi dengan putrinya. Utsman terdiam, dan enggan memberikan jawaban, “Kurasa, aku tidak ingin menikah dulu hari-hari ini.” Umar pun kecewa
Dengan hati yang dirundung kegelisahan, akhirnya Umar menemui Rasulullah dan diungkapkanlah segala yang dialaminya. Rasulullah tersenyum simpul dan berkata, “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Utsman, begitupun Utsman akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Hafshah.”
Dallam riwayat lain, disebutkan bahwa Rasulullah berkata kepada Umar, “Kemungkinan Alloh akan mencarikan menantu bagimu yang lebih baik daripada Utsman..”
Tak disangka, Rasulullah justru meminang Hafshah. Sungguh tak terkira, betapa gembiranya Umar melihat kenyataan itu. Seusai menikahkan Rasulullah dengan putrinya, umar mendatangi Abu Bakar untuk mengabarkan peristiwa besar yang dia alami sebagai suatu kemuliaan dari Alloh diiringi dengan permintaan maaf. Abu Bakar tersenyum mendengar pernyataan Umar.

H.   Pernikahan Rasulullah Dengan Zainab Binti Jahsy

Pernikahan Nabi SAW dengan Zainab binti Jahsy –seperti pernikahan beliau dengan Aisyah- sering disalah tafsirkan oleh sebagian orang-orang picik. Bahkan kalangan orientalis yang tidak bertanggungjawabmengumbar kisah pernikahan beliau dengan Zainab sebagai gambaran dari watak beliau –wal iyadzu billah-yang mereka tuduh sebagai mata keranjang, tak bisa melihat wanita cantik, bahkan istri dari budaknya sendiri pun dikawini juga.
Tuduhan-tuduhan itu jelas tidak berdasar sama sekali, dan hanya berpangkal dari rasa benci dan kedengkian mereka terhadap Islam. Karena mereka tak mampu mendapatkan sedikitpun kekurangan dari ajaran-ajaran Islam, mereka berusaha memalsukan sejarah, atau memandang sejarah itu dengan sudut pandang yang sempit, dan penuh kepicikan.

Perkawinan Zainab dan Rasulullah adalah berdasarkan perintah Alloh:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang telah Alloh limpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Alloh”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Alloh akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Alloh-lah yang lebih berhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin (untuk mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya, sehingga ketetapan Alloh itu pasti terjadi.”
(Q.S. Al Ahzab: 37)

Nabi amat mengkhawatirkan perceraian antara Zaid dan Zainab. Kalau bukan karena perintah Alloh, tentu beliau tak akan menikahi Zainab, meski misalnya keduanya juga bercerah.
Sebagian kalangan orientalis menyebut kisah-kisah palsu seputar sebab turunnya ayat ini. Coba saja saimak salah satu ungkapan sebagian mereka, dalam menuturkan berbagai riwayat oplosan yang mmencampuradukkan antata hak dan fiksi.
“Tidak cukup mengawini wanita-wanita yang tidak bersuami, bahkan ia (Muhammad jatuh cinta kepada Zainab binti jahsy yang masih terikat istri denganZaid bin Haritsa sebagai mantan budak.soalnya tidak lain karena ia pernah singgahdi rumah Zaid ketika Zaid kebetidak berada di tempat iti, lalu kedatangannya disambut oleh Zainab.tatkala itu, ia sedang mengenakan pakaian yang memperlihatkan kecantikannya, dan sungguhkecantikan ini sangat mempengaruhi hatinya. Waktu itu puls Rasulullah pula berkata “Maha Suci Alloh yang telah dapat membalikkan hati manusia!
Sungguh keji atas apa yang orang-orang kafir tuduhkan terhadap Nabi Muhammad mengenai pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy. Bahwasannya Nabi SAW melakukan hal apapun tidak berdasarkan hawa nafsunya, apa-apa yang beliau lakukan adalah murni semata-mata karena kekhususan yang telah Alloh berikan kepada beliau, sehingga membedakan beliau dengan manusia kebanyakan. Hal ini juga tak lepas dari kisah-kisah pernikahan beliau dengan istri-istrinya, ini adalah perintah Alloh sendiri agar Rasulullah menikahi mereka. Selain itu dengan kasus pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti jahsy, sesungguhnya Rasulullah telah menahan Zaid untuk menceraikan istrinya karena beliau tahu bahwa setelah selesai urusan Zaid dan ZAinab, maka Alloh akan menikahkan beliau dengan Zainab.


sumber : 
Potret Pernikahan Nabi “Menyelami Hikmah Dibalik Pernikahan Rasulullah”, Abu Umar Basyir Pustaka Iltizam, solo, 2008.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *