Minggu, 19 September 2010

Anak, Sarana Dakwah Efektif

Pagi itu seusai mandi dan sarapan, kuajak anakku jalan-jalan dengan mengenakan pakaian muslim. Lucu, ceria dan menggemaskan. Kelihatannya anakku semakin cantik dengan jilbab mungilnya yang berwarna pink itu. Begitu bertemu dengan tetanggaku, kontan mereka bilang, "aduuuh lucunya" sambil mendekat dan mencubit pipi anakku yang ranum. Anakkupun tersenyum malu-malu dan kemudian berlindung dibalik jilbabku.

Suatu ketika seorang ibu bertanya, kenapa sih masih kecil kok dipakai-in jilbab? Apa nggak kasihan? Nanti kepanasan lho. Malah ada lagi yang menambahkan, mengurangi kebebasan anak-anak dan menghilangkan masa kanak-kanaknya (ekstrim banget ya?).

Sambil tersenyum aku menjawab, "Saya mencoba untuk membiasakan dia berbusana seperti yang diperintahkan agama bu, kalau dia kepanasan ya boleh dilepas dulu dan nanti dipakai lagi, toh dia belum mendapat kewajiban untuk menutup aurat, yang penting latihannya itu. Masa kanak-kanaknya juga insya Allah tidak akan hilang karena pakai jilbab, toh model dan motifnya saya sesuaikan dengan kondisi anak".

Pada kesempatan lainpun ada ibu yang bertanya tentang masalah wajibnya jilbab bagi muslimah, sayapun dapat menjelaskannya dengan leluasa, karena beliu sangat ingin tahu. Beberapa waktu kemudian, karena hidayah Allah, beberapa ibu tetanggaku mulai pakai jilbab. Dia bilang kepadaku, "anak kecil saja pakai jilbab, kok saya yang sudah dewasa dan banyak dosa nggak pakai, kan malu". Alhamdulillaahi Robbil’aalamiin.

Anakkupun yang masih balita, dengan kepolosannya sering berkata "iiih malu ya mi, pakai baju lekbong (baju tanpa lengan) auratnya kelihatan", didepan ibu-ibu yang memakai baju tersebut. Atau ketika di angkot ada seorang gadis yang sibuk menutupi pahanya dengan menarik-narik roknya yang pendek, anakku bertanya "Umi, teteh itu kok narik-narik rok sih, malu ya pahanya kelihatan?"

Ketika anakku bermain bersama teman sebayanya yang diberi pakaian serba ketat, model yang sedang trendi saat ini, diapun bilang kepada teman mainnya yang lebih besar darinya. "Mbak, aku malu tu melihat kamu, bajumu ketat gitu, kan permpuan itu harus menutup aurat."

Hal lain juga pernah terjadi, ketika anakku melihat orang makan dengan tangan kiri, spontan dia mengatakan "eh, makannya pakai tangan kanan, jangan pakai tangan kiri, nanti nggak barokah makanannya", tidak peduli yang makan pakai tangan kiri itu siapa.

Pada bulan Ramadhan, anakku yang masih belum baligh ditanya tetanggaku, puasa nggak mbak? Puasa. Sampai jam berapa? Ya sampai maghrib. Tetanggaku yang sudah seminggu nggak puasa karena sakit yang tidak terlalu beratpun akhirnya puasa karena merasa malu.

Dari kejadian di atas, ada pelajaran yang sangat berharga, "Anak-anak ternyata merupakan sarana dakwah yang cukup efektif", karena:

1. Anak-anak sangat mudah dibentuk, karena mereka masih bersih dan suci. Mereka akan mengikuti apa yang kita contohkan tanpa melakukan seleksi.

2. Anak-anak dengan kepolosannya, akan mengatakan apa saja yang dia lihat, tanpa berfikir akan menyakiti perasaan orang lain, sehingga anak kecil cenderung lebih berani menyampaikan sesuatu dari pada orang dewasa.

3. Teguran yang disampaikan oleh anak-anak akan lebih menancap kedalam hati dan membuat orang dewasa merasa malu, ketika melihat anak kecil lebih taat beragama.

Dengan demikian, mendidik anak dengan didikan yang baik, melatih anak untuk melakukan perintah agama sejak dini, akan mempermudah amanah da’wah yang kita emban.

Mari jadikan anak-anak kita da’i-da’i kecil, penyambung lidah kita, sayap da’wah kita, dan asset masa depan kita di yaumil akhir. Wallahu a’lam bishshowwab.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *