Perguruan
tinggi merupakan salah satu subsistem pendidikan nasional yang tidak dapat
dipisahkan dari subsistem lainnya baik di dalam maupun diluar sistem
pendidikan. Keberadaan perguruan tinggi dalam keseluruhan kehidupan berbangsa
dan bernegara, mempunyai peran yang amat besar mellaui tri dharma perguruan
tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional dikatakan
bahwa Perguruan Tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat (pasal 20 ayat 2).
Melalui
dharma pendidikan perguruan tinggi harus mampu memberdayakan proses pendidikan
yang sedemikian rupa agar seluruh mahasiswanya berkembang menjadi lulusan
sebagai sumber daya manusia berkualitas yang memiliki kompetensi paripurna
secara intelektual, profesional, sosial, moral dan personal. Dharma kedua yaitu
penelitian, perguruan tinggi harus mampu mewujudkan sebagai satu institusi
ilmiah akademik yang daapt menghasilkan berbagai temuan inovatif melalui
kegiatan-kegiatan penelitian. Melalui penelitian ini perguruan tinggi dapat
mengembangkan dirinya serta memberikan sumbangan nyata bagi pengembangan bidang
keilmuan dan aplikasi dalam berbagai upaya pembaharuan. Selanjutnya melalui
dharma ketiga yaitu pengabdian keberadaan perguruan tinggi harus dapat
dirasakan manfaatnya bagi kemajuan masyarakat. Hal ini mengadnung makna bahwa
keberadaan perguruan tinggi harus dirasakan oleh masyarakat disekitarnya dengan
memberikan pemahaman kepada masyaraat sesuai dengan bidangnya.
Tantangan global
Pesatnya
perkembangan teknologi informasi merupakan salah satu ciri utama perkembangan
global di abad 21. Siap atau tidak siap hal itu merupakan satu realitas yang
harus dihadapi dengan kualitas sumber daya manusia dengan daya saing unggul.
Menghadapi berbagai perubahan di era globalisasi diperlukan sumber daya manusia
yang memiliki kualitas keberdayaan yang lebih efektif agar mampu mengatasi
berbagai tantangan yang timbul.
Dalam
era globalisasi setiap orang dituntut untuk mampu mengatasi berbagai masalah
yang kompleks sebagai akibat pengaruh perubahan global. Menurut Marquardt
(1996) memasuki Abad ke-21 ada empat kecenderungan perubahan yang akan
mempengaruhi pola-pola kehidupan yaitu; 1.) perubahan lingkungan ekonomi,
sosial dan pengetahuan dan teknologi 2.) perubahan dalam lingkungan kerja, 3.)
perubahan dalam harapan pelanggan 4.) perubahan harapan para pekerja.
Pada
tatanan global seluruh umat manusia di dunia dihadapkan pada tantangan yang
bersumber dari perkembangan global sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Menurut Robert B Tucker (2001) mengidentifikasi
adanya sepuluh tantangan di abad 21 yaitu 1.) kecepatan (speed), 2.)
kenyamanan (convinience), 3.) gelombang generasi (age wave), 4.)
pilihan (choice), 5.) ragam gaya hidup (life style) 6.) kompetisi
harga (discounting), 7.) pertambahan nilai (value added) 8.)
pelayanan pelanggan (customer service), 9.) teknologi sebagai andalan (techno
age), 10.) jaminan mutu (quality control).
Memasuki
era baru di abad 21 sistem pendidikan tinggi di Indoensia harus terwujud
sedemikian rupa dengan karakteristik antara lain; 1) terkait dengan kebutuhan
mahasiswa, prioritas nasional dan pembangunan ekonomi, 2) terstruktur secara efektif
sehingga memberi peluang kepada seluruh warga negara untuk mengembangkan
potensi pribadi sepanjang hayat dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa dan
negara, 3) didukung dengan pendanaan yang memadai sehingga memungkinkan untuk
berinovasi dan mencapai keunggulan, 4) melakukan penelitian yang dapat
menunjang pembangunan nasional, 5) memiliki akses dalam pengembangan dan
penerapan teknologi, 6) berperan sebagai kekuatan moral dalam mewujudkan
masyarakat demokratis yang madani. Dengan demikian, perguruan tinggi harus
memiliki kredibilitas institusional secara utuh dan menyeluruh. Sistem ini
harus memiliki akuntabilitas yang tinggi terhadap masyarakat, menunjukkan
efisiensi dalam operasionalnya, menghasilkan lulusan yang berkualitas, memiliki
manajemen internal yang transparan dan memenuhi standar.
Pendidikan Guru dan tenaga Kependidikan
Berbicara
menegnai pendidikan, tidak dapat dilepaskan dengan aspek guru sebagai unsur
inti pendidikan. Kualitas sumber daya manusia yang diharapkan mampu bersaing di
era global sangat ditentukan oleh kualitas guru yang berada di garda terdepan
pendidikan. Pada tatanan global dan nasional, dunia pendidikan ditantang dengan
berbagai upaya pembaharuan dan pembangunan yang lebih berorientasi pada
pengembangan sumber daya manusia.
Lahirnya
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional,
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan berbagai produk
ketentuan hukum lainnya merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh
Perguruan Tinggi khsusnya LPTK yang mempunyai tanggung jawab dalam menghasilkan
guru yang berkualitas. Pada tatanan lokal dengan penerapan otonomi daerah,
setiap daerah mempunyai peluang untuk menata pengembangan tenaga guru yang
lebih berkualitas dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan daerah.
Berkaitan
dengan masalah dan kendala di dunia guru, cukup banyak kritikan tajam yang
ditujukan kepada LPTK khsusnya yang berkenaan dengan ketidak mampuan LPTK
menghasilkan guru yang berkualitas. Menurut Linda Daeling Hammond dan Joan Baratz
Snouwden (2007) dalam tulisannya yang berjudul : Good Teacher in Every
Classroom Preparing the High Qualified Teachers Our Children Deserve” ada
beberapa alasan mengapa hal itu terjadi. Yaitu 1) pemerintah dan masyarakat
belum menunjukkan keseriusannya dalam menangani hak-hak anak terutama dari
kelompok miskin, 2) penyempitan makna konvensional yang menyatakan bahwa
pengajaran semata-mata sebagai proses penyampaian materi sebagaimana digariskan
dalam kurikulum, 3) banyak pihak yang tidak memahami hakekat mengajar yang
sebanarnya 4) hampir semua meyakini bahwa yang penting adalah pengajaran dan
bukan pembelajaran dari peserta didik 5) masih longgarnya tuntutan persyaratan
untuk menjadi guru yang berkualitas 6) para penelitia dan pendidik guru baru
sampai pada kesepakatan mengenai pengetauhan dasar yang diperlukan oleh guru
untuk memasuki kelas. Pendidikan guru di masa lalu dan hingga sekarang sering
dikritik terlalu sempit yang dibatasi dengan mempersiapkan pengetahuan yang
akan diajarkan dikelas. Sementara kurang memperhatikan hal-hal yang terkait
dengan pemahaman mengenai peserta didik, pengembangan profesi, pembentukan
kepribadian, dan landasan pedagogis. Sebagai akibatnya ialah guru hanya mampu
tampil sebagai penyampai pengetahuan dan tidak tampil sebagai guru profesional
sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Guru dan Dosen.
Tantangan global dan kemandirian
badan pendidikan
Dalam pemahaman akan tantangan
global serta kemandirian badan pendidikan dengan adanya perubahan dalam sistem
pendanaan melalui UU-BHP justru melupakan salah satu faktor penting dalam
pemahaman akan tantangan Global serta kemandirian tersebut. Dalam pemahaman
akan tantangan global yang dimaksud adalah untuk meningkatkan jumlah rakyat
Indonesia yang berpendidikan perguruan tinggi untuk bisa bersaing dalam dunia
akademis dan dunia profesional secara global. Untuk itu justru negara justru
berbeban untuk menambah quota kursi di perguruan tinggi serta mendukung rakyat
untuk menempuh pendidikan tinggi, yang akan berakibat meningkatnya jumlah
lulusan perguruan tinggi yang berkualitas secara significant (bandingkan jumlah
penduduk dan jumlah lulusan perguruan tinggi). Sedangkan dalam kemandirian
badan pendidikan justru yang dibutuhkan adalah lepasnya campur tangan oknum
negara dalam penentuan jabatan dan fungsi dalam dunia pendidikan tinggi, dan
peningkatan kemandirian perguruan tinggi untuk menjalankan amanat pendidikan
nasional dengan dukungan dan perlindungan dari negara yang bisa dipertanggung
jawabkan akuntabilitasnya utk publik dan negara.
Jika yang dimaksudkan tentang tantangan global dan kemandirian adalah bentuk perguruan tinggi di luar negeri, maka yang saya pertanyakan adalah kebijaksanaan lokal negara yang melupakan faktor-faktor penting mengenai jumlah penduduk, jumlah lulusan perguruan tinggi yang sama sekali tidak sebanding dengan situasi di luar negeri. Belum lagi jumlah dana pendidikan mereka serta pengalaman dan akses serta fasilitas yang mereka miliki. Seringkali negara memang melakukan studi banding dengan bentuk badan pendidikan di luar negeri, tetapi mereka melupakan fakta-fakta sejarah yang penting mengapa badan-badan pendidikan di luar negeri bisa menjadi seperti itu, badan-badan pendidikan di luar negeri sudah mempunyai pengalaman ratusan tahun lebih tua dan merekapun sudah pernah di dukung sepenuhnya oleh negara masing-masing ratusan tahun lamanya sebelum akhirnya mereka bisa menjadi badan pendidikan yang mandiri secara dana dan organisasi pendidikan, sejalan dengan situasi negara masing-masing. Jadi jika yang dijadikan alasan adalah untuk bersaing dengan dunia pendidikan global maka alasan tersebut sama sekali tidak masuk akal.
Jika yang dimaksudkan tentang tantangan global dan kemandirian adalah bentuk perguruan tinggi di luar negeri, maka yang saya pertanyakan adalah kebijaksanaan lokal negara yang melupakan faktor-faktor penting mengenai jumlah penduduk, jumlah lulusan perguruan tinggi yang sama sekali tidak sebanding dengan situasi di luar negeri. Belum lagi jumlah dana pendidikan mereka serta pengalaman dan akses serta fasilitas yang mereka miliki. Seringkali negara memang melakukan studi banding dengan bentuk badan pendidikan di luar negeri, tetapi mereka melupakan fakta-fakta sejarah yang penting mengapa badan-badan pendidikan di luar negeri bisa menjadi seperti itu, badan-badan pendidikan di luar negeri sudah mempunyai pengalaman ratusan tahun lebih tua dan merekapun sudah pernah di dukung sepenuhnya oleh negara masing-masing ratusan tahun lamanya sebelum akhirnya mereka bisa menjadi badan pendidikan yang mandiri secara dana dan organisasi pendidikan, sejalan dengan situasi negara masing-masing. Jadi jika yang dijadikan alasan adalah untuk bersaing dengan dunia pendidikan global maka alasan tersebut sama sekali tidak masuk akal.
Ancaman bagi dunia pendidikan
Indonesia
Adapun ancaman yang paling
penting bagi bangsa Indonesia adalah ancaman terhadap dunia pendidikan
Indonesia. Jika dilihat dari pemahaman adanya UU-BHP ini serta akibatnya secara
tidak langsung bagi rakyat Indonesia, maka yang terjadi adalah menurunkan
peranan negara dalam dunia pendidikan (bertentangan dengan amanat konstitusi),
menurunkan akses masyarakat tidak mampu terhadap dunia perguruan tinggi,
walaupun mereka mampu untuk belajar di perguruan tinggi (jika dahulu ada 100
kursi di perguruan tinggi untuk 100 mahasiswa yang berhak masuk sesuai dengan
kemampuan, maka sekarang perguruan tinggi berubah menjadi badan usaha yang
mencari pemasukan untuk menutup biaya operasional yang ada sehingga 100 kursi
yang ada akan di berikan kepada yang mampu membayar), menurunkan akses
masyarakat ke perguruan tinggi yang berakibat melemahnya manusia Indonesia di
persaingan global sebab negara bisa bersaing karena memiliki manusia-manusia
yang berpendidikan (belum lagi jika diperbandingkan antara jumlah akademis
dengan jumlah rakyat kita, jika diluar negeri hampir 30 - 40% rakyatnya sudah
bergelar S1 dan mayoritas lulus SMU), bahkan dengan adanya kebebasan bagi
pendanaan perguruan tinggi yang terbuka melalui sistem ekonomi global maka
justru kemandirian dunia pendidikan Indonesia hanya bergantung pemilik modal
semata (bahkan pemilik modal luar negeri) sehingga yang terjadi adalah bentuk
imperialisme baru melalui sistem kapitalisme yang dari dahulu sudah di tentang
oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers kita), belum lagi ancaman
hilangnya ciri khas pendidikan Indonesia yang mempunyai muatan adat-istiadat,
moral yang religius.bahkan dalam gerakan perjuangan bangsa Indonesia para
pilar-pilar negara serta founding fathers kita justru menekankan pendidikan
sebagai ujung tombak pembangunan negara kita yang harus dilindungi dan harus
didukung oleh negara.
Demikianlah kiranya tulisan saya
kali ini, mungkin tidak bisa menjawab tetapi saya berharap bisa dijadikan bahan
pertimbangan. Dan dibawah ini saya sertakan cuplikan tulisan dari Jurnal
Indonesia Merdeka mengenai pendidikan massa baik untuk angkatan muda maupun
kaum dewasa:
"Rakyat kita diperlakukan dan dibiarkan dungu. terserah pada kita untuk merubah keadaan itu dan memperbaikinya. Sekolah-sekolah rakyat yang pertama-tama harus kita selengarakan; di tempat-tempat itu pemuda-pemuda Indonesia di bawah bimbingan orang ahli berkumpul hampir setiap hari....... Pendidikan terutama sekali harus menyadarkan pemuda bahwa tujuan hidupnya adalah kemerdekaan Tanah Air. Dengan cara demikian kita memupuk warga negara yang cakap, yang siap berjuang untuk hadiah yang tertinggi bagi Tanah Air kita."
"Rakyat kita diperlakukan dan dibiarkan dungu. terserah pada kita untuk merubah keadaan itu dan memperbaikinya. Sekolah-sekolah rakyat yang pertama-tama harus kita selengarakan; di tempat-tempat itu pemuda-pemuda Indonesia di bawah bimbingan orang ahli berkumpul hampir setiap hari....... Pendidikan terutama sekali harus menyadarkan pemuda bahwa tujuan hidupnya adalah kemerdekaan Tanah Air. Dengan cara demikian kita memupuk warga negara yang cakap, yang siap berjuang untuk hadiah yang tertinggi bagi Tanah Air kita."
Pengembangan LPTK
Dengan
memperhatikan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa LPTK menghadapi masalah dan
tantangan eksternal yang berkaitan erat dengan globalisasi, pembangunan
ekonomi, desentralisasi, situasi politik, perkembangan sosial budaya dan teknologi.
Sementara itu kenyataan obyektif secara internal LPTK di Indonesia masih
menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang bersumber dari pola-pola
menajemen yang sntralistik, mekanisme pendanaan yang sentralistik dan kaku,
organisasi dan manajemen yang kuang efisien, kualitas sumber daya manusia yang
kurang memadai dan belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam pendanaan
pendidikan. Semua masalah itu memerlukan penanganan secara nsional, sistematik
dan terpadu
Sehubungan
dengan itu antisipasi pengembangan dan kinerja LPTK khususnya LPTK swasta,
merupakan satu hal yang harus diwujudkan demi kelestarian dalam menghadapi
gelombang tantangan dalam tatanan global, nasional, regional, lokal dan
organisasional. Hal ini mengandung makna bahwa pengembangan LPTK (terutama
swasta termasuk LPTK PGRI) merupakan satu keharusan yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi agar menjadi lembaga pendidikan yang lestari dan bermutu.
Pengembangan
LPTK PGRI sekurang-kurangnya mencakup aspek sturktur, kultur, substansi, dan
SDM. Dalam aspek struktur perlu dikaji struktur kelembagaan LPTK PGRI termasuk
hubungan struktural dan fungsional antar lembaga pendidikan, dengan pemerintah
pusat (pusat dan daerah), khususnya Departemen Pendidikan Nasional/ Dinas
Pendidikanm dengan Yayasan dan pihak-pihak terkait lainnya sehingga diperoleh
satu struktur yang menunjang eksistensinya.
Dalam
aspek kultur, perlu dilakukan pola-pola budaya yang sedemikian rupa dapat
menunjang berkembangnya Lembaga Pendidikan Tinggi yang bercorak khas sebagai
cerminan jatidiri, visi, misi dan strategi PGRI. Budaya birokratis dan feodal
harus bergeser ke budaya “pedagogis” yang demokratis dalam suasana nilai-nilai
kejuangan guru. Budaya komunikasi satu arah yang “top down” harus digeser
menjadi budaya komunikasi dua arah dan “bottom up”, Budaya pengaturan yang
sentrarilstik ke budaya pemberdayaan dan desentralistik yang otonom.
Bagaimanapun perguruan tinggi PGRI itu merupakan aktualisasi kultur pendidikan,
sehingga paradigma pendidikan harus menjadi landasan utama dalam perwujudan
kinerjanya melalui aktualisasi tridharma perguruan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar