Kamis, 02 Juni 2016

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK (PEAGET)



 Tahap perkembangan kualitatif

Tahap-tahap perkembangan anak yang berbeda secara kualitatif sifatnya “universal”, artinya berlaku bagi semua negara, semua bangsa dan semua anak.
Perubahan yang terjadi pada setiap fase perkembangan anak sudah ditandai dengan sensori materik, pra oprasional kongkrit, operasional kongkrit sampai pada formal abstrak.
Walaupun tahap perkembangan yang bersifat kualitatif itu sifatnya universal, namun dalam “kecepatannya” bisa berbeda diantara anak yang satu dengan yang lain.  Hal ini disebabkan pengaruh lingkungan dan pengaruh kebudayaan sekitarnya. Misalnya tahap perkembangan intelektual anak di negara berkembang tidak secepat anak-anak di negara maju.

Kesiapan dan kematangan untuk belajar

Peaget berpendapat bahwa kalau anak itu ingin belajar sesuatu harus memiliki “kesiapan dan kematangan” (readness and naturity). Kesiapan dan kematangan adalah dua kata kunci dan esensial dalam menjelaskan perkembangan intelektual anak. Apabila anak belum siap dari dalam dirinya baik secara biologis maupun tahap perkembangan otaknya, maka kita tidak patut mengajarkan anak sesuatu yang tidak cocok. Kata kunci ketiga disini adalah “kecocokan atau mach”

Development appropriate practice (DAP)

Apa yang diajarkan kepada anak-anak harus cocok dengan tahap perkembangan mereka (development appropriate practice). Kepada anak-anak usia SD kelas I dan II jangan diberikan materi pelajaran yang sangat abstrak, mereka tidak akan mengerti. Misalnya dalam mengajar Bahasa Indonesia guru menanyakan apa artinya “kaya”. Anak-anak akan suka mendefenisikannya karena sangat abstrak. Yang benar adalah guru memberi contoh orang kaya dan orang miskin yang ada disekitar mereka.

Tahap perkembangan operasional kongkrit.

Sama halnya dalam mengajar matematika. Matematika adalah ilmu “deduktif”  yang bertolak dari dalil-dalil, aksioma dan rumus yang bersifat deduktif. Sedangkan anak umur 6 – 12 tahun berada pada tahap perkembangan operasional kongkrit kalau matematika adalah ilmu deduktif maka pembelajaran matematika harus “induktif”.
Oleh karena itu mengajar matematika pada anak-anak tahap perkembangan kongkrit harus dimulai berdasarkan benda kongkrit sebelum menulis angka. Mengajar matematika dengan menulis angka lebih dahulu bagi anak-anak usia operasional kongkrit adalah salah.

Tenaga ahli dan guru matematika.

Pengertian bilangan yang diajarkan pada usia SD harus melalui pendekatan induktif, bertolak dari benda-benda kongkrit padahal matematika sifatnya deduktif. Itulah yang tidak diketahui oleh para ahli matematika, tapi oleh guru matematika harus diketahui. Antara ahli matematika dengan guru matematika memang ada persamaannya yang harus dimiliki dalam arti pengetahuan dan landasannya (Common Ground). Akan tetapi ada perbedaan keduanya. Para ahli matematika harus lebih banyak pengetahuannya, tapi guru matematika harus menguasai metode mengajar matematika, metode mengajar sangat terkait dengan tahap perkembangan anak, yakni bagaimana memperlakukan anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Ciri-ciri pekembangan anak pada tahap operasional kongkrit (± 6 – 12 tahun).

Pengertian sebab akibat
Pada tahap ini logika anak sudah mulai berjalan, anak sudah dapat diajak berfikir secara logika bahwa karena sesuatu maka terjadilah sesuatu (dalam arti sederhana). Misalnya : Karena tidak pernah disiram maka tanaman mati.

Mengklasifikasikan objek (Seriation)
Pada tahap ini anak sudah dapat mengklasifikasikan objek menurut jenisnya.     Misalnya : Kucing, anjing adalah hewan
Kursi, lemari, meja adalah perabot
Mangga, durian, sirsak adalah buah

Mengenal hubungan antara 2 objek yang dikaitkan dengan objek ke 3 (Transitive Inference)
Misalnya : Anak membandingkan 2 buah tongkat, tongkat pertama pendek, tongkat kedua lebih panjang. Anak mengerti tongkat yang pertama pendek, kalau kedua tongkat itu dibandingkan dengan tongkat ketiga yang lebih panjang dari tongkat yang kedua, maka anak mengerti bahwa walaupun tongkat sudah tiga namun tongkat yang pendek adalah tetap tongkat pertama.

Melihat hubungan antara keseluruhan dan bagian (Class Inclusion)
Misalnya dalam sebuah jambangan penuh bunga ada bunga anyelir, ada bunga ros. Anak-anak dapat mengelompokkan bunga-bunga tersebut atas kelompok bunga anyelir dan kelompok bunga ros. Jadi anak sudah dapat menghitung bagian dari keseluruhan dan dapat membedakan objek menurut kelompoknya.

Spatial Relationship
Pemahaman jarak (spatial) dengan objek tertentu erat kaitannya dengan tingkat perkembangan anak. Misalnya anak umur 6 tahun sudah dapat jalan sendiri dari rumah kesekolah dan kepasar. Akan tetapi anak umur 3 tahun belum bisa seperti itu karena belum memiliki dan naturity.

Kemampuan mengerti akan kekelan suatu substansi yang berubah bentuknya.
Misalnya : ketika anak diajak membikin kueh lalu kueh tersebut dibuat dengan berbagai bentuk, ada yang bulat, ada lonjong. Anak memahami bahwa walaupun bentuknya diubah-ubah tapi tetap saja bahwa itu adalah kueh.

Anak sudah dapat berfikir logis namun tidak mampu berfikir abstrak.
Anak-anak dibawah umur 12 tahun jangan terlalu banyak diberi materi pelajaran yang abstrak, tapi lebih banyak yang bersifat operasional kongkrit. Karena pada tahap ini anak belum mampu berfikir abstrak. Contoh yang terlalu abstrak adalah pertanyaan. “apa artinya komunisme dan demokratisasi di ajukan kepada anak kelas IV SD”.

Peaget mengatakan bahwa apabila kita ingin membangun kognisi anak, maka yang pertama diisi adalah tingkat kognisi yang paling bawah yaitu yang kongkrit, tahap kedua adalah kognisi baganiah/skematis barulah yang ketiga diberikan kognisi abstrak.
Apabila setelah mengisi tahap kognisi bawah langsung ketingkat kognisi abstrak maka itu berarti mengadakan loncatan yang disebut “VERBALISME”.

Membalikkan atau mengembalikan sesuatu pada sifat aslinya (Revesible Thinking)
Mengembalikan sesuatu kepada sifatnya atau mundur adalah salah satu tahap perkembangan kognisi intelektual anak. “mundur” misalnya menghitung dari 1 sampai 100 kemudian mundur dari 100 sampai 1.

Konteks Spesifik.

Pada umur 6 –12 tahun ini cara berfikir anak masih sangat “konteks spesifik”. Kalau kita ingin mengajarkan kreativitas maka harus terkait dengan konteks dimana anak belajar. Misalnya apabila kita meloncat langsung ketahap kognisi yang abstrak maka akan terjadi kesenjangan horizontal dan kesenjangan vertikal. Kesenjangan horizontal seperti mencampurkan kata prestasi dengan interpretasi menjadi interprestasi, sedangkan kesenjangan vertikal misalnya orang menyatakan anda jangan emosi padalah yang dia maksud anda jangan marah

Kritik terhadap teori Peaget

Walaupun sudah mendapat pengakuan dimana-mana, teori Peaget ini juga banyak yang mengkritiknya. Misalnya VIGOTSKY dari Uni Soviet yang mengatakan bahwa “memang benar terjadi perubahan kualitatif dari tahap perkembangan yang satu ketahap perkembangan yang lebih tinggi tapi kalau kita hanya mengajarkan sesuatu sesuai dengan tahap anak itu berada, maka sebenarnya kita tidak merangsang anak untuk belajar.

Untuk anak tertentu yang sudah sensitive untuk belajar, yang pintar, yang cepat siap dan yang cepat matang dapat diberikan bantuan khusus dengan memberikan suatu tahap yang lebih tinggi dari tahap dimana anak itu berada (zone of proximal development ZPD). Jadi dalam mencocokkan pembelajaran dengan tahap perkembangan anak tertentu tersebut, ditambah satu tahap diatasnya (plus one maching) untuk merangsang mereka belajar.

Transfer of learning
Anak pada usia 6 – 12 tahun masih berfikir sangat konteks dan sangat spesifik pada situasi mereka dapat mengatasi persoalan, akan tetapi belum tentu untuk situasi yang lain. Walaupun situasi lain juga sering mempunyai komponen yang identik dengan situasi yang lama.

Untuk itu kita harus memberikan kepada anak kemampuan transfer of learning apa yang sudah menjadi perolehannya. Dalam transfer of learning, anak disuruh mencari persamaan dari dua situasi yang berbeda. Misalnya, anak disuruh mencari dimana persamaan antara ayam, mobil dan terompet. Tanyakan kepada anak siapa yang punya ayam, siapa yang punya mobil dan siapa yang punya terompet lalu mereka diminta menirukan bunyinya. Akhirnya anak akan mengerti persamaannya adalah sama-sama punya bunyi.

Contoh lain dari transfer of learning adalah pada saat anak belajar olah raga, mereka diajarkan membentuk lingkaran, segi tiga dan jajaran genja sambil bergandeng tangan. Lalu itu ditransfer pada  saat belajar matematika, mereka akan cepat mengerti apa lingkaran, segi tiga dan jajaran genja karena sudah by dong pada pelajaran olah raga.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *