Siang ini ada sosialisasi sistem SPP tunggal di UNJ untuk mahasiswa program pasca dan sebenarnya tampaknya pemerintah akan melakukan pemetaan pembiayaan perguruan
tinggi. Dengan adanya SPP tunggal maka besaran pembiayaan rill mahasiswa
di setiap daerah dapat lebih jelas terlihat.
Untuk perguran tinggi wacana penerapan SPP tunggal ini berawal dari rencana Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) untuk membuat biaya pendidikan tinggi di Tanah
Air seperti di luar negeri, yakni hanya berupa tuition fee. wacana baru ini kemudian dibahas dalam Rapat Rektor PTN se-Indonesia tanggal 20 Januari 2012 . Pertemuan Majelis
Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia kali ini menggulirkan ide
penerapan SPP tunggal dan credit earning di PTN se-Indonesia
Lahirnya kebijakan baru ini memungkinkan pemerintah untuk mengatur
besaran minimum dan maksimum dari SPP di perguruan tinggi mengingat
ketimpangan besaran SPP antarperguruan tinggi sangat besar. Dengan SPP tunggal, berharap kampus menghitung semua pengeluaran
universitas. Kemudian dari hitung-hitungan itu dipisah lagi antara
kewajiban pemerintah dengan kewajiban masyarakat atau mahasiswa. Setelah
terdata berapa besar tanggungan mahasiswa, baru dilakukan pembagian ke
seluruh mahasiswa yang ada di kampus tersebut.
Yang dimaksudkan dengan pembayaran SPP tunggal adalah SPP yang dibayarkan mahasiswa cukup membayar SPP satu kali dalam satu semester atau satu tahun.
Setelah itu tidak ada lagi pungutan atau biaya-biaya lain yang
dibebankan kepada mahasiswa. SPP tunggal diterapkan dengan merata-rata pengeluaran mahasiswa untuk
komponen biaya pendidikan seperti SPP, biaya praktikum, biaya
pengembangan gedung, dan sebagainya. Kemudian dihitung juga berapa kemampuan membayar tiap mahasiswa,
termasuk kemampuan per daerah. Di luar rata-rata itu, kelebihannya akan
disubsidi oleh Ditjen Dikti,
Selama ini, dalam satu semester mahasiswa banyak membayar
biaya pendidikan di luar SPP. Seperti biaya praktikum, biaya
laboratorium komputer, dan lainnya sehingga jadi tidak jelas berapa
besaran SPP sebenarnya
Paradok
Fakta yang melatarbelakangi gagasan SPP tunggal adalah kondisi aktual
bahwa mahasiswa banyak sekali mengeluarkan uang. Selain uang rutin SPP,
ada berbagai pungutan lain seperti uang buku, uang laboratorium, uang
perpusatakaan, uang ujian, uang tabungan bimbingan skripsi, biaya wisuda
dan KKN dan lain-lain. Dengan SPP tunggal, unit cost mahasiswa sudah
dihitung, jadi tidak ada lagi pembayaran lain di luar SPP tunggal.
Sekilas, SPP tunggal yang rencananya akan diterapkan tahun 2013 ini
solutif, namun realitanya mengandung paradoks bahkan ironi di dalamnya.
Bayangkan saja, kebutuhan di setiap unit kampus berbeda, fasilitas yang
tersedia pun berbeda. Artinya, sistem SPP tunggal akan mengantarkan
setiap PTN, bahkan fakultas, jurusan dan program studi untuk memiliki
hitungan unit cost mahasiswa yang tentunya berbeda. Skema pembiayaan pun
semakin banyak. Akan ada PTN, fakultas, bahkan jurusan dan program
studi dengan SPP tunggal yang tinggi dan menjadi elitis, dan akan ada
yang terkesan ‘murahan’. Sebutlah Fakultas Kedokteran dengan berbagai
biaya prakteknya, SPP tunggalnya akan sangat tinggi dan sulit diakses
mahasiswa miskin. Sementara bisa jadi ada jurusan di ilmu sosial
humaniora misalnya yang SPP tunggalnya terjangkau menjadi incaran calon
mahasiswa kelas menengah ke bawah. SPP tunggal PTN di pusat kota akan
‘menggila’ sementara PTN di wilayah marginal semakin termarginalkan..
Permasalahan utama pembiayaan di PTN yang dirasakan mahasiswa adalah
tingginya biaya kuliah sehingga angka partisipasi pendidikan di
Indonesia masih terbilang rendah, sementara SPP tunggal sama sekali
tidak menjamin akan membuat biaya kuliah menjadi terjangkau. Ketika SPP
tunggal dianggap menjadi solusi pembiayaan pendidikan di PTN padahal
tidak menjamin keterjangkauan biaya kuliah, disinilah paradoks terjadi.
Lihat saja implementasi BOP-B di UI, alih-alih bertindak adil dengan
memberikan SPP secara proporsional, yang terjadi adalah menzhalimi calon
mahasiswa baru dari kalangan tidak mampu dengan sistem pembiayaan yang
memberatkan mereka. Skema pembiayaan yang terkesan berpihak pada
mahasiswa, ironisnya, justru membebani mahasiswa.
