Jumat, 09 November 2012

PENGENALAN VARIASI MODEL PEMBELAJARAN BIDANG MIPA DAN BAHASA



by : Das Salirawati, M.Si

PENDAHULUAN
            Pendidikan merupakan kebutuhan primer pada saat ini, apalagi sebagian besar masyarakat sudah menyadari pentingnya pendidikan dalam menata masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu setiap negara senantiasa berusaha memajukan bidang pendi-dikan, disamping bidang yang lain dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang kompetitif dan berkualitas serta berusaha mengejar kemajuan negara lain.
Satu dari sekian banyak masalah di era global yang dihadapi Indonesia saat ini adalah masalah di bidang pendidikan. Masalah yang belum teratasi pada saat ini terutama masalah yang berhubungan dengan kualitas hasil pendidikan (Suyanto, 2007). Adanya kebijakan sertifikasi guru adalah salah satu upaya nyata Pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru agar guru sebagai aktor utama dalam pendidikan umumnya dan pembelajaran khususnya dapat meningkatkan kompetensinya.  
Seorang guru penting untuk menciptakan paradigma baru untuk menghasilkan praktik terbaik dalam proses pembelajaran (Carolin Rekar Munro, 2005). Oleh karena itu, ketika terjadi perubahan kurikulum dan terjadi pergeseran tuntutan hasil pendidikan yang berkaitan dengan tuntutan pasar kerja, maka gurulah yang harus berperan mewujudkan harapan itu. Guru harus selalu mengembangkan diri, baik yang berkaitan dengan kompe-tensi bidang studi maupun pedagogik, termasuk penggunaan internet dalam mencari informasi terkini (Kok Siang Tang, Ngoh Khang Goh, & Lian Sai Chia, 2006).
Ronald Brandt (1993) menyatakan bahwa hampir semua usaha reformasi dalam pendidikan, seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan metode pembelajaran baru akhirnya tergantung kepada guru. Tanpa guru yang mampu menguasai bahan ajar dan strategi belajar-mengajar, maka segala upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan mencapai hasil yang optimal. Hal ini berarti seorang guru tidak hanya diharapkan mampu menguasai bidang ilmu yang diajarkan, tetapi juga menguasai strategi belajar-mengajar. 
            Saat ini dunia pendidikan telah banyak menghasilkan berbagai macam inovasi dan menghadirkan strategi/model pembelajaran. Hal ini semata-mata sebagai upaya mengga-irahan minat belajar peserta didik, sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar. Oleh karena itu sudah saatnya guru mengetahui model-model pembela-jaran, baik jenisnya maupun cara penerapannya.
KONDISI PENDIDIKAN KITA SAAT INI    
            Seiring dengan kemajuan di bidang pendidikan, maka secara perlahan-lahan telah terjadi perubahan paradigma pendidikan, seperti perubahan dari teacher centered ke student centered; diterimanya pendekatan, metode, dan model pembelajaran baru yang inovatif; munculnya kesadaran bahwa informasi/pengetahuan dapat diakses lewat berba-gai cara dan media oleh peserta didik; teknologi pembelajaran berbasis teknologi infor-masi (TI) mulai diterapkan; orientasi pendidikan bukan hanya pada pengembangan sum-ber daya manusia (human resources development), tetapi juga pada pengembangan kapabilitas manusia (human capability development); diperkenalkannya e-learning; depen-dence ke independence; individual ke team work oriented; dan large group ke small class.
Namun demikian kita masih melihat adanya pembelajaran di sekolah-sekolah yang berpusat pada guru dimana guru masih aktif sebagai pemberi informasi dan mendominasi pembelajaran di kelas, sedangkan peserta didik pasif sebagai penerima informasi, meski-pun paradigma pendidikan yang baru sudah mengarahkan pada student centered. Selain itu pembelajaran masih menekankan pada hafalan dan drill-drill (latihan) yang kemung-kinan besar disebabkan banyaknya materi yang harus diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun peserta didik tidak lagi dianggap objek pembelajaran, tetapi kenyataannya materi pembelajaran masih sangat ditentukan oleh guru. Di sebagian besar sekolah, masih terlihat kurang mengoptimalkan pengembangan kapabilitas peserta didik, baik yang menyangkut cipta, rasa, dan karsa, serta peserta didik kurang memiliki kesempatan untuk berpikir kritis, logis, kreatif, dan inovatif.   
            Dengan kenyataan seperti itu, maka sudah saatnya bagi guru untuk mencoba mengembangkan profesionalismenya melalui pengembangan model-model pembelajaran yang benar-benar mampu mengaktifkan dan menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan sekaligus menyenangkan. Dengan demikian peserta didik akan merasakan kebermaknaan belajar bagi hidup dan kehidupannya dan akhirnya meaningful learning akan terwujud.

PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN
            Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasi-kan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi, sebenarnya model pembela-jaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan atau strategi pembelajaran. Saat ini telah banyak dikembangkan berbagai macam model pembelajaran, dari yang sederhana sampai model yang agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam penerapannya.
            Seorang guru diharapkan memiliki motivasi dan semangat pembaharuan dalam proses pembelajaran yang dijalaninya. Menurut Sardiman A. M. (2004 : 165), guru yang kompeten adalah guru yang mampu mengelola program belajar-mengajar. Mengelola di sini memiliki arti yang luas yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu menguasai keterampilan dasar mengajar, seperti membuka dan menutup pelajaran, menjelaskan, menvariasi media, bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya, juga bagaimana guru menerapkan strategi, teori belajar dan pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif. Pendapat serupa dikemukakan oleh Colin Marsh (1996 : 10) yang menya-takan bahwa guru harus memiliki kompetensi mengajar, memotivasi peserta didik, membuat model instruksional, mengelola kelas, berkomunikasi, merencanakan pembela-jaran, dan mengevaluasi. Semua kompetensi tersebut mendukung keberhasilan guru dalam mengajar. Setiap guru harus memiliki kompetensi adaptif terhadap setiap perkem-bangan ilmu pengetahuan dan kemajuan di bidang pendidikan, baik yang menyangkut perbaikan kualitas pembelajaran maupun segala hal yang berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar peserta didiknya.

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS SCL
            Ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan pada saat ini yang berbasis pada Student Centered Learning (SCL). Model SCL sangat digemari karena berbagai alasan, diantaranya:
1.    diterimanya pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran;
2.    adanya pergeseran paradigma pengajaran ke pembelajaran;
3.    adanya pergeseran dari teacher oriented ke student oriented;
4.    adanya pergeseran dari orientasi hasil ke proses pembelajaran;
5.    diterimanya konsep pendidikan sepanjang hayat;
6.    diterimanya konsep multiple intelligence;
7.    semakin mudah dan murahnya akses informasi melalui jaringan dan perangkat TI;
8.    tersedianya buku-buku referensi yang mudah diperoleh. .

Perlu diingat bahwa sebaik apapun model pembelajaran tersebut secara teoretik, tetapi keberhasilannya dalam membantu menciptakan pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik sangat tergantung pada kepiawaian guru dalam menerapkannya. Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa keunggulan pembelajaran di Jepang terutama disebabkan oleh peranan guru yang mampu memilih strategi pembelajaran yang efektif termasuk di dalamnya memilih model pembelajaran (Aleks Masyunis, 2000). Guru memberikan warna dan nilai terhadap model yang diterapkan.
Berikut ini akan disajikan beberapa contoh model pembelajaran yang berbasis pada SCL. Contoh suatu model tidak harus ditiru 100% oleh guru, tetapi guru harus dapat memodifikasi sesuai dengan karakteristik peserta didik dan fasilitas yang tersedia di sekolah. Dengan demikian penerapan model pembelajaran tidak membatasi kreativitas guru dalam menjalankan tugasnya, tetapi tetap mampu mengikuti perkembangan dunia pendidikan yang digelutinya.
Berbicara mengenai proses pembelajaran di sekolah seringkali membuat kita kecewa, apalagi bila dikaitkan dengan pemahaman peserta didik terhadap materi ajar. Mengapa demikian? Ya, karena kenyataan menunjukkan banyak peserta didik mampu  menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi mereka tidak memahaminya. Sebagian peserta didik tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/ dimanfaatkan. Selain itu, peserta didik kesulitan memahami konsep yang diajarkan hanya dengan metode ceramah, apalagi jika konsep yang diajarkan sangat abstrak. Padahal mereka sangat butuh untuk dapat memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja.
Banyak pertanyaan muncul di diri guru yang berkeinginan untuk membantu masalah yang dihadapi peserta didiknya tersebut, seperti:
1.    Bagaimana menemukan cara terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran tertentu, sehingga semua peserta didik dapat menggunakan dan mengingatnya lebih lama konsep tersebut ?
2.    Bagaimana setiap bagian mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh ?
3.    Bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan peserta didiknya yang selalu bertanya-tanya tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka pelajari ?
4.    Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari peserta didiknya, sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengaitkannya dengan kehidupan nyata, sehingga dapat membuka berbagai pintu kesempatan selama hidupnya ?.

Semua pertanyaan itu merupakan tantangan bagi guru untuk selalu berusaha dan berusaha agar dapat menemukan solusi yang paling tepat untuk mengatasinya. Penga-laman di negara lain menunjukkan bahwa minat dan prestasi peserta didik dalam bidang matematika, sains, dan bahasa meningkat secara drastis pada saat:
1.    Mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai.
2.    Mereka diajarkan bagaimana mereka mempelajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dapat digunakan di luar kelas.
3.    Mereka diperkenankan untuk bekerja secara bersama-sama (cooperative).

Hal itulah yang merupakan jiwa dan inti pokok dari penerapan model pembelajaran berbasis CTL.

1. Model Pembelajaran Berbasis Pendekatan CTL
Pendekatan CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penera-pannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questinoning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) (Johnson, 2002).
Sesuai dengan faktor kebutuhan individual peserta didik, maka untuk dapat meng-implementasikan pembelajaran kontekstual guru seharusnya:
*      Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) dengan 3 karakteristik umumnya (kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan).
*      Menggunakan teknik bertanya (questioning) yang meningkatkan pembelajaran peserta didik, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
*      Mengembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna jika ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru (contructivism).
*      Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry) agar peserta didik memperoleh pengeta-huan dan keterampilan melalui penemuan sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah fakta).
*      Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik melalui pengajuan pertanyaan (questioning).
*      Menciptakan masyarakat belajar (learning community) dengan membangun kerjasama antar peserta didik.
*      Memodelkan (modelling) sesuatu agar peserta didik dapat menirunya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru.
*      Mengarahkan peserta didik untuk merefleksikan tentang apa yang sudah dipelajari.
*      Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment).

2. Model Pembelajaran Berbasis Pendekatan PAIKEM
a. Pembelajaran Aktif 
            Anak didik belajar, 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan (Sheal, Peter, 1989). Pernyataan tersebut nampak sejalan dengan yang diharapkan dalam Kurikulum 2006, yang menginginkan peserta didik mencapai suatu kompetensi tertentu yang dapat diko-munikasikan dan ditampilkan. 
            Kurikulum terbaru kita menginginkan adanya perubahan pembelajaran dari teacher centered ke student centered. Perubahan ini tidak semudah diucapkan, karena pola pembelajaran kita sudah terbiasa dengan cara guru menjelaskan dan menyampaikan informasi, sedangkan peserta didik lebih banyak menerima. Namun bukan berarti kita pesimis dengan perubahan itu, tetapi mungkin pencapaiannya memerlukan waktu. Bagaimanapun habits yang sudah terbentuk lama, untuk mengubahnya perlu kesung-guhan dan kemauan tinggi dari semua komponen yang terlibat dalam pembelajaran.  
Pembelajaran aktif artinya pembelajaran yang mampu mendorong anak didik aktif secara fisik, sosial, dan mental untuk memahami dan mengembangkan kecakapan hidup menuju belajar yang mandiri, atau pembelajaran yang menekankan keaktifan anak didik untuk mengalami sendiri, berlatih, beraktivitas dengan menggunakan daya pikir, emosi-onal, dan keterampilannya. Melalui pembelajaran aktif diharapkan anak didik akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimilikinya. Selain itu, mereka secara penuh dan sadar dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya, lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara sistematis, kritis, tanggap, sehingga dapat menyelesaikan masalah sehari-hari melalui penelusuran informasi yang bermakna baginya.
Guru yang aktif adalah guru yang memantau kegiatan belajar anak didik, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang, dan memperbanyak gagasan anak didik untuk dapat dimunculkan. Sedangkan anak didik yang aktif adalah mereka yang sering bertanya, mengemukakan pendapat, mempertanyakan gagasan sendiri/orang lain, dan aktif melakukan suatu kegiatan belajar (Mel Silberman, 2002).
Sayangnya, sebagian guru kurang mampu mengajukan pertanyaan yang menan-tang kepada anak didik, sehingga pembelajaran aktifpun jarang tercipta. Hal ini kemung-kinan disebabkan berbagai hal, seperti alasan klise karena dikejar waktu untuk menye-lesaikan materi hingga tak sempat berpikir ke arah itu, ketidaksiapan guru itu sendiri untuk membuat dan menjawab pertanyaan menantang. Padahal dengan pertanyaan menantang sudah pasti anak didik kita terpacu dan termotivasi untuk mencari jawaban dan itu berarti aktivitas belajar mereka semakin tinggi dan wawasan pengetahuannya akan selalu ber-tambah dari hari ke hari.

b. Pembelajaran Inovatif dan Kreatif
Setiap manusia secara normal pasti memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu yang baru. Demikian juga anak didik, jika dalam pembelajaran disuguhi sesuatu yang baru pasti akan timbul semacam energi baru dalam mengikuti pelajaran. Dengan kata lain, sesuatu yang baru mampu bertindak seperti magnet yang menarik minat dan motivasi anak didik untuk mengikutinya.
Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran dengan memperkenalkan sesuatu yang berbeda yang belum dialami dari sebelumnya. Sesuatu yang baru tidak identik dengan sesuatu yang mahal. Apa yang nampaknya sepele, bisa saja mampu membuat pembelajaran lebih hidup hanya karena sang guru mampu melakukan inovasi. Dalam penciptaan pembelajaran inovatif yang terpenting adalah kemauan dan keinginan guru untuk membuat belajar menjadi menarik untuk diikuti dan menghilangkan kebosanan peserta didik dalam belajar.
Kreatif adalah cara berpikir yang mengajak kita keluar dan melepaskan diri dari pola umum yang sudah terpateri dalam ingatan. Pembelajaran kreatif adalah pembela-jaran yang mengajak anak didik untuk mampu mengeluarkan daya pikir dan daya karsanya untuk menciptakan sesuatu yang di luar pemikiran orang kebanyakan. Kreatif merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris to create yang dapat diurai : C (combine), R (reverse), E (eliminate), A (alternatif), T (twist), E (elaborate). Jadi, seorang anak didik yang berpikir kreatif dalam benaknya berisi pertanyaan : dapatkan saya mengkombinasi / menambah, membalik, menghilangkan, mencari cara / bahan lain, memutar, mengelaborasikan sesuatu ke dalam benda yang sudah ada sebelumnya ?
Melepaskan diri dari sesuatu yang sudah terpola dalam pikiran kita bukanlah pekerjaan yang mudah. Beberapa hal yang mampu membangkitkan pikiran kita untuk menjadi kreatif antara lain : berfantasi atau mengemukakan gagasan / ide yang tidak umum, terkesan “nyleneh”, berada pada satu gagasan / ide untuk beberapa saat, berani mengambil resiko, peka terhadap segala keajaiban, penasaran terhadap suatu kebenar-an, banyak membaca artikel penemuan yang membuatnya kagum dan terheran-heran.
Berpikir kreatif dapat diawali dengan bercanda dan berteka-teki tentang sesuatu, karena berpikir kreatif berlangsung ketika otak dalam keadaan santai. Seorang pemikir kreatif suka mencoba gagasan/ide yang berkebalikan dengan yang dipikirkan oleh orang banyak. Mereka suka melihat sisi-sisi lain yang baginya lebih menarik untuk dicermati dan dipikirkan. Kadang-kadang orang yang berpikir lurus tidak akan dapat “berteman baik” dengan orang yang berpikir kreatif, karena menganggap ia sebagai orang aneh.
Untuk dapat menciptakan pembelajaran inovatif maupun kreatif diperlukan tiga sifat dasar yang harus dimiliki anak didik maupun guru, yaitu peka, kritis, dan kreatif terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Peka artinya orang lain tidak dapat melihat keterkaitannya dengan konsep yang ada dalam otak, tetapi kita mampu menangkapnya sebagai fenomena yang dapat dijelaskan dengan konsep yang kita miliki. Kritis artinya fenomena yang tertangkap oleh mata kita mampu diolah dalam pikiran hingga memunculkan berbagai pertanyaan yang menggelitik kita untuk mencari jawabannya. Kreatif artinya dengan kepiawaian pola pikir dan didasari pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep tertentu lalu kita berusaha menjelaskan/menciptakan suatu aktivitas yang mampu menjelaskan fenomena tersebut kepada diri sendiri atau orang lain.
Guru yang kreatif dan inovatif adalah guru yang mampu mengembangkan kegiatan yang beragam di dalam dan di luar kelas, membuat alat bantu/media sederhana yang dapat dibuat sendiri oleh anak didiknya. Demikian pula anak didik yang kreatif dan inovatif mampu merancang sesuatu, menulis dan mengarang, dan membuat refleksi terhadap semua kegiatan yang dilakukannya.

c. Pembelajaran Efektif
Efektif memiliki makna tepat guna, artinya sesuatu yang memiliki efek/pengaruh terhadap yang akan dicapai/dituju. Pembelajaran efektif artinya pembelajaran yang mampu mencapai kompetensi yang telah dirumuskan, pembelajaran dimana anak didik memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran dikatakan efektif jika terjadi perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Adapun ciri-ciri pembelajaran efektif diantaranya tercapainya tujuan yang diharap-kan, anak didik menguasai keterampilan yang ditargetkan. Belajar dan mengajar akan efektif jika anak didik aktif dan semua aktivitas pembelajaran berpusat pada anak didik. Hal ini karena pembelajaran yang berpusat pada anak didik akan mampu menimbulkan minatnya dan secara tidak langsung mereka memahami konsep dan kaitannya dengan aspek-aspek kehidupan.

d. Pembelajaran Menyenangkan (Joyful Learning)
            Saat ini di berbagai negara sedang trend dan semangat mengembangkan joyful learning dan meaningful learning, yaitu dengan menciptakan kondisi pembelajaran sede-mikian rupa sehingga anak didik menjadi betah di kelas karena pembelajaran yang dijalani menyenangkan dan bermakna. Mereka merasakan bahwa pembelajaran yang dijalani memberikan perbedaan dalam basis pengetahuan yang ada di pikirannya, berbeda dalam memandang dunia sekitar, dan merasakan memperoleh sesuatu yang lebih dari apa yang telah dimilikinya selama ini. Sebagai bangsa yang ingin maju dalam era globalisasi yang kompetitif ini tentunya kita juga ingin merasakan pembelajaran yang demikian.
Semua mata pelajaran dapat dibuat menjadi menyenangkan, tergantung bagai-mana niat dan kemauan guru untuk menciptakannya. Pembelajaran yang dikemas dalam situasi yang menyenangkan, jenaka, dan menggelitik sangat diharapkan oleh anak didik saat ini yang sangat rawan stres karena saratnya materi ajar yang harus dikuasai. Penelitian terhadap beberapa anak-anak sekolah di dunia yang diadakan UNESCO menunjukkan sebagian dari mereka menginginkan belajar dengan situasi yang menye-nangkan (Dedi Supriadi, 1999).
Pembelajaran menyenangkan artinya pembelajaran yang interaktif dan atraktif, sehingga anak didik dapat memusatkan perhatian terhadap pembelajaran yang sedang dijalaninya. Penelitian menunjukkan bahwa ketika seorang guru menjelaskan suatu materi tanpa ada selingan dan anak didik hanya mendengarkan, melihat, dan mencatat, maka perhatian dan konsentrasi mereka akan menurun secara draktis setelah 20 menit. Keadaan ini semakin parah jika guru tidak menyadari dan pembelajaran hanya berjalan monoton dan membosankan (Tjipto Utomo dan Kees Ruijter, 1994). Lebih lanjut dikemukakan, keadaan ini dapat diatasi apabila guru menyadari lalu mengubah pembelajarannnya menjadi menyenangkan dengan cara memberi selingan aktivitas atau humor. Tindakan ini secara signifikan berpengaruh meningkatkan kembali perhatian dan konsentrasi anak didik yang relatif besar.
Pembelajaran menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat anak didik tidak takut salah, ditertawakan, diremehkan, tertekan, tetapi sebaliknya anak didik berani berbuat dan mencoba, bertanya, mengemukakan pendapat / gagasan, dan mempertanya-kan gagasan orang lain. Menciptakan suasana yang menyenangkan tidaklah sulit, karena kita hanya menciptakan pembelajaran yang relaks (tidak tegang), lingkuangan yang aman untuk melakukan kesalahan, mengaitkan materi ajar dengan kehidupan mereka, belajar dengan balutan humor, dorongan semangat, dan pemberian jeda berpikir. Dalam belajar guru harus menyadari bahwa banyak kata ”aku belum tahu” akan muncul dan kata ”aku tahu” sedikit muncul, karena mereka memang dalam tahap belajar. Demikian pula guru harus menyadari bahwa otak manusia bukanlah mesin yang dapat disuruh berpikir tanpa henti, sehingga perlu pelemasan dan relaksasi.
Sesuai dengan pendapat Ausubel bahwa belajar akan bermakna jika peserta didik dapat mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konsep yang sudah ada dalam struktur kognitifnya, dan pendapat Bruner yang menyatakan belajar akan berhasil lebih baik jika selalu dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar. Secara logika dapat dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila yang dipelajari ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan kata-kata atau kalimat yang didengar sudah familiar di kepala kita. Melalui joyful learning diharapkan ada perbaikan praktik pembelajaran ke arah yang lebih baik. Perubahan ini tidak harus terjadi secara draktis, perlahan-lahan tetapi pasti. Perbaikan proses sangat penting agar keluaran yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
Seperti diketahui, otak kita terbagi menjadi dua bagian, yaitu kanan dan kiri. Terkadang dalam dunia pendidikan kita lupa akan pentingnya mengembangkan otak sebelah kanan. Secara umum hanya otak kiri yang menjadi sasaran pengembangan, terutama untuk ilmu eksakta. Otak sebelah kanan adalah bagian yang berkaitan dengan imajinasi, estetika, intuisi, irama, musik, gambar, seni. Sebaliknya otak sebelah kiri berkaitan dengan logika, rasio, penalaran, kata-kata, matematika, dan urutan. Untuk menepis hal itu, sebenarnya kita dapat tunjukkan bahwa ilmu apapun mampu digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan otak sebelah kanan, diantaranya dengan cara memahami dan menghafal konsep melalui puisi, nyanyian, maupun permainan teka-teki.
Otak kita adalah bagian tubuh yang paling rawan dan sensitif. Otak sangat menyukai hal-hal yang bersifat tidak masuk akal, ekstrim, penuh warna, lucu, multisenso-rik, gambar 3 dimensi (hidup), asosiasi, imajinasi, simbol, melibatkan irama / musik, dan nomor/urutan. Berdasarkan hal ini, maka kita sebagai pendidik dapat merancang apa yang sebaiknya kita berikan kepada anak didik agar otak mereka menyukainya. Sebagai contoh mengemas pembelajaran dengan menggunakan puisi atau lagu untuk menyimpul-kan materi yang diajarkan, atau melalui teka-teki jenaka untuk mengevaluasi sejauhmana mereka menguasai materi yang diajarkan. 

3. Model Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Berbasis Kontroversi Isu
Masyarakat kita adalah masyarakat yang heterogen dalam hal latar belakang budaya,  pendidikan, status ekonomi, bahasa, agama, dan lain-lain. Latar belakang pendi-dikan yang berbeda akan mempengaruhi cara berpikir dan menerima informasi yang berkembang di masyarakat. Mulai dari informasi yang berkaitan dengan ekonomi, politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi saat ini kita berada di era globalisasi dimana kemajuan di bidang TIK demikian canggih, sehingga semua informasi dengan mudah dan cepat dapat diterima masyarakat.
Bagi masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang relatif rendah akan menelan mentah-mentah segala informasi yang dilihat dan diterima dari berbagai media, karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Namun bagi guru yang termasuk dalam golongan intelektual tentunya tidak berpikir sama dengan mereka, karena guru memiliki bekal ilmu pengetahuan yang relatif cukup untuk dapat mencerna dan menelaah/ mengkaji kebenaran informasi yang masih bersifat isu tersebut.
Ball (1988) menyatakan bahwa penguasaan guru terhadap bidang ilmunya meru-pakan sesuatu yang fundamental agar peserta didik dapat dibantu dalam mempelajari bidang ilmu tersebut. Menurut Amy J. Phelps & Cherin Lee (2003), guru akan dapat memberikan pengetahuan kepada peserta didiknya dalam suatu prosedur yang sederhana dan tepat bila ia menguasai materi yang akan diajarkan dengan baik. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 PP RI No 19/2005 bahwa seorang guru harus memiliki empat jenis kompetensi, diantaranya kompetensi profesional. Keprofesionalan guru harus ditunjukkan melalui aktivitas penggalian dan pengembangan wawasan bidang ilmu yang ditekuninya secara terus menerus  tanpa batas waktu dan ruang. Termasuk ketika ada suatu isu yang berkembang di masyarakat yang ada kaitannya dengan bidang ilmu yang ditekuninya, guru harus secara cepat dan tanggap mencari informasi lebih lanjut untuk mengetahui lebih jelas dan benar tentang isu tersebut.
Constance Blasie & George Palladino (2005) berpendapat bahwa pengetahuan dan penggunaan teknologi informasi secara tepat dalam pengajaran dan pembelajaran adalah kemampuan yang harus dikuasai oleh guru sekolah lanjutan. Hal ini mengisyarat-kan pada kita selaku guru akan pentingnya penguasaan penggunaan kemajuan TIK dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan menjalankan tugas. Contoh konkretnya penguasaan penggunaan internet dalam menelusuri informasi yang diperlukan untuk mengkaji kebenaran isu yang berkembang di masyarakat. 
Beberapa contoh isu yang berkembang di masyarakat yang sempat membuat masyarakat bingung dan resah dan memerlukan penjelasan ilmiah yang mampu menepis isu-isu yang kontroversial tersebut agar meredam keresahan masyarakat diantaranya isu MSG, isu minyak babi, isu banyu geni, isu merkuri, isu kiamat, isu kontroversi buku gurita Cikeas, isu batas TOEFL untuk kelulusan mahasiswa, dan sebagainya.
            Salah satu wujud nyata peningkatan profesional guru adalah kemampuan guru dalam menerapkan pendekatan dan metode pembelajaran baru yang dipandang sesuai dengan nuansa dan esensi kurikulum yang berlaku. Salah satunya adalah pendekatan kontekstual yang mengharuskan guru mengaitkan materi ajar dengan dunia nyata peserta didik, sehingga peserta didik memiliki transfer of knowledge dan transfer of value di lingkungan keluarga dan masyarakat.
            Banyaknya isu yang terekspose di masyarakat melalui kecanggihan TIK menuntut guru untuk mampu menerapkan pendekatan kontekstual dengan cara melihat keterkaitan isu-isu tersebut dengan materi yang diajarkan dan kebutuhan peserta didik akan penje-lasan/informasi yang benar dan tepat. Dengan demikian berarti guru mampu tampil seba-gai “pahlawan” dalam menenangkan keresahan masyarakat, sekaligus sarana bagi guru dalam mengembangkan ilmunya. Jika pembelajaran kontekstual berbasis kontroversi isu yang berkembang di masyarakat ini dapat terimplementasi dengan baik secara terus menerus, maka citra dan martabat guru semakin gemilang.

4.  Model Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Berbasis Lingkungan
Ketiadaan alat dan bahan laboratorium sering menjadi kendala tidak dilakukannya praktikum, meskipun guru pengampu memiliki petunjuk praktikumnya. Oleh karena itu sangat diperlukan kreativitas guru IPA dalam mencari alternatif bahan dan alat lain yang dapat digunakan agar praktkum tetap dapat dilaksanakan. Dengan demikian pelaksanaan praktikum tidak bergantung pada fasilitas laboratorium yang ada di sekolah, tetapi cukup menggunakan bahan dan alat yang dengan mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. 
Metode praktikum sangat dianjurkan dalam pembelajaran IPA, karena sesuai dengan tujuan pendidikan yang meliputi 3 aspek, yaitu mengembangkan pengetahuan, menanamkan sikap ilmiah, dan melatih keterampilan. Melalui praktikum peserta didik memperoleh pemahaman yang mendalam tentang suatu konsep, sebab mereka melaku-kan dan melihat sendiri.
Bila dilihat dari buku petunjuk praktikum yang sudah ada di lapangan, nampaknya tidak semua materi pokok yang ada dalam kurikulum mata pelajaran IPA terwakili oleh suatu topik percobaan. Ironisnya, sebagian besar buku petunjuk praktikum yang beredar di pasaran isinya sama, tidak ada yang memiliki kelebihan, misalnya menyajikan topik percobaan yang berbeda dan baru/aktual. Meskipun semua percobaan bertujuan mengaktifkan peserta didik, namun akan lebih menarik minat belajar peserta didik bila buku petunjuk praktikum berisikan aktivitas percobaan sederhana yang menarik dengan bahan dan alat yang digunakan dapat diperoleh di lingkungan sekitar, sehingga peserta didik dapat mencobanya di rumah.
Bagaimanakah cara kita sebagai guru menciptakan suatu percobaan baru sehing-ga peserta didik tertantang dan tertarik untuk melakukannya ? Suatu materi ajar dapat dikonstruksi menjadi percobaan dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini : 
a.    Pelajari secara mendalam materi ajar tersebut, lalu coba cari hubungan setiap konsep yang ada dengan fenomena yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
b.    Setelah kita menemukan suatu fenomena, cobalah berpikir bagaimana mengangkat fenomena tersebut menjadi suatu rancangan percobaan sederhana dengan mencari hubungannya dengan konsep kimia tertentu.
c.    Buatlah langkah-langkah pengujian / pembuktiannya.
d.    Ujicobalah sesuai dengan rancangan yang dibuat.
e.    Tulis rancangan kita dengan format prosedur sederhana yang mudah dipahami.

Untuk dapat menemukan fenomena yang berkaitan dengan materi ajar mungkin dirasa sulit oleh kita, namun sebenarnya semakin banyak membaca buku dan membuka internet, semakin besar kepekaan kita terhadap fenomena kimia di sekitarnya.

5. Model Pembelajaran Berbasis Pendekatan Konstruktivistik
Menurut Canella & Reiff (1994: 27-28) belajar dengan pendekatan konstruktivistik berarti mengonstruksi atau menyusun struktur pemahaman/pengetahuan dengan cara mengaitkan dan menyelaraskan fenomena, ide, atau pengetahuan baru ke dalam struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Aliran konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi  atau bentukan manusia. Manusia mengonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus diinter-prestasikan sendiri oleh mereka. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Jawaban peserta didik atas suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka saat itu. Jika ada jawaban salah, bukan disalahkan, tetapi ditanyakan bagaimana ia dapat memperoleh jawaban itu. Dengan demikian peserta didik terlibat aktif dalam proses perolehan suatu konsep.
Strategi pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dapat dilakukan guru dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu:
a.    Menyajikan masalah-masalah aktual kepada peserta didik dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan mereka
b.    Menekankan pembelajaran di sekitar konsep-konsep primer
c.    Mendorong peserta didik untuk mengajukan pertanyaan sendiri
d.    Mengkondisikan peserta didik berani menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri
e.    Mengkondisikan peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat dan menghargai sudut pandangnya sendiri.
f.     Menantang peserta didik agar dapat melakukan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar penyelesaian tugas melalui pertanyaan yang menantang.
g.    Menganjurkan peserta didik belajar dalam kelompok
h.    Mendorong peserta didik untuk berani menemukan tanggungjawab
i.      Melakukan penilaian, baik terhadap proses maupun hasil belajar peserta didik dalam konteks pembelajaran.

Inti pendekatan konstruktivistik adalah peserta didik diharuskan mampu mengons-truksi sendiri pemahaman terhadap suatu konsep berdasarkan struktur kognitif yang telah ada, dimana peserta didik melakukan penyelarasan dengan konsep baru yang diterimanya

PENUTUP
Guru adalah profesi yang luar biasa mulia diantara profesi yang lain. Dengan kesabaran dan keprofesinalannya seorang guru berusaha mentransfer segala apa yang dimilikinya kepada anak didik tanpa lelah, setiap hari dan setiap saat. Seorang guru senantiasa ditruntut untuk melakukan pembaharuan dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai pendidik. Melalui penerapan dan pemodifikasian model pembelajaran yang sedang berkembang saat ini diharapkan anak didik menjadi subjek belajar yang baik dan generasi yang mandiri, mampu menciptakan sesuatu secara kreatif dan inovatif tanpa harus meniru bangsa lain.
Tanpa mengurangi makna sebenarnya dari pembelajaran, marilah kita berusaha menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, sehingga mampu mengubah image belajar sebagai suatu keterpaksaan menjadi suatu kebutuhan, dengan cara membawa peserta didik menikmati sisi-sisi keindahan dan kemenarikan dari suatu materi pelajaran yang sedang dipelajarinya dalam kemasan model pembelajaran yang tepat. Semoga kita termasuk guru yang dapat menciptakan kesenangan dalam belajar, bahkan kalau mungkin dapat menyebabkan anak didik kecanduan belajar. Hidup ini penuh pilihan, semoga pilihan kita sebagai guru adalah pilihan yang tepat untuk masuk surga (Amiiin). 

DAFTAR PUSTAKA
Aleks Masyunis. (2000). Strategi kualitas pendidikan MIPA di LPTK. Makalah pada Seminar Nasional FMIPA UNY tanggal 22 Agustus 2000.

Amy J. Phelps & Cherin Lee. (2003). The power of practice : what students learn from how we teach. Journal of Chemical Education, 80 (7), 829 – 832.

Ball, D. L. (1988). Unlearning to teach mathematics. East Lansing : Michigan State University, National Center for Research on Teacher Education.

Brandt, Ronald. (1993). What do you mean professional. Educational Leadership. Nomor 6 50, March.

Canella & Reiff .(1994). Individual constructivist teacher education: Teachers as empowered learners. Teacher Education Quarterly, 21(3), 27-28.

Carolin Rekar Munro. (2005). “Best Practices” in teaching and learning : Challenging current paradigms and redefining their role in education. The College Quarterly. 8 (3), 1 – 7.

Colin Marsh. (1996). Handbook for beginning teachers. Sydney : Addison Wesley Longman Australia Pry Limited.

Constance Blasie & George Palladino. (2005). Implementing the professional development standards : a research department’s innovative masters degree program for high school chemistry teachers. Journal of Chemical Education. 82 (4), 567 – 570.

Dedi Supriadi. (1999). Mengangkat citra dan martabat guru. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.

Depdiknas. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and learning. California: A Sage Publications Company, Corwin Press, Inc.

Kok Siang Tan, Ngoh Khang Goh, & Lian Sai Chia. (2006). Bridging the cognitive – affective gap : teaching chemistry while advancing affective objectives. Journal of Chemical Education. 83 (1), 59 – 63.

Mel Silberman. (2002). Active learning : 101 Strategi pembelajaran aktif. Yogyakarta : Yappendis.

Sardiman, A. M. (2004). Interaksi dan motivasi belajar-mengajar. Jakarta: Rajawali.

Sheal, Peter. (1989). How to develop and present staff training courses. London : Kogan Page Ltd.

Suyanto. (2007). Tantangan profesional guru di era global. Pidato Dies UNY 27 Mei 2007. Yogyakarta : UNY.

Tjipto Utomo dan Kees Ruijter. (1994). Peningkatan dan pengembangan pendidikan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *