Jumat, 05 November 2010

Kompetensi dan Sertifikasi Dosen


Oleh : Donny Gahral Adian*)

Seorang profesor di perguruan tinggi negeri terenyak saat seorang mahasiswa bertanya. Pertanyaannya sungguh di luar lingkar terjauh wawasan keilmuannya. Sejenak ia tercenung lalu mengentak, ”Saya minta pertanyaan tidak melebar dari apa yang saya terangkan!”

Mekanisme pertahanan sang profesor bertolak dari ketidaktahuannya. Alih-alih menyadari kelemahannya, ia justru mematikan iklim kuriositas. Universitas berkelas dunia? Tunda mimpi itu sebelum inkompetensi semacam ini dibenahi.

Sertifikasi dosen yang ramai dibincangkan belakangan, ibarat pahlawan kesiangan. Mutu pendidikan tinggi yang terus merosot berhulu pada inkompetensi pengajar yang tak juga dibenahi. Kita terlalu disibukkan infrastruktur yang bobrok untuk memikirkan hal ini. Kita sudah amat terlambat dalam mengurus hal ini. Tetapi sudahlah. Yang terpenting, apa yang bisa dibuat dalam suasana seperti ini.
Pertama, kita harus membuang jauh pikiran yang menyetarakan antara gelar dan kompetensi pengajaran. Banyak dosen bergelar profesor yang mengajar ala kadarnya. Alih-alih membina anak didiknya, tenaganya lebih banyak disumbangkan ke lembaga-lembaga non-akademis. Kuliah hanya sesekali dihadiri. Sisanya adalah tugas mandiri yang membebani mahasiswa. Jika ditanya, jawabannya selalu klasik: capaian finansial. Logika finansial membuat drainase pikiran berlangsung laten di dunia pendidikan tinggi kita.

Kedua, kita perlu berjarak dengan label ”selebritis akademis” yang melekat pada sebagian dosen. Dosen-dosen yang ”biasa di luar” ini tidak lagi mengabdi pada pengembangan keilmuan. Mereka hanya mempelajari apa yang bisa dijual. Akibatnya, pengetahuannya tak pernah beringsut maju. Teknologi informasi hanya dimanfaatkan untuk mencari informasi situasi politik, ekonomi, dan sosial terkini. Jurnal-jurnal internasional yang bisa diakses secara virtual tak pernah dijamah. Akibatnya, anak didik sering lebih progresif dalam keilmuan dibanding dosennya.

Kompetensi mengajar bukan sekadar teknik pedagogis, tetapi juga keluasan wawasan dan etika akademis. Jika dosen menganggap dunia akademis sebagai batu loncatan bagi karier politik, maka kualitas komitmen akademisnya pantas dipertanyakan. Profesionalitas di bidang akademis memang bukan hal yang mudah, di tengah pesona finansial lembaga-lembaga non-akademis. Namun, jika yang dipertaruhkan adalah mutu pendidikan tinggi, kita tidak bisa lagi mempertahankan dosen-dosen oportunis semacam itu. Masih banyak dosen muda yang memiliki komitmen tinggi pada dunia akademis meski tidak selebritis.

Bagaimana mengevaluasi teknik pedagogis, keluasan wawasan, dan etika akademis? Ini tentu tidak bisa diserahkan pada satu- dua lembaga secara terpusat. Ada dua sebab, pertama, pengajar yang paham betul teknik mendidik yang baik belum tentu berkualitas secara keilmuan. Kedua, jika menyangkut etika akademis dan keluasan wawasan, maka tak ada yang lebih paham selain instansi tempatnya bekerja. Karena itu, universitas yang bersangkutan mesti diberi wewenang untuk membuat tim evaluator yang berdedikasi tinggi. Tim dibentuk oleh universitas di masing-masing fakultas. Sertifikasi diberikan jika seorang pengajar lolos evaluasi di tingkat fakultas. Dengan ini kecemasan akan masifikasi sertifikat tidak lagi beralasan. Instansi yang bersangkutan akan amat selektif sebab menyangkut mutu pendidikan yang diselenggarakan.

Sertifikasi juga tidak berlaku seumur hidup. Seperti halnya akreditasi perguruan tinggi, ia diperiksa secara berkala (dua tahun sekali). Ia juga harus dibuat bertingkat mulai dari yang tertinggi (A) sampai terendah (C). Jika seorang pengajar turun nilainya sampai C, universitas (atas rekomendasi fakultas) tidak segan-segan mencabut sertifikasinya. Dengan kata lain, pengajar yang bersangkutan dianggap tidak kompeten mengajar. Ini bisa berlaku di semua universitas mengingat perguruan tinggi negeri kini sedang atau sudah menjadi BHMN.

Persoalannya, apa peran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi? Lembaga itu berfungsi sebagai regulator dan mengawasi agar regulasi yang ada benar-benar dijalankan. Fungsi evaluasi tetap diserahkan pada universitas di bawah pengawasan Dirjen Pendidikan Tinggi. Fungsi pengawasan pun sebenarnya bisa didelegasikan kepada universitas bersangkutan. Tiap universitas memiliki senat akademik universitas dan fakultas. Tim evaluator pada tiap fakultas akan diperiksa oleh senat akademik fakultas untuk kemudian diperiksa kembali di tingkat universitas.

Memang tidak mudah membenahi masalah pendidikan tinggi kita. Namun, evaluasi profesionalitas akademis (etika akademis, teknik pedagogis, wawasan) adalah langkah pertama yang penting. Kita tidak bisa mengandalkan kemauan baik tiap dosen untuk memperbaiki diri. Sebuah sistem evaluasi yang ketat dengan imbalan dan hukuman yang proporsional harus benar-benar dijalankan. Setelah itu, kita baru bisa berbicara tentang universitas berkelas dunia (world class university).

*)  Ketua Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *