Tahap
perkembangan kualitatif
Tahap-tahap perkembangan anak yang berbeda secara kualitatif
sifatnya “universal”, artinya berlaku bagi semua negara, semua bangsa
dan semua anak.
Perubahan
yang terjadi pada setiap fase perkembangan anak sudah ditandai dengan sensori
materik, pra oprasional kongkrit, operasional kongkrit sampai pada formal
abstrak.
Walaupun
tahap perkembangan yang bersifat kualitatif itu sifatnya universal, namun dalam
“kecepatannya” bisa berbeda diantara anak yang satu dengan yang
lain. Hal ini disebabkan pengaruh
lingkungan dan pengaruh kebudayaan sekitarnya. Misalnya tahap perkembangan
intelektual anak di negara berkembang tidak secepat anak-anak di negara maju.
Kesiapan
dan kematangan untuk belajar
Peaget
berpendapat bahwa kalau anak itu ingin belajar sesuatu harus memiliki “kesiapan
dan kematangan” (readness and naturity). Kesiapan dan kematangan adalah dua
kata kunci dan esensial dalam menjelaskan perkembangan intelektual anak.
Apabila anak belum siap dari dalam dirinya baik secara biologis maupun tahap
perkembangan otaknya, maka kita tidak patut mengajarkan anak sesuatu yang tidak
cocok. Kata kunci ketiga disini adalah “kecocokan atau mach”
Development
appropriate practice (DAP)
Apa yang diajarkan kepada anak-anak harus cocok dengan tahap
perkembangan mereka (development appropriate practice). Kepada anak-anak usia
SD kelas I dan II jangan diberikan materi pelajaran yang sangat abstrak, mereka
tidak akan mengerti. Misalnya dalam mengajar Bahasa Indonesia guru menanyakan
apa artinya “kaya”. Anak-anak akan suka mendefenisikannya karena sangat
abstrak. Yang benar adalah guru memberi contoh orang kaya dan orang miskin yang
ada disekitar mereka.
Tahap
perkembangan operasional kongkrit.
Sama
halnya dalam mengajar matematika. Matematika adalah ilmu “deduktif” yang bertolak dari dalil-dalil, aksioma dan
rumus yang bersifat deduktif. Sedangkan anak umur 6 – 12 tahun berada pada
tahap perkembangan operasional kongkrit kalau matematika adalah ilmu deduktif
maka pembelajaran matematika harus “induktif”.
Oleh
karena itu mengajar matematika pada anak-anak tahap perkembangan kongkrit harus
dimulai berdasarkan benda kongkrit sebelum menulis angka. Mengajar matematika
dengan menulis angka lebih dahulu bagi anak-anak usia operasional kongkrit
adalah salah.
Tenaga
ahli dan guru matematika.
Pengertian bilangan yang diajarkan pada usia SD harus melalui
pendekatan induktif, bertolak dari benda-benda kongkrit padahal matematika
sifatnya deduktif. Itulah yang tidak diketahui oleh para ahli matematika, tapi
oleh guru matematika harus diketahui. Antara ahli matematika dengan guru
matematika memang ada persamaannya yang harus dimiliki dalam arti pengetahuan
dan landasannya (Common Ground). Akan tetapi ada perbedaan keduanya. Para ahli
matematika harus lebih banyak pengetahuannya, tapi guru matematika harus
menguasai metode mengajar matematika, metode mengajar sangat terkait dengan
tahap perkembangan anak, yakni bagaimana memperlakukan anak sesuai dengan tahap
perkembangannya.
Ciri-ciri
pekembangan anak pada tahap operasional kongkrit (± 6 –
12 tahun).
Pengertian
sebab akibat
Pada
tahap ini logika anak sudah mulai berjalan, anak sudah dapat diajak berfikir
secara logika bahwa karena sesuatu maka terjadilah sesuatu (dalam arti sederhana).
Misalnya : Karena tidak pernah disiram maka tanaman mati.
Mengklasifikasikan
objek (Seriation)
Pada
tahap ini anak sudah dapat mengklasifikasikan objek menurut jenisnya. Misalnya : Kucing, anjing adalah hewan
Kursi,
lemari, meja adalah perabot
Mangga,
durian, sirsak adalah buah
Mengenal
hubungan antara 2 objek yang dikaitkan dengan objek ke 3 (Transitive Inference)
Misalnya
: Anak membandingkan 2 buah tongkat, tongkat pertama pendek, tongkat kedua
lebih panjang. Anak mengerti tongkat yang pertama pendek, kalau kedua tongkat
itu dibandingkan dengan tongkat ketiga yang lebih panjang dari tongkat yang
kedua, maka anak mengerti bahwa walaupun tongkat sudah tiga namun tongkat yang
pendek adalah tetap tongkat pertama.
Melihat
hubungan antara keseluruhan dan bagian (Class Inclusion)
Misalnya
dalam sebuah jambangan penuh bunga ada bunga anyelir, ada bunga ros. Anak-anak
dapat mengelompokkan bunga-bunga tersebut atas kelompok bunga anyelir dan
kelompok bunga ros. Jadi anak sudah dapat menghitung bagian dari keseluruhan
dan dapat membedakan objek menurut kelompoknya.
Spatial
Relationship
Pemahaman
jarak (spatial) dengan objek tertentu erat kaitannya dengan tingkat
perkembangan anak. Misalnya anak umur 6 tahun sudah dapat jalan sendiri dari
rumah kesekolah dan kepasar. Akan tetapi anak umur 3 tahun belum bisa seperti
itu karena belum memiliki dan naturity.
Kemampuan
mengerti akan kekelan suatu substansi yang berubah bentuknya.
Misalnya
: ketika anak diajak membikin kueh lalu kueh tersebut dibuat dengan berbagai
bentuk, ada yang bulat, ada lonjong. Anak memahami bahwa walaupun bentuknya
diubah-ubah tapi tetap saja bahwa itu adalah kueh.
Anak
sudah dapat berfikir logis namun tidak mampu berfikir abstrak.
Anak-anak
dibawah umur 12 tahun jangan terlalu banyak diberi materi pelajaran yang
abstrak, tapi lebih banyak yang bersifat operasional kongkrit. Karena pada
tahap ini anak belum mampu berfikir abstrak. Contoh yang terlalu abstrak adalah
pertanyaan. “apa artinya komunisme dan demokratisasi di ajukan kepada anak
kelas IV SD”.
Peaget
mengatakan bahwa apabila kita ingin membangun kognisi anak, maka yang pertama
diisi adalah tingkat kognisi yang paling bawah yaitu yang kongkrit,
tahap kedua adalah kognisi baganiah/skematis barulah yang ketiga
diberikan kognisi abstrak.
Apabila
setelah mengisi tahap kognisi bawah langsung ketingkat kognisi abstrak maka itu
berarti mengadakan loncatan yang disebut “VERBALISME”.
Membalikkan
atau mengembalikan sesuatu pada sifat aslinya (Revesible Thinking)
Mengembalikan
sesuatu kepada sifatnya atau mundur adalah salah satu tahap perkembangan
kognisi intelektual anak. “mundur” misalnya menghitung dari 1 sampai 100
kemudian mundur dari 100 sampai 1.
Konteks
Spesifik.
Pada
umur 6 –12 tahun ini cara berfikir anak masih sangat “konteks spesifik”. Kalau
kita ingin mengajarkan kreativitas maka harus terkait dengan konteks dimana
anak belajar. Misalnya apabila kita meloncat langsung ketahap kognisi yang
abstrak maka akan terjadi kesenjangan horizontal dan kesenjangan vertikal.
Kesenjangan horizontal seperti mencampurkan kata prestasi dengan interpretasi
menjadi interprestasi, sedangkan kesenjangan vertikal misalnya orang
menyatakan anda jangan emosi padalah yang dia maksud anda jangan
marah
Kritik
terhadap teori Peaget
Walaupun
sudah mendapat pengakuan dimana-mana, teori Peaget ini juga banyak yang
mengkritiknya. Misalnya VIGOTSKY dari Uni Soviet yang mengatakan bahwa “memang
benar terjadi perubahan kualitatif dari tahap perkembangan yang satu ketahap
perkembangan yang lebih tinggi tapi kalau kita hanya mengajarkan sesuatu sesuai
dengan tahap anak itu berada, maka sebenarnya kita tidak merangsang anak untuk
belajar.
Untuk
anak tertentu yang sudah sensitive untuk belajar, yang pintar, yang
cepat siap dan yang cepat matang dapat diberikan bantuan khusus dengan
memberikan suatu tahap yang lebih tinggi dari tahap dimana anak itu berada
(zone of proximal development ZPD). Jadi dalam mencocokkan pembelajaran dengan
tahap perkembangan anak tertentu tersebut, ditambah satu tahap diatasnya
(plus one maching) untuk merangsang mereka belajar.
Transfer
of learning
Anak
pada usia 6 – 12 tahun masih berfikir sangat konteks dan sangat spesifik pada
situasi mereka dapat mengatasi persoalan, akan tetapi belum tentu untuk situasi
yang lain. Walaupun situasi lain juga sering mempunyai komponen yang identik
dengan situasi yang lama.
Untuk
itu kita harus memberikan kepada anak kemampuan transfer of learning apa
yang sudah menjadi perolehannya. Dalam transfer of learning, anak disuruh
mencari persamaan dari dua situasi yang berbeda. Misalnya, anak disuruh mencari
dimana persamaan antara ayam, mobil dan terompet. Tanyakan kepada anak siapa
yang punya ayam, siapa yang punya mobil dan siapa yang punya terompet lalu
mereka diminta menirukan bunyinya. Akhirnya anak akan mengerti persamaannya
adalah sama-sama punya bunyi.
Contoh
lain dari transfer of learning adalah pada saat anak belajar olah raga, mereka
diajarkan membentuk lingkaran, segi tiga dan jajaran genja sambil bergandeng
tangan. Lalu itu ditransfer pada saat
belajar matematika, mereka akan cepat mengerti apa lingkaran, segi tiga dan
jajaran genja karena sudah by dong pada pelajaran olah raga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar