Jumat, 18 Januari 2013

Pendidikan dan Kemiskinan



Kemiskinan merupakan masalah global, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”.
Kemiskinan merupakan hal yang kompleks. Kemiskinan berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Kemiskinan muncul karena sumber daya manusia yang tidak berkualitas, begitu pula sebaliknya. Membangun pengertian kemiskinan bukanlah perkara yang mudah karena kemiskinan mencakup berbagai macam dimensi.
Dimensi kemiskinan dapat diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, politik. Kemiskinan secara ekonomi dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kemiskinan ini dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia dan membandingkannya dengan ukuran baku. Kemiskinan sosial dapat diartikan sebagai kekurangan jaringan sosial dan struktur sosial yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Kemiskinan sosial dibedakan berdasarkan faktor yang menyebabkan kemiskinan itu terjadi. Sedangkan kemiskinan politik menekankan pada akses terhadap kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud mencakup tatanan sistem sosial yang dapat menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan alokasi penggunaan sumber daya.
Terdapat beberapa teori yang telah dielaborasi berkaitan dengan kemiskinan. Secara ringkas, teori-teori tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu dan teori yang mengarah pada struktur sosial.
Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan human capital. Secara keseluruhan, teori ini tersajikan dalam teori ekonomi neoklasik, yang berasumsi bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Teori perilaku, singkatnya, meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah melahirkan lahirnya kemiskinan.
Teori kedua adalah teori strukturalis yang diwakili oleh teori kelompok marxis. Yaitu bahwa hambatan-hambatan struktural yang sistemik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Teori struktural melihat bahwa kondisi miskinlah yang mengakibatkan perilaku tertentu pada setiap individu, yaitu, munculnya sikap individu yang tidak produktif merupakan akibat dari adaptasi dengan keadaan miskin.
Selain dua teori di atas, terdapat pula teori yang tidak memihak. Teori yang paling terkenal adalah teori mengenai budaya miskin. Teori ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan dan Kemiskinan
Pada umumnya, permasalahan mengenai pendidikan dan kemiskinan di negara berkembang hampir serupa. Umumnya, negara-negara ini menghadapi dilema; apakah pertumbuhan ekonomi yang lebih dahulu dipacu ataukah pendidikan yang lebih baik. Persoalan ini sukar dijawab, sehingga ia lebih merupakan sebuah lingkaran setan (vicious circle)
Keterkaitan kemiskinan dengan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut seharusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa. Tidak terkecuali, keadilan dalam memperoleh pendidikan harus diperjuangkan dan seharusnya pemerintah berada di garda terdepan untuk mewujudkannya. Penduduk miskin dalam konteks pendidikan sosial mempunyai kaitan terhadap upaya pemberdayaan, partisipasi, demokratisasi, dan kepercayaan diri, maupun kemandirian. Pendidikan nonformal perlu mendapatkan prioritas utama dalam mengatasi kebodohan, keterbelakangan, dan ketertinggalan sosial ekonominya. Pendidikan informal dalam rangka pendidikan sosial dengan sasaran orang miskin selaku kepala keluarga (individu) dan anggota masyarakat tidak lepas dari konsep learning society adult education experience yang berupa pendidikan luar sekolah, kursus keterampilan, penyuluhan, pendidikan dan latihan, penataran atau bimbingan, dan latihan indonesia hari ini masih merupakan akibat dari sisa-sisa penjajahan. Dalam rangka melanggengkan kekuasaan, pemerintah kolonial Belanda tidak memberikan porsi kepada rakyat jelata Indonesia untuk memperoleh akses pendidikan yang memadai. Pendidikan hanya ditujukan kepada rakyat Indonesia yang mampu menunjukkan loyalitas kepada Belanda. Kenyataan seperti inilah yang kemudian menciptakan feodalisme baru pasca feodalisme pemerintah kolonial. Struktur masyarakat yang ada hanyalah struktur yang didominasi oleh golongan borjuasi birokrasi. Struktur feodal borjuis ini kemudian melembaga. Anak-anak kaum borjuis menjadi borjuis di kemudian hari, sementara anak-anak miskin tetap bergelut dalam kejelataan.
Sesuai dengan UUD 1945, rakyat Indonesia tidak lagi terstruktur dalam kelas yang didasarkan pada sistem feodal atau borjuasi (setidaknya dalam teori/termaktub dalam undang-undang, walaupun pada kenyataannya tidak demikian). Sistem pendidikan nasional yang dirumuskan pemerintah masih cenderung menciptakan ketimpangan struktur masyarakat seperti yang terlihat dalam praktek pendidikan masyarakat kolonial. Maka jangan heran kalau kemudian muncul kritikan terhadap model pendidikan. Ivan Illich misalnya, melucuti kemapanan sekolah yang menurutnya hanya mempertajam ketimpangan masyarakat. Pada saat ini memang sangat disadari bahwa sebagian besar porsi pendidikan – terutama pendidikan bermutu – hanya dapat diakses oleh kalangan the have. Dalam kenyataan yang demikian maka kecil harapan bagi rakyat miskin untuk dapat mengakses pendidikan, apalagi pendidikan bermutu. Mereka akan tetap bergulat dalam kemelaratan.
Kemiskinan yang dihadapi, membuat mereka akan terbelenggu dalam kebudayaan kemelaratan (culture of poverty), Paulo Freire dengan tegas menyatakan bahwa pada akhirnya penduduk yang miskin terjebak dalam kebudayaan bisu (culture of silence). Kebudayaan bisu ini membentuk pandangan hidup si miskin baik dalam memandang tata nilai, sikap mental dan tingkah laku yang pasrah, karena mereka sendiri sudah tidak peduli lagi terhadap kemiskinan yang mereka alami. Keadaan ini membuat rakyat miskin seakan-akan orang bisu yang tidak mempunyai apa-apa.
Di bidang pendidikan, salah satu masalah kunci adalah tingginya angka putus sekolah di masyarakat miskin pada saat mereka melanjutkan pendidikan dari SD ke SMP. Yang menjadi masalah utama adalah kurangnya akses masyarakat miskin untuk melanjutkan dari SMP ataupun SMK, baik bersifat fisik maupun finansial. Akses finansial terbatas akibat tingginya biaya menciptakan halangan bagi pendidikan masyarakat miskin pada tingkat pendidikan menengah pertama.
Investasi di bidang pendidikan harus dilakukan dengan fokus pada perbaikan akses dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi masyarakat miskin, sambil terus meningkatkan mutu dan efisiensi sekolah dasar. Investasi dibidang ini janganlah meniru model perbankkan ketika pra krisis1998, hari ini kita menyaksikan berbagai sekolah baru tumbuh yang tentu saja harus diiringi dengan semangat membangun karakter bangsa menjadi lebih maju tidak semata-mata menjadikan sekolah sebagai ajang bisnis/komersil karena jika ini terjadi, kita hanya menunggu waktu sekolah-sekolah di negeri ini collaps satu-persatu.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *