Jumat, 31 Oktober 2014

Dikti di bawah Kemristek: Apakah para Rektor tidak pernah menjadi dosen biasa?

[sumber; www.thesleuthjournal.com]
[sumber; www.thesleuthjournal.com]
Oleh: Gurukecil*
Rekomendasi Forum Rektor Indonesia (FRI) agar perguruan tinggi ditempatkan dalam yurisdiksi Kementerian Riset dan Teknologi telah mengagetkan Daoed Joesoef. Menurut Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne dan Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru itu, rekomendasi itu mengejutkan karena menunjukaan bahwa ternyata “akhirnya ketahuan mengapa pendidikan tinggi di perguruan tinggi (PT) kacau selama ini. Ternyata PT dikelola menurut kesalahpahaman tentang misi pendidikan keilmuan dari PT.” Menurutnya pula, “PT memang menangani riset, tetapi tujuan esensialnya bukanlah menghasilkan sesuatu yang ‘siap pakai’ di bidang kehidupan apa pun, melainkan membuat manusia berspirit ilmiah karena spirit inilah yang menggerakkan manusia untuk terus berusaha menyempurnakan pengorganisasian pengetahuan kita begitu rupa hingga menguasai semakin banyak potensi tersembunyi dalam alam dan pergaulan (interaksi) human”. Saya termasuk yang sama terkejutnya, dengan beberapa alasan yang kurang lebih sama, tetapi juga dengan alasan yang berbeda.
Menanggapi Daoed Joesoef, salah seorang narasumber dalam FRI di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, 30-31 Januari 2014 —yang merekomendasi pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek (Kemdikti Ristek)—, Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak alasan kuat yang mendasari rekomendasi FRI tersebut. Di antaranya, Kemdikbud yang menangani pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menjadi terlalu besar sehingga bebannya terlalu berat dan tidak fokus. Selain itu, Kemdikbud cenderung menjadikan PT hanya sebagai unit pelaksana teknis. Juga, PT —khususnya PT negeri— memiliki sumber daya manusia relatif lebih banyak dan berkualitas tidak hanya untuk pengajaran, tetapi juga untuk penelitian. Menurut Azyumardi Azra, sejumlah PT papan atas Indonesia menghasilkan lebih banyak penelitian inovatif yang dikutip secara internasional dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh lembaga khusus ristek seperti LIPI dan BPPT. Masih menurut Azyumardi Azra, gagasan itu menemukan momentum ketika forum tersebut dipimpin Laode M. Kamaluddin, Rektor Unissula, Semarang (2013), yang melalui bukunya Re-orientasi (Strategi) Pendidikan Nasional Indonesia (2015-2020) yang disosialisasikan di FRI di UNS Surakarta, menggagas ‘pemekaran’ Kemdikbud menjadi Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Kemdikti Ristek).
Saya mencoba memahami pandangan Daoed Joesoef dan Azyumardi Azra di atas berdasarkan pengalaman saya menyelesaikan pendidikan pasca-sarjana di PT luar tanah air dan kemudian membandingkannya pengalaman saya bekerja sebagai dosen di PT negeri di Indonesia selama hampir 30 tahun. Saya mencoba mencerna pandangan Daoed Joesoef menjadi lebih sederhana. Tujuan esensial pendidikan —dasar, menengah, dan tinggi— sesungguhnya adalah mencerdaskan bangsa. Riset hanyalah produk, bukan tujuan. Bangsa yang cerdas dengan sendirinya akan menghasilkan riset yang hebat. Untuk mencerdaskan bangsa, pendidikan seharusnya memanusiakan manusia, menjadikan manusia berbudaya, bukan sekedar menjadikan manusia sebagai sumberdaya. Pendidikan seharusnya mampu menghasilkan manusia yang bisa mengubah pasar, bukan manusia yang sekedar tunduk pada dan sekedar bersedia melayani pasar. Dan karena itu, pendidikan perlu diseiringkan dengan kebudayaan. Pada saat yang sama, saya juga mencoba memahami kegalauan Azyumardi Azra atas kinerja Kemdikbud selama ini. Saya sepakat dalam beberapa hal dengan Azyumardi Azra. Tetapi berdasarkan pengalaman selama ini sebagai dosen biasa, saya berpandangan bahwa kinerja PT negeri ini tidak akan berubah, sepanjang pengelolaan PT tetap dilakukan dengan gaya seperti sekarang.
Kritik pedas Azyumardi Azra bahwa Kemdikbud telah campur tangan terlalu jauh terhadap pengelolaan PT, khusunya PT Negeri, sehingga PT seakan-akan menjadi hanya semacam unit pelaksana teknis (UPT) patut menjadi perhatian para petinggi Kemdikbud. Campur tangan menteri dalam pemilihan rektor dan dalam ‘penyeragaman’ program studi dan kurikulumnya, baru sekedar dua contoh. Masih banyak contoh lain, bahkan yang sampai ke hal-hal tidak masuk akal seperti perijinan tugas/ijin belajar, linearitas bidang ilmu, pandangan ilmu sebagai sebatang pohon yang hanya bisa bercabang tanpa ada cabang yang saling bertemu, merupakan contoh-contoh lain. Alhasil, PT beroperasi seakan-akan sebagai sebuah UPT dan rektor menjadi sekedar kepala UPT yang hanya bisa ‘merekomendasikan’ kebijakan, yang berarti tidak ikut dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan. Namanya sebuah rekomendasi, belum tentu juga akan didengar, alih-alih diakomodasi ke dalam kebijakan. Dan rekomendasi FRI agar PT keluar dari Kemdikbud seakan-akan menjadi sebuah bentuk ‘frustasi’ akibat dari tidak pernah dilibatkan itu.
Tapi saya sepakat dengan pokok pikiran bahwa PT seharusnya dikelola sebagai ‘rumah belajar’, sebagaimana disampaikan oleh Budi Widianarko, Rektor Unika Soegijapranata. Menurut Widianarko, PT adalah lembaga yang sarat dengan muatan pendidikan dan pengajaran. Sebagaimana lebih lanjut diungkapkannya, “Ungkapan ‘universitas magistrorum et scholarium’ (universitas sebagai komunitas guru dan murid) secara gamblang menunjukkan itu, merujuk kepada bentuk awalnya, ketika pada abad pertengahan universitas dilahirkan dan kemudian dikelola oleh kumpulan guru atau dosen”. Widianarko mengutip George Dennis O’Brien, penulis buku All the Essential Half-Truths about Higher Education (1998), untuk mengingatkan bahwa “universitas sebagai rumah belajar jangan sampai dilupakan hanya demi menjawab tantangan perubahan zaman”. Mungkin yang dimaksud dalam hal ini adalah tantangan bahwa produk penelitian Indonesia masih dikalahkan sangat jauh oleh universitas-universitas di negeri tetangga. Tapi persoalan utamanya sebenarnya bukanlah itu, melainkan adalah, sebagaimana ditekankan oleh O’Brien dalam bukunya, “The neglected topic in university assessments is not teaching; it is learning –with or without a (faculty) teacher”. Tugas utama PT bukanlah mengajar, melainkan belajar. Dan dari itu, PT seharusnya menjadi rumah belajar.
Dalam pengertian belajar itu termasuk bukan hanya mahasiswa belajar dari dosennya, melainkan juga dosennya belajar dengan cara berdiskusi dan meneliti, dan juga belajar dengan cara mengamati kehidupan sosial kemasyarakatan dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Tridharma PT seharusnya tidak dimaknai secara terpisah sebagai mengajar, meneliti, DAN mengabdi pada masyarakat, melainkan sebagai satu kesatuan proses belajar yang melibatkan seluruh sivitas akademika sehingga dapat menjadikan PT sebagai rumah belajar. Menjadikan PT sebagai ‘research university’, universitas penelitian’ tanpa didasari oleh filosofi universitas sebagai rumah belajar, hanya akan mencabik tugas utama universitas untuk mencerdaskan bangsa menjadi universitas pelayan pasar. Dan bila itu terjadi tanpa diiringi dengan semangat meneliti untuk belajar maka jangan kemudian heran kalau PT akan menghasilkan banyak apa yang oleh Charles J. Sykes disebut ‘profscam’, sebagaimana diulas dalam bukunya Profscam: Professors and the Demise of Higher Education (1988). Dosen meneliti sekedar untuk mendapatkan angka kredit agar bisa menjadi profesor termuda. Dan di negeri ini, di mana dosen direkrut bukan harus berpendidikan doktor, dosen ramai-ramai melanjutkan pendidikan bukan untuk belajar, melainkan untuk memperoleh gelar demi bisa menjadi profesor (bukan tidak mungkin juga menjadi profscam sehingga timbul pesetan singkatan guru besar GBHN alias guru besar hanya nama).
Bagaimana bukan GBHN bila profesor diberi kewajiban tambahan dibandingkan dosen lainnya HANYA menulis buku? Siapapun yang suka membaca buku akan tahu bahwa sebagian besar buku di negeri ini ditulis tanpa melalui proses belajar, melainkan sekedar dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan seorang pemulung. Bedanya, yang dipungut oleh penulis buku adalah kalimat atau bahkan alinea dari berbagai sumber, sedangkan yang dipungut oleh pemulung adalah sampah. Banyak buku ditulis tanpa tesis yang jelas, gagasan apa yang sebenarnya diusungnya. Dan Kemdikbud mewajibkan profesor menulis buku, tanpa pernah memberikan ketentuan, apakah buku yang ditulisnya itu pernah dibaca orang lain atau tidak, alih-alih pernah dikutip orang lain atau tidak. Di luar sana, sudah tidak zaman lagi berapa banyak buku atau artikel jurnal telah dipublikasikan oleh seorang dosen, melainkan berapa banyak buku atau artikel jurnal yang dipublikasikannya sudah dikutip orang lain. Sementara di luar sana sudah berubah seperti itu, Kemdikbud tetap bertahan pada paradigma manajemen lama, bahwa profesor harus menulis buku, bukan mengubahnya menjadi buku yang ditulis profesor harus dikutip orang lain (indeks sitasi, citation index).
Persoalan pokok kedua yang dihadapi PT sebagai UPT Kemdiknas adalah pengelolaan. PT dikelola seakan-akan sebagai institusi birokrasi, dan bahkan pada era reformasi ini, cenderung menjadi institusi yang sarat dengan nuansa politik. Pergantian ketua jurusan/program studi, dekan fakultas, dan rektor universitas/direktur sekolah tinggi/politeknik bukan lagi hanya merupakan sebuah pembaruan manajemen, melainkan lebih sebagai sebuah arena pertarungan politik praktis. Para kandidat bukannya dipilih atas dasar kemampuan memimpin (leadership merits), melainkan atas proses tawar menawar ‘kalau saya pilih kamu jadi rektor, saya dapat apa?’ Tak pelak, alih-alih ‘belajar’ memperbaiki manajemen institusi yang dipimpinnya, pejabat yang terpilih tidak bisa tidak harus membangun ‘koalisi politik’ dengan cara memberi jabatan kepada mereka yang telah memilihnya. Dan itu tentu saja termasuk merasa harus tunduk kepada menteri yang juga telah memberikan suara untuk memilihnya. Maka manajemen PT pun berlangsung begitu terus dari tahun ke tahun tanpa banyak perubahan.
Seharusnya para rektor yang tergabung dalam FRI ingat bahwa sebelum menjadi rektor, mereka pernah menjadi dosen biasa. Kalau saja mereka masih ingat bahwa mereka pernah menjadi dosen biasa, mereka tentunya tahu, di bawah kementerian manapun PT ditempatkan, tidak akan mengubah apa-apa kalau sivitas akademikanya tidak pernah belajar. Mereka seharusnya tahu bahwa sebagian besar mahasiswa kuliah hanya untuk memperoleh gelar, dosen mengajar tanpa belajar, manajemen melaksanakan tugas sekedar untuk mendapatkan remunerasi. Lagipula, bagaimana PT bisa jadi rumah belajar yang baik bila atmosfer akademiknya begitu pengap dengan nuansa politik praktis? Bagaimana orang merasa perlu belajar bila pengetahuan ditempatkan di bawah kekuasaan, dalam kerangka pikir ‘power is knowledge’ dan bukan ‘knowledge is power’? Bagaimana orang bisa belajar bila perpustakaan yang ada hanyalah gedung megah tanpa tambahan koleksi buku, jangan pula basis data kepustakaan dalam jaringan (online)? Bagaimana meneliti bisa menjadi proses belajar bila laboratorium yang ada lebih banyak hanya berupa gedung megah dengan ruang kosong yang kemudian digunakan sebagai ruang kuliah? Dan biaya perjalanan dinas yang ada lebih banyak untuk manajemen berkonsultasi dengan Kemdikbud, bukan untuk dosen menghadiri konferensi/seminar ilmiah?
Karena itu, jangan salahkan bila jurusan/program studi berjalan hanya sebagai sebuah rutinitas. Setiap awal semester menyusun jadwal kuliah secara manual sehingga sering terjadi tabrakan jam kuliah dan penggunaan ruang. Tugas-tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh manajemen dibebankan kepada dosen melalui ketua jurusan/program studi. Penyusunan jadwal kuliah yang seharusnya merupakan tugas manajemen fakultas diserahkan kepada jurusan/program studi yang tugasnya seharusnya akademik. Ketua jurusan/program studi seharusnya berfokus pada hal-hal akademik seperti merancang benang merah penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang dilakukan oleh dosen, melakukan diskusi akademik mingguan/bulanan, dan kegiatan akademik lainnya untuk menjadikan kampus lebih beratmosfer akademik. Alaih-alih, jurusan/program studi dan para dosennya dibebani dengan tugas administrasi untuk menyusun dokumen akreditasi yang seharusnya merupakan tugas manajemen. Itu terjadi karena manajemen tidak ingin belajar, hanya bisa menyuruh orang belajar. Kalau saja ingin belajar, mereka seharusnya dapat menggunakan software gratis UNITime untuk menyusun jadwal kuliah sehingga dapat dilakukan dengan mudah tanpa bantuan ketua jurusan/program studi, sekaligus juga untuk memperbaiki efektivitas penggunaan ruang.
Kalau saja para rektor merasa pernah menjadi dosen biasa, tentu saja mereka pernah merasakan apa yang saya uraikan di atas. Dengan begitu mereka tahu bahwa tanpa mengubah manajemen maka di bawah kementerian manapun PT ditempatkan, tidak akan mengubah apa-apa. Sayang, rupanya setelah menjadi pejabat mereka berubah menjadi birokrat yang melupakan masa-masa sulit ketika mereka masih sebagai dosen biasa. Mereka melupakan sejarah hidupnya dan menjadikan diri sekedar sebagai perpanjangan tangan menteri untuk mengepalai sebuah UPT Kemdikbud. Kalaupun nanti PT menjadi di bawah Kemdikti Ristek, sebagaimana yang mereka rekomendasikan, paling-paling yang berubah hanyalah siapa yang menjadi atasan yang harus mereka layani. Hanya sedikit yang masih bisa menjadi diri sendiri seperti Budi Widianarko. Dan siapa tahu pula, setelah berada di bawah Kemdikti Ristek nanti, para profesor akan menjadi profesor riset pula, profesor tanpa mau mengajar, apalagi belajar. Belum lagi yang menuntut menjadi pejabat, karena setelah menjadi profesor mereka akan dengan sendirinya menjadi anggota senat universitas sehingga mempunyai kekuasaan untuk bertransaksi dalam menentukan siapa yang menjadi dekan, siapa yang menjadi rektor.[S]
*Blogger Gurukecil pernah belajar di McGill University dan Charles Darwin University. 

sumber tulisan : http://satutimor.com


Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *