Selasa, 05 Juni 2012

TARBIYAH FARDIYAH


 Definis dan urgensi

Tarbiyah Fardiyah adalah peran dan tugas individu dalam konteks amal islami, dengan keharusan melakukan interaksi sosial yang bersifat personal untuk memperoleh satu tujuan dan sasaran dengan unsur-unsur pendekatan yang baru , diluar  kelaziman pelaksanaan Tarbiyah Jama’iyyah pada umumnya seperti halnya dalam bentuk halaqoh. Unsur-unsur pendekatan dalam Tarbiyah Fardiyah diusahakan agar seseorang pada awalnya tertarik dengan fikrah Islam  melalui proses Tarbiyah dan Takwin, baru setelah itu mengajaknya terlibat dan berpartisipasi lebih jauh lagi dalam amal da’wah. Dalam hal ini diberikan kebebasan bagi siapa saja yang hendak menjalankan misi Tarbiyah Fardiyah untuk memanfaatkan seoptimal mungkin seluruh akses (Relasi) dan prakondisi untuk melakuakn penetrasi fikroh dan mengupayakan kepuasan objek da’wah (Mutarabbi Fardy) dengan fikroh-fikroh yang ditawarkan kepadanya.

Lantas sejauh mana urgensi Tarbiyah Fardiyah dalam konteks amal islami?. Ikhwah Fillah, sesungguhnya amal Islami tidak dapat berjalan kecuali dengan satu proses dan cara sebagaiman yang telah  dilalui dan dijalankan oleh para Rosul ‘alaihimussholaatu wassalaam melalui media tarbiyah yang digerakkan untuk menyingkap dan mengenali hakekat agama ini (Al-Islam) secara menyeluruh. Berkata Imam Hasan Al-Banna: “Sesungguhnya Manhaj Ikhwanul Muslimin terwujud dalam pembatasan marhalah dengan kejelasan langkah-langkah nya, maka dari itu kita tahu sebenarnya apa yang kita inginkan, dan juga kita tahu sarana yang dapat merealisasikan keinginan – keinginan itu”.

Status hukum dan prinsip-prinsipnya

Tarbiyah fardiyah ditinjau dari kewajibannya secara hukum,  dapat dipahami dari bentuk-bentuk audiensi firman Alloh SWT yang diarahkan secara eksplisit kepada setiap individu muslim, juga arahan nabawi yang mengarah kepada hal yang sama, semua itu adalah Taklif ynag memperkuat keharusan adanya rasa tanggung jawab pada setiap individu muslim untuk mengemban tugas da’wah islamiah, sebagaimana firman Alloh SWT dalam surat Fusshilat: 33, As-syura: 15, dan an-nahl ; 125.

Adapun hadits Rosululloh SAW yang dapat dijadikan landasan syar’i Tarbiyah Fardiyah adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudry ; “Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa dengan lisannya, jika tidak bisa dengan hatinya dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. Juga dalam hadits riwaayat Muslim lainnya: “Barang siapa yang menunjukan kepada kebaikan maka baginya pahala sebesar pahala orang yang mengerjakannya”.

Berkaitan dengan tarbiyah fardiyah Imam Hasan Al-banna mengingatkan kita bahwa kewajiban Tarbiyah fardiah adalah kewajiban untuk bersungguh-sungguh dalam beramal, dengan menempuh proses “Takwin ba’da Tanbih” (Pembentukan setelah pengarahan) dan “Ta’sis ba’da Tadris” (Pemantapan atau pengokohan setelah pengajaran).

Minimal ada enam prinsip untuk melancarkan efisiensi dan efektifitas tarbiyah fardiyah:

Pertama: Al-Manhaj As-salim, yaitu konsep yang benar, yang mampu mencetak pribadi dan generasi islami, konsep yang terpadu dan menyeluruh meliputi aspek-aspek tarbiyah fikriyah, ruhiyah dan akhlakiah.

Kedua: Al-qudwah al-hasanah, yaitu dalam hal ketaqwaan, kewaro’an dan pengamalan ilmunya.

Ketiga: Al-bi’ah As-sholehah, ya’ni dengan menyediakan nuansa dan iklim yang cocok untuk setiap individu, khusunya padaa masa-masa memasuki tahapan pembentukan pertama.

Keempat: At-Tajarrud, yaitu totalitas seorang Murabbi yang mengemban misi da’wah dalam rangka membentuk kepribadian individu muslim dan memfokuskan hal itu.

Kelima: Tadarruj, yaitu seorang Murabbi dalam konteks Tarbiyah fardiyah hendaknya memperhatikan tahapn-tahapan logis, seperti dengan stressing maslah-masalah aqidah sebelum masalah Ibadah , maslah Ibadah sebelum konsep kehidupan yang lebih luas, ringkasnya adaalah “Kulliat Qobla Juziyyat” .

Keenam: Arrifq wallin, sikap lembut dan halus adalah sarana dalam mentarbiyah, oleh karenanya hendaklah bersabar atas segala kegagalan dan kesalahan sampai datangnya satu masa dimana buah dari kesabaran itu akan tampak membuahkaan hasilnya.  

Sarana dan keistimewannya

Adapun sarana tarbiah fardiyah banyak macamnya yang dapat digunakan secara bertahap sesuai dengan tahapan pendekatan Murabbi terhadap Individu mad’unya. Dalam bentuk tatap muka misalnya (Liqo’), seorang Murabbi tarbiyah fardiah bisa memnfaatkan pertemuan dengan membaca al-Qur’an, mengkaji hadits atau siroh, pertemuan tersebut sedapat mungkin dicarikan waktu dan tempatnya yang cocok, bisa juga memanfaatkan pertemuan di Halaqoh (ta’lim) Masjid, seminar Ilmiah, atau dengan mengajaknya ke Rumah makan, dalam bentuk yang lebih sederhana sarana Tarbiyah fardiah bisa dengan menghadiahkan sebuah buku yang bermuatan fikroh islam, sehingga pada pertemuan berikutnya bisa didiskusikan hasil dari bacaan buku tersebut. Semua hal tersebut di atas adalah sebagian dari sarana-sarana tarbiyah fardiyah. Adapun selebihnya seorang murabbi dengan kecerdasaannya dapat mengeksplorasi dan mengembangkan sarana-sarana lainnya lebih banyak lagi.

Tarbiyah fardiyah bila dijalankan sesuai dengan manhajnya maka ia  akan menjadi sarana yang paling efektif , paling kuat pengaruhnya, dan paling terjamin kualitasnya terhadap individu mad’u, keistimewaan Tarbiyah fardiyah terletak pada fokus perhatian yang lebih terhadap mad’u dan kesempatan memberi pengaruh lebih besar, sehingga menjadi besar pula tibgkat keberhasilan mengajak oarang ke jalan da’wah.

Tarbiyah fardiyah adalah salah satu gaya pendekatan (Uslub) dalam berda’wah, akan tetapi gaya pendekatan yang satu ini tidak mungkin efektif dan membuahkan hasil bagi kalangan juru dakwah dengan berbagai level mad’unya, karena para da’i yang memainkan da’waahnya dengan gaya ini dituntut untuk memiliki beberapa karakteristik khusus yang menjamin kapabilitas dirinya melalui jalan da’wah dengan gaya pendekatan yang satu ini. Dengan kata lain tarbiyah fardiyah tidak dapat dilakukan oleh seseorang yang hanya disebut dan dikenal sebaagai Da’i saja, tapai harus oleeh seseorang yang telah mendaapat predikat Da’i plus yaitu Da’i Murabbi.

Karakteristik Da’i Murabbi

Adapun beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang da’i Murabbi antara lain adalah:
                                                                      
  1. Al-Fahmu As-syamil al-kamil, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap dasar-dasar keislaman dan rambu-rambu petunjuknya, juga terhadap apa yaang akan dida’wahkannya, karena seorang da’i Murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang trsebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang Murabbi, maka apabila seorang da’i Murabbi tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang dasar-dasar keislaman, maka hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada Mad’u itu sendiri, yang paada gilirannya akan menimbulkan masal;aah dam pembentukan kepribadian muslim sang mad’u itu sendiri.
  1. Waqi’ ‘Amaly, yaitu keteladanan sang Da’i Murabbi dengan amal perbuatannya yang secara real tampak jelas padaa prilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan sang da’i Murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladnan yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya di tengah-tengah masyarakat.  Imam Hasan Al-Banna mensifati Da’i Murabbi dengan sebutan Da’i Mujahid, lebih jelasnya beliau menyebutkan bahwa da’i Mujahid adalah: “Sosok seorang Da’i yang telah mempersiapkan segala sesuatunya, yang terus menerus berfikir, besar perhatiannya dan siap siaga selalu”. Begitulah seharusnya seorang Da’i, tercermin iman dan keyakinannya pada prilaku dan amalnya. Berdasarkan penelitian pada perjalanan kehidupan sang Da’i , bahwa pengaruh mereka terhadap banyaak orang lebih banyak berasal dari prilaku dan akhlaknya yang istiqomah di setiap keadaan. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa “Manthiqal Af’al aqwa min manthiqil aqwal” ( Logika amal / perbuatan lebih kuat dari logika kata-kata). Dikaataakn pulaa oleh ulama saalafusalih: “Man lam tuhadzdzibka ru’yatuhu fa’lam annahu ghairu Muhaadzdzab” (Barang siapa yang tidak mendiddikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahwa orang itu juga tidak terdidik). Al-imam Syafi’i rahimahullohu berkata: “Man wa’adzho akhohu bifi’lihi kaana Haadiyan” (Barang siapa yang menasehati seudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya”. Oleh karena itu keteladanaan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, karena apa yang tampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang diucapkannya (Al-Mandzhor a’dzhomu ta’tsiran minal qoul).
  1. Al-khibroh binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seoarang da’i Murabbi tidak lain adalah kejiwaaan, bergumul dengannya  dan menjadikaannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam Tarbiyah, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang keras dan bebal dan sebagainya. Oleh karena itu seorang murabbi hendaknya mensikapui seseorang sesuai dengan kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap terlalu tegas dan streng  kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan harus dihadapi dengan lemah lembut , sebaliknya orang yang jiwanya keras harus dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adalah Rosululloh SAW sosok Murabbi pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak mempergauli paara sahabtnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan lainnya, karena beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka. Dalam hadits riwayat bukhari dari Abdulloh ibnu mas’ud RA. Beliau bersabda: “Adalah Rosululloh SAW pernah beberapa hari lamanya tidak memberikan nasehat dan wejangan kepada kami, karena beliau takut kami menjadi bosan” (Al-Hadits)
Berkaitan dengan Al-khibroh binnufus, banyak contoh keteladanan dari Murabbi zaman ini, diantara mereka adalah imam Hasan al-Banna, di mana telah terjadi dialog anatara beliau dengan salah seorang ikhwah, Ikhwah tersebut berkata: “sesungguyhnya ana lagi banyak muskilah dan banyak yang ingin ana adukan kepada antum, masaalah yang ana hadapi ada yang bersifat umum dan ada yang khusus”, maka kata Imam Al-banna: “Sudahlah jangan bebani diri antum dengan masalah itu, serahkan urusan antum kepada Alloh”, “Tapi, ana ingin antum tahu”, sergah Akh tersebut, “Sesungguhny ana sudah tahu” kata Imam seraya meyakinkan Akh tersebut, “Jadi ana bahagia kaalau antum mau tahu” balas akh tersebut. Akan tetapi belum sempat ana memulai curhat, beliau sudah mendahauliku dengan rentetan musykilah dan keluhan yang dialaminya sendiri, bahkan yang mengherankan apa yang diutarakannya sama dengan apa yang ana rasakan . setelah beliau selesai berbicara, maka ana pun berkata kepadanya: “Ya ustadz….. demi Alloh sungguh ana sangat bahagia, dan ana tidak akan mengeluh lagi”, ana mengatakan semua itu sambil terisak dan bercuccuran air mata”.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sesungguhnya Tarbiyah fardiyah merupakan seni yang hanya daapat dimainkan oleh para Da’i tertentu, dan seni yang satu ini memiliki garis yang jelas dan batasan syar’i yang telah dirumuskan dalam ajaran islam. Seni yang satu ini juga bukan perkara yang mudah, semudah menulis dan mengarang sebuah buku tentang pentarbiyahan, juga semudah merumuskan manhaj dalam khayalan, akan tetapi apalah artinya bila kemudian buku dan manhaj tersebut hanya menjadi tinta bisu diatas kertas tergantung diatas rak, karena tidak dirubah potensinya dalam gerak nyata yang tampak di permukaan bumi, menjadi manusia yang menterjemahkan buku dan manhaj tersebut kedalam prilakunya, gerak-geriknya, cita rasanya, struktur berfikir dan moralitasnya.

Nah, sekarang bagaimana kita mulai, dari mana dan kapan sasaran akhirnya, adalah bentuk-bentuk pertanyaan yang jawabanyya ada pada sejauh mana kita dapat merealisasikan  manhaj Tarbiah Fardiyah dengan segala uslub kerjanya.

Langkah pertama yang harus dimulai dalam menjhalankan misi Tarbiyah fardiyah ini adalah menjalin hubungan dengan seseorang yang hendak diproses, dan berusah semaksimal mungkin mengenali orang tersebut, mengenali pikirannya, pemahamannya, persepsinya dan mencermati sela-sela kelemahannya. Dengan begitu akan dapat dipastikan dan diketahui bentuk-bentuk pendekatan aplikatif apa yang mungkin bisa dimplementasikan terhadap orang tersebut. Setelah mengenali dan meyakini bahwa orang tersebut memamng maslahat untuk didakwahi, maka mulailah sang da’i bersama orang tersebut melakukan rekreasi spritual (Rihlatul Iman), dalam rihlah inilah sang mad’u digiring untuk melalui tiga tahap periode perkembangan yang terbangun di atasnya nilai-nilai kepribadian islam dan atribut-atribut keimanan, ketiga tahap priode perkembangan tersebut hendaknya secara tertib dan runtut harus dilalui oleh sang mad’u, karena hal itu merupakan faktor yang sangat mendasar bagi terbangunnya kepribadian islami yang menyeluruh dan terhindarnya kesalahn fatal dalm menyampaikan pesan-pesan da’wah.
Tiga periode perkembangan
Adapun ketiga periode perkembangan tersebut adalah:

Pertama: periode pembinaan akidah, periode ini merupakan periode yang sangat fundamental dalam membentuk kepribbadian seorang muslim, karena ia merupakan landasan pijak bagi periode perkembangan lainnya, akidah yang dimaksud bukanlah sekedar pengetahuan kering yang hanya membahas masalah-masalah yang tidak bermuara pada amal, dan tidak bermanfaat bagi pertuimbuhan ghirah islamiyah dan semangat berda’wah,  akan tetapi akidah yang dimaksud adalah sebagaaimana yang dipersepsikan oleh as-syahid Sayyid Qutub Rohimahulloh diman beliau berkata: “Seyogyanya periode pembinaan akidah melewati masa yang panjang, sehingga langkah-langkah pembinaan secara perlahan dapat mendekati kesempurnaan, dengan kedalaman dan kemantapannya, sebaliknya seyogyanya periode ini jangan hanya sekedar menjadi pelajaran teoritis, akan tetapi periode ini secara prioritas  harus dipahami sebgai periode menterjemahkan akidah dalam gambaran kehidupan nyata dengan segala kualitas perasaan dan amal perbautan yang tercermin dalam bangunan kehidupan berjamaah dengan gerakan kolektifnya. Adalah sebuah kesalahan fatal bila akidah hanya menjadi kerangka teori yang hanya sekedar dijadikan sebagai konsumsi pelajaran intelektual”.

Kedua: Periode aplikasi, setelah akidah tertanam kuat pada diri sang mad’u, dan ia meraasakan hubungan dan ketergantungan yang kuat kepada Alloh SWT, maka berikutnya adalah periode aplikasi , yaitu pantulan tabiat dari keyakinannya dalam prilaku, gerak-gerik, akhlak dan ubudiahnya, maka bila periode ini dapat dilewati dengan baik berart telah terjadi keselarasan “ bainal madzhhar wal jauhar” antara esensi dan substansi, antar kulit dan isi , antara teori dan praktek, antara konsep dan realita dan  antara ilmu dan amal. Oleh karena tuntutan dan target periode ini adalah menggiring seseorang untuk membentuk dirinya sehingga terjadi kesesuian anatara apa yang diyakinaninya (akidahnya) dengan amalan syar’i yang lekat secara menyeluruh pada dirinya dan muncul dari refleksi akidahnya.

Ketiga: Periode pemetaan amal islami, setelaah akidah sang mad’u kuat dan amaliah syar’inya bagus, maka berarti ia telah menunjukan kesiapannya untuk dipetakan atau ditempatkan dalam proyek amal islami (amal da’wah) dibawah naungan jamaah dan da’wah, dan dijelaskan kepadanya dalil-dali syar’i yang mengarahkan kewajiban bekerja di bawah naungan jamaah dan tidak menghindar dari padanya walau hanya sejengkal. Kesimpulannya bahwa tarbiah fardiah dimulai dengan tarbiyah islamiyah dan diikat kemudian dengan aml jama’i.
Kaidah Asasiyah
Terakhir, yang menjadi catatan penting dalam mentarbiyah adalah kaidah-kaidah asasiyah yang harus di perhatikan oleh sang Murabbi, dan menerapkan kaidah-kaidah tersebut disela-sela aktifitasnya dalam menjalankan tarbiyah fardiyah. Kaidah-kaidah tersebut di antaranya adalah:

1.    Ar-Rifq, yaitu kelemahlembutan, sebagaimana firman alloh SWT dalam surat al-Imran: 159, kelemah lembutan adalah asas dalam bermuamalah, seoarang da’i tidak dapat mengambil hati mad’unya, kecuali bila ia mempergaulinya dengan penuh lemah lembut sehingga menjadi mudah untuk menguasai hatinya.

2.       Al-Ibti’adu anidzdzammi wattaa’aatubi, yaitu menjauhkan sikap agresif yang cenderung mencela dan mendiskriditkan, karena sesungguhnya da’wah tidak dibangun di atas celaan dan cemoohan, melainkan dengan Tanashuh (menjaga) dan Taghafur (mema’afkan) serta Al-Irsyad bil husna (membimbing dengan cara – cara yang baik. Sebagaiman Ibnussamak seorang Ulama yang zuhud – Rahimahulloh- ketika seseorang berkata kepaadanya: “Kita bertemu lagi besok dalam rangka saling mencela”, lalau jawab Ibnu samak: “Bal baini wa bainaka ghodan nataghafar” (Tidak, akan tetapi kita bertemu besok untuk saling memaafkan).

3.   At-tarbiyah Tamhid wattasywiq, Tarbiah itu harus dijalankan dengan perlahan bukan dengan paksaan, dengan memunculkan kesenangan bukan ketakutan, hal ini tentu saja membutuhkan kesabaran, karena untuk dapat menikmati buahnya kadang harus menunggu masa panen yang butuh waktu lama.

4.   At-Tasyji’, yaitu motivasi sang da’i Murabbi terhadap mad’unya, berupa “reward”, apresiasi dan penghargaan, untuk menambah semangat dan mendorongnya untuk beramal, sebagaiman yang telah dilakukan oleh Rosululloh kepada sahabat Suhaib bin sinan ar-rumy, yang hijrah ke Madinah dengan meninggalkan seluruh hartanya setelah diambil seluruhnya oleh orang-orang musyrikin, dan dia hanya bisa menyelamatkan agamanya, Rosululloh menyambut kedatangannya seraya berkata: “Rabiha Suhaib” (beruntunglah Suhaib).

Waallohu A’lamu bisshawab.

Makalah ini disadur dari Kitab “Mamarratul haq”, Juz a dan ba, lissyaikh Ra’id Abdul hady.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Anda

Nama

Email *

Pesan *