Fakta yang melatarbelakangi gagasan credit earning
adalah kualitas unit pendidikan yang tidak merata, sehingga perlu
diberi kesempatan mahasiswa dapat mengambil kuliah lintas PTN untuk
mempertajam kompetensinya. Atau lebih jauh lagi, untuk menjadikan
mahasiswa di PTN memiliki pengetahuan yang sempurna dan berhubungan
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sistem ini
memungkinkan mahasiswa dari sebuah PTN mengambil kredit mata kuliah
tertentu di PTN lainnya tanpa harus membayar di kampus penerima. Selain
itu, kredit yang diambil tersebut juga akan diakui kampus asal sebagai
mata kuliah pilihan.
Ironisnya, ada beberapa realita yang menjadi tantangan dalam
penerapannya. Sinergitas antar PTN misalnya. Lihat saja konflik
kepentingan yang mewarnai penyelenggaraan SPMB dan UMPTN beberapa tahun
lalu sehingga melahirkan yang disebut SNMPTN sekarang. Bukan tidak
mungkin pihak PTN akan menghitung untung rugi, baik secara materi maupun
non materi, jika credit earning jadi diterapkan. Dan jangan
pula dilupakan bahwa arogansi almamater, terutama di PTN ternama di
Indonesia, masih sedemikian kental. Belum lagi bicara tentang
kepentingan kampus yang beragam. Perlu diingat bahwa antar PTN tidak
selamanya mitra, tetapi juga kompetitor. Paradoks kepentingan. Kurikulum
juga belum mendukung dan mungkin mahasiswa juga tidak seantusias yang
dibayangkan. Saat ini bukan zamannya mahasiswa memperbanyak SKS yang
diambilnya untuk memperdalam keilmuannya. Mungkin sangat sulit dicari
mahasiswa sekarang yang mengambil SKS di atas 200 hanya untuk
menyempurnakan wawasannya, seperti salah seorang asisten dosen yang
pernah mengajar penulis ketika masih di kampus.
Ironis memang,
realitanya mahasiswa cenderung mengejar kelulusan daripada
kompetensinya. Apalagi beban akademis dan biaya kuliah semakin berat.
Toh jika credit earning jadi diterapkan, hanya segelintir
mahasiswa yang dapat merasakan manfaatnya, terutama mahasiswa yang
memiliki kelebihan finansial. Ketika sistem Credit Earning
dipercaya dapat mempertajam kompetensi mahasiswa PTN yang saat ini lebih
banyak berorientasi untuk lulus cepat, disinilah paradoks terjadi
Kebenaran mungkin memang relatif, karenanya berbagai paradoks dan
ironi di dunia pendidikan bermunculan seiring dengan lahirnya
gagasan-gagasan baru yang memperkaya wacana. Sayangnya, ide-ide tersebut
tidak serta merta sejalan dengan optimalisasi upaya pemecahan masalah
utama. Tulisan ini tentunya tidak hendak membatasi inovasi dan niat baik
untuk berbenah yang merupakan suatu keharusan. Namun pihak pemangku
kebijakan sudah seharusnya bijak dalam pemilihan prioritas kebijakan.
Jangan sampai terlalu kaya wacana kemudian hilang fokus dan tidak ada
perbaikan yang berhasil dilakukan.
Entah kemana ujung pembahasan tentang RUU Perguruan Tinggi, bagaimana
pula nasib pengembangan riset dan kewirausahaan mahasiswa yang
wacananya sempat mengemuka, atau bagaimana upaya yang telah dilakukan
untuk memastikan 20% mahasiswa PTN berasal dari keluarga kurang mampu.
Jangan-jangan sepanjang tahun ini masih ramai media menyoroti tentang
aksi kekerasan, tawuran, sex bebas, narkoba dan berbagai aksi konyol
dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Atau jangan-jangan tahun ajaran baru
nanti kita akan kembali disuguhi berita tentang calon mahasiswa miskin
dan cerdas yang tidak bisa kuliah di PTN karena tidak mampu membayar
SPP.
Ironis sekali jika sampai ada mahasiswa miskin yang terancam tak
bisa membayar biaya kuliah di tengah kemewahan gaya hidup mahasiswa masa
kini. Pekerjaan Rumah dunia kampus masih sangat banyak. Kampus memang
merupakan tempat bersemainya ide dan wacana, namun jangan sampai hanya
sebatas gagasan tanpa realisasi perbaikan. Jangan sampai perbaikan hanya
sebatas angan.
Kekhawatiran PT
konsekuensinya adalah pada arus kas universitas. Dia mengilustrasikan,
sumbangan pembangunan gedung yang biasanya dibayar dalam dua kali
angsuran, melalui sistem SPP tunggal akan dibayarkan hingga delapan
kali, sesuai beban semester yang wajib ditempuh mahasiswa. Jika pemerintah telah memberlakukan uang kuliah tunggal, pemerintah akan menanggung biaya-biaya operasional
non-investasi antara lain seperti praktikum.
Jumlah biaya
operasional setiap program studi dan PTN berbeda sehingga perhitungan
uang kuliah tunggalnya pun akan berbeda-beda. Intinya, dengan uang
kuliah tunggal mahasiswa hanya perlu bayar satu kali tanpa tambahan
bayar ini itu..kemungkinan adanya
perguruan tinggi yang akan kekurangan biaya operasional apabila tidak
menaikkan uang SPP. Namun, hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena
pemerintah sudah berjanji akan membantu dengan sistem Insentifnya adalah menambah dana subsidi, sedangkan disintensifnya
mengurangi subsidi, terutama bagi kampus-kampus ternama dan banyak
peminatnya. (dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar